Ke-esokan harinya..
Syiga dan Tacka sedang sarapan bersama, namun kali ini ada yang berbeda dari bocah itu. Syiga terus saja diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Kenapa diam saja? Kau sedang marah pada Papa?." Tanya Tacka. Masih tak ada jawaban apapun dari bocah itu. Syiga hanya menyoroti Tacka penuh kekesalan. "Percuma kau memberontak seperti ini. Tak akan bisa merubah apapun. Ibu-mu tidak akan kembali di sini hanya dengan diam mu itu." Ujar Tacka datar sambil melanjutkan sarapannya. "Lalu aku harus bagaimana supaya Ibu bisa kembali?." Tanya Syiga setelah sekian lamanya hanya terdiam. "Berdoalah supaya Ibu-mu bisa sadar dan kemudian kembali bersama kita." "Aku sudah lelah berdoa, tapi Ibu tak kunjung kembali." "Kalo begitu berhentilah berharap!." Jawab Tacka santai. Syiga diam mengamati wajah sang Papa yang terlihat datar sekali. Kadang dia bertanya-tanya, sebenarnya apa yang membuat Ibunya sampai harus pergi meninggalkannya? Apakah ini ada sangkut-pautnya dengan Papanya?. "Daripada kau terus menatap ku seperti itu, lebih baik segera habiskan makananmu, lalu setelah itu berangkat sekolah." Perkataan Tacka menyadarkan Syiga dari lamunannya. Kemudian bocah itu pun menghabiskan makanannya secepat mungkin. Dia ingin segera berangkat ke sekolah daripada harus bersama Papanya lebih lama di meja makan ini. *** Di dalam mobil, Syiga masih diam saja. Sedangkan Tacka sendiri sedang sibuk bertelponan dengan seseorang. Dalam perjalan tersebut, Syiga tak sengaja melihat sebuah kedai kue yang baru saja di buka. Dalam poster yang terpajang ada gambar kue yang amat sangat Syiga sukai. "Pa, nanti habis pulang sekolah, aku mau membeli kue di sana!." Ujar Syiga sambil menunjuk kedai roti sederhana di seberang jalan. Karena Tacka sedang fokus bertelponan, Ayah satu anak itu hanya mengangguk singkat tanpa menoleh ke arah yang anaknya tunjuk. "Siapa Kakak tadi? Dia cantik sekali." Batin Syiga saat melihat seorang gadis berhijab di depan kedai tersebut. Syiga masih terus melihat ke arah kedai roti itu sampai akhirnya menghilang dari pandangan. Selang beberapa saat kemudian mobil mereka tumpangi telah sampai depan gerbang sekolah Syiga. Sekolah Syiga bukanlah sekolah biasa, sekolah Syiga adalah sekolah elit yang isinya anak-anak dari orang berduit. Sebelum keluar dari mobil, Syiga meminta uang tambahan kepada Tacka. "Tambahin uang jajan untuk membeli kue saat pulang sekolah nanti, Pa." Ujar bocah itu sambil mengangkat kedua tangannya. "Memangnya berapa harga kue yang kau inginkan? Apakah uang yang Papa berikan tadi pagi masih kurang?." Syiga mengangguk tanpa ragu. "Aku ingin memborong semua kue kesukaan ku di kedai roti yang kita lewati tadi." Tanpa banyak kata lagi, Tacka menambahkan beberapa lembar uang kepada Syiga. "Ku rasa ini sudah cukup 'kan?." Tanyanya. "Sudah, Pa." Jawab Syiga seraya mengantungi uang tersebut di dalam saku seragamnya. Ohiya.. sejak peristiwa kemarin saat kedatangan Diana, Tacka menyita kartu debit anaknya, supaya anak itu jera dan bisa bersikap sopan kepada orang yang lebih tua. Tapi begitu mendengar Syiga yang menginginkan sesuatu, akhirnya Tacka jadi tak tega. Alhasil ia memberikan uang tambahan untuk anaknya itu. "Belajarlah yang tekun. Papa berangkat bekerja dulu." "Iya, Pa." Tacka mengelus ujung kepala Syiga, sebelum kemudian pergi bersama sang supir. Selepas kepergian Papanya, Syiga lekas memasuki sekolah dengan langkah penuh semangat. Dia merasa tak sabar untuk segara menyelesaikan kegiatan sekolahnya, lalu