Di dalam kamar Rosita.
Maya tampak tertidur lelap diatas kasur. Ranjang kecil didalam ruangan berukuran 2 x 3 meter, jadi terlihat lega; karena Rosita menata lemari dan meja riasnya ke sudut ruangan.
Rosita membuka satu persatu tas belanjaan yang tadi dibelikan oleh pak Deden. Ia dapat merasakan kebaikan yang tulus dari hati pak Deden, meskipun ia belum tahu, siapa sebenarnya lelaki itu. Toh nanti waktu juga yang dapat membuktikannya, pikir hatinya.
”Ini nanti buat beli susu Maya ya..” Pak Deden memberikan uang pada Rosita, sewaktu baru saja naik ke dalam mobilnya tadi sebelum sampai di rumah..
”Gak usah pak Den, saya bisa kasih ASI saja,”
Rosita menolak, karena pak Deden sudah mengeluarkan banyak uang untuk membeli pakaian-pakaian.
”Katanya kamu mau kerja, mana mungkin dikasih ASI, emangnya mau pulang pergi dari kantor kerumah dulu, begitu?”
”Ya enggak begitu pak Den.. Susunya bisa diperas trus taruh di kulkas,”
”Dirumah sudah ada kulkasnya..?”
“Ada sih.. tapi ya gitu.. kulkas sudah lama, jadi kurang dingin juga,”
”Ya sudah, pegang dulu uangnya, nanti buat beli kulkas yang baru. Ga baik nolak rezeki ya Ros..”
Pak Deden menambahkan sejumlah uang yang tadi mau diberikannya kepada Rosita. Dan sekarang Rosita sedang menghitungnya disisi ranjang didalam kamarnya.
”Alhamdulillah.. terimakasih ya Allah, ini lebih dari cukup.“ ucap hati Rosita sambil memeluk uang tersebut.
**
Sementara itu di depan pintu kamar, mas Sapto masih berdiri mematung. Mas Ipung sebagai kakak, merasa tidak tega melihat sikap adiknya,
”Sudah To.. Ros tidak mau keluar dari kamar, kita pulang saja,”
”Tapi mas.. itu anakku, bagaimana,?” kata mas Sapto lemas lalu duduk kembali di kursinya.
Selang beberapa saat, bu Minah yang disusul oleh bu Tari, tampak menuju ke rumah,
”Saya balik ya bu Minah,” kata bu Tari langsung pamit.
”Iya terimakasih bu Tari”
Bu Minah lalu masuk ke dalam rumah.
”Ya ampuun.. maaf mas Sapto. Sebentar ibu buatkan minum dulu ya..”
”Gak usah bu.. kami mau pamit saja,”
”Lho.. sudah ketemu sama Rosita? Sudah lihat bayinya?”
”Itu.. anu bu.. Ros gak mau nemuin saya,” kata mas Sapto terbata-bata.
Bu Minah langsung jalan menuju kearah pintu kamar Rosita, lalu mengetuk pintunya.
Took.. toook..
”Rooos… Rosita, buka pintunya Ros.”
Rosita mendengar suara ibunya, tapi ia tidak mau menjawab.
Bu Minah pun lalu mengetuk kembali pintu kamar itu. Took toook.. took..
”Ros, ini ada mas Sapto mau nengok bayinya,”
Rosita tetap diam. Ia tidak mau cari masalah lagi dengan bapaknya nanti, kalau meladeni mas Sapto kembali. Lagipula rasa cintanya sudah lama hilang, karena menunggu terlalu lama tanpa ada berita serta tanggung jawab dari suaminya itu.
Bayangkan, membesarkan kehamilannya dengan berbagai keinginan yang harus ditekan, ditambah sikap dan kata-kata bapaknya yang kasar; itu rasanya sangat menyesakkan dadanya. Sedangkan saat ini ia merasa baru saja terbebas dari rasa duka yang dalam, meski waktu yang dilaluinya hanya hitungan bulan, tapi terasa sangat lama sekali.
**
Setelah mas Sapto pergi dari rumah itu, barulah Rosita keluar dari kamar menemui ibunya di ruang makan.
