"Aku menyukai Kakak cantik yang berjualan kue."
"Menyukai?." Syiga mengangguk. "Aku ingin Kakak itu yang menjadi Ibuku." Tacka tersenyum tipis. Salah makan atau kenapa bocah itu? kenapa tiba-tiba bisa ngelantur?. "Daripada berbicara yang tidak-tidak, lebih baik kita masuk. Papa membeli makanan kesukaan-mu." Set! Tanpa aba-aba Tacka langsung membopong tubuh anaknya, dan kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Udara di luar sangat dingin, Tacka tak ingin kalo Syiga sampai jatuh sakit. Sementara itu Syiga hanya pasrah. Kalo boleh jujur, dia tak suka saat di gendong oleh Papanya. Dia sudah besar, tak sepantasnya masih di gendong seperti anak kecil. *** Syiga menikmati makanan yang di belikan oleh Papanya saat pulang kerja tadi. Meskipun Tacka adalah seorang Ayah yang keras, tapi Tacka sangat sayang sekali pada Anaknya. Apapun yang Syiga inginkan selalu di kabulkan oleh Tacka. Hanya satu yang tak bisa Tacka kabulkan, yaitu mempertemukan Syiga dengan Ibu kandungnya. "Bagaimana dengan sekolahmu hari ini, Ga?." Tanya Tacka yang baru saja datang dari arah belakang. "Sekolahnya biasa-biasa saja, Pa. Tak ada yang istimewa." Tacka mengelus pucuk kepala anaknya, lalu setelah itu ikut duduk di sebelah bocah itu. "Pa." "Hm?." "Bagaimana wajah Ibu? Aku ingin melihat fotonya." "Jangan bahas tentang Ibumu lagi." "Aku tidak akan merengek meminta Ibu kembali, Pa. Aku hanya ingin tahu tentang wajah Ibu." Syiga meletakkan piringnya yang telah kosong di atas meja, lalu setelah itu menatap wajah Papanya penuh binar harapan. "Kata Nenek, Ibu memiliki mata yang bundar, hidung mungil dan senyum yang manis. Apakah semua itu benar?." Tacka mengangguk pelan, membenarkan perkataan anaknya. "Tadi siang aku melihat Kakak-kakak cantik yang memiliki ciri-ciri yang sama.. Syiga menjeda kalimatnya. Kalo di lihat dari segi penampilan Kakak-kakak cantik itu, sepertinya Kakak itu memiliki background keluarga yang jauh sangat berbeda dengan Syiga dan Papanya. "Tapi aku tak yakin kalo dia Ibu-ku." Sambungnya lirih. Tacka terkekeh pelan. "Orang yang memiliki ciri-ciri tersebut banyak. Jangan kemakan omongan Nenek. Lebih baik kamu belajar saja yang pinter, jangan memikirkan hal yang tidak-tidak. Oke?." Syiga mengangguk pasrah. "Oke!." . . . Pagi pun telah tiba.. Karena hari ini adalah hari Minggu, Syiga sengaja mengajak Padanya untuk mengantarkannya membeli Kue coklat di kedai roti yang kemarin. Kali ini Syiga akan datang lebih awal karena takut kehabisan lagi. Setelah menempuh kurang lebih setengah jam perjalanan, akhirnya Syiga dan Papanya telah sampai di kedai roti tersebut. "Hati-hati!." Teriak Tacka kala melihat Syiga yang loncat dari mobil. Tanpa menunggu Papanya yang masih berada di dalam mobil, Syiga masuk lebih dulu ke dalam kedai roti tersebut. "Good afternoon! Mau cari kue apa, Dek?." Seketika senyum Syiga memudar. Padahal yang dia harapkan akan di layani Kakak cantik yang kemarin, tapi kali ini berbeda orang. "Mau cari kue yang apa, Sayang? Sini Kakak bantu pilihkan." Dengan penuh kesabaran Mila mencoba melayani pembeli kecilnya itu, tapi sayangnya bocah itu diam saja. "Kakak yang kemarin mana?." Tanya Syiga sambil celingukan mencari keberadaan orang dia maksud. "Kakak yang kemarin? Siapa?." Tanya Mila bingung. "Kakak yang kemarin pakai penutup kepala." "Oh! Maksud kamu Hani?." "Namanya Kak Hani?." Tanyanya