setelah itu pulang dan mampir membeli kue yang sangat ia inginkan. . . . Hani sangat antusias sekali saat membantu Mila untuk mempersiapkan opening kedai kue baru. Kenapa Hani sangat semangat membantu mempersiapkan usaha Mila? Karena di salah satu menu tersebut ada menu ciptaannya. "Alhamdulillah akhirnya beres juga. Semoga nanti ramai pembeli ya, Mil?." Ujar Hani kepada Mila. "Amin!." Mereka berdua berdiri di depan kedai sambil memandang tampak depan kedai kue tersebut. "Aku yakin nanti pasti bakal ramai pembeli karena ada sosok bidadari yang turut serta membantu. Hehehe." Candaan yang Mila lontarkan sukses membuat Hani ikut terkekeh. "Bidadari dari mana? Dari Hongkong? Hahaha." "Kok gitu sih? Kamu 'kan memang bidadarinya Mas Reno.. cihuy.." Hani menggeleng-gelengkan kepala. "Daripada semakin ngelantur kemana-mana, lebih baik kita masuk ke dalam. Aku sudah lapar sekali karena dari tadi belum sempat sarapan." Tanpa menunggu jawaban dari Mila, Hani langsung merangkul pundak gadis itu, dan kemudian mengajaknya masuk ke dalam toko. *** Pagi pun telah berganti menjadi siang... Hani mendekati seorang anak kecil yang sejak tadi hanya diam di ambang pintu tanpa melakukan apapun. "Adek mau beli apa?." Tanyanya ramah. Walaupun sebenarnya Hani tak menyukai anak kecil, tapi dia harus tetap ramah kepada calon pelanggannya. Tapi entah kenapa tiba-tiba ada sebuah perasaan aneh yang hinggap di hati wanita itu saat mendekati anak kecil itu. "Perasaan apa ini, ya Allah? Kenapa hatiku tiba-tiba bergetar?." Batin Hani bertanya-tanya. Yang merasakan hal semacam itu bukanlah hanya Hani, tetapi Syiga pun merasakan hal yang sama. Bocah itu merasa sangat bahagia tanpa alasan ketika sedang berdekatan dengan Hani. "Aku ingin memborong semua kue coklat yang seperti di gambar itu." Ujar Syiga sambil menunjuk sebuah gambar yang terpajang di dinding. Seketika raut wajah Hani berubah datar. Kue yang di inginkan Syiga hanya tinggal satu, itupun sudah pesanan orang. "Sebelumnya Kakak minta maaf, kue yang kamu inginkan telah habis." Senyum yang sedari tadi merekah di bibir Syiga seketika lenyap entah kemana setelah mendengar penyataan dari Hani. "Tapi aku sangat menginginkannya. Aku bahkan tidak konsen belajar karena terus kepikiran kue itu." Gumam Syiga sedih. "Emmmbbb... Sebenarnya masih ada satu, tapi itu sudah pesanan orang." "Untuk aku saja! Aku akan membayarnya berkali-kali lipat. Yang penting aku mendapatkan kue itu." Respon yang Syiga berikan membuat Hani kaget. Tanpa sadar Hani mulai menjaga jarak dengan bocah itu. Sikap Syiga mengingatkannya pada seseorang yang amat sangat dia benci.Respon yang Syiga berikan membuat Hani kaget. Tanpa sadar Hani mulai menjaga jarak dengan bocah itu. Sikap Syiga mengingatkannya pada seseorang yang amat sangat dia benci. Hani baru sadar, setelah di amati lebih lama lagi, ternyata bukan hanya sikap bocah itu yang mirip dengan seseorang, tapi wajah bocah itu juga sangat mirip. "Kenapa dia sangat mirip dengan dia?." Batin Hani dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Melihat sikap Hani yang aneh membuat Syiga bingung. "Kenapa Kakak malah melihatku seperti itu?." Tanyanya penasaran, namun tak mendapatkan respon apapun dari gadis itu. "Kak cantik, tolong berikan saja kue itu kepadaku, ya?." Desak Syiga kembali pada pembahasan awal. Hani mengusap kasar wajahnya sembari menarik nafas panjang. Dia menyakinkan dirinya sendiri bahwa anaknya telah tiada, dan anak kecil yang sedang di hadapannya saat ini hanya kebetulan saja mirip dengan orang yang dulu telah merenggut segalanya darinya. "T-tapi kalo kue itu buat kamu, lalu bagaimana kal
