Dilara tengah ketar-ketir, David yang duduk di pojok ruangan terus saja memperhatikannya. Ia ingin menjalankan tugasnya dengan sempurna, tetapi hadirnya David membuatnya grogi dan takut melakukan kesalahan. Apalagi, tatapan David yang begitu tajam seperti elang, terus saja menatapnya dan memperhatikan gerak geriknya. Akhirnya satu jam pun berlalu, Dilara berhasil memompa sebanyak sembilan puluh mililiter ASI. Sebenarnya jumlah itu masih tergolong sedikit, untuk ukuran ASI nya yang begitu deras. Namun, karena bayi David segera membutuhkannya, jadi memang tak ada pilihan lain. "Tu - tuan, hanya ini hasil pompa yang didapatkan," ujar suster yang sejak tadi membantu Dilara memompa ASI-nya. "Tapi, dia sudah bisa menggunakan alat pompa ASI itu bukan?" tanya David. Suster itu menanggapi pertanyaan David sembari menganggukkan kepalanya. "Iya Tuan, Dilara sudah bisa menggunakannya." Dilara pun segera menghela napas, setidaknya pekerjaannya selesai dengan lancar. Meskipun mas
Dilara nampak meringis, bahkan ia merasa pandangan matanya semakin lama terasa kabur. Kala dokter itu mulai mengambil kantong ke tiga darah dari tubuhnya. "Nona, semoga anda kuat!" kata Suster itu dengan tatapan iba saat menatap ke arah Dilara. Karena wajah Dilara sekarang ini benar benar terlihat pucat pasi, seperti seorang mayat hidup. Benar benar tidak ada rona kemerahan ditubuh maupun wajahnya. Sekuat tenaga, Dilara mencoba untuk menahan agar dirinya itu tidak menangis. Namun, nyatanya air mata itu nampak keluar dari ke dua pelupuk matanya. Hal itu tak luput dari pandangan mata David, lantas ia pun menatap ke arah Dilara dalam dalam. Ntah kenapa melihat Dilara kesakitan dan mengeluarkan air mata, sesuatu dalam diri David bangkit. Bangkit sebuah keinginan untuk menyentuh Dilara, bahkan hasratnya itu lebih menggebu gebu dibandingkan dengan sebelumnya. Dia sendiri heran, kenapa bisa seperti ini? Sebenarnya David sendiri juga bingung, awalnya ia adalah orang yang norm
Suster itu merasa dilema, kemudian mematung seraya menggumamkan pertanyaan dalam hati, "Haruskah aku mengambil ASI Dilara saat kondisinya sedang sekarat seperti ini? Apakah aku sudah kehilangan rasa kemanusiaan?" Dia berusaha berpikir keras, menimbang segala kemungkinan yang ada. "Cepat lakukan! Apakah kau kira aku main-main? Bahkan aku tahu, kalau anakmu itu sakit dan dirawat di rumah sakit yang tak jauh dari sini. Dan dirumah sakit itu, anakmu ditemani oleh kakak kandungmu!" ujar David dengan mengejek, ingin menunjukkan kuasanya. Hatinya seperti teriris mendengar David mengancam anak dan keluarganya. "Bagaimana bisa Tuan David mengetahui semuanya?" pikir Suster itu dengan wajah bingung, sambil menatap mata David yang tajam itu. Terasa seperti semua kedalaman hatinya berhasil dilihat dan diselami oleh David. "Jika kau ingin keluargamu selamat dan berumur panjang, segera lakukan perintahku!""Karena sekarang aku dalam posisi mood yang tidak baik, bisa saja aku mengebom rumah
