Rosita tampak turun dari angkot, lalu jalan memasuki halaman pertokoan Mall. Di kejauhan, tampak seorang laki-laki yang baru saja turun dari mobil yang diparkirnya. Pandangannya tertuju pada Rosita yang gendong bayi. Wanita belia bertubuh putih bersih dengan wajah cantik dan menarik. Laki-laki itu memperhatikan langkah kaki Rosita. Kepercayaan diri yang terpancar dari sorot matanya, membuat laki-laki itu langsung jatuh hati. Seperti cinta pada pandangan pertama.
Di dalam lobby Mall, suasana masih sepi dari pengunjung, Beberapa pelayan lapak sedang merapikan dagangannya. Rosita melangkah mencari resto yang sudah siap menerima tamu.
Laki-laki tadi mengikuti langkah Rosita, sampai duduk di resto, dia pun duduk tak jauh dari situ. Rosita menaruh bayinya di kursi, lalu jalan menuju ke kasir untuk memesan makanan.
Laki-laki yang memperhatikan itu sangat terkejut, melihat Rosita meninggalkan bayinya di kursi sendirian.
”Ini perempuan macam apa sih? Masa bayinya ditinggal begitu saja..?”
Pak Deden, nama laki-laki itu, langsung menghampiri Maya, dan menggendongnya, lalu dibawa ke kursi tempat dia duduk tadi.
Rosita balik dari kasir kembali menuju ke kursinya. Ia kaget melihat bayinya tidak ada disitu. Rosita lalu memutar pandangannya ke sekeliling, dilihatnya Maya dalam gendongan pak Deden, lelaki berusia 45 tahun yang bertubuh putih, tegap dan tampan.
Tanpa pikir panjang lagi, Rosita langsung menghampiri tempat duduk pak Deden, berdiri di depan mejanya, sambil menegur,
”Hey om.. itu bayiku.. seenaknya saja diambil..”
”Kamu juga seenaknya saja bayi ditinggal sendirian. Untung saya yang ambil, coba kalau diculik gimana? Terus dijual pada orang yang memesan.. gimana hayoo..?!” seru pak Deden rada kesal.
Rosita berusaha merebut bayinya dari gendongan pak Deden,
”Sini, kembalikan bayiku..”
”Nanti saya kembalikan, ga usah takut.. kamu makan saja dulu,”
Rosita balik ke kursinya mengambil tas perlengkapan bayi, lalu kembali duduk disamping pak Deden. Ia tidak mau bayinya dibawa oleh pak Deden nanti, kalau saja ia lengah.
Pelayan yang membawa makanan pesanan Rosita datang menuju ke meja Rosita yang tadi,
”Mas, pindah kesini duduknya,” kata Rosita sambil melambaikan tangannya.
Pelayan pun membawakan makanan pesanan tersebut ketempat Rosita dan pak Deden.
”Bapak ga pesan makanan?” tanya Pelayan.
”Boleh mas, yang biasa saja ya..”
”Baik pak,” sahut Pelayan mengangguk.
Setelah pelayan pergi, Rosita bertanya,
”Om sering kesini?”
”Iyaa hampir setiap sarapan, saya makan disini,”
”Ooh. Saya duluan ya..”
”Silakan..”
Dari pembicaraan tersebut, Rosita jadi tahu bahwa laki-laki yang duduk di sebelahnya sudah sering datang kesini, atau mungkin juga berlangganan sarapan pagi disini.
Sudut mata Rosita mengerling, menatap pak Deden yang menciumi pipi Maya. Ia begitu suka pada bayi Maya, suka akan wangi khasnya. Parfum khusus untuk bayi yang sengaja dibeli oleh Rosita, diusapkan ke tubuh Maya.
Tiba-tiba pak Deden bertanya.
”Habis makan, mau kemana? Saya antar boleh..?”
”Mau cari kerja om..” jawab Rosita jujur menatap wajah pak Deden.
Pak Deden heran, dia hampir saja dia tidak percaya,
”Kerja? Baru melahirkan sudah mau cari kerja?”
”Iya om, kebutuhan bayi dan saya sendiri..”
”Memang bapaknya kemana?”
”Bapaknya kabur om”
”Hahhaha..” pak Deden terkekeh.
”Kok malah diketawain om..?”
”Ya ga mungkinlah, perempuan secantik kamu ditinggal pergi sama laki-laki? Sebodoh itukah suamimu..?”
