Berulang kali, Eva membolak-balik tubuhnya sambil menutupi telinganya dengan bantal. Dia berusaha tertidur lagi, tapi terganggu oleh suara tangisan bayi. Bahkan, dia sudah menyumpal telinga dengan earphone dan memutar instrumen penenang jiwa. Usaha untuk melanjutkan tidur tetap saja gagal gara-gara bayi itu.
"Anak siapa sih yang nangis terus? Emak bapaknya nggak kasihan apa liat anaknya nggak berhenti nangis?"Eva melempar asal bantalnya, lalu terduduk. Dia mengembuskan napas kasar."Padahal ini hari pertama aku bisa istirahat setelah seminggu penuh ujian akhir semester. Aku relain nggak pulang biar bisa tenang di kos. Tidur puas tanpa dengar ceramah mama papa yang selalu nyuruh cepat lulus."Eva merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan ilmu komunikasi. Dia mahasiswa yang pintar tapi minim kepedulian terhadap nilai dan mata kuliahnya sehingga semuanya menjadi berantakan dan nilai-nilainya anjlok.Hari ini menjadi hari kebebasannya setelah berperang dengan materi-materi kuliah, makalah atau laporan pengganti ujian dan soal-soal ujian. Dia berencana menghabiskan harinya dengan tidur sepuasnya.Pagi tadi, teman-teman kosnya sudah pamit pulang ke kampung halamannya masing-masing. Meninggalkan Eva sendirian di kos. Libur panjang setelah ujian akhir semester memang disambut bahagia oleh semua mahasiswa, kecuali Eva."Ini nggak bisa dibiarin, aku harus marahin emak bapaknya tuh bayi. Masa nggak ada usaha buat tenangin anaknya sih?"Eva bangkit berdiri. Menarik sembarangan kardigan untuk menutupi pakaian tidurnya yang lusuh. Dia menutup pintu kamarnya dengan membanting keras."Eh, aduh. Bodoh baget sih Eva." Dia mengutuk dirinya setelah menydari kesalahan yang diperbuatnya. "Itu pintu susah dibuka dari luar. Gagang pintunya rusak. Nanti cara kamu masuk gimana? Otak nggak kepake sih kalau udah kesel. Main banting-banting segala."Eva mengata-ngatai dirinya sendiri yang kadang tidak bisa mengontrol emosinya. Meskipun belum menemukan solusi membuka pintunya, dia berjalan mengikuti sumber suara tangisan bayi.Dia terhenti di depan rumah pemilik kos atau sering disebut rumah utama. Dia memandangi pintu rumah itu tanpa melakukan apapun."Masa iya, bapak kos udah balik. Bukannya dia tinggal di rumah kakaknya ya?"Eva mengingat perkataan bapak kosnya bahwa ibu kos yang meninggal setelah melahirkan anaknya. Bapak kosnya akan tinggal di rumah kakaknya sementara waktu agar anaknya terurus. Kejadian itu sudah berlalu tiga bulan lalu. Selama itu, rumah utama sengaja dikosongkan. Itu kali terakhir, Eva bertemu dengan bapak kosnya. Eva tipe anak kos yang jarang bertemu bapak kos, kecuali jika pintu kamarnya bermasalah lagi atau toiletnya sedang buntu. Kebetulan saja hari itu, dia ikut mengantar jenazah istri bapak kos."Apa itu suara anaknya bapak kos? Kasihan banget anak itu. Ibunya meninggal di hari kelahirannya.""Apakah bayi itu sudah besar? Waktu aku gendong, dia masih merah."Eva mengangkat tangannya hendak memencet bel, namun tertahan di udara. Dia tidak tahu harus menegur bapak kosnya yang membiarkan bayi itu menangis kencang dan menganggu istirahat Eva. Atau Eva membiarkan saja bayi itu menangis. Tapi, Eva tidak tega mendengarnya. Dia khawatir kalau bapak kosnya ketiduran dan tidak melihat bayinya yang jatuh, mungkin."Aku harus mengeceknya," kata Eva kemudian memencet bel.Hanya sekali dan dia