Setelah ucapan spontan yang diucapkan Eva. Yang membuat wajahnya dan wajah bapak kos berubah kaget. Keduanya kompak membuang muka karena salah tingkah.
Eva tidak memiliki pemikiran lain dari perkataannya. Dia hanya ingin meminta izin mencium bayi itu juga, tapi waktu yang dipilihnya ternyata salah. Perkataan yang membuatnya malu karena kesalahpahaman di pemikiran keduanya."Saya ... saya ke supermarket depan dulu. Titip Arumi. Saya segera kembali. Secepatnya." Bapak kos segera pamit untuk menghindari kegugupan dan rasa canggung yang masih membungkus Eva dan dirinya.Eva hanya mengangguk pelan.Ditinggal berdua dengan bayi mungil itu membuat Eva tidak bisa melakukan hal banyak selain mengajak bayi itu berinteraksi. Eva tidak berani meninggalkan tempat duduknya karena khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang hilang dari rumah ini, pasti dia yang akan dituduh. Meskipun Eva tidak pernah punya niat mengambil apapun, tapi namanya masalah akan menghampiri walaupun bukan dia penyebabnya.Sesaat, Eva menunjukkan mainan bebek plastik ke depan wajah Arumi, tiba-tiba tangisan bayi itu pecah. Eva panik dan buru-buru ingin menggendongnya. Dia bingung harus menggendong dengan bersandar di dada dan bertumpu di bahunya atau menggendong dengan membaringkan di lengan. "Aduh, gimana sih cara gendongnya?" tanya Eva pada diri sendiri."Lehernya udah bisa nahan nggak sih ini? Kalau berdasarkan umurnya, udah bisa. Tapi kalau pas aku gendong ternyata belum nahan lehernya, gimana dong? Bisa-bisa, aku bunuh anak orang."Eva bolak-balik menyentuh lengan bayi itu. Ragu-ragu menyelimutinya. Masih dengan pikirannya yang berusaha mencari jalan keluar, dia dikejutkan dengan tangisan bayi itu yang semakin kencang. Tanpa pikir panjang lagi, dia mengangkat bayi itu dan membuat lengan yang tidak seberapa panjang itu sebagai penyangga bayi itu. Memastikan kepala, leher, punggung dan pantat bayi tertahan dengan baik.Eva menimang-nimang agar bayi itu tenang. Cukup lama Eva melakukan itu sambil mengeluarkan suara yang mengungkapkan rasa sayang pada bayi itu. Sesekali dia juga memasang ekspresi ikut sedih. Akhirnya, bayi itu diam dan menatap lurus pada Eva. Eva bernapas lega melihat bayi itu sudah diam. "Sayang, kamu kenapa nangis-nangis, huum? Tenang ya, ada Kakak Eva yang jagain. Ututututut sayang-sayang."Eva tidak sadar jika dia menggendong Arumi keluar rumah saking paniknya. Dia terus-menerus menggoyangkan tangannya agar bayi dalam gendongannya merasa nyaman.Tawa Eva pecah ketika melihat bayi itu kesulitan membuka mata karena silau dengan cahaya luar rumah. "Kenapa, Sayang? Silau ya?" tanya Eva gemas. "Mau masuk aja ya? Nggak sanggup melihat di sini? Iya?"Eva berbalik hendak masuk kembali ke dalam rumah. Tetapi, suara teriakan memanggil namanya membuat dia berbalik lagi. Dan betapa kagetnya Eva ketika melihat ada orangtuanya terpaku di sana. Eva yakin, yang meneriakinya tadi adalah mamanya. Sedangkan, di belakang mama, ada ayahnya yang menatap kecewa Eva."Ma-mama, Papa. Kok mereka bisa ada di sini?" Dengan langkah lebar, mama dan papa Eva mendekat. Setibanya di hadapan Eva, tatapan tajam itu berganti menatap bayi dalam gendongan Eva. "Eva! Ini bayi siapa?!" tanya mama Eva penuh penekanan."Ini, ini tuh ... ini anak ...," Eva gugup sekaligus takut pada kemarahan mamanya. Dia tidak tahu penyebab kemarahan mamanya. Tapi itu benar-benar menakutkan. "Eva! Mama tanya, ini bayi siapa?! Apa ini bayi kamu? Jadi ini alasan kamu nggak pernah mau balik ke rumah kalau libur kuliah. Ternyata, kamu punya anak di sini?""Ma, bukan gitu. Ini bukan bayi aku. Tapi tolong, mama jangan teriak-teriak di depan bayi ini. Itu nggak baik untuk anak ini. Dia belum bisa mendengar suara terlalu keras. Kalau dia terkejut bisa bahaya, Ma." "Eva! Berani sekali kamu menegur mama!" Mama Eva semakin murka. "Ma, bener kata Eva. Jangan berteriak di dekat bayi." Papa Eva berusaha