"Dan suster, kamu juga bisa ikut keluar bersama Nyonya besar! Kamu bisa istirahat dan besok bisa membantu istriku untuk mengurus bayiku lagi," titah Arman pada baby sitter yang baru saja masuk ke dalam kamar sembari membawa sebotol susu formula. Akhirnya Agnes pun memilih mengalah, ia keluar bersama dengan para pembantu dan juga babysitter cucunya. Bagaimana pun sekarang ini sudah larut malam, Agnes hanya menginginkan ketenangan. Air mata akhirnya luruh dan keluar dari pelupuk mata Yasinta. "Kenapa kamu tidak memikirkan aku, Mas? Aku ini capek, setiap malam harus bergadang dengan bayi kita. Aku juga ingin bermesraan denganmu dan beristirahat dengan nyenyak. Kenapa kamu malah menyuruh baby sitter itu yang sudah kita bayar mahal untuk beristirahat? Bukannya menyuruh aku," gerutu Yasinta dengan suara parau, merasakan hatinya yang sedang terluka oleh keputusan yang baru saja dibuat oleh Arman. "Apakah sekarang aku tidak berarti untukmu? Apakah rasa cintaku selama ini hanya di
Akhirnya pintu pun terbuka, David pun langsung berjalan kearah ranjang. Dimana putranya itu berada. "Kok bisa kamu didalam kamar sendirian, sayang? Dimana sebenarnya ibu susumu itu?" David nampak mengajak bayinya yang sedang tertidur dengan sangat pulas itu berbicara. Tentu saja, bayi itu tidak memberikan tanggapan atas pertanyaan yang baru saja diberikan oleh ayahnya. "Sial! Kenapa aku bisa bodoh dan selinglung itu? Kenapa aku malah bertanya pada seorang bayi yang bahkan belum bisa berbicara?" "Jangankan berbicara, duduk saja belum bisa. Harusnya kalau mencari keberadaan Dilara, aku itu harus melihat ke arah CCTV yang aku pasang." Lagi lagi David hanya bisa merutuki kebodohannya. Selain merasa bodoh, ia juga tidak fokus. David pun mengambil hape yang ada di saku celananya, sebelum ia membuka rekaman CCTV. Tiba tiba tatapannya fokus ke arah kamar mandi yang ada didalam kamar. Ceklek, pintu kamar mandi terbuka dan memperlihatkan Dilara yang baru saja selesai mandi. Dilar
"Tuan, saya mohon! Ini hanya sebuah kecelakaan, saya benar benar tidak berniat untuk menggoda. Saya di sini murni bekerja untuk menyusui bayi Tuan," kata Dilara dengan nada memohon. Bagaimana pun ia tidak mau di salahkan atau pun dituduh oleh David. Bahkan air mata Dilara nampak menetes dari ke dua pelupuk matanya. Ia benar benar takut jika dinodai lagi oleh David. "Terus kalau kalau tidak berniat menggodaku, kenapa sengaja terpeleset didepan ku?" David bertanya dengan sorot mata tajam dan juga dingin. Dilara berusaha menahan tubuhnya yang bergetar, karena kedinginan dan takut. "Kalau saya mengatakan, alasan saya terpeleset karena lantai licin. apakah Tuan David akan percaya?" Sontak tatapan tajam David beralih ke bawah. Tahu, jika ucapan Dilara itu benar. Tentu saja David enggan untuk disalahkan walaupun dirinya sendiri memang salah. "Kalau begitu cepat pergi ke walk in closet. Dan segera pakai bajumu," titah David untuk mengalihkan pembicaraan. "Tu - Tuan saya