memilih menunggu sang empunya rumah. Jika lama tidak ada yang keluar, Eva akan menerobos masuk untuk memeriksa kondisi bayi itu."Eh, suara tangis bayi kok hilang?" Eva menempelkan telinga ke daun pintu.Dia bisa mendengar langkah kaki menuju pintu. Cepat-cepat Eva menjauhi daun pintu dan berdiri agak jauh.Seorang pria yang Eva kenali sebagai bapak kos keluar sambil menggendong bayi. Pria itu tampak kaget melihat keberadaan Eva di depan rumahnya."Pak, anaknya kenapa?" tanya Eva. Dia tidak lupa menampilkan senyuman pada pria itu."Ternyata kamu," ucap bapak kos terlihat kecewa dengan kedatangan Eva. "Ada apa, kamu perlu sesuatu?"Pertanyaan itu yang selalu Eva dengar ketika berkunjung ke rumah utama. Wajar saja, penyewa kos datang ke rumah utama tentu membutuhkan atau melaporkan sesuatu.Berbeda kali ini, Eva menunjuk bayi dalam gendongan bapak kos dan mengulang pertanyaannya, "Anak Bapak kenapa menangis?"Sejujurnya, Eva merasa kurang nyaman jika memanggil pria itu dengan sebutan bapak. Yang terlihat, bapak kos itu belum terlalu tua. Umurnya sekitar 28 tahun. Lebih cocok dipanggil Mas. Tetapi atas dasar kesopanan dan segan, akhirnya semua anak kos memanggilnya bapak kos."Ini nih, dia lagi pup. Saya bingung cara gantinya." Dengan suara berbisik, bapak kos tampak malu mengatakannya."Saya bantuin ganti popoknya, boleh?" Eva menawarkan diri. Lenyap sudah kemarahannya Eva, menyisakan rasa kasihan pada bayi itu."Kamu bisa?" tanya bapak kos tampak ragu."Aku pernah menggantikan popoknya bayi, sekali." Evan mencicit di akhir kalimatnya. Dia pun ragu menggantikan popok bayi bapak kos. Atas dasar kasihanlah yang mendorongnya untuk menawarkan diri membantu.Bayi yang pernah Eva gantikan popoknya adalah ponakannya sendiri yang berumur 2 tahun saat itu. Meskipun sama-sama batita, Eva yakin cara menggantinya tetap sama. Eva hanya perlu tempo yang lebih pelan dan halus untuk menggantikan popok bayi mungil bapak kos."Baiklah. Kamu masuk dulu." Bapak kos mempersilahkan. Ada binar-binar bahagia di wajahnya yang sempat tertekuk dan sedih sebelumnya.Eva mengekor di belakang bapak kos memasuki rumah. Bapak kos meletakkan bayi mungil itu di karpet berbahan super lembut di ruang tengah. Dia berlalu menuju salah satu kamar di rumah itu.Eva memperhatikan bayi mungil itu yang sudah sejak tadi berhenti menangis, namun bekas-bekas amukannya masih tersisa di wajahnya yang memerah. Eva tersenyum melihatnya.'Sangat menggemaskan,' batin Eva tidak tahan ingin mencubit pipi gembul bayi itu.Ada getaran aneh yang Eva rasakan ketika bertatapan mata dengan bayi itu. Eva yakin, bayi itu sudah bisa melihatnya. Dan Eva dibuat jatuh cinta oleh pandangan pertama bayi itu.Eva sangat tertantang untuk mencium bayi itu. Dia mendekatkan wajahnya ke bayi mungil yang sedang memainkan tangannya. Ketika hampir menyentuh dahi bayi itu, Eva mendorong wajahnya dengan tangannya sendiri agar tidak lancang mencium bayi itu."Nakal banget sih pikiran gue. Mau sosor anak orang."Eva memarahi dirinya sendiri yang hampir melewati batas. Daripada mencium bayi itu, Eva hanya menoel-noel pipinya. Eve juga mengajaknya berinteraksi dengan menggerakkan kepala dan mulutnya. Membentuk berbagai macam ekspresi untuk ditunjukkan pada bayi itu. Eva memulai aksi komunikasi bayi.Bapak kos kembali bergabung dengan peralatan bayi yang diletakkan di samping Eva."Eva, saya