"Aku apa Dilara?" tanya Etnan dengan nada tidak sabaran. "Ayo berikan segera jawaban mu!" imbuh Etnan sembari terus melakukan hal yang sungguh sangat membuat Dilara ingin muntah. Dilara nampak menjauhkan tangan Etnan dari tubuhnya, bahkan ia terlihat membalikkan badannya. "Apapun yang terjadi aku memang tidak bersalah! Bukankah orang licik sepertimu memang tidak bisa dipercaya sampai kapan pun! Kau pasti akan terus membuat segala cara agar aku itu terus tunduk di bawah perintahmu," gumam Dilara dalam hatinya, akhirnya ia menatapkan dirinya sendiri untuk mengambil sebuah keputusan. "Aku memilih untuk tidak meminta bantuan mu Etnan! Karena apapun yang terjadi. Aku memang tidak bersalah!" "Aku gak mau terus-terusan diperas dengan tubuhku!" ujar Dilara dengan nada tegas, bahkan ucapannya terdengar tidak terbantahkan, kedua bola matanya menunjukkan sebuah keberanian. Seketika mimik wajah Etnan pun berubah masam, bahkan percikan amarah juga terlihat dari kedua bola matanya. "
Kedua mata mereka bertemu dalam tatapan yang begitu lama, Arman saat itu sedang berada diluar ruangan untuk mengurus administrasi putri tunggalnya di meja resepsionis yang tidak jauh dari bangsal orang-orang kaya. Namun, langkah Arman terpaksa terhenti seketika ketika ia menyadari sosok mantan istrinya yang pernah hidup bersama dalam bahtera rumah tangga kini hadir di hadapannya. Pernah menjadi pasangan hidup, namun kini berpisah, Arman memilih untuk kembali pada cinta pertamanya. Dilara, mantan istrinya, memandang Arman dengan perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Arman adalah satu-satunya orang di dunia ini yang pernah memperlakukan dirinya dengan begitu baik, selain almarhumah ibunya. "Mas Arman," gumam Dilara dengan nada sendu, merasakan sejuta kenangan yang kembali mengalir dalam benaknya. Namun, apa daya, rasa haru dan rindu dalam tatapan Dilara seolah tak berarti lagi di mata Arman. Dihadapkan dengan kenyataan pahit bahwa mantan suaminya kini tak lagi mengena
"Maaf, bayi yang ibu lahirkan telah tiada." Ucapan suster itu sontak membuat hati Dilara terasa seperti dihempas ke tanah."Ini tidak mungkin," lirihnya tanpa sadar. Bagaimana bisa?Dilara ingat sehari sebelumnya, saat pembukaan dan kontraksi, bayinya yang masih dalam kandungannya itu tampak sehat dan sempurna saat pemeriksaan USG.Segera, ia menoleh ke arah suami dan ibu mertuanya yang berdiri tidak jauh dari tempat tidurnya, guna mencari pertolongan. Mungkin dia salah dengar, kan? Atau sedang dikerjai?Namun, ucapan ibu mertuanya justru tak disangka, "Ternyata kau seorang wanita yang sungguh tidak berguna! Gara-gara kau tidak menjaga anakmu dengan baik, aku kehilangan cucuku, dan anakku kehilangan darah dagingnya." “Sia-sia, mahar 2 miliar yang kami berikan pada keluargamu.”Mendengar itu, jantung Dilara seperti dibuat berhenti berdetak.Ditambah lagi, tatapan dingin suaminya begitu tajam. "Kalau kamu gak suka ibuku, kamu tidak perlu sampai meminum racun untuk membunuh anak kita
Sang ayah ternyata menepati janjinya. Dilara akhirnya dibebaskan dari penjara. Namun, kebebasan itu terasa pahit. Tidak ada yang menyambutnya. bahkan sang ayah hanya memberikannya sebuah alamat–tempatnya bekerja sebagai ibu susu. "Aku harus melupakan semuanya," gumam Dilara dalam hati, "ini adalah awal baru bagiku." Tak lama kemudian, Dilara menaiki sebuah bus menuju alamat yang diberikan. Namun tak lama setelah masuk ke dalam bis dan mencari tempat duduk, Dilara melihat pemandangan yang membuat hatinya terasa tertusuk duri. Suaminya bersama dengan seorang wanita yang Dilara tahu adalah mantan tunangan pria itu! Keduanya begitu mesra dan akrab … sembari menggendong seorang bayi mungil. Tunggu, bukankah mantan tunangan Arman mandul...? "Nona, kita sudah sampai di tempat tujuan yang nona sebutkan!" Seorang kondektur bis menepuk bahu Dilara, hingga lamunannya pun seketika menjadi buyar. “Terima kasih.” Dilara lantas menyerahkan uang pecahan lima puluh ribuan pada kondektur
