Arman juga tidak mau asal menuduh dan berbicara buruk maupun berbuat kasar pada istrinya, karena apapun yang terjadi ia ingin mencari tahu akar permasalahannya terlebih dahulu. Arman dan keluarganya akhirnya sampai didepan ruangan tindakan yang terletak di bangsal khusus untuk orang-orang kaya. Dalam hati, ia merasa ada yang janggal, meski tidak tahu apa itu. Tanpa disadarinya, sepasang mata terus memperhatikan setiap gerak-geriknya sejak tadi. "Saya akan ikut masuk ke dalam untuk menemani putri saya," ujar Arman pada dokter dan suster yang berada di ambang pintu ruang tindakan. Tidak ingin ada yang salah dalam proses penyembuhan putrinya, ia ingin menjaganya sejak dari awal hingga akhir. "Baik Pak, tapi hanya boleh dua orang yang masuk ke dalam ruang tindakan," sahut Suster itu dengan nada sopan sembari mengulurkan tangannya, agar Arman menyerahkan bayinya ke dalam gendongan Suster itu. Hatinya menciut; ia begitu khawatir, ragu dan ingin memastikan semuanya berjalan dengan b
"Aku apa Dilara?" tanya Etnan dengan nada tidak sabaran. "Ayo berikan segera jawaban mu!" imbuh Etnan sembari terus melakukan hal yang sungguh sangat membuat Dilara ingin muntah. Dilara nampak menjauhkan tangan Etnan dari tubuhnya, bahkan ia terlihat membalikkan badannya. "Apapun yang terjadi aku memang tidak bersalah! Bukankah orang licik sepertimu memang tidak bisa dipercaya sampai kapan pun! Kau pasti akan terus membuat segala cara agar aku itu terus tunduk di bawah perintahmu," gumam Dilara dalam hatinya, akhirnya ia menatapkan dirinya sendiri untuk mengambil sebuah keputusan. "Aku memilih untuk tidak meminta bantuan mu Etnan! Karena apapun yang terjadi. Aku memang tidak bersalah!" "Aku gak mau terus-terusan diperas dengan tubuhku!" ujar Dilara dengan nada tegas, bahkan ucapannya terdengar tidak terbantahkan, kedua bola matanya menunjukkan sebuah keberanian. Seketika mimik wajah Etnan pun berubah masam, bahkan percikan amarah juga terlihat dari kedua bola matanya. "
Kedua mata mereka bertemu dalam tatapan yang begitu lama, Arman saat itu sedang berada diluar ruangan untuk mengurus administrasi putri tunggalnya di meja resepsionis yang tidak jauh dari bangsal orang-orang kaya. Namun, langkah Arman terpaksa terhenti seketika ketika ia menyadari sosok mantan istrinya yang pernah hidup bersama dalam bahtera rumah tangga kini hadir di hadapannya. Pernah menjadi pasangan hidup, namun kini berpisah, Arman memilih untuk kembali pada cinta pertamanya. Dilara, mantan istrinya, memandang Arman dengan perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Arman adalah satu-satunya orang di dunia ini yang pernah memperlakukan dirinya dengan begitu baik, selain almarhumah ibunya. "Mas Arman," gumam Dilara dengan nada sendu, merasakan sejuta kenangan yang kembali mengalir dalam benaknya. Namun, apa daya, rasa haru dan rindu dalam tatapan Dilara seolah tak berarti lagi di mata Arman. Dihadapkan dengan kenyataan pahit bahwa mantan suaminya kini tak lagi mengena