Beberapa hari pun berlalu, Dilara masih berada di ruangan yang sama dan terbaring lemah di atas barngkar rumah sakit. Ruangan yang Dilara tempati sekarang ini bernuansa putih dan terlihat begitu luas, bahkan lebih luas dari ruangan VVIP. Namun, ruangan yang terlihat begitu luas itu hanya berisi dirinya yang sendirian. Dan di dalam ruangan itu tidak ada barang barang mewah, hanya berisi kehampaan. JIka didalam Ruangan VVIP biasanya di isi dengan barang barang mewah, di ruangan yang di tempati Dilara hanya berisi sebuah brangkar miliknya, dan sebuah nakas kecil yang ada di sampingnya. Jangankan TV mewah, sofa atau pun kulkas. Minuman saja juga tidak disediakan diruangan itu, bukankah sekarang ini Dilara seperti orang yang terkurung di dalam sebuah penjara. Dilara membuka kelopak matanya secara perlahan, mendapati dirinya yang masih berada dalam ruangan sama. Rasa kecewa benar benar terlihat dari wajahnya. "Ya Allah, Ya Tuhan ku. Sekarang ini aku benar benar merasa lapar dan
"Kau tahu Dilara, jika kekejaman yang aku lakukan sekarang ini kepadamu. Sudah mendapatkan restu dari ayah kandungmu. Bahkan kemarin dia juga menawarkan untuk menjual nyawamu kepadaku sebesar dua miliar rupiah. Namun, bagi ku angka itu sungguh terlalu mahal. Untuk untuk seonggok daging manusia yang hanya tersisa kulit dan juga tulang. Bahkan hanya mempunyai fungsi seperti sapi perah sepertimu." David nampak menjeda ucapannya itu sebentar. Ia nampak menatap ke arah wajah Dilara begitu dalam. Dilara hanya merespon dengan tatapan nanar nan kosong ke arah lain. Hatinya sekarang ini benar benar terasa begitu sakit.Sekarang ini dia seperti dilemparkan ke dalam sebuah jurang yang dalam. Karena Dilara merasa sudah tidak ada orang didunia ini yang peduli padanya, termasuk ayahnya sendiri Ibnu Mohen. "Dan apa yang ingin kau dengar? Ayahmu itu malah dengan sukarela menurunkan harga nyawamu menjadi satu miliar. Hahaha, tentu saja aku masih menolaknya. Dan akhirnya aku hanya membayarnya
"Tuan David, tolong mengerti! Bisakah Anda mengurangi hukuman untuk Dilara? Jika terus seperti ini, dia akan mengalami gangguan mental, bahkan lama kelamaan dia bisa menjadi gila," ujar Etnan dengan nada memohon, berharap David bisa melihat betapa besar pengaruh hukuman itu bagi Dilara. "Apa urusanmu dengan mental Dilara? Biarkan saja dia gila, tidak ada hubungannya denganmu, juga tidak akan mempengaruhi anakku yang dia susui." Tanpa Etnan sadari jika sekarang ini David terlihat geram, seolah-olah Etnan telah menentang keputusan yang sudah ia buat. Melihat wajah David yang semakin marah, Etnan sadar bahwa ia telah melangkah terlalu jauh. Hatinya berkecamuk, "Apakah aku seharusnya tidak membahas hal ini? Mungkin aku cuma akan menambah masalah." Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta maaf pada David sebelum semuanya semakin buruk. Etnan sudah berusaha meminta bantuan Laras, namun Laras malah mengancam dan dengan halus menolak permintaannya. Ia benar benar tidak ada pilihan la
"Laras, aku mohon! Tolong aku, bebaskan aku dari sini! Bagaimana pun malam itu aku tidak bersalah! Aku hanya ingin melindungi Tuan muda Devandra, aku tidak ada niat sama sekali untuk menyakitinya," ujar Dilara dengan setitik cahaya yang terlihat dari ke dua bola matanya. Walaupun cahaya itu terlihat sangat redup dan juga sayu. Namun, Dilara merasa memiliki harapan dan ia yakin, Laras pasti akan membantunya. Laras sendiri hanya diam seraya berjalan ke arah brangkar Dilara dengan wajah datar. Lalu ia menyuruh pelayan lain yang berada didalam ruangan milik Dilara untuk keluar ruangan. "Sekarang lebih baik kalian semua keluar dari sini! Aku mau berbicara empat mata dengan Dilara," titah Laras dengan suara meninggi, sehingga membuat nyali pelayan lain menjadi ciut. Semua orang di Mansion mewah ini tentu saja tahu, seberapa besar kekuatan yang dimiliki oleh Laras. Pelayan yang tadi masuk bersama Laras pun berbondong bondong keluar dari dalam ruangan milik Dilara. Melihat wajah