Dilara membuka matanya perlahan kala sang ayah memukul-mukul wajahnya. Rasa sakit membuatnya tersadar dari pingsan. "Jangan kacaukan transaksi ini, Dilara. Ingat utang budimu yang harus dibalas! Mendiang istriku bahkan sudah memberikan darah dan ginjalnya pada kau yang hanya anak pungut!" teriak Ibnu penuh kemarahan, sebelum meninggalkan Dilara yang terdiam. Ya, hal lain yang membuat Dilara tak berani melawan adalah fakta ini. Sebelum ibunya pergi untuk selama-lamanya, hubungannya dan sang ayah jauh lebih harmonis. Namun setelah ibunya meninggal tepatnya tujuh tahun silam, segalanya berubah. Menahan pedih, Dilara menahan tangis.Hanya saja, interaksi antara Dilara dan ayahnya itu tak luput dari pandangan David. Pria tampan itu mengintip dari balik jendela yang ada di lantai dua mansion mewah miliknya. Entah mengapa David sendiri seperti merasa ada sesuatu dalam diri ibu susu bayinya itu? Ia juga tidak tahu alasannya, tapi bayang-bayang Dilara seolah sangat sulit untuk mengh
"Tadi sudah aku jelaskan secara rinci. Bagaimana merawat bayi dengan benar." "Oh iya, aku lupa ... bayi Tuan David habis mengalami dehidrasi, jadi kamu harus menyusuinya sesering mungkin!" Dilara lantas mengangguk saat mendengar penjelasan dari dokter anak mengenai cara merawat bayi dengan baik. Lebih dari satu jam, ia menerima pelatihan dan penjelasan dari mereka yang berada di ruangan bersamanya. Meski demikian, Dilara takut kalau sampai dirinya itu melakukan kesalahan karena ia harus menyusui dan merawat seorang bayi yang notabene bukan anak kandungannya. Bahkan, semua itu hanyalah sebuah pekerjaan…. "Saya mengerti! Saya akan melakukannya dengan sangat baik!" ujar Dilara pada akhirnya, sembari menyembunyikan wajah yang masih babak belur dan bengkak. Ada rasa malu dengan penampilannya ini. Namun, dia harus tetap tegar demi keberlangsungan hidupnya dan balas budi pada sang ayah. Satu hal lagi … demi mencari tahu kebenaran perihal anak kandungnya. Entah menga
Byur! Mimpi itu menghilang. Dilara dipaksa bangun karena tubuhnya diguyur dengan seember air! "Bangun! Kenapa kau tidur begitu pulas? Bayi Tuan David sudah menangis kencang sejak tadi, kau harus segera menyusuinya!" Seorang Suster yang membawa ember di tangannya nampak menatap Dilara dengan tatapan tajam. Suster yang lain juga terlihat menggendong bayi David yang masih menangis kencang. Dilara hanya diam--tidak menanggapi ucapan Suster itu. Ia masih merasa bingung, ingatannya masih tertuju pada mimpinya itu. Apa hubungan dirinya dengan Ara? Apakah ini ingatannya waktu kecil atau hanya bunga tidur semata?Ceklek!Tak berselang lama, pintu terbuka dari arah luar, menampakkan sosok David yang memasuki kamar dengan wajah merah padam. "Lepas semua baju yang menempel padanya, biarkan dia polos tanpa sehelai benang. Anakku sudah sangat kehausan jika harus menunggu dia mengganti bajunya yang basah dulu!" perintah David dengan suara baritone yang tak terbantahkan. Dilara mengigit
Cahaya pagi yang hangat mulai menyelinap melalui celah-celah jendela. Perlahan, Dilara membuka matanya, berusaha bangun walaupun rasa kantuk masih menyelimuti kesadarannya. Cepat-cepat, dia duduk dan mengambil bayi mungil didalam kotak bayi lalu memeluknya erat. "Untung kamu belum nangis, Sayang," ucap Dilara lembut, sambil membuka kancing bajunya untuk menyusuinya. Ya, Dilara teringat dengan bisikan para pelayan di rumah ini, jika melakukan kesalahan. Tuan David tidak segan menghukum dan memasukkan ke dalam kandang singa. Sungguh Dilara masih ingin hidup dan membuktikan, kalau putri kandungnya masih hidup. Ceklek! Suara pintu terbuka, David pun masuk bersama beberapa suster yang mengikutinya dari belakang. "Setelah ini, aku akan mengecek dan menimbang berat badan anakku. Awas, kalau sampai berat badan bayi ku turun gara-gara semalam kau tidur nyenyak!" Dalam hati, Dilara bergidik ngeri mendengar ancaman David. Dia menyesali kejadian semalam yang membuatnya takut berh