Dilara tengah ketar-ketir, David yang duduk di pojok ruangan terus saja memperhatikannya. Ia ingin menjalankan tugasnya dengan sempurna, tetapi hadirnya David membuatnya grogi dan takut melakukan kesalahan. Apalagi, tatapan David yang begitu tajam seperti elang, terus saja menatapnya dan memperhatikan gerak geriknya. Akhirnya satu jam pun berlalu, Dilara berhasil memompa sebanyak sembilan puluh mililiter ASI. Sebenarnya jumlah itu masih tergolong sedikit, untuk ukuran ASI nya yang begitu deras. Namun, karena bayi David segera membutuhkannya, jadi memang tak ada pilihan lain. "Tu - tuan, hanya ini hasil pompa yang didapatkan," ujar suster yang sejak tadi membantu Dilara memompa ASI-nya. "Tapi, dia sudah bisa menggunakan alat pompa ASI itu bukan?" tanya David. Suster itu menanggapi pertanyaan David sembari menganggukkan kepalanya. "Iya Tuan, Dilara sudah bisa menggunakannya." Dilara pun segera menghela napas, setidaknya pekerjaannya selesai dengan lancar. Meskipun mas
Dilara nampak meringis, bahkan ia merasa pandangan matanya semakin lama terasa kabur. Kala dokter itu mulai mengambil kantong ke tiga darah dari tubuhnya. "Nona, semoga anda kuat!" kata Suster itu dengan tatapan iba saat menatap ke arah Dilara. Karena wajah Dilara sekarang ini benar benar terlihat pucat pasi, seperti seorang mayat hidup. Benar benar tidak ada rona kemerahan ditubuh maupun wajahnya. Sekuat tenaga, Dilara mencoba untuk menahan agar dirinya itu tidak menangis. Namun, nyatanya air mata itu nampak keluar dari ke dua pelupuk matanya. Hal itu tak luput dari pandangan mata David, lantas ia pun menatap ke arah Dilara dalam dalam. Ntah kenapa melihat Dilara kesakitan dan mengeluarkan air mata, sesuatu dalam diri David bangkit. Bangkit sebuah keinginan untuk menyentuh Dilara, bahkan hasratnya itu lebih menggebu gebu dibandingkan dengan sebelumnya. Dia sendiri heran, kenapa bisa seperti ini? Sebenarnya David sendiri juga bingung, awalnya ia adalah orang yang norm
Suster itu merasa dilema, kemudian mematung seraya menggumamkan pertanyaan dalam hati, "Haruskah aku mengambil ASI Dilara saat kondisinya sedang sekarat seperti ini? Apakah aku sudah kehilangan rasa kemanusiaan?" Dia berusaha berpikir keras, menimbang segala kemungkinan yang ada. "Cepat lakukan! Apakah kau kira aku main-main? Bahkan aku tahu, kalau anakmu itu sakit dan dirawat di rumah sakit yang tak jauh dari sini. Dan dirumah sakit itu, anakmu ditemani oleh kakak kandungmu!" ujar David dengan mengejek, ingin menunjukkan kuasanya. Hatinya seperti teriris mendengar David mengancam anak dan keluarganya. "Bagaimana bisa Tuan David mengetahui semuanya?" pikir Suster itu dengan wajah bingung, sambil menatap mata David yang tajam itu. Terasa seperti semua kedalaman hatinya berhasil dilihat dan diselami oleh David. "Jika kau ingin keluargamu selamat dan berumur panjang, segera lakukan perintahku!""Karena sekarang aku dalam posisi mood yang tidak baik, bisa saja aku mengebom rumah
Beberapa hari pun berlalu, Dilara masih berada di ruangan yang sama dan terbaring lemah di atas barngkar rumah sakit. Ruangan yang Dilara tempati sekarang ini bernuansa putih dan terlihat begitu luas, bahkan lebih luas dari ruangan VVIP. Namun, ruangan yang terlihat begitu luas itu hanya berisi dirinya yang sendirian. Dan di dalam ruangan itu tidak ada barang barang mewah, hanya berisi kehampaan. JIka didalam Ruangan VVIP biasanya di isi dengan barang barang mewah, di ruangan yang di tempati Dilara hanya berisi sebuah brangkar miliknya, dan sebuah nakas kecil yang ada di sampingnya. Jangankan TV mewah, sofa atau pun kulkas. Minuman saja juga tidak disediakan diruangan itu, bukankah sekarang ini Dilara seperti orang yang terkurung di dalam sebuah penjara. Dilara membuka kelopak matanya secara perlahan, mendapati dirinya yang masih berada dalam ruangan sama. Rasa kecewa benar benar terlihat dari wajahnya. "Ya Allah, Ya Tuhan ku. Sekarang ini aku benar benar merasa lapar dan