”Bu, tadi Ros ketemu pak Deden. Dia orangnya baik bu.. ini Ros dikasih uang banyak, ini untuk tambahan biaya sekolah adik-adik ya bu, sebagiannya buat beli kulkas baru,”
”Alhamdulillah.. tapi Ros uang itu jangan sampai ketahuan sama bapakmu, nanti dimintanya. Gak enak sama yang suruh beli kulkas baru. Itu amanah yang harus ditepati,”
”Iya bu, Ros pasti beli kulkasnya. Tapi Ros mau ajak adik-adik jalan-jalan ke pasar nanti, makan bakso. Jajan lah sekali-kali bu…hehehe.. Ibu mau ikut?”
”Enggak Ros, nanti sore ibu masih harus setrika pakaian bu Sugih dan anaknya. Gak apa-apa, kamu aja jalan-jalan sana..”
”Oya Ros, soal kerjaan apa kamu sudah dapat?"
”Sudah bu, di kantornya pak Deden,”
”Alhamdulillah”
**
Sore hari itu, setelah adik-adik Rosita mandi, mereka lalu diajak ke pertokoan yang lokasinya berada diatas pasar. Adik-adiknya belum pernah melihat permainan pada alat timezone, Dino (11 tahun), Doni dan Dini anak kembar (9 tahun), sangat gembira dan tambah semangat ketika Rosita membelikan mereka koin untuk mengaktifkan alat permainan tersebut. Hari itu Rosita benar-benar ingin membahagiakan adik-adiknya yang masih duduk di sekolah dasar.
Habis koinnya, Rosita beli lagi. Mereka pun berpindah-pindah mencoba permainan yang lainnya. Lama kelamaan, mereka pun lelah dan mulai bosan karena perutnya keroncongan.
”Kak, udahan ya.. aku lapar,” kata Dino.
”Iya kak.. laper nih..” ucap si Kembar bersamaan.
”Ya udah. Kita makan bakso dulu ya. Mau?”
”Maaauuu” kata adik-adiknya berbarengan.
Mereka pun lalu menikmati bakso di satu kios yang rasa basonya sudah terkenal paling enak, diantara kios bakso di tempat lain.
Rosita merasa senang, dapat membuat adik-adiknya tertawa dan saling bercanda. Ia juga tak lupa membawakan 2 bungkus bakso untuk bapak dan ibunya.
"Mas baksonya dibungkus dua ya.." katanya pada tukang Bakso.
"Iya mbak,""Jadi berapa semuanya?""Tiga puluh ribu saja mbak,"Rosita lalu menyerahkan sejumlah uang pada tukang Bakso
"Nih mas.."
"Terimakasih mbak,"Rosita bersama ketiga adiknya lalu keluar dari kios bakso.
**
Setiba di rumah, Jerry sudah pulang. Kebetulan dia dapat shift pagi, jadi sudah sampai di rumah jam lima sore.
”Darimana saja kalian?” tanya Jerry dengan suara membentak, kepada Rosita dan adik-adiknya.
”sebentar lagi maghrib, ga baik ada di luar rumah? Kamu bawa bayi juga”
Rosita langsung masuk ke kamarnya, ia tak peduli pada ucapan Jerry..
”Iya pak, kami semua sudah tau. Ini bakso dibelikan kakak tadi.” kata Dino sambil memberikan bungkusan bakso kepada bapaknya.
”Kakakmu punya uang dari mana?”
”Gak tau pak.. bapak tanya saja ke kakak,” sahut Dino.
”Ros, sini kamu..”
Dino, Doni dan Dini langsung masuk ke kamar. Mereka tidak mau mendengar kalau kakaknya dimarahi bapaknya lagi.
Tak lama setelah menaruh bayinya diranjang, Rosita keluar dari kamar,
”Ya pak,”
”Duduk kamu,”
Rosita lalu duduk berhadapan dengan Jerry..
”Dapat uang dari mana kamu?. Awas ya kalau kamu dapat uang dari kerjaan yang gak bener. Kamu tau kan, uang haram itu ga baik buat kesehatan lahir dan batin.”
”Tenang aja pak, itu uang halal kok. Oya, tadi mas Sapto datang.”
Degh !
Ekspresi wajah Jerry langsung berubah.”Mau apa dia?. Kamu masih mau nerima dia sebagai suami?”
