Setiba di depan rumah Jerry, Rosita turun dari mobil pak Deden. Tak lama kemudian mobil pak Deden pergi, dan baru saja Rosita hendak membuka pintu rumah.
“Hei Ros.. saya mau bicara sama kamu,” kata bu Amilia yang tiba-tiba berdiri di jalan depan rumah. Rupanya tanpa setahu pak Deden, bu Amilia mengikuti mobil suaminya, dari kejauhan.
Rosita kaget,
“Ibu?”“Jangan panggil ibu, saya bukan ibumu..”Rosita tercekat,
“Ada apa ya tante…? Masuk dulu, kita bicara didalam saja”"Gak perlu. Saya cuma mau tanya, sejak kapan kamu menggoda suami saya?"
“Menggoda?. Saya tidak merasa menggoda suami tante.. Dia mungkin yang tergoda pada saya..?”
Bu Amilia terpukul oleh kalimat yang keluar dari mulut Rosita.
“Tidak mungkin kamu tidak menggodanya, itu bayi siapa?”
“Ini bayi saya bu…”“Iya saya tahu, pasti hasil selingkuh dengan suami saya kan..?”
“Terserah tante mau ngomong apa, percuma tante marah-marah disini, kenapa tante gak marahi suami tante saja..?”
Rosita melihat Bu Tari tetangga terdekat disitu, terlihat mengintip dari balik gordein jendela rumahnya, lalu keluar dari rumah.
“Apa tante mau tetangga disini keluar semua menonton kemarahan tante soal kesalahan suami tante sendiri..”
Bu Amilia menengok ke arah bu Tari yang tampak keluar dari rumah. Ia lalu mengancam Rosita.
“Awas kamu Ros, kalau sampai saya lihat kamu masih jalan dengan suami saya. Pokoknya saya gak peduli, siapa kamu,” kata bu Amilia sambil pergi meninggalkan Rosita yang masih berdiri di depan pintu rumah.
Beruntung bagi Rosita pada saat itu, bapaknya belum pulang ke rumah. Ibunya masih sibuk membantu di rumah tetangga, sedangkan adik-adiknya, sedang belajar mengaji di Mushola dekat rumah.
Rosita langsung masuk kedalam rumah.
**Ia menidurkan Maya diatas kasur. Kemudian membersihkan wajahnya di depan meja rias, lalu berganti pakaian tidur. Ia pun langsung merebahkan tubuhnya di samping Maya yang sudah tertidur pulas.
Sambil menatap langit-langit kamarnya yang sudah usang, pikirannya menerawang. Rosita bingung, bagaimana nasibnya nanti kalau ia terus berhubungan dengan pak Deden, dan bu Amilia akan selalu mencecarnya dengan makian, atau pun fitnahan. Menurut pandangannya, Pak Deden terlalu baik, tapi apakah dia bisa melindungi Rosita dari serangan isterinya?.
Tiba-tiba Rosita dikejutkan oleh suara bapaknya,
“Ros, kamu sudah tidur belum? Bapak bawa bu Lastri yang bisa bantu kamu jaga bayi,”Rosita tersentak dari lamunannya. Ia lalu bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar.
Di ruang tamu tampak bu Lastri mengenalkan dirinya. Wanita itu usianya jauh lebih muda daripada ibunya. Tubuhnya pendek, kurus, rambut sebahu yang diikat kebelakang. Wajahnya ayu. Dari sorot matanya yang tajam menatap Rosita, ia bisa menyimpulkan bahwa wanita dihadapannya memang benar-benar butuh pekerjaan.
“Ini adiknya teman bapak, masnya juga petugas Satpam di perumahan, ”
Rosita menyambut uluran tangan bu Lastri yang mengajaknya bersalaman.
“Bu Lastri sudah pernah merawat bayi,?”