"Kau tahu Dilara, jika kekejaman yang aku lakukan sekarang ini kepadamu. Sudah mendapatkan restu dari ayah kandungmu. Bahkan kemarin dia juga menawarkan untuk menjual nyawamu kepadaku sebesar dua miliar rupiah. Namun, bagi ku angka itu sungguh terlalu mahal. Untuk untuk seonggok daging manusia yang hanya tersisa kulit dan juga tulang. Bahkan hanya mempunyai fungsi seperti sapi perah sepertimu." David nampak menjeda ucapannya itu sebentar. Ia nampak menatap ke arah wajah Dilara begitu dalam. Dilara hanya merespon dengan tatapan nanar nan kosong ke arah lain. Hatinya sekarang ini benar benar terasa begitu sakit.Sekarang ini dia seperti dilemparkan ke dalam sebuah jurang yang dalam. Karena Dilara merasa sudah tidak ada orang didunia ini yang peduli padanya, termasuk ayahnya sendiri Ibnu Mohen. "Dan apa yang ingin kau dengar? Ayahmu itu malah dengan sukarela menurunkan harga nyawamu menjadi satu miliar. Hahaha, tentu saja aku masih menolaknya. Dan akhirnya aku hanya membayarnya
Dengan air mata yang terus berderai, dan juga kesadaran yang semakin menipis, Ibnu terlihat menyesali kesalahannya. Kala tubuh Dilara di bawa paksa oleh pengawal Agnes. Saat para nakes atau keluarga pasien yang lain, menanyakan perihal Dilara yang pingsan. Agnes dengan enteng nampak menjawab jika pengawal yang menggendong Dilara adalah suaminya. Sungguh kebohongan yang luar biasa, Arman sendiri hanya bisa mengikuti ibunya tanpa bisa menyuarakan pendapat nya. Kini mereka melakukan perjalanan ke klinik pribadi dokter yang mau membantu mereka. Dokter yang terkenal akan kelicikannya. Tak berselang lama, mobil Maybach hitam yang membawa rombongan Agnes pun sampai di sebuah klinik yang berada di daerah terpencil. "Mah ... Apakah Mamah itu yakin? Melakukan ini? Kalau terjadi sesuatu pada Dilara bagaimana?" tanya Arman dengan nada khawatir sebelum turun dari mobil Maybach hitam itu. Arman nampak melirik dan terus melihat ke arah Dilara yang masih memejam kan mata dan dalam posisi yang
Sebelum Arman dan juga ibunya Agnes itu datang ke ruangan milik Ibnu, Dilara merasa seperti bertemu dengan sosok ayah yang sudah sangat lama sekali dia rindukan. Ibnu terlihat hangat bahkan mau menerima kebaikannya. Namun, kebahagiaan yang di rasakan Dilara tiba tiba harus menghilang dalam sekejab, setelah kedatangan mantan suami dan juga mantan ibu mertuanya. Di tambah lagi, ternyata ayahnya yang ia kira berubah menjadi baik karena penyakitnya. Ternyata malah kembali menjual dirinya. "Ayah ... Apakah yang di katakan mereka itu benar?" tanya Dilara dengan tatapan nanar saat tatapannya itu menjurus ke arah ke dua bola mata Ibnu. Ibnu sendiri memasang ekpresi wajah yang sulit untuk di deskripsikan. Namun, kesedihan dan juga penyesalan terlihat dari ke dua bola matanya. "Kenapa Ayah begitu tega, melakukan hal ini berkali kali ke pada ku? Apa kesalahan ku? Kenapa tega menjual ku? Aku itu manusia bukan sebuah barang yang pantas untuk Ayah jual maupun sewakan berkali kali." Be