menenangkan dengan mengusap lembut lengan istrinya."Papa, diam saja!" bentak Mama Eva menepis tangan papa Eva. "Anak ini sudah membohongi kita. Dia tidak pernah pulang selama libur kuliah. Sudah 2 tahun, dia tidak pulang-pulang. Itu pasti karena bayi ini. Dia menyembunyikan bayi ini dari kita. Pergaulannya bebas di sini, Pa." "Mama!" Eva ikut meninggikan suara. Menegur ucapan mamanya yang mulai melantur.Dia tidak terima dituduh macam-macam oleh mamanya sendiri. Memang benar, dia tidak pulang selama dua tahun. Itu karena dia malas mendengar ocehan mamanya dan tante-tante yang punya mulut besar itu. Dia malas dituntut harus bisa ini dan itu.Teriakan Eva menganggu bayi itu. Bayi mungil itu menangis kencang. Pasti bayi ini merasa tidak nyaman dengan suasana di sekitarnya yang memanas. Tangisan bayi itu mengisi ruang-ruang kosong pertengkaran antara Eva dan mamanya. "Mama, nggak tahu apapun yang terjadi di sini. Mama nggak seharusnya menuduh aku seperti itu. Aku anak mama. Apa pantas seorang ibu menuduh anaknya dengan keburukan?" "Eva! Mama ...." Ucapan mama Eva terpotong oleh kehadiran dan suara panik seseorang."Eva, Arumi kenapa?" Bapak kos yang bernama Rafa itu segera mengambil alih bayinya. Dia berusaha menenangkan bayinya dan tidak memperhatikan kehadiran orangtua Eva yang menatap bingung padanya."Nak. Cup-cup-cup-cup, udah ya sayang nangisnya." Rafa berusaha mengentikan tangisan bayinya."Eva! Dia, ayah dari bayi itu?" tanya Papa Eva dengan suara tenang. "Iya, Pa." Kali ini, Eva bisa menjawab dengan suara terkontrol. Matanya tidak lepas dari bayi mungil itu. Sepertinya bayi itu ketakutan. Dia terus menangis.Mama Eva yang mendengar jawaban putrinya hendak menarik kerah baju Rafa, namun ditahan Eva. Dia menatap Eva dengan tatapan tanya. Dia menjadi geram karena dihentikan."Ma, jangan memperkeruh masalah. Eva nggak mau dibuat malu oleh dugaan melantur Mama." "Lihat anak ini. Lihat, Pa. Dia sudah berani membela pria itu secara terang-terangan. Mama tidak salah lagi. Kalian ...." Mama Eva tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Dia berbalik memunggungi Eva."Eva, bantu dia tenangin bayi itu dulu. Papa mau tenangin mama dulu. Nanti kita lanjutkan bicara. Papa percaya sama kamu."Mata Eva berkaca-kaca menatap papanya. Dia, Papa Eva adalah orang paling Eva sayangi dan hormati. Papa Eva memiliki watak tenang dan bijaksana, selalu menilai segala sesuatu dengan pandangan luas. Berbanding terbalik dengan mamanya yang tidak sabaran, posesif dan suka marah-marah. Tapi, dibalik sifat bertolakbelakang orangtuanya, Eva sangat menyayangi mereka. Sifat yang berbeda itu justru menghidupkan rumah mereka. Itulah kejutan dari seorang jodoh."Eva, nggak seperti yang mama pikir, Pa. Papa harus percaya itu. Aku akan menjelaskan semuanya ketika mama sudah tenang. Biar mama bisa menilai bahwa Eva tidak melakukan apapun apalagi bertindak bodoh seperti yang mama pikirkan."Papa Eva mengangguk dan tersenyum. Dia menepuk sekali pundak putrinya dan menarik istrinya sedikit menjauh dari rumah utama."Pak, maafin saya dan orangtua saya ya. Arumi sampai nangis ketakutan begitu." Eva mendekat ke Rafa. Dia menundukkan wajah, malu dengan keributan yang dia sebabkan."Tidak apa-apa, Eva. Arumi mungkin kaget dengan suara keras. Itu bukan kesalahan kamu.""Pak, boleh saya gendong Arumi. Biar saya yang tenangin dia. Aku penyebab dia nangis, karena itu aku harus bertanggung jawab."Setelah Rafa mengangguk, Eva memindahkan Arumi ke pelukannya. Dia melakukan hal yang sama saat dia menenangkan Arumi tadi—sebelum mama dan papanya datang.Berhasil. Arumi berhenti menangis dan berusaha meraih wajah Eva. Di depan mereka, Rafa terpesona dengan kemampuan Eva menenangkan bayinya. 'Semudah itu, Eva mampu mendiamkan Arumi.' Rafa membatin.Rafa tertegun, kemudian mendehem. Dia menyadari suatu hal. "Sepertinya, Arumi menyukaimu," celetuk Rafa."Hah!" Eva kehabisan kosakata.