“Sudah, tapi anak saya sendiri,”“Trus, anaknya sudah usia berapa sekarang? Apa dapat ijin dari suaminya untuk bekerja?”“Anak saya sudah di SMP, dan saya sudah dapat ijin dari suami untuk jadi baby sitter,” kata bu Lastri sambil menoleh kearah Jerry, lalu kembali menatap Rosita.
“Ooh ya sudah.. kalau ga ada masalah. Tapi bu Lastri tidak menginap ya?. Rumahnya dimana, kalau saya boleh tahu..”
“Di belakang komplek perumahan non,”
“Waah, lumayan jauh ya..”Bu Lastri menoleh ke Jerry,
“Ga apa-apa Ros, kan bisa diantar dan dijemput sama masnya atau sama bapak. Nanti disesuaikan sama shift tugas bapak saja,”
“Bapak ga keberatan gitu?”
“Iya ga apa-apa.. kan bisa gantian sama masnya,”
Rosita menatap bapaknya, lalu menoleh ke arah bu Lastri.
“Ooh.. ya sudah kalau begitu, bu Lastri bisa mulai kerja besok ya. Tapi, pagi sudah kesini, soalnya saya kerja pagi dari jam 10 pagi sampai jam 8 malam,”
“Baik non. Kalau begitu saya permisi dulu..”
Bu Lastri keluar dari ruang tamu diantar oleh bapaknya. Rosita hanya mengintip dari balik gordein Jerry yang membonceng bu Lastri menjauh. **Sementara itu di tempat lain. Bu Amilia tidak langsung pulang ke rumah, ia mampir ke rumah adiknya, Satria Irawan, pemilik usaha tempat pak Deden bekerja.Di ruang tamu ini terlihat perabotan yang mewah, buffet kayu jati yang berkaca, didalamnya berisi souvenir-souvenir piring-piring, patung kecil-kecil buatan luar negeri. Bu Amilia tampak duduk di sofa empuk dengan lapisan beludru berwarna biru tua, dan bantal-bantal kecil berwarna pastel, dipadu dengan karpet bulu warna coklak susu dibawah meja. Bu Amilia terlihat gelisah, hatinya masih galau, ia ingin menumpahkan semua isi hati kepada adik kandungnya. Dari arah dalam, Pembantu rumahtangga menaruh cangkir berisi teh manis hangat, sesuai pesanannya tadi."Terimakasih bi..""Iya bu, silakan.." sahut pembantu itu lalu kembali masuk ke ruang belakang.Bu Amilia langsung mengambil cangkir dan meneguk air hangatnya. Rasa haus langsung hilang saat teh hangat manis meluncur kedalam tenggorokannya.Selang beberapa saat, Satria Irawan keluar dari arah pintu kamar depan. Laki-laki tampan berusia 38 tahun dengan sikapnya yang tampak dewasa, sudah mapan. Tubuhnya putih bersih, hidung mancung, dan bibir bawahnya ada belahan yang samar-samar, hanya terlihat bila dia tertawa terbahak-bahak. Satria Irawan langsung duduk di depan bu Amilia, kakaknya."Ada apa teh.. tumben malam-malam kesini?""Teteh mau curhat Sat,""Euleuh-euleuh si teteh, curhatnya bisa ditunda ga? besok aja gitu teh.. hahaha" Satria Irawan terkekeh."Ah kamu mah becanda, ini serius Sat.. Soal kang Deden,""Kenapa kang Deden teh?" Satria Irawan penasaran."Dia main cewek lagi Sat..""Duuh laris nya kang Deden teh..""Serius atuh Sat," ucap bu Amilia rada kesal."Iyah ini juga serius, kan emang kenyataan dari dulu juga kang Deden mah lebih laku daripada saya. Padahal gantengan saya kan teh?" Satria kembali terkekeh-kekeh.Bu Amilia diam, ia hanya menatap tajam pada adiknya. Bu Amilia sangat butuh saran, atau sedikitnya jalan keluar dari masalahnya, dan Satria