Di sisi lain..
Selepas sholat dzuhur, Hani duduk termenung di teras mushola. Tidak ada siapapun di sana selain dia sendiri, karena semua orang sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Hani menghela nafas panjang. Semenjak pertemuannya dengan Syiga, gadis itu menjadi lebih banyak diam. Ada banyak sekali dugaan dan pertanyaan demi pertanyaan yang memenuhi isi kepala Hani. Sebenarnya siapa bocah itu? kenapa dia sangat mirip sekali dengan seseorang di masa lalunya (Tacka)? atau jangan-jangan dia memang anaknya? tapi bukankah anaknya waktu itu sudah kritis dan tidak ada lagi harapan untuk hidup?. "Astaghfirullah!." Hani mengusap wajahnya sambil beristighfar. Semakin ia mengingat masa lalunya, maka semakin ia merasa bersalah dan terluka. Bersalah karena telah tega meninggalkan anaknya saat sedang sekarat, dan terluka atas perlakuan Tacka di masa lampau. Karena kebencian dan rasa traumanya kepada Tacka yang terlalu besar, Hani sampai tega meninggalkan bayinya begitu saja. Padahal waktu itu bayinya sedang berjuang bertahan hidup di dalam inkubator, karena memang terlahir prematur. "Jika memang dia adalah bayi yang dulu telah ku lahirkan, berarti selama ini Tacka benar-benar telah memenuhi janjinya untuk tetap merawatnya." Gumamnya sambil memandangi langit biru. Andai saja Tacka tidak sebejat itu, mungkin saja dia bisa menyukai dan menerimanya, tapi sayangnya Tacka adalah manusia iblis. Namun meskipun dia begitu, Hani masih dapat merasakan kalo cinta lelaki itu padanya sangatlah tulus. Huh! Hani menarik nafas panjang untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya. Dan tanpa ia sadari air matanya telah menetes membasahi pipi. "Mungkin kamu membutuhkan ini!." "Aaaaakkhh!." Hani menjungkat kaget saat tiba-tiba ada seseorang yang menyodorkan sebuah tisu di hadapannya. Lantas gadis itu pun menoleh ke samping, tempat orang itu berada. "Siapa kamu?." Spontan saja Hani meringkuk mundur. Dia memang tidak melihat wajah orang itu dengan jelas karena tertutup oleh masker, namun dapat Hani pastikan kalo orang itu adalah orang jahat, karana di lihat dari pandangan matanya saja sangat menakutkan. "Jangan takut, aku tidak bermaksud menganggu ataupun menakuti mu." Ucapnya seraya menaruh satu kotak kecil tisu di lantai bekas tempat duduk Hani. Lalu kemudian orang itu berlalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan apapun. Sementara itu, Hani hanya memandang kepergiannya dalam diam. "Siapa orang itu? kenapa misterius sekali?." Tanyanya pada dirinya sendiri. Karena merasa takut, akhirnya Hani pun bergegas pergi dari teras mushola tanpa berniat mengambil ataupun memegang tisu pemberian orang tadi. Dalam perjalanan kembali ke kedai roti, Hani masih saja memikirkan orang tadi. Kalo tadi orang jahat, lalu untuk apa pergi ke mushola? Dan jika dia orang baik, tapi kenapa dia sangat menyeramkan sekali, apalagi dia memiliki berbagai bekas luka di keningnya. Ting! Seketika Hani langsung menghentikan langkahnya saat mendengar ada sebuah nada notifikasi pesan masuk di ponselnya. Lantas wanita cantik yang berbaju syar'i itu bergegas mengambil ponselnya dari dalam tas. Siapa tahu itu adalah pesan penting dari kedua orang tuanya. Tetapi dugaannya salah, ternyata pesan tersebut