balik. "Dia kemarin pake Jilbab warna hitam 'kan? Terus orangnya cantik?." "Iya!." Syiga langsung mengangguk membenarkan. Mila mengulas senyum manis. "Orang yang kamu cari itu namanya Kak Hani, dan sekarang dia sedang sholat di mushola." "Sholat?." "Iya. Enggak lama kok. Paling sebentar lagi dia akan kembali." "Embbb.. sholat itu apa?." "Sholat itu cara umat Islam menyembah Tuhannya." "Oh!." "Kalo mau bertemu dengan Kak Hani, kamu harus duduk dulu, ya?." "Iya." Meskipun Syiga masih bingung dengan apa yang tadi Mila bicarakan, tapi bocah itu tetap patuh dan kemudian duduk di shofa panjang. "Ohiya.. tadi Adek datang sama siapa?." Tanya Mila berbasa-basi. Mumpung pembeli sedang sepi, gadis itu punya banyak waktu untuk melayani bocah itu. "Aku datang bersama Papaku." "Lalu di mana Papamu?." "Papa masih berada di mobil." Jawab Syiga sambil menunjuk arah mobil hitam yang terparkir di depan kedai. "Oh, ya sudah. Kakak tinggal dulu, ya? Kakak mau menyiapkan kue pesanan orang." "Iya." Mila mengusap gemas ujung kepala Syiga, sebelum akhirnya kembali ke depan etalase. Gadis itu harus segera mempersiapkan pesanan pelanggannya, karena sebentar lagi akan di ambil. Sementara itu, Tacka masih betah di dalam mobil karena dia sedang menghubungi seseorang. Sebenarnya hari ini ada pekerjaan urgent, tapi karena Syiga merengek ingin di antarkan membeli kue, akhirnya ia lebih memilih menunda pekerjaan itu. "Kamu handle dulu pekerjaannya sampai aku datang." Ucap Tacka lewat sambungan telepon. "Mungkin akan ke sana 2 jam lagi." "Hm." "Ingat, lakukan dengan bersih." Tut.. Tut.. Tut.. Tacka mematikan sambungan telepon begitu saja. Kemudian lelaki itu menghela nafas panjang sembari menyandarkan punggungnya di pada kursi kemudinya. Kadang ia merasa bosan dan cemas dengan pekerjaan yang sedang ia jalani saat ini. Bukan cemas kepada dirinya sendiri, melainkan cemas pada anak dan juga orang yang ada di sekelilingnya. Ia takut nanti mereka akan kena dampaknya. "Papa janji padamu, Ga. Sebelum kau tumbuh dewasa, Papa pasti sudah berhenti dari dunia gelap ini. Jadilah anak yang dapat Papa banggakan. Jangan sampai kau menjadi orang sepertiku." Gumam Tacka seraya memandang anaknya dari kejauhan.Di sisi lain.. Selepas sholat dzuhur, Hani duduk termenung di teras mushola. Tidak ada siapapun di sana selain dia sendiri, karena semua orang sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Hani menghela nafas panjang. Semenjak pertemuannya dengan Syiga, gadis itu menjadi lebih banyak diam. Ada banyak sekali dugaan dan pertanyaan demi pertanyaan yang memenuhi isi kepala Hani. Sebenarnya siapa bocah itu? kenapa dia sangat mirip sekali dengan seseorang di masa lalunya (Tacka)? atau jangan-jangan dia memang anaknya? tapi bukankah anaknya waktu itu sudah kritis dan tidak ada lagi harapan untuk hidup?. "Astaghfirullah!." Hani mengusap wajahnya sambil beristighfar. Semakin ia mengingat masa lalunya, maka semakin ia merasa bersalah dan terluka. Bersalah karena telah tega meninggalkan anaknya saat sedang sekarat, dan terluka atas perlakuan Tacka di masa lampau. Karena kebencian dan rasa traumanya kepada Tacka yang terlalu besar, Hani sampai tega meninggalkan bayinya begitu saja. Padah