”Belum tau juga pak.. Tapi rasanya, gak mungkin menerimanya kembali,”
Baru saja mereka membicarakan tentang mas Sapto, tiba-tiba terdengar suara mas Sapto dan mas Ipung yang mengetuk pintu depan.
”Assalammu’alaikum, permisi..”
Jerry spontan menyuruh Rosita supaya cepat-cepat masuk ke kamarnya.
”Sana kamu masuk ke kamar !”
Rosita langsung masuk ke kamar.
Jerry lalu jalan menuju ke ruang tamu dan membukakan pintu.
”Bapak..” sapa mas Sapto memberi salam dan mencium tangan Jerry.
”Ayoo silakan masuk.. kapan datang mas Sapto?”
”Kemarin pak, saya ke rumah orangtua dulu.”
”Trus sekarang nginap dimana?”
”Di rumah sodara pak di Manggarai,”
”Oooh.. baguslah kalau begitu.”
Mas Sapto matanya menatap ke arah pintu kamar Rosita,
”Rosita ada pak..?”
”Maaf mas.. dia pergi tadi dijemput temannya,”
”Tadi siang saya kesini, tapi Ros gak ijinkan saya pegang bayinya.. Trus dia minta cerai pak, katanya saya gak kasih kabar, dan juga gak kirim uang buat dia.. padahal saya kirim uang yang saya transfer ke rekening bapak kan?”
Rosita di dalam kamar terkejut mendengar ucapan mas Sapto tentang pengakuannya.
”Ooh, jadi mas Sapto kirim uang, dan juga kirim kabar via bapak? Berarti uang kiriman dan suratnya diambil oleh bapak. Tega bener bapak sampai bertindak seperti itu?”. Rosita bicara sendiri.
Ia merasa kecewa pada bapaknya, sedih, percuma juga. Namun, Rosita merasa bahwa hal ini harus segera diluruskan kembali; sedikitnya mas Sapto harus tahu bahwa uang kirimannya tidak sampai ke tangannya. Rosita tidak mau mendapat sebutan pecundang dari mas Sapto. Ia pun keluar dari kamar, dan langsung menuju ke ruang tamu.
Mas Sapto kaget melihat Rosita keluar dari kamar. Dia heran, mertuanya setega itu telah berbohong pada dirinya; yang sudah jauh-jauh datang untuk menjenguk anak dan isterinya.
“Roos..” ucap mas Sapto datar.
Jerry tampak salah tingkah, meski dia berusaha menutupi kesalahannya.
”Oooh, jadi selama ini bapak yang bohong pada Ros..? Bapak sering bilang, bohong itu berdosa, trus perbuatan bapak sendiri apa itu..?”
”Diam kamu Ros !!” Jerry spontan membentak Rosita, lalu bicara kearah mas Sapto.
”Mas Sapto tau sendiri kan, kalau uang itu saya serahkan ke dia, nanti habisnya gak karuan.. beli inilah itulah.. Toh kebutuhan dia makan dan lainnya sudah saya penuhi..” Jerry membela diri.
”Tapi surat-surat dari mas Sapto, dan uang itu hak Rosita pak..” Rosita merasa kecewa pada bapaknya, ia tidak dapat menahan tangisnya, akhirnya lari dan masuk lagi ke kamarnya.
Sementara itu, mas Sapto juga jadi bingung, dihadapkan pada masalah kepercayaan antara menantu dan mertua. Apalagi karena tindakan Jerry, yang membuat hubungan cintanya dengan Rosita jadi ambyar.
Mas Sapto bukan type laki-laki yang harus mengemis cinta. Dia pun lalu memutuskan,
”Ya sudah pak.. saya sudah rela melepas Rosita.
" ucapnya lemah.Pak Jerry terdiam.
"Ini tadi saya beli hadiah untuk anak saya. Mungkin nilainya tidak seberapa, tapi hanya itu yang bisa saya berikan. Suatu saat nanti, tidak ada yang namanya bekas anak pak, dia pasti akan mencari bapaknya,”
Mas Sapto memberikan bungkusan hadiah mainan untuk bayinya, lalu pamit.