Pak Deden menatap tajam pada Rosita yang bingung mau jawab apa.
”Ini serius om.. buat apa saya bohong. Gak ada gunanya juga..”
”Ya sudah, kalau begitu bayi ini saya yang urus ya..”
”Maksud om?”
”Saya adopsi jadi anak saya, boleh?”
”Gak om.. “
”Ya sudah kalau begitu sama ibunya,”
Rosita kaget,
”Maksud om apa? Om mau adopsi saya juga gitu?”
”Ya ga begitu.. maksud saya, kamu kerja di kantor saya, kamu mau kerja kan..? Nanti, anak ini biar diurus baby sitter dirumah,”
Rosita masih belum paham maksud dari ucapan pak Deden,
”Berarti saya pisah dengan anak saya, begitu om?”
”Kamu boleh tinggal serumah dengan bayi kamu, nanti saya bisa tengok setiap hari bayinya kesitu..”
”Tapi saya numpang dirumah orangtua om, gak enak ada baby sitter, rumahnya kecil, tidak ada kamar kosong lagi.”
”Ya sudah.. itu soal mudah, biar nanti saya yang pikirkan, ayoo selesaikan makannya dulu, saya mau belikan baju-baju buat sicantik ini.. siapa namanya?” tanya pak Deden menunjuk pada bayi.
”Maya Sartika om,”
Setelah selesai makan, pak Deden dan Rosita keluar dari resto itu. Mencari toko baju bayi dan juga baju kerja untuk Rosita. Pak Deden membelikan baju-baju bayi untuk Maya. Dia juga yang memilihkan baju kerja buat Rosita,
"Kamu ga keberatan kalau saya belikan baju untuk kerja?"
"Gak om. Terimakasih atas kebaikan om,"Pak Deden terlihat menemukan rok dan baju yang warnanya pas untuk dipakai Rosita,
”Nah, ini kamu cocok pakai rok warna biru dongker, dipadu dengan atasnya warna broken white, atau putih salju,” pak Deden sambil tersenyum pada Rosita, dan menempelkan sebuah rok berwarna biru dongker ke depan badan Rosita.
”Tuh kan.. keren,”
”Ya terserah om aja.. Ros ngikut deh..”
”Jangan sebut om dong, kakak atau bapak gitu, kan lebih enak didengarnya Ros.”
”Iya pak,”
”Pak Den gitu tepatnya Ros. Hahaha, bapak dan aden, yeaah..”
Pak Deden merasa lucu dengan panggilan pak Den, karena ‘den’ itu sebutan panggilan bagi seorang juragan; itu sebabnya dia tertawa.
Wajah pak Deden terlihat bersemangat, bertemu dengan Rosita dan Maya pada pagi hari ini, begitu pula dengan wajah Rosita tampak merona ceria.
Rosita merasa bersyukur, hatinya jadi semakin yakin, atas firman Allah; bahwa dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Asalkan kita pasrahkan segalanya sesuai dengan KehendakNya. Pasrah saja.
Sepulang dari mall, Rosita diantar oleh pak Deden sampai ke depan rumah. Pak Deden tidak turun dari mobil karena harus segera berada di kantornya.
”Saya ga turun ya Ros…Besok saya kabari soal pekerjaan kamu dan sekaligus kita cari rumah yang dekat dengan kantor.”
”Iya pak Den.. Terimakasih..”
Sebelum turun dari mobil Rosita mencium telapak tangan pak Deden , lalu masuk ke rumah setelah melambaikan tangannya kearah pak Deden.
**
Baru selangkah masuk kedalam rumah, Rosita kaget, karena mas Sapto serta kakak iparnya mas Ipung menyambutnya di ruang tamu.
”Dari mana Ros.. ini anakku ya, sini aku gendong,” mas Sapto bersemangat.
”Gak mas.. siapa bilang ini anakmu? Kalau mas merasa punya anak, kamu tau kan.. waktu itu aku sedang hamil, kenapa gak ada berita, gak pernah kirim uang? Sekarang, aku minta cerai mas..”
Rosita jalan menuju ke kamarnya. Ia tidak peduli pada mas Sapto yang bingung sekaligus bengong, berdiri terpaku di ruang tamu.
Rosita langsung mengunci pintu kamarnya. Melempar ke lantai tas-tas belanjaan dari mall tadi. Sementara itu, Mas Sapto menyusulnya, tapi dia tak bisa masuk, lalu mengetuk-ngetuk pintu kamar itu.