"Kata anakku, dia telah bertemu Ibu kandungnya." Jawab Tacka tersenyum smirk. Deg! Jantung Hani seakan berhenti berdetak, saat mendengar penyataan yang keluar dari bibir Tacka. Untuk beberapa saat, wanita itu hanya diam, sebelum kemudian menggeleng lemah dengan derai air mata. "Aku tidak punya anak, apalagi dengan b*jing"n seperti mu." Teriak Hani murka. Tacka yang hendak membalas perkataan dari Hani, jadi urung saat melihat kedatangan anaknya. Begitu Syiga telah sampai di hadapannya, Tacka langsung menggendong tubuh bocah itu dalam gendongannya. "Lihatlah dia baik-baik. Apakah kau tak ingin menggendong ataupun memeluknya?." Tanya Tacka kepada Hani. Wanita itu diam saja tanpa mengatakan satu patah katapun. Hanya mata bundarnya saja yang bergerak mengikuti pergerakan Syiga dan Tacka yang semakin berjalan mendekat. Langkah Tacka terhenti tepat di hadapan Hani. "Kau boleh membenciku, tapi bagaimana pun dia.. "Stop!." Teriak Hani memotong perkataan Tacka begitu saja. "A
"Embbm.. Ternyata selama ini anakku masih hidup." Deg! Seketika, tubuh Reno mematung. Laki-laki itu mengamati wajah Hani dengan tatapan shock. "Apa maksudmu, Hani?." "Bayi yang dulu pernah ku lahirkan masih hidup sampai sekarang, dan dia sangat mirip sekali dengan laki-laki b*jing*n itu." Jawab Hani dengan air mata yang kembali menetes. "Kau sudah melihatnya?." Tanya Reno yang langsung di jawab anggukan oleh Hani. "Lalu apa yang kamu lakukan saat melihatnya?." "Aku tak melakukan apa-apa. Baru saja menatap wajahnya sudah membuat hatiku terluka." Wajah Hani menunduk dalam. Entah apa tanggapan yang akan Reno berikan terhadap dirinya. Pada kenyataannya, Hani memang bukanlah Ibu yang baik. Dia egois! Karena kebenciannya terhadap Tacka yang terlalu dalam, Hani sampai ikut membenci anak yang tak berdosa itu. "Hani.." "Iya, Mas?." "Apakah aku boleh memberikan sedikit nasehat dan saran?." Hani menggeleng lemah. "Jika kamu hanya ingin memberi nasehat tentang aku dan anakk
Tacka, duduk termenung di depan jendela sembari bersedekap tangan. Matanya yang tajam mengamati rintik air hujan yang turun membasahi bumi. Laki-laki dewasa itu masih memikirkan pertemuannya dengan Hani, tadi siang.Selama ini Tacka memang sengaja tak mencari keberadaan Hani. Selain karena wanita itu sangat membencinya, dia juga sudah berjanji untuk tak mengusik kehidupan wanita itu lagi.Tok.. Tok.. Tok.."Papa!." Panggil Syiga dari balik pintu kamar Tacka."Masuklah!."Ceklek!Syiga membuka pintu secara perlahan, lalu mendekati sang Papa yang masih setia duduk di depan jendela kamar."Ada apa?." Tanya Tacka kepada putranya yang terlihat sedih.Ragu-ragu, Syiga membuka genggaman tangannya, sehingga memperlihatkan sebuah gelang putih yang indah."Tadi siang aku tak sengaja melihat benda ini jatuh dari tangan Kakak Cantik yang mirip Ibu." Ujar Syiga.Tacka mengambil benda itu dari tangan putranya. Setelah di amati cukup lama, Tacka baru ingat kalo gelang itu adalah gelang yang sangat b
Hari-hari telah berlalu.. Semenjak pertemuannya dengan Tacka dan Syiga, Hani tak pernah datang kembali ke kedai roti. Di takut jika ketemu mereka kembali. Untuk mencoba menghibur Hani dari kemurungan, Reno berinisiatif mengajaknya berjalan-jalan ke sebuah mall yang cukup besar. "Belilah apa pun yang kau mau." Ujar Reno kepada Hani. Hani menggeleng lemah. "Aku sedang tak ingin beli apapun, Mas." Reno tak memaksa. Kalo Hani sudah bilang tidak, maka sulit sekali untuk di bujuk lagi. "Ya sudah.. Kalo begitu mending kita cari makan dulu." "Iya, Mas." Mereka berdua pun berjalan menuju Restaurant langganan Hani yang berada di kawasan Mall. Sesampainya di Restaurant tersebut, Reno langsung memesan makanan yang ia mau, sedangan Hani masih diam saja. Menyadari itu, Reno hanya bisa menghela nafas panjang. "Ada apa, Hani? Apakah kau masih sedih atas gelang mu yang hilang, atau karena pertemuan mu dengan masa lalu mu?." Tanya Reno serius. "Dua-duanya, Mas. Di sisi lain, aku sa