***
Pak Jerry mengantar mas Sapto sampai pagar rumah,”Maafkan Rosita ya mas..””Iya pak,” sahut mas Sapto datar.Mas Sapto dan mas Ipung lalu pergi dari situ.Jerry masuk ke dalam rumah, langsung menggedor pintu kamar Rosita,”Rositaa.. Rooos ! kamu gak sopan, marah-marah sama bapak didepan tamu,”Rosita acuh, dia tidak peduli lagi pada bapaknya. Saat ini, ia bahkan menyesal punya bapak seperti Jerry. Bisa menasehati anaknya, tapi kelakuannya sendiri seperti itu.Sebenarnya Jerry memanggil Rosita, ingin tahu soal uangnya dapat darimana?. Jerry tadi juga sempat melihat, tas-tas belanjaan yang berserakan di lantai kamar Rosita, Jerry jadi curiga, tentu saja, Rosita juga sudah bisa membaca reaksi bapaknya tadi.”Roos ! buka pintunya, atau bapak dobrak pintunya nih,”"Terserah bapak, mau didobrak silakan saja.. ini kan rumah bapak juga,"Sudah hampir satu tahun, rumah ini suasananya berubah jadi seperti dineraka, setiap hari ada saja yang salah dimata bapak; lalu dia marah-marah kepada siapa
Rosita mulai mengerti perasaan pak Deden terhadapnya, dia hanya menjaga mood Rosita saja; akan tetapi tiba-tiba handphone pak Deden berbunyi. Rosita mengalihkan pandangan ke arah luar jendela mobil, namun ia membuka telinganya lebar-lebar menguping pembicaraan pak Deden disampingnya. Pak Deden melambatkan gas mobilnya, tapi tetap fokus pada jalan di depan, sambil menyelipkan handphone ditelinga kanan yang ditunjang oleh bahunya. ”Pah..” ”Iya Rick, ada apa?” ”Mbak Diyah melahirkan, jadi ga masuk hari ini, papah bisa cariin gantinya ga?” ”Bisa, ya udah.. sekarang papah jemput orangnya, langsung kesitu ya,” Pak Deden langsung mematikan handphone, dan menoleh ke arah Rosita, ”Ros, kita gak jadi ke hotel, tapi ke kafetaria, kebetulan kasirnya ga masuk,” Rosita menoleh ke pak Deden, ”Maksudnya gimana pak Den?” ”Sementara kamu kerja disitu, mau kan? Cuma duduk saja. Kita titip Maya ke tempat penitipan bayi.. ga apa-apa.. aman kok,” ”ya boleh pak Den, yang penting kerja, lagipula
Setiba di depan rumah Jerry, Rosita turun dari mobil pak Deden. Tak lama kemudian mobil pak Deden pergi, dan baru saja Rosita hendak membuka pintu rumah.“Hei Ros.. saya mau bicara sama kamu,” kata bu Amilia yang tiba-tiba berdiri di jalan depan rumah. Rupanya tanpa setahu pak Deden, bu Amilia mengikuti mobil suaminya, dari kejauhan.Rosita kaget,“Ibu?”“Jangan panggil ibu, saya bukan ibumu..”Rosita tercekat,“Ada apa ya tante…? Masuk dulu, kita bicara didalam saja”"Gak perlu. Saya cuma mau tanya, sejak kapan kamu menggoda suami saya?"“Menggoda?. Saya tidak merasa menggoda suami tante.. Dia mungkin yang tergoda pada saya..?”Bu Amilia terpukul oleh kalimat yang keluar dari mulut Rosita.“Tidak mungkin kamu tidak menggodanya, itu bayi siapa?”“Ini bayi saya bu…”“Iya saya tahu, pasti hasil selingkuh dengan suami saya kan..?”“Terserah tante mau ngomong apa, percuma tante marah-marah disini, kenapa tante gak marahi suami tante saja..?”Rosita melihat Bu Tari tetangga terdekat disitu