dari Reno yang menanyakan keberadaan. Tanpa sadar bibir Hani mengulas senyum manis. Perhatian kecil yang Reno berikan padanya mampu membuatnya merasa bahagia. Mas Reno: "Sedang di mana, Hani?." Me: "Sedang di Bintoro Mas. Kenapa?." (Bintoro adalah alamat kedai rotinya berada) Mas Reno: "Tidak apa-apa, aku hanya ingin tahu kabarmu saja." Ting! Belum sempat Hani membalasnya, pesan dari Reno kembali masuk. Mas Reno: "Apakah di kedai sedang ramai?." Me: "Alhamdulillah lumayan ramai, Mas. Hari ini lebih ramai dari hari kemarin, mungkin karena ini hari Minggu." Mas Reno: "Kapan kamu akan pulang?." Me: "Mungkin tidak lama lagi akan pulang kok, Mas. Alhamdulillah tadi stok kue di etalase tinggal sedikit. Memangnya kenapa?." Mas Reno: "Aku ingin mengajak-mu ketemu." Hani tak langsung membalasnya. Tiba-tiba saja hatinya menjadi deg-degan. Apakah tujuan Reno mengajak bertemu karena ingin memastikan hubungan mereka berdua? Atau hanya karena ingin bertemu saja?. Mas Reno: "Kemana aku harus Menjemputmu?." Me: "Nanti jemput di kedai roti saja, Mas." Mas Reno: "Baiklah, jam tiga sore aku akan datang menjemputmu." Me: "Iya, Mas." Hani memasukkan kembali ponselnya di dalam tas selempangnya. Karena tidak fokus melihat jalanan, Hani tak sengaja menabrak bahu seseorang. Brukkk! "Maaf, saya tak sengaja." Ucap Hani merasa bersalah. Melihat dompet orang yang ia tabrak jatuh di tanah, Hani langsung mengambil benda itu, dan tak lupa juga membersihkan debu-debu yang menempel di dompet kulit tersebut. "Ini dompet Anda. Sekali lagi saya minta ma.. Brak! Dompet yang ada di tangan Hani kembali terjatuh ke tanah saat melihat wajah orang yang dia tabrak. "K-kamu?." Pekik Hani kaget. Seketika persendian wanita itu terasa lemas sehingga mengakibatkan tubuhnya terhuyung ke belakang. Untung saja Tacka sigap menahannya, kalo tidak, Hani pasti sudah terjatuh. "Jangan sentuh aku, B*jing*n!." Hani segera menepis tangan Tacka, lalu kemudian mendorong tubuh laki-laki itu agar menjauh. Lebih baik Hani terjatuh di atas tanah yang kotor daripada harus di tolongi manusia iblis seperti Tacka. Hani membersihkan bekas sentuhan tangan Tacka di bajunya dengan cara mengibas-ngibaskannya. Dia seakan merasa sangat jijik sekali setelah di sentuh laki-laki itu. Seakan-akan Tacka itu adalah hewan yang paling najis dan kotor. Sedangkan Tacka sendiri tak marah. Laki-laki itu hanya diam saja sembari menatap lekat wajah Hani. "Ternyata benar yang di katakan Syiga?." Pergerakan Hani langsung melemah saat mendengar gumaman dari Tacka."Apa maksudmu?." "Kata anakku, dia telah bertemu Ibu kandungnya." Jawab Tacka tersenyum smirk."Kata anakku, dia telah bertemu Ibu kandungnya." Jawab Tacka tersenyum smirk. Deg! Jantung Hani seakan berhenti berdetak, saat mendengar penyataan yang keluar dari bibir Tacka. Untuk beberapa saat, wanita itu hanya diam, sebelum kemudian menggeleng lemah dengan derai air mata. "Aku tidak punya anak, apalagi dengan b*jing"n seperti mu." Teriak Hani murka. Tacka yang hendak membalas perkataan dari Hani, jadi urung saat melihat kedatangan anaknya. Begitu Syiga telah sampai di hadapannya, Tacka langsung menggendong tubuh bocah itu dalam gendongannya. "Lihatlah dia baik-baik. Apakah kau tak ingin menggendong ataupun memeluknya?." Tanya Tacka kepada Hani. Wanita itu diam saja tanpa mengatakan satu patah katapun. Hanya mata bundarnya saja yang bergerak mengikuti pergerakan Syiga dan Tacka yang semakin berjalan mendekat. Langkah Tacka terhenti tepat di hadapan Hani. "Kau boleh membenciku, tapi bagaimana pun dia.. "Stop!." Teriak Hani memotong perkataan Tacka begitu saja. "A