"Aku menyukai Kakak cantik yang berjualan kue." "Menyukai?." Syiga mengangguk. "Aku ingin Kakak itu yang menjadi Ibuku." Tacka tersenyum tipis. Salah makan atau kenapa bocah itu? kenapa tiba-tiba bisa ngelantur?. "Daripada berbicara yang tidak-tidak, lebih baik kita masuk. Papa membeli makanan kesukaan-mu." Set! Tanpa aba-aba Tacka langsung membopong tubuh anaknya, dan kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Udara di luar sangat dingin, Tacka tak ingin kalo Syiga sampai jatuh sakit. Sementara itu Syiga hanya pasrah. Kalo boleh jujur, dia tak suka saat di gendong oleh Papanya. Dia sudah besar, tak sepantasnya masih di gendong seperti anak kecil. *** Syiga menikmati makanan yang di belikan oleh Papanya saat pulang kerja tadi. Meskipun Tacka adalah seorang Ayah yang keras, tapi Tacka sangat sayang sekali pada Anaknya. Apapun yang Syiga inginkan selalu di kabulkan oleh Tacka. Hanya satu yang tak bisa Tacka kabulkan, yaitu mempertemukan Syiga dengan Ibu kandungnya. "
Di sisi lain.. Selepas sholat dzuhur, Hani duduk termenung di teras mushola. Tidak ada siapapun di sana selain dia sendiri, karena semua orang sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Hani menghela nafas panjang. Semenjak pertemuannya dengan Syiga, gadis itu menjadi lebih banyak diam. Ada banyak sekali dugaan dan pertanyaan demi pertanyaan yang memenuhi isi kepala Hani. Sebenarnya siapa bocah itu? kenapa dia sangat mirip sekali dengan seseorang di masa lalunya (Tacka)? atau jangan-jangan dia memang anaknya? tapi bukankah anaknya waktu itu sudah kritis dan tidak ada lagi harapan untuk hidup?. "Astaghfirullah!." Hani mengusap wajahnya sambil beristighfar. Semakin ia mengingat masa lalunya, maka semakin ia merasa bersalah dan terluka. Bersalah karena telah tega meninggalkan anaknya saat sedang sekarat, dan terluka atas perlakuan Tacka di masa lampau. Karena kebencian dan rasa traumanya kepada Tacka yang terlalu besar, Hani sampai tega meninggalkan bayinya begitu saja. Padah
"Kata anakku, dia telah bertemu Ibu kandungnya." Jawab Tacka tersenyum smirk. Deg! Jantung Hani seakan berhenti berdetak, saat mendengar penyataan yang keluar dari bibir Tacka. Untuk beberapa saat, wanita itu hanya diam, sebelum kemudian menggeleng lemah dengan derai air mata. "Aku tidak punya anak, apalagi dengan b*jing"n seperti mu." Teriak Hani murka. Tacka yang hendak membalas perkataan dari Hani, jadi urung saat melihat kedatangan anaknya. Begitu Syiga telah sampai di hadapannya, Tacka langsung menggendong tubuh bocah itu dalam gendongannya. "Lihatlah dia baik-baik. Apakah kau tak ingin menggendong ataupun memeluknya?." Tanya Tacka kepada Hani. Wanita itu diam saja tanpa mengatakan satu patah katapun. Hanya mata bundarnya saja yang bergerak mengikuti pergerakan Syiga dan Tacka yang semakin berjalan mendekat. Langkah Tacka terhenti tepat di hadapan Hani. "Kau boleh membenciku, tapi bagaimana pun dia.. "Stop!." Teriak Hani memotong perkataan Tacka begitu saja. "A
