Share

03. Rahasia yang terbongkar

Di dalam kamar Rosita.

Maya tampak tertidur lelap diatas kasur. Ranjang kecil didalam ruangan berukuran 2 x 3 meter, jadi terlihat lega; karena Rosita menata lemari dan meja riasnya ke sudut ruangan.

Rosita membuka satu persatu tas belanjaan yang tadi dibelikan oleh pak Deden. Ia dapat merasakan kebaikan yang tulus dari hati pak Deden, meskipun ia belum tahu, siapa sebenarnya lelaki itu. Toh nanti waktu juga yang dapat membuktikannya, pikir hatinya.

”Ini nanti buat beli susu Maya ya..” Pak Deden memberikan uang pada Rosita, sewaktu baru saja naik ke dalam mobilnya tadi sebelum sampai di rumah..

”Gak usah pak Den, saya bisa kasih ASI saja,”

Rosita menolak, karena pak Deden sudah mengeluarkan banyak uang untuk membeli pakaian-pakaian.

”Katanya kamu mau kerja, mana mungkin dikasih ASI, emangnya mau pulang pergi dari kantor kerumah dulu, begitu?”

”Ya enggak begitu pak Den.. Susunya bisa diperas trus taruh di kulkas,”

”Dirumah sudah ada kulkasnya..?”

“Ada sih.. tapi ya gitu.. kulkas sudah lama, jadi kurang dingin juga,”

”Ya sudah, pegang dulu uangnya, nanti buat beli kulkas yang baru. Ga baik nolak rezeki ya Ros..”

Pak Deden menambahkan sejumlah uang yang tadi mau diberikannya kepada Rosita. Dan sekarang Rosita sedang menghitungnya disisi ranjang didalam kamarnya.

”Alhamdulillah.. terimakasih ya Allah, ini lebih dari cukup.“ ucap hati Rosita sambil memeluk uang tersebut.

**

 

Sementara itu di depan pintu kamar, mas Sapto masih berdiri mematung. Mas Ipung sebagai kakak, merasa tidak tega melihat sikap adiknya,

”Sudah To.. Ros tidak mau keluar dari kamar, kita pulang saja,”

”Tapi mas.. itu anakku, bagaimana,?” kata mas Sapto lemas lalu duduk kembali di kursinya.

Selang beberapa saat, bu Minah yang disusul oleh bu Tari, tampak menuju ke rumah, 

”Saya balik ya bu Minah,” kata bu Tari langsung pamit.

”Iya terimakasih bu Tari”

Bu Minah lalu masuk ke dalam rumah.

”Ya ampuun.. maaf mas Sapto. Sebentar ibu buatkan minum dulu ya..”

”Gak usah bu.. kami mau pamit saja,”

”Lho.. sudah ketemu sama Rosita? Sudah lihat bayinya?”

”Itu.. anu bu.. Ros gak mau nemuin saya,” kata mas Sapto terbata-bata.

Bu Minah langsung jalan menuju kearah pintu kamar Rosita, lalu mengetuk pintunya.

Took.. toook..

”Rooos… Rosita, buka pintunya Ros.”

Rosita mendengar suara ibunya, tapi ia tidak mau menjawab.

Bu Minah pun lalu mengetuk kembali pintu kamar itu. Took toook.. took..

”Ros, ini ada mas Sapto mau nengok bayinya,”

Rosita tetap diam. Ia tidak mau cari masalah lagi dengan bapaknya nanti, kalau meladeni mas Sapto kembali. Lagipula rasa cintanya sudah lama hilang, karena menunggu terlalu lama tanpa ada berita serta tanggung jawab dari suaminya itu. 

Bayangkan, membesarkan kehamilannya dengan berbagai keinginan yang harus ditekan, ditambah sikap dan kata-kata bapaknya yang kasar; itu rasanya sangat menyesakkan dadanya. Sedangkan saat ini ia merasa baru saja terbebas dari rasa duka yang dalam, meski waktu yang dilaluinya hanya hitungan bulan, tapi terasa sangat lama sekali.

**

 

Setelah mas Sapto pergi dari rumah itu, barulah Rosita keluar dari kamar menemui ibunya di ruang makan.