mau minta bantuan kamu satu hal lagi," pinta bapak kos kurang enak."Apa itu, Pak?" tanya Eva."Popok bayi saya nggak ada. Kamu mau jaga anak saya saja di sini atau bantu saya beli popok." Bapak kos memberi pilihan."Jaga dia!" Eva menunjuk bayi itu tanpa ragu dan penuh semangat.Bayi itu memiliki magnet yang membuat Eva tidak bisa meninggalkannya. Eva tersenyum bahagia ketika bayi itu menangkap telunjuknya dan menggenggam erat."Lihat pak! Anak bapak melarang saya pergi. Dia nahan saya. Bapak saja yang pergi beli popok. Percayakan bayi bapak sama saya." Eva tersenyum lebar sehingga menampilkan deretan giginya yang sedikit kuning.Eva lupa menggosok gigi sebelum ke rumah bapak kos. Untung saja, Eva tidak bau mulut. Kemarahannya tadi yang dia niatkan akan ditumpahkan kepada bapak kos berubah haluan. Dia menjadi bahagia dalam sekejap hanya dengan melihat bayi mungil yang cantik itu.Bapak kos itu geleng-geleng melihat perempuan muda ini yang penuh antusiasme."Baiklah. Nak, Kamu sama Kakak Eva dulu ya. Papa mau keluar sebentar. Jangan rewel dan jadi anak penurut sama Kak Eva. Ok?" Bapak kos menjawil pipi bayinya dan menciumnya.Interaksi bapak dan anak itu tidak lepas dari penglihatan Eva. Perasaannya menghangat melihat bapak kos begitu mencintai dan penuh kasih pada bayinya."Pak, aku mau cium juga." Eva keceplosan.Setelah ucapan spontan yang diucapkan Eva. Yang membuat wajahnya dan wajah bapak kos berubah kaget. Keduanya kompak membuang muka karena salah tingkah.Eva tidak memiliki pemikiran lain dari perkataannya. Dia hanya ingin meminta izin mencium bayi itu juga, tapi waktu yang dipilihnya ternyata salah. Perkataan yang membuatnya malu karena kesalahpahaman di pemikiran keduanya."Saya ... saya ke supermarket depan dulu. Titip Arumi. Saya segera kembali. Secepatnya." Bapak kos segera pamit untuk menghindari kegugupan dan rasa canggung yang masih membungkus Eva dan dirinya.Eva hanya mengangguk pelan.Ditinggal berdua dengan bayi mungil itu membuat Eva tidak bisa melakukan hal banyak selain mengajak bayi itu berinteraksi. Eva tidak berani meninggalkan tempat duduknya karena khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang hilang dari rumah ini, pasti dia yang akan dituduh. Meskipun Eva tidak pernah punya niat mengambil apapun, tapi namanya masalah akan menghampiri walaupun bukan dia penyebabnya.Sesaat,
Arumi telah tertidur setelah Eva mengganti popok Arumi—tentu saja mendapat pengarahan dari mamanya. Meskipun tadi, mama Eva marah-marah, jiwa keibuannya muncul melihat putrinya kewalahan mengganti popok bayi itu. Sekesal-kesalnya mama Eva, melampiaskan kemarahan dengan mengabaikan Eva dan bayi itu sulit dilakukan. Apalagi saat melihat wajah bayi itu, membuat hatinya terenyuh dan tidak bisa menahan diri untuk mengelus pipi gembulnya. Kini, Orangtua Eva duduk tegak di sofa memandangi dua orang beda usia itu secara bergantian. Eva duduk di karpet dan Rafa duduk di single sofa. Rafa memberi kode kepada Eva untuk ikut duduk di sofa, tapi perempuan itu bergeming dengan kepala tertunduk. Lima belas menit telah berlalu, namun belum ada yang mengeluarkan suara. Terdengar helaan napas panjang dari mama Eva yang beradu dengan suara napas tiga orang lainnya. "Ma," panggil Eva. Dia bergerak maju menggunakan lututnya. Dia meletakkan kedua tangannya di lutut mamanya dan menumpuk dagunya di sana.