Took took toook”Roos.. buka pintunya, tolong Ros, dengarkan penjelasan dari mas.” pinta mas Sapto memelas.
Rosita tidak peduli. Ia baru saja melupakan kepedihan hatinya, dan baru juga terobati oleh pertemuan singkat dengan pak Deden.
”Maafin Ros, tapi mas kirim surat buat kamu,” kata mas Sapto pelan.
Ucapan mas Sapto, hanya selintas terdengar oleh Rosita, karena ia masih memikirkan kehadiran pak Deden; seolah-olah pak Deden adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menolong hidupnya.
***
Di dalam kamar Rosita.Maya tampak tertidur lelap diatas kasur. Ranjang kecil didalam ruangan berukuran 2 x 3 meter, jadi terlihat lega; karena Rosita menata lemari dan meja riasnya ke sudut ruangan.Rosita membuka satu persatu tas belanjaan yang tadi dibelikan oleh pak Deden. Ia dapat merasakan kebaikan yang tulus dari hati pak Deden, meskipun ia belum tahu, siapa sebenarnya lelaki itu. Toh nanti waktu juga yang dapat membuktikannya, pikir hatinya.”Ini nanti buat beli susu Maya ya..” Pak Deden memberikan uang pada Rosita, sewaktu baru saja naik ke dalam mobilnya tadi sebelum sampai di rumah..”Gak usah pak Den, saya bisa kasih ASI saja,”Rosita menolak, karena pak Deden sudah mengeluarkan banyak uang untuk membeli pakaian-pakaian.”Katanya kamu mau kerja, mana mungkin dikasih ASI, emangnya mau pulang pergi dari kantor kerumah dulu, begitu?””Ya enggak begitu pak Den.. Susunya bisa diperas trus taruh di kulkas,””Dirumah sudah ada kulkasnya..?”“Ada sih.. tapi ya gitu.. kulkas sudah
Pak Jerry mengantar mas Sapto sampai pagar rumah,”Maafkan Rosita ya mas..””Iya pak,” sahut mas Sapto datar.Mas Sapto dan mas Ipung lalu pergi dari situ.Jerry masuk ke dalam rumah, langsung menggedor pintu kamar Rosita,”Rositaa.. Rooos ! kamu gak sopan, marah-marah sama bapak didepan tamu,”Rosita acuh, dia tidak peduli lagi pada bapaknya. Saat ini, ia bahkan menyesal punya bapak seperti Jerry. Bisa menasehati anaknya, tapi kelakuannya sendiri seperti itu.Sebenarnya Jerry memanggil Rosita, ingin tahu soal uangnya dapat darimana?. Jerry tadi juga sempat melihat, tas-tas belanjaan yang berserakan di lantai kamar Rosita, Jerry jadi curiga, tentu saja, Rosita juga sudah bisa membaca reaksi bapaknya tadi.”Roos ! buka pintunya, atau bapak dobrak pintunya nih,”"Terserah bapak, mau didobrak silakan saja.. ini kan rumah bapak juga,"Sudah hampir satu tahun, rumah ini suasananya berubah jadi seperti dineraka, setiap hari ada saja yang salah dimata bapak; lalu dia marah-marah kepada siapa
Rosita mulai mengerti perasaan pak Deden terhadapnya, dia hanya menjaga mood Rosita saja; akan tetapi tiba-tiba handphone pak Deden berbunyi. Rosita mengalihkan pandangan ke arah luar jendela mobil, namun ia membuka telinganya lebar-lebar menguping pembicaraan pak Deden disampingnya. Pak Deden melambatkan gas mobilnya, tapi tetap fokus pada jalan di depan, sambil menyelipkan handphone ditelinga kanan yang ditunjang oleh bahunya. ”Pah..” ”Iya Rick, ada apa?” ”Mbak Diyah melahirkan, jadi ga masuk hari ini, papah bisa cariin gantinya ga?” ”Bisa, ya udah.. sekarang papah jemput orangnya, langsung kesitu ya,” Pak Deden langsung mematikan handphone, dan menoleh ke arah Rosita, ”Ros, kita gak jadi ke hotel, tapi ke kafetaria, kebetulan kasirnya ga masuk,” Rosita menoleh ke pak Deden, ”Maksudnya gimana pak Den?” ”Sementara kamu kerja disitu, mau kan? Cuma duduk saja. Kita titip Maya ke tempat penitipan bayi.. ga apa-apa.. aman kok,” ”ya boleh pak Den, yang penting kerja, lagipula