”Bu, tadi Ros ketemu pak Deden. Dia orangnya baik bu.. ini Ros dikasih uang banyak, ini untuk tambahan biaya sekolah adik-adik ya bu, sebagiannya buat beli kulkas baru,”

”Alhamdulillah.. tapi Ros uang itu jangan sampai ketahuan sama bapakmu, nanti dimintanya. Gak enak sama yang suruh beli kulkas baru. Itu amanah yang harus ditepati,”

”Iya bu, Ros pasti beli kulkasnya. Tapi Ros mau ajak adik-adik jalan-jalan ke pasar nanti, makan bakso. Jajan lah sekali-kali bu…hehehe.. Ibu mau ikut?”

”Enggak Ros, nanti sore ibu masih harus setrika pakaian bu Sugih dan anaknya. Gak apa-apa, kamu aja jalan-jalan sana..”

”Oya Ros, soal kerjaan apa kamu sudah dapat?"

”Sudah bu, di kantornya pak Deden,”

”Alhamdulillah”

**

Sore hari itu, setelah adik-adik Rosita mandi, mereka lalu diajak ke pertokoan yang lokasinya berada diatas pasar. Adik-adiknya belum pernah melihat permainan pada alat timezone, Dino (11 tahun), Doni dan Dini anak kembar (9 tahun), sangat gembira dan tambah semangat ketika Rosita membelikan mereka koin untuk mengaktifkan alat permainan tersebut. Hari itu Rosita benar-benar ingin membahagiakan adik-adiknya yang masih duduk di sekolah dasar.

Habis koinnya, Rosita beli lagi. Mereka pun berpindah-pindah mencoba permainan yang lainnya. Lama kelamaan, mereka pun lelah dan mulai bosan karena perutnya keroncongan.

”Kak, udahan ya.. aku lapar,” kata Dino.

”Iya kak.. laper nih..” ucap si Kembar bersamaan.

”Ya udah. Kita makan bakso dulu ya. Mau?”

”Maaauuu” kata adik-adiknya berbarengan.

Mereka pun lalu menikmati bakso di satu kios yang rasa basonya sudah terkenal paling enak, diantara kios bakso di tempat lain.

Rosita merasa senang, dapat membuat adik-adiknya tertawa dan saling bercanda. Ia juga tak lupa membawakan 2 bungkus bakso untuk bapak dan ibunya.

"Mas baksonya dibungkus dua ya.." katanya pada tukang Bakso.

"Iya mbak,"

"Jadi berapa semuanya?"

"Tiga puluh ribu saja mbak,"

Rosita lalu menyerahkan sejumlah uang pada tukang Bakso

"Nih mas.."

"Terimakasih mbak,"

Rosita bersama ketiga adiknya lalu keluar dari kios bakso.

**

Setiba di rumah, Jerry sudah pulang. Kebetulan dia dapat shift pagi, jadi sudah sampai di rumah jam lima sore.

”Darimana saja kalian?” tanya Jerry dengan suara membentak, kepada Rosita dan adik-adiknya.

”sebentar lagi maghrib, ga baik ada di luar rumah? Kamu bawa bayi juga”

Rosita langsung masuk ke kamarnya, ia tak peduli pada ucapan Jerry..

”Iya pak, kami semua sudah tau. Ini bakso dibelikan kakak tadi.” kata Dino sambil memberikan bungkusan bakso kepada bapaknya.

”Kakakmu punya uang dari mana?”

”Gak tau pak.. bapak tanya saja ke kakak,” sahut Dino.

”Ros, sini kamu..”

Dino, Doni dan Dini langsung masuk ke kamar. Mereka tidak mau mendengar kalau kakaknya dimarahi bapaknya lagi.

Tak lama setelah menaruh bayinya diranjang, Rosita keluar dari kamar,

”Ya pak,”

”Duduk kamu,”

Rosita lalu duduk berhadapan dengan Jerry..

”Dapat uang dari mana kamu?. Awas ya kalau kamu dapat uang dari kerjaan yang gak bener. Kamu tau kan, uang haram itu ga baik buat kesehatan lahir dan batin.”

”Tenang aja pak, itu uang halal kok. Oya, tadi mas Sapto datang.”

Degh !

Ekspresi wajah Jerry langsung berubah.