Dona menghampiri keranjang tidur bayi yang berisi Arumi di dalamnya. Bayi itu tidur dengan tenang. Mulutnya bergerak-gerak membuat Dona gemas melihatnya. Sejenak, dia melupakan tujuannya masuk ke sini."Anak ini sangat pandai memikat siapa pun yang melihatnya. Sangat cantik. Keponakanku tersayang." Dona tidak bisa mencegah bibirnya membentuk lengkungan.Di tepi tempat tidur, di sanalah Rafa memupuk kekesalan di dalam dada atas ucapan Dona yang menyuruhnya menikahi Eva. Tidak mungkin dia menikahi perempuan muda itu. Kalau pun dia ingin, Eva pasti menolaknya. Karena, Rafa seorang duda anak satu. Siapa yang ingin menikah dengan pria yang sudah punya anak?Lagipula, Rafa tidak ingin mengingkari janjinya pada mendiang istrinya. Dia akan tetap setia menyendiri setelah Arumi, istrinya meninggal. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mencari ibu baru untuk bayinya. Tetapi, Dona malah menyeretnya ke situasi yang menyebalkan. "Kakak pikir, kalian memang butuh seorang perempuan di rumah
"Ada apa dengan pintu kamarmu, Eva? Sudah hampir setengah jam kita menunggu di depan kamar." Mama Eva terus-menerus mengeluh. Jika Eva menghitungnya, itu sudah kesepuluh kali mamanya mengatakan kalimat yang sama."Sabar, Ma. Pintu kamar aku memang sering macet begini. Biasanya mudah kalau pakai kunci kamar untuk bantu narik pengganjal pintunya. tapi tadi aku lupa mengambil kunci di dalam kamar."Eva menjawab lagi sambil berusaha memutar gagang pintu yang tidak berfungsi. Jika Eva punya tenaga lebih mungkin dia sudah mendobraknya, tapi itu ide yang buruk."Kenapa kamu nggak minta kamar baru ke bapak kosmu. Atau kamu komplain ke dia biar pintunya diperbaiki." Papa Eva ikut mengeluarkan pendapatnya."Eva emang mau lakuin itu, Pa. Tapi, bapak kos baru aja pindah dari rumah kakaknya. Tadi aku baru ketemu dia. Belum sempat ngomongin masalah pintu ini.""Papa dobrak aja gimana?" usul Papa Eva."Jangan-jangan, Pa." Eva melambai-lambaikan kedua telapak tangannya
"Sebentar, Bu. Biarkan aku mencerna semua kalimat ibu." Eva mengangkat kedua tangannya, mencegah Dona mengatakan kalimat lainnya. Eva menjadi lamban berpikir mendengar permintaan semua orang yang menyuruhnya menikah dengan bapak kosnya sendiri. Sebenarnya, apa untungnya Eva menikah dengan duda beranak satu itu?Eva mengembuskan napas lalu menatap Dona. "Bu, kenapa saya yang harus menikah dengan Pak Rafa?""Karena, kamu cocok dengan Arumi. Saya percaya kamu bisa jaga ponakan saya. Eva, tolonglah mereka berdua. Rafa memang keras kepala dan egois. Tapi saya nggak mau lihat ponakan saya tumbuh tanpa ibu. Itu tidak baik untuk perkembangannya." Dona menatap Eva dengan lekat. Dia sangat berharap Eva mau menuruti permintaannya."Tapi Bu, saya tidak ..." Eva hendak menolak tapi Dona lebih dahulu mengeluarkan suara.Dona menarik tangan Eva. Digenggamnya dengan erat, seolah ingin menyalurkan betapa berharapnya Dona agar Eva setuju menikah dengan Rafa."Eva tolonglah. J