sepertinya sudah tahu tentang itu."Ya udah, terus teteh maunya gimana? apa yang mesti Satria lakukan buat tetehku yang cantik ini?,""Pecat saja kang Deden dari kantor kamu..,""Itu mah ga bisa saya lakukan teh... soalnya rekam jejak kang Deden bagus, tidak ada cacat sama sekali. Orangnya selalu on time,"Bu Amilia memotong omongan adiknya."Iya dia mah emang gercep, satset.. apalagi kalau soal uang, tapi ya itu.. gampang kegoda sama perempuan,"Dahi Satria Irawan mengernyit, dia mencari kata yang tepat supaya kakaknya bisa lebih legowo."gimana kalau teteh berdamai saja dengan perempuan itu.""Berdamai gimana maksudnya Sat?""Ya berbagi suami teh..""Ga mau ah, jijik bekas perempuan lain,""Iya, namanya juga laki-laki teh... Wajar aja, laki-laki kan ga bisa hamil. Nah itu yang ketahuan sama teteh, yang ga ketahuan emang ga teteh hitung? ya sama juga udah banyak bekas perempuan lain.Terus teteh mau cerai saja dengan kang Deden, gitu?""Ga juga sih...""Naah, berarti teteh masih cinta, teteh sadar atas kelemahan teteh yang tidak mampu memberinya keturunan, karena rahim teteh yang bermasalah itu kan?. "Bu Amilia terdiam. Semua kata-kata yang diucapkan adiknya adalah sebuah kenyataan yang tak bisa ditolak."Ya sudah teh, berdamai saja dengan masalah. Gak perlu ngikutin ego sendiri. Perempuan itu kebanyakan egois, maunya suami cuma untuk dirinya sendiri, padahal kalau suami minta pas lagi merah, kan ga bisa dipake juga, ups.. maaf ya teh.."Bu Amilia termenung, ia masih bingung, apakah sanggup berdamai dengan perempuan muda yang bernama Rosita itu?."Eeh, jangan ngelamun atuh teh.. ayoo putuskan sekarang juga. Mau berdamai dengan perempuan itu atau nggak?""Iya deh Sat.. tapi caranya gimana?Satria Irawan sejenak berpikir,"Kang Deden ketemu dimana sama perempuan itu?""Ga tau Sat, itu mah urusan dia, teteh ga mau tahu,""Maksudnya biar saya bisa perkirakan, kang Deden arahnya kemana, gitu teh maksudnya.."Pembicaraan mereka semakin malam tambah serius. Satria Irawan seperti seorang motivator yang memberi contoh terbaik kepada kakaknya. Bu Amilia tampak hanya mengangguk-angguk tanda meng-iyakan saran yang disampaikan oleh Satria Irawan. Sampai akhirnya bu Amilia terlihat pamit dari rumah mewah itu.**Jam di dinding menunjukkan pukul 21.00 sebelum Pak Deden tertidur di sofa ruang keluarga, dan terbangun pukul 24.20, karena mendengar suara mesin mobil isterinya masuk ke garasi. Dia sengaja mematikan lampu ruang tengah. Ketika isterinya masuk, Pak Deden langsung menegurnya, “Mamah darimana sih? hari gini baru pulang?” Bu Amilia terkejut, ia tak menyangka suaminya menunggu di ruang tengah, tapi ia berusaha tenang, dan menjawabnya dengan jujur. “Tadi mampir ke rumah Satria,”“Oh, ya ga apa-apa.. tapi kenapa ga kabarin papah dulu. Mamah curhat lagi yah ke Satria.. ?”“Iya pah.. soalnya papah udah ga punya waktu buat dengerin curhatan mamah, pagi-pagi sudah pergi, pulang malam langsung tidur. Udah gitu gak tidur di dalam, malah tidur di paviliun. Kapan waktu buat mamah ngobrol sama papah?”“Ya kalau papah masuk ke kamar, nanti mamah malah keganggu tidurnya. Jadi ceritanya mamah masih mau ngobrol sama papah,”“Iya dong, mamah kan masih isteri papah” Pak Deden diam,“Trus sekarang mamah