”Mau apa dia?. Kamu masih mau nerima dia sebagai suami?”

”Belum tau juga pak.. Tapi rasanya, gak mungkin menerimanya kembali,”

Baru saja mereka membicarakan tentang mas Sapto, tiba-tiba terdengar suara mas Sapto dan mas Ipung yang mengetuk pintu depan.

”Assalammu’alaikum, permisi..”

Jerry spontan menyuruh Rosita supaya cepat-cepat masuk ke kamarnya.

”Sana kamu masuk ke kamar !”

Rosita langsung masuk ke kamar.

Jerry lalu jalan menuju ke ruang tamu dan membukakan pintu.

”Bapak..” sapa mas Sapto memberi salam dan mencium tangan Jerry.

”Ayoo silakan masuk.. kapan datang mas Sapto?”

”Kemarin pak, saya ke rumah orangtua dulu.”

”Trus sekarang nginap dimana?”

”Di rumah sodara pak di Manggarai,”

”Oooh.. baguslah kalau begitu.”

Mas Sapto matanya menatap ke arah pintu kamar Rosita,

”Rosita ada pak..?”

”Maaf mas.. dia pergi tadi dijemput temannya,”

”Tadi siang saya kesini, tapi Ros gak ijinkan saya pegang bayinya.. Trus dia minta cerai pak, katanya saya gak kasih kabar, dan juga gak kirim uang buat dia.. padahal saya kirim uang yang saya transfer ke rekening bapak kan?”

Rosita di dalam kamar terkejut mendengar ucapan mas Sapto tentang pengakuannya.

”Ooh, jadi mas Sapto kirim uang, dan juga kirim kabar via bapak? Berarti uang kiriman dan suratnya diambil oleh bapak. Tega bener bapak sampai bertindak seperti itu?”. Rosita bicara sendiri.

Ia merasa kecewa pada bapaknya, sedih, percuma juga. Namun, Rosita merasa bahwa hal ini harus segera diluruskan kembali; sedikitnya mas Sapto harus tahu bahwa uang kirimannya tidak sampai ke tangannya. Rosita tidak mau mendapat sebutan pecundang dari mas Sapto. Ia pun keluar dari kamar, dan langsung menuju ke ruang tamu.

Mas Sapto kaget melihat Rosita keluar dari kamar. Dia heran, mertuanya setega itu telah berbohong pada dirinya; yang sudah jauh-jauh datang untuk menjenguk anak dan isterinya.

“Roos..” ucap mas Sapto datar.

Jerry tampak salah tingkah, meski dia berusaha menutupi kesalahannya.

”Oooh, jadi selama ini bapak yang bohong pada Ros..? Bapak sering bilang, bohong itu berdosa, trus perbuatan bapak sendiri apa itu..?”

”Diam kamu Ros !!” Jerry spontan membentak Rosita, lalu bicara kearah mas Sapto.

”Mas Sapto tau sendiri kan, kalau uang itu saya serahkan ke dia, nanti habisnya gak karuan.. beli inilah itulah.. Toh kebutuhan dia makan dan lainnya sudah saya penuhi..” Jerry membela diri.

”Tapi surat-surat dari mas Sapto, dan uang itu hak Rosita pak..” Rosita merasa kecewa pada bapaknya, ia tidak dapat menahan tangisnya, akhirnya lari dan masuk lagi ke kamarnya.

Sementara itu, mas Sapto juga jadi bingung, dihadapkan pada masalah kepercayaan antara menantu dan mertua. Apalagi karena tindakan Jerry, yang membuat hubungan cintanya dengan Rosita jadi ambyar.

Mas Sapto bukan type laki-laki yang harus mengemis cinta. Dia pun lalu memutuskan,

”Ya sudah pak.. saya sudah rela melepas Rosita. 

" ucapnya lemah.

Pak Jerry terdiam.

"Ini tadi saya beli hadiah untuk anak saya. Mungkin nilainya tidak seberapa, tapi hanya itu yang bisa saya berikan. Suatu saat nanti, tidak ada yang namanya bekas anak pak, dia pasti akan mencari bapaknya,”

Mas Sapto memberikan bungkusan hadiah mainan untuk bayinya, lalu pamit.

***

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status