Saat Laras berjalann sampai pintu ruangan Dilara, tiba tiba ia dikejutkan dengan kedatangan David. Lantas ia pun terlihat bertatap muka dengan David. "Tu - tuan," gumam Laras dengan suara yang terdengar begitu lirih, bahkan saking lirihnya mungkin David tidak bisa mendengar suaranya. Laras langsung berpura pura kesulitan berjalan, bahkan ekspresi wajahnya langsung berubah seperti orang sekarat. Hal yang Laras lakukan barusan, tidak luput dari tatapan tajam Dilara. "Ya Tuhan ku, kenapa aku bodoh sekali? Harus mempercayai dan juga berharap pada wanita berbisa seperti Laras," gumam Dilara dalam hatinya dengan tatapan penuh kesumat. Dilara yakin, apa yang di katakan oleh Laras barusan memang benar apa adanya. Ia yakin, jika David memang tidak akan melepaskannya begitu mudah. Apalagi, bukti semua kekacauan yang sekarang ini terjadimengarah pada dirinya. Tuannya itu juga tidak akan pernah membiarkan dirinya mati dengan begitu mudah, pasti David tetap akan menyiksanya dengan par
"Kalau bukan karena kakek tua bangka itu yang membuat Dilara bertemu dengan Albert, situasinya gak bakalan mungkin jadi seperti sekarang ini," gumam David dengan gigi gemertak. Wajahnya sekarang ini benar-benar terlihat sangat sura... David mengepalkan tangannya di atas kemudi, matanya mengikuti pantulan lampu mobil Albert yang semakin menjauh. Esti tiba-tiba saja masuk dan duduk di sampingnya, matanya sesekali mencuri pandang ke arah David, khawatir akan keselamatannya. "Kenapa kau masuk ke dalam? Keluar!!" David murka. "Tuan, sopir Anda tadi dibius oleh seseorang, biar saya yang mengemudikan!" kilah Esti. "Esti, cukup," suara David terdengar tegas dan datar, mencerminkan kekecewaan yang mendalam. "Biarkan aku yang mengemudi." Tapi Esti, dengan lembut menaruh tangannya di atas tangan David yang masih mengepal di kemudi. "Tuan, saya hanya ingin memastikan Anda selamat. Emosi Anda sangat tinggi sekarang, bukan waktu yang tepat untuk mengemudi," ucapnya dengan s
Sekarang ini Dilara kembali mendapatkan perawatan intensif dari pihak rumah sakit, sementara David menunggu didepan pintu perawatan dengan sangat cemas. "Esti, memangnya apa yang terjadi?" kata David dengan suara mengintimidasi. Esti sendiri juga bingung, kenapa Dilara bisa bersikap overprotektif kepada dirinya? Padahal saat dulu dia menjadi suster pribadi Dilara, Dilara tidak seperti itu. Esti malah menunduk, ia sekarang ini terlihat sedang berpikiran keras. "Esti kenapa kamu hanya diam saja! Ayo jawab pertanyaan yang barusan aku berikan!" desak David. Esti mendongak, jantungnya dibuat berhenti berdetak seketika kala melihat kedua bola mata biru David. Ntah sejak kapan benih-benih cinta itu tumbuh didalam hatinya, namun yang tidak bisa dipungkiri sekarang ini Esti sendiri gak bisa mengendalikan dirinya. "Apakah ini karma? Karena dulu aku pernah membatin Indira yang sangat bucin dan rela melakukan segala cara untuk mendapatkan Etnan?" gumam Esti dalam hatinya.