"Arrrgggg.. Tolong!." Hani menjerit dan meronta saat tiba-tiba kedua tangannya di cekal oleh tangan Tacka yang kekar. "Siapa pun.. tolong aku!." Teriak Hani lagi, tapi sayangnya tidak ada yang datang menolong. Keadaan di toilet sedang sepi, hanya ada mereka bertiga saja. "Turuti permintaan ku. Jika tidak... Tacka menjeda kalimatnya. Matanya yang tajam memindai seluruh tubuh Hani yang tertutup pakaian Syar'i. "Maka aku akan melakukan seperti yang pernah kita lakukan dulu." Lanjutnya dengan bibir tersenyum menyeringai. "Hiks.." Semakin pecah lah tangis Hani. Tubuhnya sampai melorot, karena persendian kakinya yang mendadak lemas. Untung saja Tacka masih memeganginya, kalo tidak, Hani pasti sudah terjatuh di atas dinginnya lantai. Syiga yang awalnya diam saja, akhirnya memberanikan diri mendekati mereka bedua. "Apa yang telah Papa lakukan kepada Kakak cantik?." Tangan mungil Syiga mencoba membantu melepaskan pergelangan tangan Hani dari cengkeraman Tacka, namun sayang,
Sesampainya di rumah, Hani langsung mengurung dirinya di dalam kamar. Kemudian, ia duduk di tepi ranjang, seraya melihat kedua telapak tangannya dengan tatapan sendu. Tangan itulah yang tadi ia gunakan untuk mengelus rambut anaknya. "Kenapa harus begini? Kenapa aku harus mempunyai seorang putra dari seorang b*jing*n sepertinya, ya Allah?." Tes! Air mata kepedihan, lagi-lagi lolos membahasi pipinya, tanpa dapat di tahan. "Aku harus bagaimana, ya Allah? Hiks." Wajah Hani menunduk dalam. Ia menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan rasa sesak di dadanya. Tidak ada yang tahu sedalam apa rasa bersalah dan luka yang Hani rasakan, sehingga mampu membuat tubuh mungil itu tersentak-sentak karena tangisan. Tok.. Tok.. Tok... "Hani! Apakah Bunda boleh masuk ke dalam, Nak?." Teriak Ibu tiri Hani, dari balik pintu kamar. Buru-buru, Hani langsung menghapus air matanya menggunakan punggung tangannya, lalu kemudian menjawab.. "Boleh, Bund." Ceklek! Pintu kamar tersebut mulai ter
Katanya seorang Ibu adalah cinta pertama bagi anak laki-lakinya, dan pelukan terhangat seorang anak adalah pelukan Ibunya. Namun kenapa Syiga tidak pernah mendapatkannya?. "Anda harus makan, Tuan muda." Seorang pelayan wanita sedang membujuk anak majikannya untuk makan. Jika tidak, pasti dia akan di marahi oleh majikannya. "Aku tidak mau makan!." Teriak bocah itu lantang. "Tapi Tuan Tacka pasti akan marah jika anda tidak mau makan." Bujuk pelayan itu dengan sabar. "Pokoknya aku tidak mau makan sebelum aku ketemu Ibu!." Brak!!! Syiga menutup pintu dengan bantingan yang cukup keras, lalu setelah itu menguncinya dari dalam. "Aku kangen Ibu!." Gumam Syiga seraya duduk di lantai seraya bersandar di daun pintu. "Kenapa aku tidak punya Ibu? Aku ingin seperti teman-teman yang selalu di buatkan bekal Ibunya, Ingin sekolah di anterin Ibunya, dan ingin tidur di peluk oleh Ibunya. Kenapa hanya aku yang tidak punya ibu?." Bocah kecil itu melipat tangannya di atas kedua lututnya