Matahari mulai naik memancarkan panas teriknya ke halaman sempit rumah Jerry. Dari kejauhan, suara adzan mulai berkumandang. Pintu ruang tamu terbuka lebar, disitu Rosita terlihat duduk memeluk Maya yang tidur pulas dalam dekapannya. Rosita gelisah, sesekali menoleh kearah jalan di depan rumah itu. Ia tak yakin kalau pak Deden tidak datang, karena tadi malam dia janji bakal menjemputnya.Bu Lastri duduk di depannya. Ia hanya menatap kearah Rosita, entah apa yang ada dalam pikirannya, Rosita tak ambil pusing."Bu Lastri mau sholat..? Di kamar saya ada keranjang merah, ada sajadah dan mukena disitu, cari aja""Iya non.."Bu Lastri lalu jalan menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Sementara itu, Rosita makin gelisah menunggu pak Deden datang menjemput. Didalam benaknya, "apakah tadi malam pak Deden bertengkar dengan isterinya, lalu bu Amilia melarangnya untuk menemui Rosita?. Kalau saja memang seperti itu yang terjadi, Rosita berniat, hanya akan menunggunya hari ini sampai sore hari nanti
Kehangatan suasana baru di rumah baru, meski hanya sebuah rumah kontrakan; membuat seluruh persoalan hidup sebelumnya, nyaris hilang dalam sekejap. "Mang Ujang, kalau mau istirahat, silakan.. nanti selesai shalat ashar kita jalan,""Iya pak..""Bu Lastri juga boleh istirahat dulu,"Mang Ujang jalan menuju ke tangga, dan bu Lastri menggendong Maya masuk ke kamarnya.Tiba-tiba handphone pak Deden berdering.."Naah, naah.." ucap Ricky senyum-senyum."Ssssttt.." seru pak Deden sambil menaruh telunjuknya didepan bibir.Rosita tersenyum kecil, karena kurang paham pada situasi saat itu."Assalammu'alaikum kang Satria,""wa alaikum salam kang Den, Bisa ketemu saya hari ini ?""Besok ajalah kang.. saya masih sibuk disini,"Tiba-tiba Maya menangis, Rosita masuk ke kamar lalu membawanya keluar rumah, tapi suara tangisannya terdengar oleh Satria Irawan."Itu bayi kang Den..?""Iya kang.. siteteh udah curhat semua kemaren kan..?""iya sudah kang Den, besok jam sepuluh pagi saya tunggu di kantor ya
Pak Deden membawa Rosita ke ruang kerja admin di lantai bawah. Ruang kerja yang terbuka, dengan sekat-sekat pembatas bagi setiap pegawai yang terlihat serius sedang mengerjakan tugasnya masing-masing. Pak Deden mengenalkan Rosita pada mbak Nenny, lalu meninggalkan mereka berdua saling berbicara.Beberapa saat kemudian, bu Amilia tampak masuk ke lobby kantor itu. Ketika melewati ruang admin, bu Amilia melihat Rosita disitu sedang berdiri mengobrol dengan mbak Nenny. Hatinya langsung panas, mendidih, dorongan emosinya yang menggelegak, membuat bu Amilia menghampiri Rosita,"Heh! ngapain kamu disini?. Perempuan gak tau malu.. Keluar kamu !!" bu Amilia dengan suara lantang.Para pegawai spontan menoleh semuanya berbarengan kearah Rosita dan bu Amilia.Baju Rosita diseret kasar oleh Bu Amilia kearah ruang lobby, diikuti tatapan mata seluruh pegawai disitu. Melihat hal itu, mbak Nenny panik, langsung telpon ke ruang Satria Irawan."Pak, itu.. ituuu.. ibu Amilia marah-marah ke perempuan yang