Para dokter terlihat panik, bahkan mengatakan beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi pada Dilara. David terhuyung keluar dari ruangan ICU, kepanikannya tergambar jelas dari raut wajahnya yang pucat dan langkah kakinya yang tidak stabil. Dia tidak rela meninggalkan Dilara yang sedang berjuang melawan maut, namun keadaan mendesaknya untuk mencari jawaban. Dengan gemetar, dia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menekan nomor Albert dengan cepat. "Albert, apa yang telah kau lakukan dengan suntikan itu? Keadaan Dilara malah semakin buruk, dia henti jantung berkali-kali!" suara David bergetar, penuh amarah dan kekhawatiran. Dari seberang sana, Albert menjawab dengan suara yang terdengar santai, "Memang itu efeknya, nanti satu jam lagi dia pasti sudah sadar. Walaupun masih linglung, ya sudah aku lagi sibuk." Ucapannya seolah menambah bensin ke api kemarahan David. David mengepalkan tangannya, urat-urat di lehernya menegang. "Bagaimana aku bisa begitu tenang?! Ini b
Karena tidak memiliki pilihan lain lagi, David pun setuju untuk berlutut dibawah kaki Albert demi sebuah obat penawar racun untuk istri tercintanya. David, dengan pakaian yang sudah lusuh dan tatapan mata yang penuh keputusasaan, berlutut di lantai yang dingin dan keras di depan Albert. Wajahnya yang biasanya penuh wibawa dan kepercayaan diri kini terlihat pucat dan lemah. Albert, dengan senyum sinis, menyalakan kamera ponselnya, cahaya dari layar ponsel memantulkan kegembiraan yang kelam di matanya. "Apa yang kamu lakukan?" seru David, suaranya gemetar namun masih terdengar marah. "Aku sedang merekam apa yang dilakukan orang yang paling berkuasa di kota ini," jawab Albert dengan nada mengejek, "dunia bisnis sangat kejam. Setelah ini aku akan banyak mendapatkan kolega bisnis." David mengepalkan tangan, rasa sakit dan marah bercampur menjadi satu. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dinginnya lantai tapi juga karena perasaan terhina yang mendalam. Albert terus mer
"Menyerahkan Dilara? Itu gak bakalan terjadi!" Sergah David dengan amarah yang mulai meluap. Sementara Albert terlihat masih bersikap sombong dan juga sangat angkuh. Melihat ekspresi Albert yang tidak wajar, David bisa melihat betapa seriusnya masalah yang ia hadapi sekarang ini. "David ... Sekarang istrimu itu belum sadarkan diri bukan? Walaupun dokter terbaik di seluruh negeri ini sudah dikerahkan," kata Albert seraya tersenyum. Kedua tangan David nampak terkepal erat, kala melihat senyuman penuh kemenangan yang ditunjukkan oleh Albert. "Kau ... " David nampak menunjuk wajah Albert dengan telunjuk tangannya. Albert nampak berdiri lalu menyodorkan sebuah kertas tepat ke tangan David. "Ini adalah surat perjanjian." David dengan kasar mengambil kertas yang ada di tangan Albert. Ia menanggapi ucapan Albert dengan berkata, "iya aku tahu kalau ini adalah surat perjanjian. Siapa bilang kalau ini surat elektronik." Albert sedikit bingung, setelah mendengar ucapan Dav