Jam di dinding menunjukkan pukul 21.00 sebelum Pak Deden tertidur di sofa ruang keluarga, dan terbangun pukul 24.20, karena mendengar suara mesin mobil isterinya masuk ke garasi. Dia sengaja mematikan lampu ruang tengah. Ketika isterinya masuk, Pak Deden langsung menegurnya, “Mamah darimana sih? hari gini baru pulang?” Bu Amilia terkejut, ia tak menyangka suaminya menunggu di ruang tengah, tapi ia berusaha tenang, dan menjawabnya dengan jujur. “Tadi mampir ke rumah Satria,”“Oh, ya ga apa-apa.. tapi kenapa ga kabarin papah dulu. Mamah curhat lagi yah ke Satria.. ?”“Iya pah.. soalnya papah udah ga punya waktu buat dengerin curhatan mamah, pagi-pagi sudah pergi, pulang malam langsung tidur. Udah gitu gak tidur di dalam, malah tidur di paviliun. Kapan waktu buat mamah ngobrol sama papah?”“Ya kalau papah masuk ke kamar, nanti mamah malah keganggu tidurnya. Jadi ceritanya mamah masih mau ngobrol sama papah,”“Iya dong, mamah kan masih isteri papah” Pak Deden diam,“Trus sekarang mamah
Matahari mulai naik memancarkan panas teriknya ke halaman sempit rumah Jerry. Dari kejauhan, suara adzan mulai berkumandang. Pintu ruang tamu terbuka lebar, disitu Rosita terlihat duduk memeluk Maya yang tidur pulas dalam dekapannya. Rosita gelisah, sesekali menoleh kearah jalan di depan rumah itu. Ia tak yakin kalau pak Deden tidak datang, karena tadi malam dia janji bakal menjemputnya.Bu Lastri duduk di depannya. Ia hanya menatap kearah Rosita, entah apa yang ada dalam pikirannya, Rosita tak ambil pusing."Bu Lastri mau sholat..? Di kamar saya ada keranjang merah, ada sajadah dan mukena disitu, cari aja""Iya non.."Bu Lastri lalu jalan menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Sementara itu, Rosita makin gelisah menunggu pak Deden datang menjemput. Didalam benaknya, "apakah tadi malam pak Deden bertengkar dengan isterinya, lalu bu Amilia melarangnya untuk menemui Rosita?. Kalau saja memang seperti itu yang terjadi, Rosita berniat, hanya akan menunggunya hari ini sampai sore hari nanti
Kehangatan suasana baru di rumah baru, meski hanya sebuah rumah kontrakan; membuat seluruh persoalan hidup sebelumnya, nyaris hilang dalam sekejap. "Mang Ujang, kalau mau istirahat, silakan.. nanti selesai shalat ashar kita jalan,""Iya pak..""Bu Lastri juga boleh istirahat dulu,"Mang Ujang jalan menuju ke tangga, dan bu Lastri menggendong Maya masuk ke kamarnya.Tiba-tiba handphone pak Deden berdering.."Naah, naah.." ucap Ricky senyum-senyum."Ssssttt.." seru pak Deden sambil menaruh telunjuknya didepan bibir.Rosita tersenyum kecil, karena kurang paham pada situasi saat itu."Assalammu'alaikum kang Satria,""wa alaikum salam kang Den, Bisa ketemu saya hari ini ?""Besok ajalah kang.. saya masih sibuk disini,"Tiba-tiba Maya menangis, Rosita masuk ke kamar lalu membawanya keluar rumah, tapi suara tangisannya terdengar oleh Satria Irawan."Itu bayi kang Den..?""Iya kang.. siteteh udah curhat semua kemaren kan..?""iya sudah kang Den, besok jam sepuluh pagi saya tunggu di kantor ya
Pak Deden membawa Rosita ke ruang kerja admin di lantai bawah. Ruang kerja yang terbuka, dengan sekat-sekat pembatas bagi setiap pegawai yang terlihat serius sedang mengerjakan tugasnya masing-masing. Pak Deden mengenalkan Rosita pada mbak Nenny, lalu meninggalkan mereka berdua saling berbicara.Beberapa saat kemudian, bu Amilia tampak masuk ke lobby kantor itu. Ketika melewati ruang admin, bu Amilia melihat Rosita disitu sedang berdiri mengobrol dengan mbak Nenny. Hatinya langsung panas, mendidih, dorongan emosinya yang menggelegak, membuat bu Amilia menghampiri Rosita,"Heh! ngapain kamu disini?. Perempuan gak tau malu.. Keluar kamu !!" bu Amilia dengan suara lantang.Para pegawai spontan menoleh semuanya berbarengan kearah Rosita dan bu Amilia.Baju Rosita diseret kasar oleh Bu Amilia kearah ruang lobby, diikuti tatapan mata seluruh pegawai disitu. Melihat hal itu, mbak Nenny panik, langsung telpon ke ruang Satria Irawan."Pak, itu.. ituuu.. ibu Amilia marah-marah ke perempuan yang