"Embbm.. Ternyata selama ini anakku masih hidup." Deg! Seketika, tubuh Reno mematung. Laki-laki itu mengamati wajah Hani dengan tatapan shock. "Apa maksudmu, Hani?." "Bayi yang dulu pernah ku lahirkan masih hidup sampai sekarang, dan dia sangat mirip sekali dengan laki-laki b*jing*n itu." Jawab Hani dengan air mata yang kembali menetes. "Kau sudah melihatnya?." Tanya Reno yang langsung di jawab anggukan oleh Hani. "Lalu apa yang kamu lakukan saat melihatnya?." "Aku tak melakukan apa-apa. Baru saja menatap wajahnya sudah membuat hatiku terluka." Wajah Hani menunduk dalam. Entah apa tanggapan yang akan Reno berikan terhadap dirinya. Pada kenyataannya, Hani memang bukanlah Ibu yang baik. Dia egois! Karena kebenciannya terhadap Tacka yang terlalu dalam, Hani sampai ikut membenci anak yang tak berdosa itu. "Hani.." "Iya, Mas?." "Apakah aku boleh memberikan sedikit nasehat dan saran?." Hani menggeleng lemah. "Jika kamu hanya ingin memberi nasehat tentang aku dan anakk
Tacka, duduk termenung di depan jendela sembari bersedekap tangan. Matanya yang tajam mengamati rintik air hujan yang turun membasahi bumi. Laki-laki dewasa itu masih memikirkan pertemuannya dengan Hani, tadi siang.Selama ini Tacka memang sengaja tak mencari keberadaan Hani. Selain karena wanita itu sangat membencinya, dia juga sudah berjanji untuk tak mengusik kehidupan wanita itu lagi.Tok.. Tok.. Tok.."Papa!." Panggil Syiga dari balik pintu kamar Tacka."Masuklah!."Ceklek!Syiga membuka pintu secara perlahan, lalu mendekati sang Papa yang masih setia duduk di depan jendela kamar."Ada apa?." Tanya Tacka kepada putranya yang terlihat sedih.Ragu-ragu, Syiga membuka genggaman tangannya, sehingga memperlihatkan sebuah gelang putih yang indah."Tadi siang aku tak sengaja melihat benda ini jatuh dari tangan Kakak Cantik yang mirip Ibu." Ujar Syiga.Tacka mengambil benda itu dari tangan putranya. Setelah di amati cukup lama, Tacka baru ingat kalo gelang itu adalah gelang yang sangat b
Hari-hari telah berlalu.. Semenjak pertemuannya dengan Tacka dan Syiga, Hani tak pernah datang kembali ke kedai roti. Di takut jika ketemu mereka kembali. Untuk mencoba menghibur Hani dari kemurungan, Reno berinisiatif mengajaknya berjalan-jalan ke sebuah mall yang cukup besar. "Belilah apa pun yang kau mau." Ujar Reno kepada Hani. Hani menggeleng lemah. "Aku sedang tak ingin beli apapun, Mas." Reno tak memaksa. Kalo Hani sudah bilang tidak, maka sulit sekali untuk di bujuk lagi. "Ya sudah.. Kalo begitu mending kita cari makan dulu." "Iya, Mas." Mereka berdua pun berjalan menuju Restaurant langganan Hani yang berada di kawasan Mall. Sesampainya di Restaurant tersebut, Reno langsung memesan makanan yang ia mau, sedangan Hani masih diam saja. Menyadari itu, Reno hanya bisa menghela nafas panjang. "Ada apa, Hani? Apakah kau masih sedih atas gelang mu yang hilang, atau karena pertemuan mu dengan masa lalu mu?." Tanya Reno serius. "Dua-duanya, Mas. Di sisi lain, aku sa