David sangat panik, melihat Dilara yang tidak sadarkan diri. "Dilara!" Ia berpikiran cemas, menduga bisa saja hal yang terjadi pada Dilara sekarang ini karena masalah ginjalnya. "Gak ... Aku gak boleh berpikiran buruk tentang kesehatan Dilara. Bukankah seharusnya sudah tidak ada masalah tentang ginjalnya?" Gumam David seraya menggendong tubuh istrinya menuju ke pusat layanan kesehatan terdekat yang ada dipantai Maldives. Padahal baru saja David punya niatan untuk memfoto Dilara dibawah cahaya sunset, tapi malah istri tercintanya itu pingsan. Tak berselang lama, akhirnya pun David sampai dipusat layanan kesehatan. David menelpon asisten pribadinya. "Esti, tolong siapkan helikopter untuk kembali ke negara kita sekarang!!" Mendengar perintah David, Esti malah dibuat bingung. "Memangnya Tuan David itu sekarang ini ada dimana?" "Kamu gak tahu, sekarang aku ada dimana?" David malah balik tanya. Esti melihat kembali layar ponselnya, untuk memastikan. Apakah
Laras dengan santainya berjalan ke arah sisi Albert Wongso, tatapan matanya sinis melirik ke arah Ditya yang mematung dengan raut muka merah padam. Darah Ditya seakan mendidih, jantungnya berdegup kencang saat menyaksikan pembantunya yang tak tahu malu itu berdiri dengan angkuh di samping orang yang selama ini sangat dia percayai. Ditya tertawa sini, lalu dia berkata, "Ternyata, hal buruk itu sudah kalian berdua rencanakan sebelumnya." Suaranya gemetar, mengingat kejadian di kamar dimana Laras dengan liciknya memberikan obat perangsang kepadanya. "Iya, tentu saja. Aku adalah orang yang pintar, gak mungkin jika seorang pelayan rendahan memiliki banyak uang untuk membeli beberapa kamera tersembunyi itu, ingat apapun yang terjadi kau harus bertanggung Jawab apa yang sudah kamu lakukan,," sahut Laras dengan nada tinggi dan penuh keangkuhan. Dia menatap Ditya dengan pandangan yang penuh kemenangan, seolah-olah telah memenangkan pertarungan yang tidak seimbang. "Kalau kau
David bingung melihat ekspresi wajah istrinya yang terlihat begitu terkejut. "Sayang, apa yang terjadi?" tanya David khawatir. 'Gimana ini? Apakah harus jujur, tapi sekarang ini kakek melakukan hal yang membuatku membencinya. Bahkan David bisa juga muak dengannya.' 'Tapi bagaimana pun juga, kakek adalah kakek kandungku. Orang yang berjasa merawat ku setelah kedua orang tuaku tiada, takutnya nanti kalau David itu beneran benci sama kakek.' Melihat istrinya melamun gak jelas, David pun mencium bibir istrinya. Hal itu langsung membuat lamunan Dilara buyar, bahkan wajah malah menjadi merah merona. "David," teriak Dilara pura-pura kesal. "Kenapa kamu tiba-tiba mencium ku." "Kenapa? Gak ada yang salah dengan mencium bibir istriku sendiri, hmm ... Bahkan seluruh tubuhmu, aku juga sudah melihatnya," goda David dengan nada nakal. Hal itu membuat wajah Dilara semakin merah, bahkan terlihat seperti kepiting rebus. "Ayo kita main dulu!" ajak David seraya menaikkan turunkan
"Apa gara-gara baku hantam tadi? Ada sesuatu yang serius dengan kepalamu?" Wajah David nampak kebingungan setelah mendengar celotehan istrinya. David sontak memegang kepalanya sendiri, dia mencoba mengingat. 'Bukankah tadi saat bertengkar dengan Samuel, tidak memakai kepala?' gumam David tanpa sadar dalam hatinya. Otaknya masih terus mengingat. Tapi yang dia ingat, tadi otaknya masih utuh dan tidak terkena guncangan apapun. "Ayo kita kerumah sakit! Periksakan kepalamu, kenapa bisa kamu itu tiba -tiba lupa. Jika semua uangmu itu ada di aku," kata Dilara dengan nada khawatir. Wajah kebingungan yang sebelumnya ditunjukkan David langsung berubah masam. Setelah dia menyadari pikiran konyol yang ada didalam otak istrinya. "Astaga Dilara, kamu mengira kalau aku itu pikun. Bahkan takutnya nanti aku dengan mudah melupakan jika kamu itu istriku, itu-kan hal yang kamu takutkan sekarang," tebak David yang mana langsung mendapatkan anggukan kepala dari Dilara. Dilara memas