Hari-hari telah berlalu.. Semenjak pertemuannya dengan Tacka dan Syiga, Hani tak pernah datang kembali ke kedai roti. Di takut jika ketemu mereka kembali. Untuk mencoba menghibur Hani dari kemurungan, Reno berinisiatif mengajaknya berjalan-jalan ke sebuah mall yang cukup besar. "Belilah apa pun yang kau mau." Ujar Reno kepada Hani. Hani menggeleng lemah. "Aku sedang tak ingin beli apapun, Mas." Reno tak memaksa. Kalo Hani sudah bilang tidak, maka sulit sekali untuk di bujuk lagi. "Ya sudah.. Kalo begitu mending kita cari makan dulu." "Iya, Mas." Mereka berdua pun berjalan menuju Restaurant langganan Hani yang berada di kawasan Mall. Sesampainya di Restaurant tersebut, Reno langsung memesan makanan yang ia mau, sedangan Hani masih diam saja. Menyadari itu, Reno hanya bisa menghela nafas panjang. "Ada apa, Hani? Apakah kau masih sedih atas gelang mu yang hilang, atau karena pertemuan mu dengan masa lalu mu?." Tanya Reno serius. "Dua-duanya, Mas. Di sisi lain, aku sa
"Arrrgggg.. Tolong!." Hani menjerit dan meronta saat tiba-tiba kedua tangannya di cekal oleh tangan Tacka yang kekar. "Siapa pun.. tolong aku!." Teriak Hani lagi, tapi sayangnya tidak ada yang datang menolong. Keadaan di toilet sedang sepi, hanya ada mereka bertiga saja. "Turuti permintaan ku. Jika tidak... Tacka menjeda kalimatnya. Matanya yang tajam memindai seluruh tubuh Hani yang tertutup pakaian Syar'i. "Maka aku akan melakukan seperti yang pernah kita lakukan dulu." Lanjutnya dengan bibir tersenyum menyeringai. "Hiks.." Semakin pecah lah tangis Hani. Tubuhnya sampai melorot, karena persendian kakinya yang mendadak lemas. Untung saja Tacka masih memeganginya, kalo tidak, Hani pasti sudah terjatuh di atas dinginnya lantai. Syiga yang awalnya diam saja, akhirnya memberanikan diri mendekati mereka bedua. "Apa yang telah Papa lakukan kepada Kakak cantik?." Tangan mungil Syiga mencoba membantu melepaskan pergelangan tangan Hani dari cengkeraman Tacka, namun sayang,
Sesampainya di rumah, Hani langsung mengurung dirinya di dalam kamar. Kemudian, ia duduk di tepi ranjang, seraya melihat kedua telapak tangannya dengan tatapan sendu. Tangan itulah yang tadi ia gunakan untuk mengelus rambut anaknya. "Kenapa harus begini? Kenapa aku harus mempunyai seorang putra dari seorang b*jing*n sepertinya, ya Allah?." Tes! Air mata kepedihan, lagi-lagi lolos membahasi pipinya, tanpa dapat di tahan. "Aku harus bagaimana, ya Allah? Hiks." Wajah Hani menunduk dalam. Ia menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan rasa sesak di dadanya. Tidak ada yang tahu sedalam apa rasa bersalah dan luka yang Hani rasakan, sehingga mampu membuat tubuh mungil itu tersentak-sentak karena tangisan. Tok.. Tok.. Tok... "Hani! Apakah Bunda boleh masuk ke dalam, Nak?." Teriak Ibu tiri Hani, dari balik pintu kamar. Buru-buru, Hani langsung menghapus air matanya menggunakan punggung tangannya, lalu kemudian menjawab.. "Boleh, Bund." Ceklek! Pintu kamar tersebut mulai ter
Katanya seorang Ibu adalah cinta pertama bagi anak laki-lakinya, dan pelukan terhangat seorang anak adalah pelukan Ibunya. Namun kenapa Syiga tidak pernah mendapatkannya?. "Anda harus makan, Tuan muda." Seorang pelayan wanita sedang membujuk anak majikannya untuk makan. Jika tidak, pasti dia akan di marahi oleh majikannya. "Aku tidak mau makan!." Teriak bocah itu lantang. "Tapi Tuan Tacka pasti akan marah jika anda tidak mau makan." Bujuk pelayan itu dengan sabar. "Pokoknya aku tidak mau makan sebelum aku ketemu Ibu!." Brak!!! Syiga menutup pintu dengan bantingan yang cukup keras, lalu setelah itu menguncinya dari dalam. "Aku kangen Ibu!." Gumam Syiga seraya duduk di lantai seraya bersandar di daun pintu. "Kenapa aku tidak punya Ibu? Aku ingin seperti teman-teman yang selalu di buatkan bekal Ibunya, Ingin sekolah di anterin Ibunya, dan ingin tidur di peluk oleh Ibunya. Kenapa hanya aku yang tidak punya ibu?." Bocah kecil itu melipat tangannya di atas kedua lututnya