Kaki Rosita melangkah memasuki pagar, lalu menutupnya kembali. Di teras rumah itu, ia melihat pak Deden sudah menunggu. Rosita bingung, harus bersikap bagaimana kepada lelaki itu?. Pertemuan dengannya seperi sebuah pelarian yang tidak diduga sebelumnya, akan berbuah pahit seperti ini.Bagaimanapun pak Deden adalah orang baik dimata Rosita. Ia lalu duduk disampingnya."Bu Lastri sudah pulang?""Sudah, tadi diantar mang Ujang, Maya juga sudah tidur."Ekspresi wajah pak Deden pun tampak bingung, dia tak tahu bagaimana perasaan Rosita terhadapnya saat ini. Namun dia berusaha menutupi dengan senyum pada Rosita. Meski pak Deden tahu suara mesin mobil yang berhenti di pinggir jalan yang mengantar Rosita tadi, adalah mobil adik iparnya, Satria Irawan. Dan bukan hal yang tidak mungkin, pembicaraan antara Rosita dengan adik iparnya itu tidak membicarakan masalah tentang dirinya."Ros diantar pak Satria ya..""Iya pak Den...""Kemana aja tadi, sampai berapa jam saya tunggu kamu disini,""Apa pert
Setiba di rumah, Jerry langsung mengantar bu Lastri dengan motor bututnya. "Bapak antar bu Lastri dulu Ros,""Iya pak.." sahut Rosita malas.Jerry berubah sikap serta tutur katanya terhadap Rosita, karena sekarang sudah makin jelas terlihat didepan matanya, bahwa Rosita bisa dijadikan modal untuk membantu tambahan keuangan keluarga. Mestinya Jerry tidak boleh berpikir seperti itu, karena Rosita adalah putrinya, perempuan yang harus dijaga kehormatannya. Karena kalau sampai Rosita berbuat dosa zina, maka Jerry juga harus mempertanggung jawabkan perbuatan dosa tersebut, di dunia dan di akhirat nanti.Seharian ini Rosita merasa lelah sekali. Masalah yang tiba-tiba melibatkan dirinya seolah-olah tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun Rosita yang sudah terbiasa memperhatikan sikap dan cara bicara orang lain, membuat sikap dirinya jadi terbentuk dengan sendiri. Rosita sudah dibekali sifat penyabar, tapi ia harus punya sikap tegas, karena dalam menghadapi orang lain dalam aksi dan reaksi
Pak Deden menutup pintu pagar, melangkah menuju teras, mengunci pintu depan, lalu kembali ke dalam kamarnya. Dia merebahkan tubuhnya diatas sofa bed, yang masih meninggalkan bau harum yang tertinggal dari bekas tubuhnya Rosita. Pak Deden salah satu laki-laki yang paling suka pada bau khas dari tubuh wanita. Akan tetapi dengan hadirnya Rosita, mungkin, dia harus siap bersaing dengan adik iparnya, Satria Irawan.Pak Deden teringat kembali pada bu Amilia, istri yang belum diceraikannya. Benarkah berita yang baru saja disampaikan oleh Satria Irawan, bahwa istrinya sudah hamil?. Dengan siapa istrinya berselingkuh? Apakah ini perbuatan balas dendam dari Amilia kepada dirinya, karena sering ketahuan berselingkuh?. Padahal tujuan pak Deden selingkuh itu justru ingin agar istrinya sadar dan berubah perilakunya, tidak cerewet dan arogan lagi, eeh malah semakin menjadi-jadi. Dia berusaha melupakan semua, tapi tentu saja tidak bisa. Semua itu ada dalam kenyataan hidupnya yang sekarang, saat ini.