"Mari kita lakukan ke tahap selanjutnya, Sayang. Aku tak akan menghentikan permainan kita, sebelum aku benar-benar merasa puas." Elkan sudah hilang kendali. Dia akan menciptakan malam yang indah bersama Alsa untuk yang kedua kalinya. "Aaakhhhh..." Alsa memekik kaget, dan tangannya tanpa sadar telah mencengkram kuat bahu lebar Elkan, sehingga membuat bahu tersebut memerah. Tapi meskipun begitu, Elkan tak marah, justru ia malah memberi elusan lembut pada ujung kepala Alsa. Elkan tak menghiraukan Alsa menjerit kesakitan dan terus meminta berhenti, dia tak perlu. Lelaki itu tetap melanjutkan permainannya sampai ia benar-benar merasa puas. Di antara-antara wanita lain yang pernah Elkan tiduri, hanya Alsa yang paling membuatnya ketagihan. Drrrddd.. Drrrddd.. Di tengah-tengah permainan itu, tiba-tiba ponsel Elkan berdering. Alsa memberi isyarat kepada Elkan untuk segera mengangkat teleponnya, siapa tahu itu adalah telepon penting, tapi Laki-laki itu masih saja enggan menghentikan perma
Meldi tak dapat fokus bekerja, yang ada di pikiran hanyalah Alsa Alsa dan Alsa saja. Dia belum bisa tenang karena sampai saat ini, ia masih belum mendapatkan kabar darinya. Meldi menghela nafas panjang. "Kemana sih kamu, Sa? Suka banget bikin aku khawatir." Desahnya. "Woy, Mel!." Meldi menoleh ke arah temannya yang sedang memanggil namanya. "Ada apa?." "Ponselmu sejak tadi berbunyi, tuh?." Meldi langsung beranjak dari duduknya. Ia segera mengambil ponselnya yang sedang di Cas di meja depan. Seketika matanya berbinar bahagia saat mendapatkan kabar dari Alsa. Namun ketika di coba hubungi balik, telponnya malah langsung di tolak. Ting! Alsa: "Maaf telah membuatmu khawatir. Saat ini aku sedang berada di apartemen Elkan. Aku baik-baik saja di sini." Deg! Tubuh Meldi mendadak membeku, dia tak menyangka kalo Alsa telah bertemu dengan laki-laki itu. Me: "Elkan? Elkan siapa?." Meldi mengirim pesan balasan itu karena Ingin memastikan saja bahwa Elkan yang di maksud Alsa itu
"Syarat? Apa itu?.""Aku ingin kau memberikanku rumah di sebuah pedesaan yang sepi dari keramaian. Aku ingin membesarkan anakku di sana."Elkan nampak mempertimbangkan permintaannya itu, sebelum kemudian mengangguk setuju."Baiklah, aku akan menuruti permintaanmu itu. Semakin kau jauh dari Risma, maka akan semakin bagus."Tanpa sadar, Alsa mengulas senyum tipis. Semoga saja di lingkungan barunya nanti, dia bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dia ingin hidup aman dan damai bersama anaknya saja."Oh iya.. aku masih mempunyai satu permintaan lagi.""Lagi?."Alsa mengangguk. "Iya, ku harap kau bisa menurutinya.""Katakan, apa itu?." Tanya Elkan sambil bersedekap tangan, menunggu apa yang ingin Alsa sampaikan."Setelah anak ini lahir, aku ingin kita tak saling mengenal lagi. Kau bisa hidup bahagia dengan Risma, sedangkan aku hidup bahagia dengan anakku."Tak ada respon apapun dari Elkan. Lelaki itu hanya diam memandang wajah Alsa dengan tatapan datar."Bagaimana, apa kau setuju?."E