David nampak menggertakkan gigi giginya, bahkan tangannya yang sekarang ini berada diatas meja makan nampak mengepal dan memperlihatkan otot ototnya yang terlihat membesar. "Dilara? Kenapa kau itu lama sekali datang kesini? Sudah lebih dari 20 menit aku itu menunggumu!" gerutu David dalam hatinya sembari terus melihat kearah jam mewah yang terpasang dipergelangan tangannya. David nampak memasang wajah yang begitu menyeramkan. Auranya menakutkan, membuat bebarapa pengawal dan pelayan yang ada disana merasa takut. "Dimana Laras? Kenapa sampai sekarang dia belum kesini untuk melayaniku?" Laras yang bertugas sebagai kepala pelayan, juga memiliki tugas untuk melayani David saat makan. Seperti mengambilkan beberapa makanan yang David minta untuk berada diatas piringnya. Karena selain Laras, tidak ada satu pun pelayan yang David percayai. Para pelayan yang berbaris disamping meja makan saling melihat ke arah satu sama lain, mereka juga terlihat menundukkan kepalanya. Karena
Dilara nampak menggeleng gelengkan kepalanya. "Ampun Tuan David," ujar Dilara. "Aku akan menjebloskan mu ke dalam penjara yang paling menyeramkan! Sebagai hukuman atas apa yang kau lakukan sekarang ini!" "Bahkan penjara itu akan lebih menyeramkan dari kandang singa yang beberapa waktu lalu kau takuti." Dilara memang takut, tapi melihat ucapannya tidak direspon sama sekali oleh David. Ia memilih untuk sadar diri. "Tenang Dilara, bukankah selama ini kamu itu selalu berperilaku baik pada orang orang? Yakinlah Tuhan pasti akan menolong mu, dan apakah kamu ingat jika Tuan David sudah memasang CCTV didalam kamar mu ini?" gumam Dilara dalam hatinya, ia berbicara dengan dirinya sendiri dengan sedikit harapan. "Jadi jangan takut, dia pasti nanti akan bisa melihta fakta yang sebenarnya itu terjadi. Karena memang kau tidak bersalah akan hal ini." Dida berusaha untuk berpikir positif dan bersikap tenang untuk menenangkan degub jantungnya yang sekarang ini berdetak sangat kencang, bahka
Sementara itu disebuah rumah sakit elit dan juga terbesar dikota ini. Seorang pria kekar dengan tinggi semampai nampak berjalan mondar mandir disebuah ruangan yang dikhususkan untuk masyarakat kelas atas. Pintu ruangan itu pun nampak dibuka dari dalam, menampilkan seorang dengan pakaian dokter. "Tuan David, perkenalkan saya adalah Tomi, dokter anak terbaik di rumah sakit ini! Menurut diagnosis saya, bayi anda itu demam tinggi bahkan hampir tidak sadarkan diri. Karena ada seseorang yang sengaja memasukkan racun ke dalam tubuhnya," jelas dokter itu sedikit memasang ekspresi wajah takut. "Apa?" Raut wajah David langsung merah padam, bahkan ketampanan yang tadi ditunjukkan wajahnya sekarang ini benar -benar sirna, berubah menjadi raut wajah yang menyeramkan. Melihat amarah yang begitu menyeramkan yang ditunjukkan dari wajah David, dokter spesialis anak yang bernama Tomi nampak begitu ketakutan. Ia yang takut memilih untuk berpamitan dan mencari alasan agar bisa kembali ke da
Arman juga tidak mau asal menuduh dan berbicara buruk maupun berbuat kasar pada istrinya, karena apapun yang terjadi ia ingin mencari tahu akar permasalahannya terlebih dahulu. Arman dan keluarganya akhirnya sampai didepan ruangan tindakan yang terletak di bangsal khusus untuk orang-orang kaya. Dalam hati, ia merasa ada yang janggal, meski tidak tahu apa itu. Tanpa disadarinya, sepasang mata terus memperhatikan setiap gerak-geriknya sejak tadi. "Saya akan ikut masuk ke dalam untuk menemani putri saya," ujar Arman pada dokter dan suster yang berada di ambang pintu ruang tindakan. Tidak ingin ada yang salah dalam proses penyembuhan putrinya, ia ingin menjaganya sejak dari awal hingga akhir. "Baik Pak, tapi hanya boleh dua orang yang masuk ke dalam ruang tindakan," sahut Suster itu dengan nada sopan sembari mengulurkan tangannya, agar Arman menyerahkan bayinya ke dalam gendongan Suster itu. Hatinya menciut; ia begitu khawatir, ragu dan ingin memastikan semuanya berjalan dengan b