Bu Minah sedih, airmatanya bercucuran tak mampu ia bendung lagi. Ia melepaskan rasa kecewanya sendirian, di rumah majikannya, ibu Sugih.Rumah besar tetangganya ini kosong, siang hari mereka keluar rumah, dengan kesibukannya masing-masing. Bu Sugih mempunyai putra satu-satunya, Gilang, wajahnya biasa saja, tapi dia baik hati dan pekerja keras. Pak Sugih buka kantor ekspedisi yang berupa paket pengiriman barang ke antar pulau. Kantor itulah yang saat ini dilanjutkan pekerjaannya oleh Gilang, karena pak Sugih telah meninggal dunia akibat kecelakaan beberapa tahun silam.Dulu, Gilang satu gedung sekolah dengan Rosita, hanya beda kelas. Mereka berdua bersahabat, akrab, pergi dan pulang sekolah selalu jalan bersama, itu sebabnya bu Sugih tidak menganggap bu Minah sebagai pembantu, tapi lebih kepada saudaranya sendiri saja.Tiba-tiba bu Minah mencium bau gosong,"Astaghfirullah.." bu Minah spontan.Ia tersentak, kaget melihat apa yang terjadi.Kemeja Gilang yang sedang disetrikanya gosong, a
Bu Amalia mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah Satria Irawan. Membelokan melaju di jalan raya. Cahaya matahari pagi yang mulai mengeringkan embun pada rerumput dan dedaunan; membasuh mata Bu Amalia dalam perasaan yang kering, kosong, dan hampa. Entah apalagi yang harus diperjuangkan pada sisa usia yang semakin menua. Namun ia tak kehabisan akal liciknya, ia teringat sesuatu. Lina. Ya, Lina, mantan istri Satria Irawan yang mengurus anak perempuannya bernama Sherly. Sekarang usianya sekitar lima tahun. Sebenarnya Sherly bukan anak biologis Satria Irawan, tapi hasil perselingkuhan Lina dengan Robert. Lelaki bermental gigolo yang hanya bermodalkan rayuan pulau kelapa, untuk manfaatkan fasilitas, uang dan kenikmatan lain dari Lina. Setelah ketahuan, Robert menghilang begitu saja, tinggalkan Lina. Barangkali dalam benak Robert, dia merasa aman... karena Lina punya suami. Jadi kalaupun Lina hamil anaknya, tentu ada seorang bapak yang bakal mengurusnya. Seperti itulah terak
Ricky memejamkan matanya kembali, dia pikir itu suara bayi tetangga sebelah yang memang kadang mengganggu tidurnya. Tak lama kemudian, dia merasa hendak ke toilet untuk buang air kecil. Ricky keluar dari kamar paviliun, bersamaan dengan bu Lastri yang keluar dari kamar karena mendengar tangisan Maya yang tak berhenti. Bu Lastri terkesima melihat ketampanan wajah Ricky yang terlihat dari samping, dan postur tubuhnya yang membelakangi, tapi Ricky tak menggubrisnya. Bu Lastri tidak tahu bahwa Ricky tak bisa melihatnya karena matanya buta. Beruntungnya Ricky sudah masuk ke dalam toilet, jadi mereka tidak sempat berpapasan. Bu Lastri buru-buru menggendong Maya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Untungnya, setelah Maya digendong langsung diam tangisnya. Di dalam kamar pak Deden, pelayanan pagi pun dilanjutkan kembali. Keluar dari kamar mandi, Ricky mendengar suara rintihan bu Lastri "uh ah.. uh ah.." dari arah dalam kamar pak Deden. Ricky menuju ke pintu kamar pak Deden, Berbisik