Setiba di depan rumah Jerry, Rosita turun dari mobil pak Deden. Tak lama kemudian mobil pak Deden pergi, dan baru saja Rosita hendak membuka pintu rumah.“Hei Ros.. saya mau bicara sama kamu,” kata bu Amilia yang tiba-tiba berdiri di jalan depan rumah. Rupanya tanpa setahu pak Deden, bu Amilia mengikuti mobil suaminya, dari kejauhan.Rosita kaget,“Ibu?”“Jangan panggil ibu, saya bukan ibumu..”Rosita tercekat,“Ada apa ya tante…? Masuk dulu, kita bicara didalam saja”"Gak perlu. Saya cuma mau tanya, sejak kapan kamu menggoda suami saya?"“Menggoda?. Saya tidak merasa menggoda suami tante.. Dia mungkin yang tergoda pada saya..?”Bu Amilia terpukul oleh kalimat yang keluar dari mulut Rosita.“Tidak mungkin kamu tidak menggodanya, itu bayi siapa?”“Ini bayi saya bu…”“Iya saya tahu, pasti hasil selingkuh dengan suami saya kan..?”“Terserah tante mau ngomong apa, percuma tante marah-marah disini, kenapa tante gak marahi suami tante saja..?”Rosita melihat Bu Tari tetangga terdekat disitu
Jam di dinding menunjukkan pukul 21.00 sebelum Pak Deden tertidur di sofa ruang keluarga, dan terbangun pukul 24.20, karena mendengar suara mesin mobil isterinya masuk ke garasi. Dia sengaja mematikan lampu ruang tengah. Ketika isterinya masuk, Pak Deden langsung menegurnya, “Mamah darimana sih? hari gini baru pulang?” Bu Amilia terkejut, ia tak menyangka suaminya menunggu di ruang tengah, tapi ia berusaha tenang, dan menjawabnya dengan jujur. “Tadi mampir ke rumah Satria,”“Oh, ya ga apa-apa.. tapi kenapa ga kabarin papah dulu. Mamah curhat lagi yah ke Satria.. ?”“Iya pah.. soalnya papah udah ga punya waktu buat dengerin curhatan mamah, pagi-pagi sudah pergi, pulang malam langsung tidur. Udah gitu gak tidur di dalam, malah tidur di paviliun. Kapan waktu buat mamah ngobrol sama papah?”“Ya kalau papah masuk ke kamar, nanti mamah malah keganggu tidurnya. Jadi ceritanya mamah masih mau ngobrol sama papah,”“Iya dong, mamah kan masih isteri papah” Pak Deden diam,“Trus sekarang mamah
Matahari mulai naik memancarkan panas teriknya ke halaman sempit rumah Jerry. Dari kejauhan, suara adzan mulai berkumandang. Pintu ruang tamu terbuka lebar, disitu Rosita terlihat duduk memeluk Maya yang tidur pulas dalam dekapannya. Rosita gelisah, sesekali menoleh kearah jalan di depan rumah itu. Ia tak yakin kalau pak Deden tidak datang, karena tadi malam dia janji bakal menjemputnya.Bu Lastri duduk di depannya. Ia hanya menatap kearah Rosita, entah apa yang ada dalam pikirannya, Rosita tak ambil pusing."Bu Lastri mau sholat..? Di kamar saya ada keranjang merah, ada sajadah dan mukena disitu, cari aja""Iya non.."Bu Lastri lalu jalan menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Sementara itu, Rosita makin gelisah menunggu pak Deden datang menjemput. Didalam benaknya, "apakah tadi malam pak Deden bertengkar dengan isterinya, lalu bu Amilia melarangnya untuk menemui Rosita?. Kalau saja memang seperti itu yang terjadi, Rosita berniat, hanya akan menunggunya hari ini sampai sore hari nanti