"Aku apa Dilara?" tanya Etnan dengan nada tidak sabaran. "Ayo berikan segera jawaban mu!" imbuh Etnan sembari terus melakukan hal yang sungguh sangat membuat Dilara ingin muntah. Dilara nampak menjauhkan tangan Etnan dari tubuhnya, bahkan ia terlihat membalikkan badannya. "Apapun yang terjadi aku memang tidak bersalah! Bukankah orang licik sepertimu memang tidak bisa dipercaya sampai kapan pun! Kau pasti akan terus membuat segala cara agar aku itu terus tunduk di bawah perintahmu," gumam Dilara dalam hatinya, akhirnya ia menatapkan dirinya sendiri untuk mengambil sebuah keputusan. "Aku memilih untuk tidak meminta bantuan mu Etnan! Karena apapun yang terjadi. Aku memang tidak bersalah!" "Aku gak mau terus-terusan diperas dengan tubuhku!" ujar Dilara dengan nada tegas, bahkan ucapannya terdengar tidak terbantahkan, kedua bola matanya menunjukkan sebuah keberanian. Seketika mimik wajah Etnan pun berubah masam, bahkan percikan amarah juga terlihat dari kedua bola matanya. "
Laras dengan santainya berjalan ke arah sisi Albert Wongso, tatapan matanya sinis melirik ke arah Ditya yang mematung dengan raut muka merah padam. Darah Ditya seakan mendidih, jantungnya berdegup kencang saat menyaksikan pembantunya yang tak tahu malu itu berdiri dengan angkuh di samping orang yang selama ini sangat dia percayai. Ditya tertawa sini, lalu dia berkata, "Ternyata, hal buruk itu sudah kalian berdua rencanakan sebelumnya." Suaranya gemetar, mengingat kejadian di kamar dimana Laras dengan liciknya memberikan obat perangsang kepadanya. "Iya, tentu saja. Aku adalah orang yang pintar, gak mungkin jika seorang pelayan rendahan memiliki banyak uang untuk membeli beberapa kamera tersembunyi itu, ingat apapun yang terjadi kau harus bertanggung Jawab apa yang sudah kamu lakukan,," sahut Laras dengan nada tinggi dan penuh keangkuhan. Dia menatap Ditya dengan pandangan yang penuh kemenangan, seolah-olah telah memenangkan pertarungan yang tidak seimbang. "Kalau kau
David bingung melihat ekspresi wajah istrinya yang terlihat begitu terkejut. "Sayang, apa yang terjadi?" tanya David khawatir. 'Gimana ini? Apakah harus jujur, tapi sekarang ini kakek melakukan hal yang membuatku membencinya. Bahkan David bisa juga muak dengannya.' 'Tapi bagaimana pun juga, kakek adalah kakek kandungku. Orang yang berjasa merawat ku setelah kedua orang tuaku tiada, takutnya nanti kalau David itu beneran benci sama kakek.' Melihat istrinya melamun gak jelas, David pun mencium bibir istrinya. Hal itu langsung membuat lamunan Dilara buyar, bahkan wajah malah menjadi merah merona. "David," teriak Dilara pura-pura kesal. "Kenapa kamu tiba-tiba mencium ku." "Kenapa? Gak ada yang salah dengan mencium bibir istriku sendiri, hmm ... Bahkan seluruh tubuhmu, aku juga sudah melihatnya," goda David dengan nada nakal. Hal itu membuat wajah Dilara semakin merah, bahkan terlihat seperti kepiting rebus. "Ayo kita main dulu!" ajak David seraya menaikkan turunkan