Satria Irawan turun dari mobil, diikuti oleh Ricky. Beberapa langkah kemudian, Ricky mengeluarkan kunci rumah dari dalam saku depan tas ranselnya, setelah membuka pintu depan, mereka lalu masuk ke dalam rumah. Di dapur terlihat pak Deden sedang memasak air, dia tak suka menggunakan air panas dari dispencer untuk menyeduh kopi, katanya lebih enak dengan air yang dimasak hingga mendidih. Pak Deden menoleh ke arah Satria Irawan yang baru saja masuk dari pintu depan. Sedangkan Ricky langsung menuju ke kamarnya. "Assalamualaikum kang Deden," "Wa alaikum salam... kok gak jadi ke Bandungnya ?" "Iya kang, tadi nolongin orang yang sedang kesusahan..." "Alhamdulillah.. Bagus itu kang Sat.. ibadah ya." Satria Irawan mengangguk pelan, "Ya nyicil-nyicil amal baik aja kang Den," sambil duduk bersila di karpet lantai disitu, "Ada berita apa aja dari kantor kang Den..? beberapa hari ini saya gak sempet mampir ke kantor" "Ada yang urgent sih kang.. Soal Erna. Apa kang Sat sudah tahu?" "E
Setiba di halaman parkir persis di samping mobil Satria Irawan, Rosita melihat Ricky tidur dengan lelapnya. Ia tak membangunkan Ricky, tapi langsung naik ke kursi di belakang. Namun tak disangka, Ricky malah jadi terbangun. Mata Ricky memang buta, tapi daya rasa inderanya cukup tajam. Dia mencium aroma tubuh Rosita yang amat dikenalinya, duduk di kursi belakang. "Mbak Ros..?" "Iya Rick.. kamu kok bisa tahu?" "Bisa mbak.. Ohya, siapa yang sakit mbak?" "Ibu saya Rick..." "Gak ditungguin?" "Sudah, tadi kata dokternya boleh ditinggal saja," "Oooh.. " "Kita antar mbak Rosita dulu ke rumahnya ya Rick.."kata Satria Irawan memotong. "Iya Pih.." Mobil Satria Irawan melaju di jalan raya menuju ke arah rumah Jerry. ** Setiba di depan rumah, Rosita langsung turun dan melambaikan tangannya kepada Satria Irawan. Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah. Akan tetapi Rosita kaget, karena tiba-tiba melihat bu Lastri keluar dari kamar ibunya. Rambutnya masih terurai, seperti b
Rosita menatap kepergian Satria Irawan sampai keluar dari pintu ruang ICU. Kemudian Rosita memandangi wajah ibunya, matanya terpejam tapi bibirnya tersenyum. "Ibuu.. maafkan Ros ya.. Ros belum sempat membuat hati ibu senang, belum sempat membuat ibu hidup tenang tanpa harus bekerja mencari tambahan untuk biaya adik-adik sekolah." Rosita menciumi telapak tangan ibunya dengan dipenuhi rasa sayang yang teramat dalam. "Ros tahu, ibu sudah lelah... melewati perjalanan yang cukup panjang. Sekarang ibu sudah tenang... Maafkan Ros ya bu.. Ros janji akan menjaga adik-adik sebaik-baiknya bersama bapak nanti." Rosita bingung, bagaimana kalau ia menyampaikan hal ini kepada Jerry, ia tak mau dengar Jerry uring-uringan di rumah sakit. Itu sebabnya sengaja ia tidak memberitahukan Jerry, dia tak mau ada keributan yang tidak penting kalau Jerry tahu soal kematian ibunya. Pasti dia menyalahkan Rosita yang telah membawanya ke rumah sakit dan mengijinkan operasi kedua tersebut. Secara Jerry kadang-k
Di depan Ruang Operasi~ Rosita akhirnya tertidur di samping Satria Irawan. Ia tak mampu menahan rasa kantuknya. Namun ketika ia terlelap dalam tidurnya, kepala Rosita jatuh ke bahu Satria Irawan; hal itu menyebabkan lelaki tampan ini terbangun. Akan tetapi, saat dia tahu bahwa yang menyandar dibahunya adalah wanita pujaan hatinya, maka dia membiarkan bahunya jadi sandaran kepala Rosita. Satria Irawan kembali memejamkan matanya. Entah sudah berapa lama mereka tertidur disitu, tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh suara brankar yang keluar dari Ruang Operasi. Mereka terbangun secara bersamaan, Rosita langsung menghampiri Dr Budiyanto. Satria Irawan mengikuti langkah Rosita. "Bagaimana kondisi ibu saya dok" Tanya Rosita sambil jalan disamping Dr Budiyanto. Langkah Dr Budiyanto terhenti, dokter itu pun menjelaskan kepada Rosita. "Alhamdulillah.. operasi sudah berlancar lancar." Dr Budiyanto terdiam sejenak. Rosita masih menatap mata Dr Budiyanto. "Akan tetapi, jantung ibu Minah mas