***Happy reading*** Di sebuah rumah yang megah nan mewah, ada sebuah anak kecil yang malang. "Aku tidak mau makan!." Teriak bocah itu lantang. "Tapi Tuan Tacka pasti akan marah jika anda tidak mau makan." Bujuk pelayan itu dengan sabar. "Pokoknya aku tidak mau makan sebelum aku ketemu Ibu!." Brak!!! Syiga menutup pintu dengan bantingan yang cukup keras, lalu setelah itu menguncinya dari dalam. "Aku kangen Ibu!." Gumam Syiga seraya duduk di lantai seraya bersandar di daun pintu. "Kenapa aku tidak punya Ibu? Aku ingin seperti teman-teman yang selalu di buatkan bekal Ibunya, Ingin sekolah di anterin Ibunya, dan ingin tidur di peluk oleh Ibunya. Kenapa hanya aku yang tidak punya ibu?." Bocah kecil itu melipat tangannya di atas kedua lututnya yang di tekuk, dan kemudian menangis sambil menyembunyikan wajahnya di atas lipatan tangan tersebut. *** Tepat pukul jam delapan malam, Tacka baru sampai rumah. "Di mana dia?." Tacka yang baru saja pulang dari kantor, langsung
"Syarat? Apa itu?.""Aku ingin kau memberikanku rumah di sebuah pedesaan yang sepi dari keramaian. Aku ingin membesarkan anakku di sana."Elkan nampak mempertimbangkan permintaannya itu, sebelum kemudian mengangguk setuju."Baiklah, aku akan menuruti permintaanmu itu. Semakin kau jauh dari Risma, maka akan semakin bagus."Tanpa sadar, Alsa mengulas senyum tipis. Semoga saja di lingkungan barunya nanti, dia bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dia ingin hidup aman dan damai bersama anaknya saja."Oh iya.. aku masih mempunyai satu permintaan lagi.""Lagi?."Alsa mengangguk. "Iya, ku harap kau bisa menurutinya.""Katakan, apa itu?." Tanya Elkan sambil bersedekap tangan, menunggu apa yang ingin Alsa sampaikan."Setelah anak ini lahir, aku ingin kita tak saling mengenal lagi. Kau bisa hidup bahagia dengan Risma, sedangkan aku hidup bahagia dengan anakku."Tak ada respon apapun dari Elkan. Lelaki itu hanya diam memandang wajah Alsa dengan tatapan datar."Bagaimana, apa kau setuju?."E
Meldi tak dapat fokus bekerja, yang ada di pikiran hanyalah Alsa Alsa dan Alsa saja. Dia belum bisa tenang karena sampai saat ini, ia masih belum mendapatkan kabar darinya. Meldi menghela nafas panjang. "Kemana sih kamu, Sa? Suka banget bikin aku khawatir." Desahnya. "Woy, Mel!." Meldi menoleh ke arah temannya yang sedang memanggil namanya. "Ada apa?." "Ponselmu sejak tadi berbunyi, tuh?." Meldi langsung beranjak dari duduknya. Ia segera mengambil ponselnya yang sedang di Cas di meja depan. Seketika matanya berbinar bahagia saat mendapatkan kabar dari Alsa. Namun ketika di coba hubungi balik, telponnya malah langsung di tolak. Ting! Alsa: "Maaf telah membuatmu khawatir. Saat ini aku sedang berada di apartemen Elkan. Aku baik-baik saja di sini." Deg! Tubuh Meldi mendadak membeku, dia tak menyangka kalo Alsa telah bertemu dengan laki-laki itu. Me: "Elkan? Elkan siapa?." Meldi mengirim pesan balasan itu karena Ingin memastikan saja bahwa Elkan yang di maksud Alsa itu