Kaki Rosita melangkah memasuki pagar, lalu menutupnya kembali. Di teras rumah itu, ia melihat pak Deden sudah menunggu. Rosita bingung, harus bersikap bagaimana kepada lelaki itu?. Pertemuan dengannya seperi sebuah pelarian yang tidak diduga sebelumnya, akan berbuah pahit seperti ini.Bagaimanapun pak Deden adalah orang baik dimata Rosita. Ia lalu duduk disampingnya."Bu Lastri sudah pulang?""Sudah, tadi diantar mang Ujang, Maya juga sudah tidur."Ekspresi wajah pak Deden pun tampak bingung, dia tak tahu bagaimana perasaan Rosita terhadapnya saat ini. Namun dia berusaha menutupi dengan senyum pada Rosita. Meski pak Deden tahu suara mesin mobil yang berhenti di pinggir jalan yang mengantar Rosita tadi, adalah mobil adik iparnya, Satria Irawan. Dan bukan hal yang tidak mungkin, pembicaraan antara Rosita dengan adik iparnya itu tidak membicarakan masalah tentang dirinya."Ros diantar pak Satria ya..""Iya pak Den...""Kemana aja tadi, sampai berapa jam saya tunggu kamu disini,""Apa pert
Bu Amalia mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah Satria Irawan. Membelokan melaju di jalan raya. Cahaya matahari pagi yang mulai mengeringkan embun pada rerumput dan dedaunan; membasuh mata Bu Amalia dalam perasaan yang kering, kosong, dan hampa. Entah apalagi yang harus diperjuangkan pada sisa usia yang semakin menua. Namun ia tak kehabisan akal liciknya, ia teringat sesuatu. Lina. Ya, Lina, mantan istri Satria Irawan yang mengurus anak perempuannya bernama Sherly. Sekarang usianya sekitar lima tahun. Sebenarnya Sherly bukan anak biologis Satria Irawan, tapi hasil perselingkuhan Lina dengan Robert. Lelaki bermental gigolo yang hanya bermodalkan rayuan pulau kelapa, untuk manfaatkan fasilitas, uang dan kenikmatan lain dari Lina. Setelah ketahuan, Robert menghilang begitu saja, tinggalkan Lina. Barangkali dalam benak Robert, dia merasa aman... karena Lina punya suami. Jadi kalaupun Lina hamil anaknya, tentu ada seorang bapak yang bakal mengurusnya. Seperti itulah terak
Ricky memejamkan matanya kembali, dia pikir itu suara bayi tetangga sebelah yang memang kadang mengganggu tidurnya. Tak lama kemudian, dia merasa hendak ke toilet untuk buang air kecil. Ricky keluar dari kamar paviliun, bersamaan dengan bu Lastri yang keluar dari kamar karena mendengar tangisan Maya yang tak berhenti. Bu Lastri terkesima melihat ketampanan wajah Ricky yang terlihat dari samping, dan postur tubuhnya yang membelakangi, tapi Ricky tak menggubrisnya. Bu Lastri tidak tahu bahwa Ricky tak bisa melihatnya karena matanya buta. Beruntungnya Ricky sudah masuk ke dalam toilet, jadi mereka tidak sempat berpapasan. Bu Lastri buru-buru menggendong Maya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Untungnya, setelah Maya digendong langsung diam tangisnya. Di dalam kamar pak Deden, pelayanan pagi pun dilanjutkan kembali. Keluar dari kamar mandi, Ricky mendengar suara rintihan bu Lastri "uh ah.. uh ah.." dari arah dalam kamar pak Deden. Ricky menuju ke pintu kamar pak Deden, Berbisik