Kehangatan suasana baru di rumah baru, meski hanya sebuah rumah kontrakan; membuat seluruh persoalan hidup sebelumnya, nyaris hilang dalam sekejap. "Mang Ujang, kalau mau istirahat, silakan.. nanti selesai shalat ashar kita jalan,""Iya pak..""Bu Lastri juga boleh istirahat dulu,"Mang Ujang jalan menuju ke tangga, dan bu Lastri menggendong Maya masuk ke kamarnya.Tiba-tiba handphone pak Deden berdering.."Naah, naah.." ucap Ricky senyum-senyum."Ssssttt.." seru pak Deden sambil menaruh telunjuknya didepan bibir.Rosita tersenyum kecil, karena kurang paham pada situasi saat itu."Assalammu'alaikum kang Satria,""wa alaikum salam kang Den, Bisa ketemu saya hari ini ?""Besok ajalah kang.. saya masih sibuk disini,"Tiba-tiba Maya menangis, Rosita masuk ke kamar lalu membawanya keluar rumah, tapi suara tangisannya terdengar oleh Satria Irawan."Itu bayi kang Den..?""Iya kang.. siteteh udah curhat semua kemaren kan..?""iya sudah kang Den, besok jam sepuluh pagi saya tunggu di kantor ya
Pak Deden membawa Rosita ke ruang kerja admin di lantai bawah. Ruang kerja yang terbuka, dengan sekat-sekat pembatas bagi setiap pegawai yang terlihat serius sedang mengerjakan tugasnya masing-masing. Pak Deden mengenalkan Rosita pada mbak Nenny, lalu meninggalkan mereka berdua saling berbicara.Beberapa saat kemudian, bu Amilia tampak masuk ke lobby kantor itu. Ketika melewati ruang admin, bu Amilia melihat Rosita disitu sedang berdiri mengobrol dengan mbak Nenny. Hatinya langsung panas, mendidih, dorongan emosinya yang menggelegak, membuat bu Amilia menghampiri Rosita,"Heh! ngapain kamu disini?. Perempuan gak tau malu.. Keluar kamu !!" bu Amilia dengan suara lantang.Para pegawai spontan menoleh semuanya berbarengan kearah Rosita dan bu Amilia.Baju Rosita diseret kasar oleh Bu Amilia kearah ruang lobby, diikuti tatapan mata seluruh pegawai disitu. Melihat hal itu, mbak Nenny panik, langsung telpon ke ruang Satria Irawan."Pak, itu.. ituuu.. ibu Amilia marah-marah ke perempuan yang
Bu Amalia mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah Satria Irawan. Membelokan melaju di jalan raya. Cahaya matahari pagi yang mulai mengeringkan embun pada rerumput dan dedaunan; membasuh mata Bu Amalia dalam perasaan yang kering, kosong, dan hampa. Entah apalagi yang harus diperjuangkan pada sisa usia yang semakin menua. Namun ia tak kehabisan akal liciknya, ia teringat sesuatu. Lina. Ya, Lina, mantan istri Satria Irawan yang mengurus anak perempuannya bernama Sherly. Sekarang usianya sekitar lima tahun. Sebenarnya Sherly bukan anak biologis Satria Irawan, tapi hasil perselingkuhan Lina dengan Robert. Lelaki bermental gigolo yang hanya bermodalkan rayuan pulau kelapa, untuk manfaatkan fasilitas, uang dan kenikmatan lain dari Lina. Setelah ketahuan, Robert menghilang begitu saja, tinggalkan Lina. Barangkali dalam benak Robert, dia merasa aman... karena Lina punya suami. Jadi kalaupun Lina hamil anaknya, tentu ada seorang bapak yang bakal mengurusnya. Seperti itulah terak
Ricky memejamkan matanya kembali, dia pikir itu suara bayi tetangga sebelah yang memang kadang mengganggu tidurnya. Tak lama kemudian, dia merasa hendak ke toilet untuk buang air kecil. Ricky keluar dari kamar paviliun, bersamaan dengan bu Lastri yang keluar dari kamar karena mendengar tangisan Maya yang tak berhenti. Bu Lastri terkesima melihat ketampanan wajah Ricky yang terlihat dari samping, dan postur tubuhnya yang membelakangi, tapi Ricky tak menggubrisnya. Bu Lastri tidak tahu bahwa Ricky tak bisa melihatnya karena matanya buta. Beruntungnya Ricky sudah masuk ke dalam toilet, jadi mereka tidak sempat berpapasan. Bu Lastri buru-buru menggendong Maya dan membawanya masuk ke dalam kamar. Untungnya, setelah Maya digendong langsung diam tangisnya. Di dalam kamar pak Deden, pelayanan pagi pun dilanjutkan kembali. Keluar dari kamar mandi, Ricky mendengar suara rintihan bu Lastri "uh ah.. uh ah.." dari arah dalam kamar pak Deden. Ricky menuju ke pintu kamar pak Deden, Berbisik