"Mari kita lakukan ke tahap selanjutnya, Sayang. Aku tak akan menghentikan permainan kita, sebelum aku benar-benar merasa puas." Elkan sudah hilang kendali. Dia akan menciptakan malam yang indah bersama Alsa untuk yang kedua kalinya. "Aaakhhhh..." Alsa memekik kaget, dan tangannya tanpa sadar telah mencengkram kuat bahu lebar Elkan, sehingga membuat bahu tersebut memerah. Tapi meskipun begitu, Elkan tak marah, justru ia malah memberi elusan lembut pada ujung kepala Alsa. Elkan tak menghiraukan Alsa menjerit kesakitan dan terus meminta berhenti, dia tak perlu. Lelaki itu tetap melanjutkan permainannya sampai ia benar-benar merasa puas. Di antara-antara wanita lain yang pernah Elkan tiduri, hanya Alsa yang paling membuatnya ketagihan. Drrrddd.. Drrrddd.. Di tengah-tengah permainan itu, tiba-tiba ponsel Elkan berdering. Alsa memberi isyarat kepada Elkan untuk segera mengangkat teleponnya, siapa tahu itu adalah telepon penting, tapi Laki-laki itu masih saja enggan menghentikan perma
Hari-hari telah berlalu.. Semenjak pertemuannya dengan Tacka dan Syiga, Hani tak pernah datang kembali ke kedai roti. Di takut jika ketemu mereka kembali. Untuk mencoba menghibur Hani dari kemurungan, Reno berinisiatif mengajaknya berjalan-jalan ke sebuah mall yang cukup besar. "Belilah apa pun yang kau mau." Ujar Reno kepada Hani. Hani menggeleng lemah. "Aku sedang tak ingin beli apapun, Mas." Reno tak memaksa. Kalo Hani sudah bilang tidak, maka sulit sekali untuk di bujuk lagi. "Ya sudah.. Kalo begitu mending kita cari makan dulu." "Iya, Mas." Mereka berdua pun berjalan menuju Restaurant langganan Hani yang berada di kawasan Mall. Sesampainya di Restaurant tersebut, Reno langsung memesan makanan yang ia mau, sedangan Hani masih diam saja. Menyadari itu, Reno hanya bisa menghela nafas panjang. "Ada apa, Hani? Apakah kau masih sedih atas gelang mu yang hilang, atau karena pertemuan mu dengan masa lalu mu?." Tanya Reno serius. "Dua-duanya, Mas. Di sisi lain, aku sa
Tacka, duduk termenung di depan jendela sembari bersedekap tangan. Matanya yang tajam mengamati rintik air hujan yang turun membasahi bumi. Laki-laki dewasa itu masih memikirkan pertemuannya dengan Hani, tadi siang.Selama ini Tacka memang sengaja tak mencari keberadaan Hani. Selain karena wanita itu sangat membencinya, dia juga sudah berjanji untuk tak mengusik kehidupan wanita itu lagi.Tok.. Tok.. Tok.."Papa!." Panggil Syiga dari balik pintu kamar Tacka."Masuklah!."Ceklek!Syiga membuka pintu secara perlahan, lalu mendekati sang Papa yang masih setia duduk di depan jendela kamar."Ada apa?." Tanya Tacka kepada putranya yang terlihat sedih.Ragu-ragu, Syiga membuka genggaman tangannya, sehingga memperlihatkan sebuah gelang putih yang indah."Tadi siang aku tak sengaja melihat benda ini jatuh dari tangan Kakak Cantik yang mirip Ibu." Ujar Syiga.Tacka mengambil benda itu dari tangan putranya. Setelah di amati cukup lama, Tacka baru ingat kalo gelang itu adalah gelang yang sangat b
"Embbm.. Ternyata selama ini anakku masih hidup." Deg! Seketika, tubuh Reno mematung. Laki-laki itu mengamati wajah Hani dengan tatapan shock. "Apa maksudmu, Hani?." "Bayi yang dulu pernah ku lahirkan masih hidup sampai sekarang, dan dia sangat mirip sekali dengan laki-laki b*jing*n itu." Jawab Hani dengan air mata yang kembali menetes. "Kau sudah melihatnya?." Tanya Reno yang langsung di jawab anggukan oleh Hani. "Lalu apa yang kamu lakukan saat melihatnya?." "Aku tak melakukan apa-apa. Baru saja menatap wajahnya sudah membuat hatiku terluka." Wajah Hani menunduk dalam. Entah apa tanggapan yang akan Reno berikan terhadap dirinya. Pada kenyataannya, Hani memang bukanlah Ibu yang baik. Dia egois! Karena kebenciannya terhadap Tacka yang terlalu dalam, Hani sampai ikut membenci anak yang tak berdosa itu. "Hani.." "Iya, Mas?." "Apakah aku boleh memberikan sedikit nasehat dan saran?." Hani menggeleng lemah. "Jika kamu hanya ingin memberi nasehat tentang aku dan anakk