"Mas Reno?." "Iya. ini aku, Hani." Pemuda tampan yang bernama Reno itu mengulas senyum manis kepada Hani yang tampak Shock saat melihat kedatangannya. "Happy graduation. Aku bangga padamu!." Ujar Reno sembari memberikan sebuah buket bunga yang cukup besar kepada Hani. "Terimakasih, Mas. Tapi aku tidak bisa menerimanya karena tangan ku sudah penuh dengan.. Belum sempat Hani menyelesaikan perkataannya, Mila dan Alma telah lebih dulu mengambil buket yang ada di tangan Hani, supaya gadis itu bisa menerima buket pemberian Reno. Dengan malu-malu, Hani pun menerima buket bunga dari tangan Reno."Terimakasih untuk buket bunga yang indah ini, Mas." Ucapnya. "Sama-sama." Mereka berdua saling mengulas senyum, sebelum kemudian suara Alma mengalihkan fokus mereka berdua. "Mumpung kita semua lagi ngumpul di hari bahagia ini. Bagaimana kalo kita ber-empat foto bareng. Setuju?." Usul Alma. "Setuju banget dong!." Jawab Mila penuh antusias. Mila segera memposisikan dirinya di sampin
"Apakah kamu dendam padanya?." "Sangat! Aku sangat dendam sekali padanya. Karena dia, masa remaja-ku hancur. Karena dia, hidupku tidak bisa lagi tenang. Dan karena dia, aku kehilangan segalanya!. " Jawab Hani penuh dendam yang membara. "Haruskah aku membantu-mu membalaskan dendam?." "Apakah bisa?." "Aku tidak yakin akan berhasil atau tidak, tapi aku akan berusaha demi kamu." "Dengan cara apa, Mas?." "Mungkin dengan membuat bisnisnya hancur." Hani masih memandang lekat wajah Reno, menunggu kelanjutannya lagi. "Dia memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan keluarga ku. Mungkin aku bisa sedikit memanfaatkan kesempatan ini untuk membalaskan dendam-mu." "Jika nantinya akan mempengaruhi bisnis-mu, lebih baik jangan, Mas." "Demi kamu, aku rela mengorbankan semuanya, Hani! Bila perlu nyawaku lah yang menjadi taruhannya." . . . "Syiga! Kok duduk di sini sendirian, Sayang?." Seorang wanita berpakaian sexy mendekati Syiga yang sedang duduk seorang diri di ayunan bes
Ke-esokan harinya.. Syiga dan Tacka sedang sarapan bersama, namun kali ini ada yang berbeda dari bocah itu. Syiga terus saja diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Kenapa diam saja? Kau sedang marah pada Papa?." Tanya Tacka. Masih tak ada jawaban apapun dari bocah itu. Syiga hanya menyoroti Tacka penuh kekesalan. "Percuma kau memberontak seperti ini. Tak akan bisa merubah apapun. Ibu-mu tidak akan kembali di sini hanya dengan diam mu itu." Ujar Tacka datar sambil melanjutkan sarapannya. "Lalu aku harus bagaimana supaya Ibu bisa kembali?." Tanya Syiga setelah sekian lamanya hanya terdiam. "Berdoalah supaya Ibu-mu bisa sadar dan kemudian kembali bersama kita." "Aku sudah lelah berdoa, tapi Ibu tak kunjung kembali." "Kalo begitu berhentilah berharap!." Jawab Tacka santai. Syiga diam mengamati wajah sang Papa yang terlihat datar sekali. Kadang dia bertanya-tanya, sebenarnya apa yang membuat Ibunya sampai harus pergi meninggalkannya? Apakah ini ada sangkut-pautnya dengan
Respon yang Syiga berikan membuat Hani kaget. Tanpa sadar Hani mulai menjaga jarak dengan bocah itu. Sikap Syiga mengingatkannya pada seseorang yang amat sangat dia benci. Hani baru sadar, setelah di amati lebih lama lagi, ternyata bukan hanya sikap bocah itu yang mirip dengan seseorang, tapi wajah bocah itu juga sangat mirip. "Kenapa dia sangat mirip dengan dia?." Batin Hani dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Melihat sikap Hani yang aneh membuat Syiga bingung. "Kenapa Kakak malah melihatku seperti itu?." Tanyanya penasaran, namun tak mendapatkan respon apapun dari gadis itu. "Kak cantik, tolong berikan saja kue itu kepadaku, ya?." Desak Syiga kembali pada pembahasan awal. Hani mengusap kasar wajahnya sembari menarik nafas panjang. Dia menyakinkan dirinya sendiri bahwa anaknya telah tiada, dan anak kecil yang sedang di hadapannya saat ini hanya kebetulan saja mirip dengan orang yang dulu telah merenggut segalanya darinya. "T-tapi kalo kue itu buat kamu, lalu bagaimana kal