Satria Irawan turun dari mobil, diikuti oleh Ricky. Beberapa langkah kemudian, Ricky mengeluarkan kunci rumah dari dalam saku depan tas ranselnya, setelah membuka pintu depan, mereka lalu masuk ke dalam rumah. Di dapur terlihat pak Deden sedang memasak air, dia tak suka menggunakan air panas dari dispencer untuk menyeduh kopi, katanya lebih enak dengan air yang dimasak hingga mendidih. Pak Deden menoleh ke arah Satria Irawan yang baru saja masuk dari pintu depan. Sedangkan Ricky langsung menuju ke kamarnya. "Assalamualaikum kang Deden," "Wa alaikum salam... kok gak jadi ke Bandungnya ?" "Iya kang, tadi nolongin orang yang sedang kesusahan..." "Alhamdulillah.. Bagus itu kang Sat.. ibadah ya." Satria Irawan mengangguk pelan, "Ya nyicil-nyicil amal baik aja kang Den," sambil duduk bersila di karpet lantai disitu, "Ada berita apa aja dari kantor kang Den..? beberapa hari ini saya gak sempet mampir ke kantor" "Ada yang urgent sih kang.. Soal Erna. Apa kang Sat sudah tahu?" "E
Setiba di halaman parkir persis di samping mobil Satria Irawan, Rosita melihat Ricky tidur dengan lelapnya. Ia tak membangunkan Ricky, tapi langsung naik ke kursi di belakang. Namun tak disangka, Ricky malah jadi terbangun. Mata Ricky memang buta, tapi daya rasa inderanya cukup tajam. Dia mencium aroma tubuh Rosita yang amat dikenalinya, duduk di kursi belakang. "Mbak Ros..?" "Iya Rick.. kamu kok bisa tahu?" "Bisa mbak.. Ohya, siapa yang sakit mbak?" "Ibu saya Rick..." "Gak ditungguin?" "Sudah, tadi kata dokternya boleh ditinggal saja," "Oooh.. " "Kita antar mbak Rosita dulu ke rumahnya ya Rick.."kata Satria Irawan memotong. "Iya Pih.." Mobil Satria Irawan melaju di jalan raya menuju ke arah rumah Jerry. ** Setiba di depan rumah, Rosita langsung turun dan melambaikan tangannya kepada Satria Irawan. Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah. Akan tetapi Rosita kaget, karena tiba-tiba melihat bu Lastri keluar dari kamar ibunya. Rambutnya masih terurai, seperti b
Rosita menatap kepergian Satria Irawan sampai keluar dari pintu ruang ICU. Kemudian Rosita memandangi wajah ibunya, matanya terpejam tapi bibirnya tersenyum. "Ibuu.. maafkan Ros ya.. Ros belum sempat membuat hati ibu senang, belum sempat membuat ibu hidup tenang tanpa harus bekerja mencari tambahan untuk biaya adik-adik sekolah." Rosita menciumi telapak tangan ibunya dengan dipenuhi rasa sayang yang teramat dalam. "Ros tahu, ibu sudah lelah... melewati perjalanan yang cukup panjang. Sekarang ibu sudah tenang... Maafkan Ros ya bu.. Ros janji akan menjaga adik-adik sebaik-baiknya bersama bapak nanti." Rosita bingung, bagaimana kalau ia menyampaikan hal ini kepada Jerry, ia tak mau dengar Jerry uring-uringan di rumah sakit. Itu sebabnya sengaja ia tidak memberitahukan Jerry, dia tak mau ada keributan yang tidak penting kalau Jerry tahu soal kematian ibunya. Pasti dia menyalahkan Rosita yang telah membawanya ke rumah sakit dan mengijinkan operasi kedua tersebut. Secara Jerry kadang-k
Di depan Ruang Operasi~ Rosita akhirnya tertidur di samping Satria Irawan. Ia tak mampu menahan rasa kantuknya. Namun ketika ia terlelap dalam tidurnya, kepala Rosita jatuh ke bahu Satria Irawan; hal itu menyebabkan lelaki tampan ini terbangun. Akan tetapi, saat dia tahu bahwa yang menyandar dibahunya adalah wanita pujaan hatinya, maka dia membiarkan bahunya jadi sandaran kepala Rosita. Satria Irawan kembali memejamkan matanya. Entah sudah berapa lama mereka tertidur disitu, tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh suara brankar yang keluar dari Ruang Operasi. Mereka terbangun secara bersamaan, Rosita langsung menghampiri Dr Budiyanto. Satria Irawan mengikuti langkah Rosita. "Bagaimana kondisi ibu saya dok" Tanya Rosita sambil jalan disamping Dr Budiyanto. Langkah Dr Budiyanto terhenti, dokter itu pun menjelaskan kepada Rosita. "Alhamdulillah.. operasi sudah berlancar lancar." Dr Budiyanto terdiam sejenak. Rosita masih menatap mata Dr Budiyanto. "Akan tetapi, jantung ibu Minah mas