Jarum jam merayap berusaha menggapai angka sebelas. Orangtua Eva telah tertidur di kasur. Sedangkan Eva masih duduk lesehan di depan meja belajar lipatnya sambil menyandarkan punggungnya di bantal yang disusun sedemikian rupa agar membuatnya nyaman menikmati kegiatannya. Bukan belajar, melainkan menonton drama. Eva termasuk K-drama lovers. Jadi tidak aneh bila dia merelakan waktu tidurnya untuk nonton marathon seperti saat ini. Drama yang ditontonnya baru berjalan seperempat video ketika telinganya samar mendengar suara yang meningkahi percakapan antara Kim Min Kyu dengan lawan mainnya dalam drama yang ditonton Eva. Dia menjeda video, kemudian menajamkan pendengarannya. "Suara apaan ya?" tanya Eva pada dirinya sendiri. Ketika tidak ada suara lagi yang didengarnya, Eva mengedikkan bahu dan melanjutkan menonton dramanya. Baru sebentar dia jalankan, kembali terdengar suara bising. Eva menjeda lagi dan bangkit dari duduknya. "Suara apan sih itu? Ganggu banget deh
Rafa berdecak. "Aku mengatakan, menikahlah denganku." Rafa mengulang kalimatnya sambil mengambil tisu di meja. Dia menggulung kecil tisu itu lalu digunakan menyumbat lubang hidung kirinya yang mengeluarkan darah tadi. Sepuluh menit sudah berlalu dan benar kata Eva, darah tidak lagi mendesak ingin keluar. Namun, Rafa tetap menyumbatnya sebagai antisipasi jika darah kembali keluar.Rafa bangkit dan mendekati gadis yang sedang melongo dengan mata mengerjap-ngerjapkan matanya. Rafa mengambil baby Arumi dari gendongan Eva. "Halo, Eva? Kamu tidak mendengar aku?" Rafa menjentikkan jari tepat di depan wajah Eva.Seperti ditarik paksa dari lamunannya, Eva kaget dengan keberadaan Rafa di depannya. "Eh, Pak?" ucap Eva memundurkan kaki kirinya. "Tadi Pak Rafa bilang apa?""Kamu sangat menyukai kalimat itu, sampai-sampai ingin aku mengulanginya terus?" kata Rafa menyindir.Eva menggeleng kuat-kuat. Bukan karena menyukainya, lebih tepatnya, Eva tidak percaya pada kalimat
"Eva, katakanlah dengan jelas. Jangan membuat saya kebingungan. Sekali lagi saya akan meminta kamu. Apa kamu bersedia menjadi ibu untuk Arumi?" ucap Rafa dengan tatapan penuh harap pada Eva. Dia tahu, permintaannya sulit untuk dikabulkan oleh Eva. Bahkan dia sendiri sudah menganggap ini kegilaan. Eva masih mahasiswa. Dan benar, Eva memiliki banyak impian untuk diwujudkan di masa depan. Sedangkan, Rafa sekarang memintanya menjadi seorang ibu. Gadis muda mana yang ingin menikah dengan duda beranak satu yang belum bisa melupakan mendiang istrinya? Gadis muda mana yang mau terbebani oleh bayi kecil yang masih berusia tiga tahun? Tidak ada. Mungkin hanya orang terdesak atau memiliki niat terselubung untuk menyetujui permintaan Rafa. Duda beranak satu itu tidak punya pilihan lain. Dia butuh Eva untuk membantunya merawat Eva. Tetapi, menjadikan Eva sebagai pengasuh tidak akan cukup. Bayi Arumi butuh kasih sayang dari gadis muda itu layaknya dari ibunya sendiri. Itu harapa