Satria Irawan turun dari mobil, diikuti oleh Ricky. Beberapa langkah kemudian, Ricky mengeluarkan kunci rumah dari dalam saku depan tas ranselnya, setelah membuka pintu depan, mereka lalu masuk ke dalam rumah. Di dapur terlihat pak Deden sedang memasak air, dia tak suka menggunakan air panas dari dispencer untuk menyeduh kopi, katanya lebih enak dengan air yang dimasak hingga mendidih. Pak Deden menoleh ke arah Satria Irawan yang baru saja masuk dari pintu depan. Sedangkan Ricky langsung menuju ke kamarnya. "Assalamualaikum kang Deden," "Wa alaikum salam... kok gak jadi ke Bandungnya ?" "Iya kang, tadi nolongin orang yang sedang kesusahan..." "Alhamdulillah.. Bagus itu kang Sat.. ibadah ya." Satria Irawan mengangguk pelan, "Ya nyicil-nyicil amal baik aja kang Den," sambil duduk bersila di karpet lantai disitu, "Ada berita apa aja dari kantor kang Den..? beberapa hari ini saya gak sempet mampir ke kantor" "Ada yang urgent sih kang.. Soal Erna. Apa kang Sat sudah tahu?" "E
Setiba di halaman parkir persis di samping mobil Satria Irawan, Rosita melihat Ricky tidur dengan lelapnya. Ia tak membangunkan Ricky, tapi langsung naik ke kursi di belakang. Namun tak disangka, Ricky malah jadi terbangun. Mata Ricky memang buta, tapi daya rasa inderanya cukup tajam. Dia mencium aroma tubuh Rosita yang amat dikenalinya, duduk di kursi belakang. "Mbak Ros..?" "Iya Rick.. kamu kok bisa tahu?" "Bisa mbak.. Ohya, siapa yang sakit mbak?" "Ibu saya Rick..." "Gak ditungguin?" "Sudah, tadi kata dokternya boleh ditinggal saja," "Oooh.. " "Kita antar mbak Rosita dulu ke rumahnya ya Rick.."kata Satria Irawan memotong. "Iya Pih.." Mobil Satria Irawan melaju di jalan raya menuju ke arah rumah Jerry. ** Setiba di depan rumah, Rosita langsung turun dan melambaikan tangannya kepada Satria Irawan. Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah. Akan tetapi Rosita kaget, karena tiba-tiba melihat bu Lastri keluar dari kamar ibunya. Rambutnya masih terurai, seperti b
Rosita menatap kepergian Satria Irawan sampai keluar dari pintu ruang ICU. Kemudian Rosita memandangi wajah ibunya, matanya terpejam tapi bibirnya tersenyum. "Ibuu.. maafkan Ros ya.. Ros belum sempat membuat hati ibu senang, belum sempat membuat ibu hidup tenang tanpa harus bekerja mencari tambahan untuk biaya adik-adik sekolah." Rosita menciumi telapak tangan ibunya dengan dipenuhi rasa sayang yang teramat dalam. "Ros tahu, ibu sudah lelah... melewati perjalanan yang cukup panjang. Sekarang ibu sudah tenang... Maafkan Ros ya bu.. Ros janji akan menjaga adik-adik sebaik-baiknya bersama bapak nanti." Rosita bingung, bagaimana kalau ia menyampaikan hal ini kepada Jerry, ia tak mau dengar Jerry uring-uringan di rumah sakit. Itu sebabnya sengaja ia tidak memberitahukan Jerry, dia tak mau ada keributan yang tidak penting kalau Jerry tahu soal kematian ibunya. Pasti dia menyalahkan Rosita yang telah membawanya ke rumah sakit dan mengijinkan operasi kedua tersebut. Secara Jerry kadang-k
Di depan Ruang Operasi~ Rosita akhirnya tertidur di samping Satria Irawan. Ia tak mampu menahan rasa kantuknya. Namun ketika ia terlelap dalam tidurnya, kepala Rosita jatuh ke bahu Satria Irawan; hal itu menyebabkan lelaki tampan ini terbangun. Akan tetapi, saat dia tahu bahwa yang menyandar dibahunya adalah wanita pujaan hatinya, maka dia membiarkan bahunya jadi sandaran kepala Rosita. Satria Irawan kembali memejamkan matanya. Entah sudah berapa lama mereka tertidur disitu, tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh suara brankar yang keluar dari Ruang Operasi. Mereka terbangun secara bersamaan, Rosita langsung menghampiri Dr Budiyanto. Satria Irawan mengikuti langkah Rosita. "Bagaimana kondisi ibu saya dok" Tanya Rosita sambil jalan disamping Dr Budiyanto. Langkah Dr Budiyanto terhenti, dokter itu pun menjelaskan kepada Rosita. "Alhamdulillah.. operasi sudah berlancar lancar." Dr Budiyanto terdiam sejenak. Rosita masih menatap mata Dr Budiyanto. "Akan tetapi, jantung ibu Minah mas