"Ara cucu ku, akhirnya kita akan di pertemukan kembali. Dari awal Kakek yakin. Kalau kamu masih hidup sayang, walaupun para polisi dan agen yakin kamu tidak selamat, karena arus sungai saat itu pasti mengalir ke arah pedalaman dan melewati tebing yang curam," gumam Ditya dengan air mata yang terus menetes dan juga mengalir melewati ke dua pipi keriputnya. Tangan nya nampak menggenggam bingkai foto yang berisi gambar gadis kecil yang cantik. Selama beberapa tahun, Ditya berusaha untuk mencari keberadaan cucunya. Ia sudah membayar banyak agen, bahkan tak ayal dirinya juga menyewa para ninja. Untuk menelusuri arus sungai. Berharap jika cucunya terdampar di sekitaran sungai di mana cucunya itu terjatuh dan di pertemukan dalam keadaan hidup hidup. Namun, selepas cucunya jatuh ke sungai, Ditya tidak pernah melewatkan satu detik pun untuk tidak mencari keberadaan cucunya, dan hal itu berlangsung selama beberapa hari dirinya ikut mencari. Ditya melirik ke arah kertas yang berisi hasil tes
Di jalanan kumuh yang ada di pinggiran kota, seorang pria terlihat meringkuk sembari menatap ke arah langit yang mendung. "Tuhan, aku mohon bantu aku melewati semua cobaan yang berat ini dengan lancar. Semoga beberapa tahun lagi, syaraf syaraf di tubuh ku itu bisa kembali normal. Walau pun itu mustahil, semoga saja bisa. Karena aku ingin bisa menebus kesalahan ku pada seseorang," ujar pria itu dalam hatinya. Banyak sekali syaraf di tubuh pria itu yang lumpuh atau pun mati. Namun, ia mengharap kan mukjizat dari Tuhan. Berharap sebuah keajaiban. Karena setelah beberapa hari merenung, ia baru menyadari. Jika dirinya begitu dalam menyakiti seseorang, dan sangat berharap bisa menembus kesalahan itu. Tiba tiba ada seorang perempuan kecil yang menghampiri dirinya. "Tuan ... Ada seseorang yang memberikan makanan ini untuk mu." Gadis kecil itu nampak menyerahkan sebuah tas yang berisi makanan. Pria itu hanya bisa menjawab ucapan gadis kecil itu dengan anggukan kepala, tanpa bisa menjawa
"Kenapa anda terus berpikir buruk tentang saya Tuan? Bahkan sebelumnya anda juga terlalu percaya pada fitnah fitnah keji yang di tunjukkan pada saya," teriak Dilara sembari terus terisak. Bahkan ia menjeda ucapannya untuk mengambil nafas dalam dalam terlebih dahulu. Akhirnya beberapa hal yang sebelum nya hanya bisa Dilara pendam, sekarang ini seperti sebuah bom waktu yang akhirnya meledak juga. Dilara sendiri juga sebenarnya bingung, keberanian nya itu sebenarnya datang dari mana. Dia hanya orang kecil dan tidak mempunyai koneksi, sebenarnya mana berani melawan David yang mempunyai banyak bawahan dan juga bodyguard. "Sebelumnya Tuan juga sangat tega dengan mempercayai beberapa tuduhan keji yang di berikan kepada ku. Bahkan Tuan juga memberikan hukuman yang sangat kejam pada ku!" Dilara terus mengeluarkan unek unek yang selama ini ia pendam dan juga begitu menyesakkan di dadanya. David merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Ia tidak marah, justru menatap istrinya, Dilara, dengan
"Dilara ... Apakah ada yang sakit? Kenapa kamu itu malah diam mematung seperti ini?" Pertanyaan dari David sukses membuat lamunan Dilara pun buyar. Selama seberapa hari ini, jika bertemu dengan David. Ntah kenapa bayang bayang memalukan saat berada di dalam rumah sakit terus terlintas di dalam otak dan juga pikirannya. Dengan wajah polosnya, Dilara reflek melihat ke arah wajah David dengan bola mata hitam legam dan juga besar itu. Namun, setelah dirinya tersadar. Dilara buru buru memalingkan pandangan nya lagi ke arah lain. David sungguh di buat gemas, dengan tingkah istrinya saat ini. Lantas ia pun berjalan cepat ke arah Dilara. Tanpa banyak bicara langsung menggendong tubuh istrinya itu ala bridal style. "Tu - tuan kenapa anda sekarang ini menggendong saya?" tanya Dilara polos. "Kenapa harus berbicara dengan nada formal?" Bukanya menjawab pertanyaan istrinya, David malah balik mengajukan pertanyaan. "Maaf," sahut Dilara. "Aku akan merebahkan tubuh mu di atas kasur,"