"Apa gara-gara baku hantam tadi? Ada sesuatu yang serius dengan kepalamu?" Wajah David nampak kebingungan setelah mendengar celotehan istrinya. David sontak memegang kepalanya sendiri, dia mencoba mengingat. 'Bukankah tadi saat bertengkar dengan Samuel, tidak memakai kepala?' gumam David tanpa sadar dalam hatinya. Otaknya masih terus mengingat. Tapi yang dia ingat, tadi otaknya masih utuh dan tidak terkena guncangan apapun. "Ayo kita kerumah sakit! Periksakan kepalamu, kenapa bisa kamu itu tiba -tiba lupa. Jika semua uangmu itu ada di aku," kata Dilara dengan nada khawatir. Wajah kebingungan yang sebelumnya ditunjukkan David langsung berubah masam. Setelah dia menyadari pikiran konyol yang ada didalam otak istrinya. "Astaga Dilara, kamu mengira kalau aku itu pikun. Bahkan takutnya nanti aku dengan mudah melupakan jika kamu itu istriku, itu-kan hal yang kamu takutkan sekarang," tebak David yang mana langsung mendapatkan anggukan kepala dari Dilara. Dilara memas
"Dilara, ayo kita pergi dari sini!" titah David dengan wajah masam. Melihat tangan istrinya yang masih disentuh orang lain, sifat posesif David muncul. "Dilara sepertinya kamu sudah menikah, kenapa tidak mengundangku?" tanya pria itu, dia enggan melepaskan tangannya dari tangan Dilara. "Samuel, sudah lama sekali kita gak bertemu. Bahkan aku belum pernah mendengar kabarmu. Bagaimana caranya aku memberikan undangan?" jawab Dilara tanpa rasa canggung menghangat kedekatan mereka dulu. Dilara terus memperhatikan Samuel dari atas ke bawah. "Samuel, aku gak tahu kalau kamu bisa berubah begini! Lepaskan dulu, suamiku sangat posesif," titah Dilara dengan senyuman lebar, bahkan ucapannya diselingi dengan canda dan tawa. Dahi David mengernyit, dia bingung dengan sikap istrinya. 'Kenapa dia begitu berani? Bermesraan dengan pria lain didepanku?' David menatap tajam ke arah istrinya. "Oh ... Ya." Samuel menaikkan satu alisnya. Dia menatap Dilara dengan tatapan yang sulit untuk didesk
"Aku ingin sekali menghancurkan kehidupan cucumu dengan suami bucin -nya. Cucumu itu telah merebut David- ku," jawab Laras berbisik tepat ditelinga Ditya. Dengan wajah yang terlihat jijik, Ditya menjauhkan tubuh Laras yang begitu dekat dengannya. Selama ini dia bisa bertahan menjadi duda yang hanya setia kepada mendiang istrinya, kalau tidak gara-gara Laras. Ditya mungkin saja masih duda sampai sekarang. Melihat tatapan Ditya, Laras hanya tersenyum sarkas. Tapi Ditya mengerti arti dari senyuman Laras itu. "Jadi kau menjebakku agar menikahimu demi menghancurkan cucuku sendiri. Kau gak pantas buat David. Kau harusnya sadar diri, hanya pembantu," kata Ditya melotot tajam. Laras tertawa sarkas lalu berkata, "setelah kamu menikahiku, tentu saja aku bukan pembantu lagi." Ditya ingin mencekik Laras, tapi Laras malah tertawa keras dan terlihat seperti orang gila. "Disini ada beberapa kamera yang sudah aku pasang, dan kamera itu sudah terhubung dengan seseorang." U
Laras merasakan jantungnya berdebar kencang saat menerima telepon dari Aland. Dia tahu, dirinya sebelumnya terlalu sombong. Demi membuat David dan Dilara menderita, dia harus mengeluarkan banyak sekali uang untuk Devandra. Bahkan seluruh tabungannya yang dia kumpulkan saat bekerja pada David sebelumnya sudah habis. Suara Aland terdengar lelah namun lega, "Laras, aku dan Devandra sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Tapi aku butuh uang untuk biaya taksi dan beberapa keperluan lain." Laras menggigit bibirnya, berusaha keras untuk tenang. Dengan suara yang berusaha terdengar meyakinkan, dia menjawab, "Tenang, aku akan mengurusnya. Aku tahu bagaimana mendapatkan uang dari kakek Ditya. Aku akan segera mengirimkan uangnya padamu." Dari balik telepon Aland bingung, dahinya nampak berkerut. Tapi, dia dan Laras hanya partner. Dia membantu Laras, dan Laras sendiri membantunya untuk tetap hidup. Garis ketegangan tergambar jelas di wajah Laras saat dia memutuskan panggilan