Surat Pernyataan Pertanggungjawaban yang sudah ditandatangani Rosita, kemudian diserahkan kembali oleh Satria Irawan kepada Perawat Jaga. Perempuan itu lalu mengangkat telpon intern untuk menyampaikannya ke Dr Budiyanto. Satria Irawan masih berdiri di depan meja tinggi tempat Perawat Jaga tak jauh dari ruang ICU. "Silakan duduk saja dulu, sebentar lagi pasien dibawa ke ruang operasi, atau bapak mau tunggu di sana?" "Baik Suster.. saya tunggu di sana saja," Satria Irawan lalu jalan meninggalkan tempat Perawat Jaga. ** Malam semakin hening. Di ruang tunggu depan ruang operasi, yang terdengar hanya suara halus dari detak jam dinding di atas pintu masuk ke Ruang Operasi. Jam dinding saat ini menunjukkan pukul 22.30. Operasi jantung bu Minah, sudah dilakukan kurang lebih setengah jam yang lalu. Satria Irawan duduk di kursi di koridor depan Ruang Operasi. Dia menyenderkan kepalanya ke dinding. Rasa kantuk tak dapat ditahannya, sesekali kepalanya terjatuh ke bahunya.
~Di depan Ruang ICU~ Dari balik kaca pembatas di luar Ruang ICU, Satria Irawan hanya dapat melihat punggung berseragam putih yang membalut tubuh dua orang perawat dan tiga orang dokter, yang menghalangi pandangan Satria Irawan ke arah bu Minah. Satria Irawan gelisah. Dia hanya dapat melihat alat-alat medis yang tampak tersambung ke tubuh perempuan setengah baya itu.. Alat pengukur denyut jantung, selang yang mengarah ke tabung oksigen, dan mesin yang bertuliskan angka terletak diatas, jadi dari segala sudut angka tersebut dapat terlihat. Meski dirinya sama sekali tidak paham fungsi alat-alat tersebut, akan tetapi dia sangat penasaran. Tubuhnya bergerak perlahan ke kanan, dan lalu ke kiri mencari celah yang terbuka untuk mengintip. Namun tak berhasil. Akhirnya dia pasrah. Mengalihkan pandangan matanya ke arah lain di ruang itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, bagaimana kalau tiba-tiba bapaknya Rosita datang, dan marah karena dia telah lancang membawa kembali bu Minah ke ruang ICU
Rosita keluar dari dalam kamar, langkah kakinya menuju ke kamar mandi, tiba-tiba terdengar suara rintihan dari arah kamar ibunya, ia pun masuk kesitu. Dilihatnya nafas bu Minah tersengal-sengal, dan wajahnya memucat. Bergegas ia mendekat, "Ibuu.. ibu kenapa?" Bu Minah hanya meremas-remas dadanya dengan tangan kanan tanpa tenaga. "Tadi sudah minum obat apa belum bu?" tanya Rosita lagi. Bu Minah mengangguk pelan, tangannya masih meremas baju didadanya, Rosita menatap lekat lalu spontan mengambil tangan ibunya, menaruh dalam genggaman tangan kirinya, sambil tangan kanannya mengelus-elus berusaha menenangkan hati ibunya, namun nafas bu Minah semakin terengah-engah. "Ibu tenang ya... Ros telpon pak Satria dulu," Bu Minah mengangguk, pelan sekali. Rosita keluar dari kamar bu Minah menuju ke kamarnya, mengambil handphone lalu menelpon Satria Irawan. "Pak Satria bisa kesini sekarang," "Bisa Ros.. tunggu ya," "Iya," Rosita menutup handphonenya sambil jalan menuju ke kamar ibunya