David nampak membaca hasil tes milik Keira istrinya. "Ternyata ginjal milik Keira itu dua, dan ginjal milik Dilara sendiri juga sama sama dua. Jika memang Dilara terbukti sebagai Ara, wanita kecil yang aku cari. Hukuman apa yang pantas untuk aku berikan pada wanita pembohong itu," gumam David dalam hatinya, ia masih mengingat , jika Keira adalah mantan istri dan juga ibu dari darah dagingnya. Mengingat Tes DNA itu belum keluar perihal Devandra. David berjalan ke arah kaca, dimana istri yang selama ini dia cintai dan perlakukan seperti putri raja nampak mengamuk dan juga berteriak kesetanan dengan tatapan kosong. Dengan tangan yang hanya di balut oleh perban. Keira terus saja mengamuk. "Tuan David, apakah ada tindakan yang perlu kami lakukan untuk Nyonya Keira? Seperti operasi, karena saya taku. Jika di biarkan lukanya akan mengalami infeksi," kata salah seorang bawhannya dengan pakaian medis. "Biarkan dia seperti ini dulu! Ini adalah hukuman yang pantas untuk nya, karena
Dengan pipi semerah tomat, Dilara mati matian memalingkan pandangannya ke arah lain. Kala tubuhnya di rebahkan di atas ranjang yang ada di dalam ruangan itu. Karena infus sudah terlepas, tidak ada alasan lain bagi David untuk mengajak istrinya tidur di ranjang yang ada di ruangan itu. Karena memang sebenarnya itu ruang itu, bukan lah ruangan inap. "Kenapa Tuan David terus memandang ku dengan tatapan seperti itu? Kan aku sendiri merasa sangat risih," gumam Dilara dalam hatinya, lantas ia pun menutup matanya, karena tidak kuat dengan tatapan maut yang di berikan oleh David. Pesona yang di layangkan oleh David, benar benar membuat dirinya mabuk kepayang. "Bukankah sedari tadi kamu itu memandang wajah ku, dan memainkan jari jemari mu itu di wajah ku. Kenapa sekarang kamu malah menutup wajah mu sendiri, saat wajah kita berdua sudah sedekat ini?" tanya David heran, ia sebenarnya sudah terbangun dari tadi. Cuman ia memang membiarkan istrinya itu mengungkapkan apa yang ada di dalam hatin
"Apa yang terjadi? Apakah kalian berdua saling mengenal?" tanya David, ia bersikap pura pura tidak mengetahui latar belakang istrinya. "Tu - tuan David," beo Dilara. Ucapan yang barusan keluar dari bibir Dilara, sampai di telinga Arman. "Kenapa Dilara memanggil suaminya dengan sebutan Tuan? Ya ... Pasti feeling ku benar, tidak mungkin orang seperti Tuan David mau menikahi seorang wanita seperti Dilara?" gumam Arman dalam hatinya. Memang kenapa dengan wanita seperti Dilara? Seperti nya Arman terlalu menganggap remeh dan juga enteng perihal posisi mantan istrinya itu. "Sa - saya tidak mengenalnya Tuan, tolong bantu saya untuk menyuruhnya segera keluar dari sini," ujar Dilara sembari menatap David dengan tatapan memohon. Semua ucapan yang barusan keluar dari bibir Arman benar benar menyakiti hati Dilara. Iya, Dilara tahu, jika mantan suaminya itu meminta maaf untuk kesalahan tempo lalu. Namun, dengan mencari pembenaran perihal masa lalu yang menyakitkan itu. Mantan suaminya itu