"Kata anakku, dia telah bertemu Ibu kandungnya." Jawab Tacka tersenyum smirk. Deg! Jantung Hani seakan berhenti berdetak, saat mendengar penyataan yang keluar dari bibir Tacka. Untuk beberapa saat, wanita itu hanya diam, sebelum kemudian menggeleng lemah dengan derai air mata. "Aku tidak punya anak, apalagi dengan b*jing"n seperti mu." Teriak Hani murka. Tacka yang hendak membalas perkataan dari Hani, jadi urung saat melihat kedatangan anaknya. Begitu Syiga telah sampai di hadapannya, Tacka langsung menggendong tubuh bocah itu dalam gendongannya. "Lihatlah dia baik-baik. Apakah kau tak ingin menggendong ataupun memeluknya?." Tanya Tacka kepada Hani. Wanita itu diam saja tanpa mengatakan satu patah katapun. Hanya mata bundarnya saja yang bergerak mengikuti pergerakan Syiga dan Tacka yang semakin berjalan mendekat. Langkah Tacka terhenti tepat di hadapan Hani. "Kau boleh membenciku, tapi bagaimana pun dia.. "Stop!." Teriak Hani memotong perkataan Tacka begitu saja. "A
Di sisi lain.. Selepas sholat dzuhur, Hani duduk termenung di teras mushola. Tidak ada siapapun di sana selain dia sendiri, karena semua orang sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Hani menghela nafas panjang. Semenjak pertemuannya dengan Syiga, gadis itu menjadi lebih banyak diam. Ada banyak sekali dugaan dan pertanyaan demi pertanyaan yang memenuhi isi kepala Hani. Sebenarnya siapa bocah itu? kenapa dia sangat mirip sekali dengan seseorang di masa lalunya (Tacka)? atau jangan-jangan dia memang anaknya? tapi bukankah anaknya waktu itu sudah kritis dan tidak ada lagi harapan untuk hidup?. "Astaghfirullah!." Hani mengusap wajahnya sambil beristighfar. Semakin ia mengingat masa lalunya, maka semakin ia merasa bersalah dan terluka. Bersalah karena telah tega meninggalkan anaknya saat sedang sekarat, dan terluka atas perlakuan Tacka di masa lampau. Karena kebencian dan rasa traumanya kepada Tacka yang terlalu besar, Hani sampai tega meninggalkan bayinya begitu saja. Padah
"Aku menyukai Kakak cantik yang berjualan kue." "Menyukai?." Syiga mengangguk. "Aku ingin Kakak itu yang menjadi Ibuku." Tacka tersenyum tipis. Salah makan atau kenapa bocah itu? kenapa tiba-tiba bisa ngelantur?. "Daripada berbicara yang tidak-tidak, lebih baik kita masuk. Papa membeli makanan kesukaan-mu." Set! Tanpa aba-aba Tacka langsung membopong tubuh anaknya, dan kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Udara di luar sangat dingin, Tacka tak ingin kalo Syiga sampai jatuh sakit. Sementara itu Syiga hanya pasrah. Kalo boleh jujur, dia tak suka saat di gendong oleh Papanya. Dia sudah besar, tak sepantasnya masih di gendong seperti anak kecil. *** Syiga menikmati makanan yang di belikan oleh Papanya saat pulang kerja tadi. Meskipun Tacka adalah seorang Ayah yang keras, tapi Tacka sangat sayang sekali pada Anaknya. Apapun yang Syiga inginkan selalu di kabulkan oleh Tacka. Hanya satu yang tak bisa Tacka kabulkan, yaitu mempertemukan Syiga dengan Ibu kandungnya. "