Surat Pernyataan Pertanggungjawaban yang sudah ditandatangani Rosita, kemudian diserahkan kembali oleh Satria Irawan kepada Perawat Jaga. Perempuan itu lalu mengangkat telpon intern untuk menyampaikannya ke Dr Budiyanto. Satria Irawan masih berdiri di depan meja tinggi tempat Perawat Jaga tak jauh dari ruang ICU. "Silakan duduk saja dulu, sebentar lagi pasien dibawa ke ruang operasi, atau bapak mau tunggu di sana?" "Baik Suster.. saya tunggu di sana saja," Satria Irawan lalu jalan meninggalkan tempat Perawat Jaga. ** Malam semakin hening. Di ruang tunggu depan ruang operasi, yang terdengar hanya suara halus dari detak jam dinding di atas pintu masuk ke Ruang Operasi. Jam dinding saat ini menunjukkan pukul 22.30. Operasi jantung bu Minah, sudah dilakukan kurang lebih setengah jam yang lalu. Satria Irawan duduk di kursi di koridor depan Ruang Operasi. Dia menyenderkan kepalanya ke dinding. Rasa kantuk tak dapat ditahannya, sesekali kepalanya terjatuh ke bahunya.
~Di depan Ruang ICU~ Dari balik kaca pembatas di luar Ruang ICU, Satria Irawan hanya dapat melihat punggung berseragam putih yang membalut tubuh dua orang perawat dan tiga orang dokter, yang menghalangi pandangan Satria Irawan ke arah bu Minah. Satria Irawan gelisah. Dia hanya dapat melihat alat-alat medis yang tampak tersambung ke tubuh perempuan setengah baya itu.. Alat pengukur denyut jantung, selang yang mengarah ke tabung oksigen, dan mesin yang bertuliskan angka terletak diatas, jadi dari segala sudut angka tersebut dapat terlihat. Meski dirinya sama sekali tidak paham fungsi alat-alat tersebut, akan tetapi dia sangat penasaran. Tubuhnya bergerak perlahan ke kanan, dan lalu ke kiri mencari celah yang terbuka untuk mengintip. Namun tak berhasil. Akhirnya dia pasrah. Mengalihkan pandangan matanya ke arah lain di ruang itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, bagaimana kalau tiba-tiba bapaknya Rosita datang, dan marah karena dia telah lancang membawa kembali bu Minah ke ruang ICU
Rosita keluar dari dalam kamar, langkah kakinya menuju ke kamar mandi, tiba-tiba terdengar suara rintihan dari arah kamar ibunya, ia pun masuk kesitu. Dilihatnya nafas bu Minah tersengal-sengal, dan wajahnya memucat. Bergegas ia mendekat, "Ibuu.. ibu kenapa?" Bu Minah hanya meremas-remas dadanya dengan tangan kanan tanpa tenaga. "Tadi sudah minum obat apa belum bu?" tanya Rosita lagi. Bu Minah mengangguk pelan, tangannya masih meremas baju didadanya, Rosita menatap lekat lalu spontan mengambil tangan ibunya, menaruh dalam genggaman tangan kirinya, sambil tangan kanannya mengelus-elus berusaha menenangkan hati ibunya, namun nafas bu Minah semakin terengah-engah. "Ibu tenang ya... Ros telpon pak Satria dulu," Bu Minah mengangguk, pelan sekali. Rosita keluar dari kamar bu Minah menuju ke kamarnya, mengambil handphone lalu menelpon Satria Irawan. "Pak Satria bisa kesini sekarang," "Bisa Ros.. tunggu ya," "Iya," Rosita menutup handphonenya sambil jalan menuju ke kamar ibunya