Surat Pernyataan Pertanggungjawaban yang sudah ditandatangani Rosita, kemudian diserahkan kembali oleh Satria Irawan kepada Perawat Jaga. Perempuan itu lalu mengangkat telpon intern untuk menyampaikannya ke Dr Budiyanto. Satria Irawan masih berdiri di depan meja tinggi tempat Perawat Jaga tak jauh dari ruang ICU. "Silakan duduk saja dulu, sebentar lagi pasien dibawa ke ruang operasi, atau bapak mau tunggu di sana?" "Baik Suster.. saya tunggu di sana saja," Satria Irawan lalu jalan meninggalkan tempat Perawat Jaga. ** Malam semakin hening. Di ruang tunggu depan ruang operasi, yang terdengar hanya suara halus dari detak jam dinding di atas pintu masuk ke Ruang Operasi. Jam dinding saat ini menunjukkan pukul 22.30. Operasi jantung bu Minah, sudah dilakukan kurang lebih setengah jam yang lalu. Satria Irawan duduk di kursi di koridor depan Ruang Operasi. Dia menyenderkan kepalanya ke dinding. Rasa kantuk tak dapat ditahannya, sesekali kepalanya terjatuh ke bahunya.
~Di depan Ruang ICU~ Dari balik kaca pembatas di luar Ruang ICU, Satria Irawan hanya dapat melihat punggung berseragam putih yang membalut tubuh dua orang perawat dan tiga orang dokter, yang menghalangi pandangan Satria Irawan ke arah bu Minah. Satria Irawan gelisah. Dia hanya dapat melihat alat-alat medis yang tampak tersambung ke tubuh perempuan setengah baya itu.. Alat pengukur denyut jantung, selang yang mengarah ke tabung oksigen, dan mesin yang bertuliskan angka terletak diatas, jadi dari segala sudut angka tersebut dapat terlihat. Meski dirinya sama sekali tidak paham fungsi alat-alat tersebut, akan tetapi dia sangat penasaran. Tubuhnya bergerak perlahan ke kanan, dan lalu ke kiri mencari celah yang terbuka untuk mengintip. Namun tak berhasil. Akhirnya dia pasrah. Mengalihkan pandangan matanya ke arah lain di ruang itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, bagaimana kalau tiba-tiba bapaknya Rosita datang, dan marah karena dia telah lancang membawa kembali bu Minah ke ruang ICU
Rosita keluar dari dalam kamar, langkah kakinya menuju ke kamar mandi, tiba-tiba terdengar suara rintihan dari arah kamar ibunya, ia pun masuk kesitu. Dilihatnya nafas bu Minah tersengal-sengal, dan wajahnya memucat. Bergegas ia mendekat, "Ibuu.. ibu kenapa?" Bu Minah hanya meremas-remas dadanya dengan tangan kanan tanpa tenaga. "Tadi sudah minum obat apa belum bu?" tanya Rosita lagi. Bu Minah mengangguk pelan, tangannya masih meremas baju didadanya, Rosita menatap lekat lalu spontan mengambil tangan ibunya, menaruh dalam genggaman tangan kirinya, sambil tangan kanannya mengelus-elus berusaha menenangkan hati ibunya, namun nafas bu Minah semakin terengah-engah. "Ibu tenang ya... Ros telpon pak Satria dulu," Bu Minah mengangguk, pelan sekali. Rosita keluar dari kamar bu Minah menuju ke kamarnya, mengambil handphone lalu menelpon Satria Irawan. "Pak Satria bisa kesini sekarang," "Bisa Ros.. tunggu ya," "Iya," Rosita menutup handphonenya sambil jalan menuju ke kamar ibunya