Indira melahirkan, tapi dia tidak dibawa ke layanan kesehatan melainkan melahirkan di camp agen. Indira menggenggam erat tangan Esti saat mengucapkan kata-kata penuh kebencian itu. Matanya yang merah menatap lurus ke arah bayi yang baru saja dia lahirkan. "Aku benci anak ini," gumamnya hampir tak terdengar. Bayi itu menangis, suaranya melengking kecil memecah kesunyian ruangan, namun tidak mampu mencairkan kebekuan di hati Indira. Esti, dengan lembut membelai punggung Indira, mencoba menenangkan teman baiknya itu. "Indira, dia bayi yang tidak berdosa. Jangan biarkan luka dari masa lalumu meracuni hati ini," ucap Esti, suaranya penuh kelembutan dan pengertian. Tetapi, Indira hanya menggigit bibirnya, matanya tak lepas dari wajah bayi yang terlalu mirip dengan Etnan, pria yang telah memberinya luka begitu dalam. "Bagaimana mungkin aku mencintai sesuatu yang selalu mengingatkanku pada dia?" kata Indira dengan nada getir. Esti menghela napas, hatinya terasa berat m
Dilara merasa kesulitan untuk melanjutkan kata-katanya. Sementara kedua alis David nampak menyatu. "Ada apa memangnya antara kakek Ditya dan juga Laras?" tanya David bingung. Bahkan rasa penasaran mulai membuncah didalam dirinya. Baru kali ini, David merasa sekepo ini tentang urusan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya. "Kakek Ditya melakukan hubungan terlarang dengan Laras, nanti aku akan menikahkan mereka berdua kalau Laras itu hamil," celetuk Dilara yang mana membuat David semakin terkejut. Mengingat Laras juga seumurannya. "Astaga," sahut David, kedua bola matanya langsung menatap ke arah langit yang dipenuhi bintang. "Ayo sekarang pindah dari rumah kakekku, kita tinggal dimansionmu!" titah Dilara matanya sembab. David ingin menolak mengingat sudah tengah malam, tapi istrinya bersikeras. Di bawah langit yang berkelip bintang, David menelan ludah, berusaha mencerna informasi yang baru saja dihembuskan oleh istrinya. "Mengapa kau bilang
Laras terisak dalam ruangan itu, air matanya mengalir membasahi pipinya yang pucat. Rambutnya yang biasanya rapi kini acak-acakan, dan bajunya yang terbuat dari kain halus tampak kusut dan berserakan. Namun, di balik air mata dan rupa yang menyedihkan itu, ada senyuman tipis yang tersembunyi di sudut bibirnya. Rencananya telah berjalan dengan mulus. Di hadapannya, Kakek Ditya berdiri dengan wajah yang bingung dan terkejut, tangannya gemetar. Giginya gemertak, merasakan sebuah amarah yang tak bisa tertahankan. Dia ingin sekali mengejar cucunya Dilara yang marah karena memergoki aksinya yang tdia "Kakek Ditya, kamu harus bertanggung jawab. Karena kamu telah melakukan hal buruk padaku," ucap Laras dengan suara yang lirih namun penuh dengan tuduhan. Kakek Ditya, yang semula ingin menyalahkan Laras, kini terhenti kata-katanya. Dia menatap Dilara, yang berlari ke luar kamarnya, ingin mengejarnya namun kaki tuanya tidak secepat dulu. Ditya menoleh kembali ke Laras,