"Embbm.. Ternyata selama ini anakku masih hidup." Deg! Seketika, tubuh Reno mematung. Laki-laki itu mengamati wajah Hani dengan tatapan shock. "Apa maksudmu, Hani?." "Bayi yang dulu pernah ku lahirkan masih hidup sampai sekarang, dan dia sangat mirip sekali dengan laki-laki b*jing*n itu." Jawab Hani dengan air mata yang kembali menetes. "Kau sudah melihatnya?." Tanya Reno yang langsung di jawab anggukan oleh Hani. "Lalu apa yang kamu lakukan saat melihatnya?." "Aku tak melakukan apa-apa. Baru saja menatap wajahnya sudah membuat hatiku terluka." Wajah Hani menunduk dalam. Entah apa tanggapan yang akan Reno berikan terhadap dirinya. Pada kenyataannya, Hani memang bukanlah Ibu yang baik. Dia egois! Karena kebenciannya terhadap Tacka yang terlalu dalam, Hani sampai ikut membenci anak yang tak berdosa itu. "Hani.." "Iya, Mas?." "Apakah aku boleh memberikan sedikit nasehat dan saran?." Hani menggeleng lemah. "Jika kamu hanya ingin memberi nasehat tentang aku dan anakk
Tacka, duduk termenung di depan jendela sembari bersedekap tangan. Matanya yang tajam mengamati rintik air hujan yang turun membasahi bumi. Laki-laki dewasa itu masih memikirkan pertemuannya dengan Hani, tadi siang.Selama ini Tacka memang sengaja tak mencari keberadaan Hani. Selain karena wanita itu sangat membencinya, dia juga sudah berjanji untuk tak mengusik kehidupan wanita itu lagi.Tok.. Tok.. Tok.."Papa!." Panggil Syiga dari balik pintu kamar Tacka."Masuklah!."Ceklek!Syiga membuka pintu secara perlahan, lalu mendekati sang Papa yang masih setia duduk di depan jendela kamar."Ada apa?." Tanya Tacka kepada putranya yang terlihat sedih.Ragu-ragu, Syiga membuka genggaman tangannya, sehingga memperlihatkan sebuah gelang putih yang indah."Tadi siang aku tak sengaja melihat benda ini jatuh dari tangan Kakak Cantik yang mirip Ibu." Ujar Syiga.Tacka mengambil benda itu dari tangan putranya. Setelah di amati cukup lama, Tacka baru ingat kalo gelang itu adalah gelang yang sangat b
Hari-hari telah berlalu.. Semenjak pertemuannya dengan Tacka dan Syiga, Hani tak pernah datang kembali ke kedai roti. Di takut jika ketemu mereka kembali. Untuk mencoba menghibur Hani dari kemurungan, Reno berinisiatif mengajaknya berjalan-jalan ke sebuah mall yang cukup besar. "Belilah apa pun yang kau mau." Ujar Reno kepada Hani. Hani menggeleng lemah. "Aku sedang tak ingin beli apapun, Mas." Reno tak memaksa. Kalo Hani sudah bilang tidak, maka sulit sekali untuk di bujuk lagi. "Ya sudah.. Kalo begitu mending kita cari makan dulu." "Iya, Mas." Mereka berdua pun berjalan menuju Restaurant langganan Hani yang berada di kawasan Mall. Sesampainya di Restaurant tersebut, Reno langsung memesan makanan yang ia mau, sedangan Hani masih diam saja. Menyadari itu, Reno hanya bisa menghela nafas panjang. "Ada apa, Hani? Apakah kau masih sedih atas gelang mu yang hilang, atau karena pertemuan mu dengan masa lalu mu?." Tanya Reno serius. "Dua-duanya, Mas. Di sisi lain, aku sa
"Arrrgggg.. Tolong!." Hani menjerit dan meronta saat tiba-tiba kedua tangannya di cekal oleh tangan Tacka yang kekar. "Siapa pun.. tolong aku!." Teriak Hani lagi, tapi sayangnya tidak ada yang datang menolong. Keadaan di toilet sedang sepi, hanya ada mereka bertiga saja. "Turuti permintaan ku. Jika tidak... Tacka menjeda kalimatnya. Matanya yang tajam memindai seluruh tubuh Hani yang tertutup pakaian Syar'i. "Maka aku akan melakukan seperti yang pernah kita lakukan dulu." Lanjutnya dengan bibir tersenyum menyeringai. "Hiks.." Semakin pecah lah tangis Hani. Tubuhnya sampai melorot, karena persendian kakinya yang mendadak lemas. Untung saja Tacka masih memeganginya, kalo tidak, Hani pasti sudah terjatuh di atas dinginnya lantai. Syiga yang awalnya diam saja, akhirnya memberanikan diri mendekati mereka bedua. "Apa yang telah Papa lakukan kepada Kakak cantik?." Tangan mungil Syiga mencoba membantu melepaskan pergelangan tangan Hani dari cengkeraman Tacka, namun sayang,