Arumi telah tertidur setelah Eva mengganti popok Arumi—tentu saja mendapat pengarahan dari mamanya. Meskipun tadi, mama Eva marah-marah, jiwa keibuannya muncul melihat putrinya kewalahan mengganti popok bayi itu. Sekesal-kesalnya mama Eva, melampiaskan kemarahan dengan mengabaikan Eva dan bayi itu sulit dilakukan. Apalagi saat melihat wajah bayi itu, membuat hatinya terenyuh dan tidak bisa menahan diri untuk mengelus pipi gembulnya. Kini, Orangtua Eva duduk tegak di sofa memandangi dua orang beda usia itu secara bergantian. Eva duduk di karpet dan Rafa duduk di single sofa. Rafa memberi kode kepada Eva untuk ikut duduk di sofa, tapi perempuan itu bergeming dengan kepala tertunduk. Lima belas menit telah berlalu, namun belum ada yang mengeluarkan suara. Terdengar helaan napas panjang dari mama Eva yang beradu dengan suara napas tiga orang lainnya. "Ma," panggil Eva. Dia bergerak maju menggunakan lututnya. Dia meletakkan kedua tangannya di lutut mamanya dan menumpuk dagunya di sana.
Dona menghampiri keranjang tidur bayi yang berisi Arumi di dalamnya. Bayi itu tidur dengan tenang. Mulutnya bergerak-gerak membuat Dona gemas melihatnya. Sejenak, dia melupakan tujuannya masuk ke sini."Anak ini sangat pandai memikat siapa pun yang melihatnya. Sangat cantik. Keponakanku tersayang." Dona tidak bisa mencegah bibirnya membentuk lengkungan.Di tepi tempat tidur, di sanalah Rafa memupuk kekesalan di dalam dada atas ucapan Dona yang menyuruhnya menikahi Eva. Tidak mungkin dia menikahi perempuan muda itu. Kalau pun dia ingin, Eva pasti menolaknya. Karena, Rafa seorang duda anak satu. Siapa yang ingin menikah dengan pria yang sudah punya anak?Lagipula, Rafa tidak ingin mengingkari janjinya pada mendiang istrinya. Dia akan tetap setia menyendiri setelah Arumi, istrinya meninggal. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mencari ibu baru untuk bayinya. Tetapi, Dona malah menyeretnya ke situasi yang menyebalkan. "Kakak pikir, kalian memang butuh seorang perempuan di rumah
"Ada apa dengan pintu kamarmu, Eva? Sudah hampir setengah jam kita menunggu di depan kamar." Mama Eva terus-menerus mengeluh. Jika Eva menghitungnya, itu sudah kesepuluh kali mamanya mengatakan kalimat yang sama."Sabar, Ma. Pintu kamar aku memang sering macet begini. Biasanya mudah kalau pakai kunci kamar untuk bantu narik pengganjal pintunya. tapi tadi aku lupa mengambil kunci di dalam kamar."Eva menjawab lagi sambil berusaha memutar gagang pintu yang tidak berfungsi. Jika Eva punya tenaga lebih mungkin dia sudah mendobraknya, tapi itu ide yang buruk."Kenapa kamu nggak minta kamar baru ke bapak kosmu. Atau kamu komplain ke dia biar pintunya diperbaiki." Papa Eva ikut mengeluarkan pendapatnya."Eva emang mau lakuin itu, Pa. Tapi, bapak kos baru aja pindah dari rumah kakaknya. Tadi aku baru ketemu dia. Belum sempat ngomongin masalah pintu ini.""Papa dobrak aja gimana?" usul Papa Eva."Jangan-jangan, Pa." Eva melambai-lambaikan kedua telapak tangannya
"Sebentar, Bu. Biarkan aku mencerna semua kalimat ibu." Eva mengangkat kedua tangannya, mencegah Dona mengatakan kalimat lainnya. Eva menjadi lamban berpikir mendengar permintaan semua orang yang menyuruhnya menikah dengan bapak kosnya sendiri. Sebenarnya, apa untungnya Eva menikah dengan duda beranak satu itu?Eva mengembuskan napas lalu menatap Dona. "Bu, kenapa saya yang harus menikah dengan Pak Rafa?""Karena, kamu cocok dengan Arumi. Saya percaya kamu bisa jaga ponakan saya. Eva, tolonglah mereka berdua. Rafa memang keras kepala dan egois. Tapi saya nggak mau lihat ponakan saya tumbuh tanpa ibu. Itu tidak baik untuk perkembangannya." Dona menatap Eva dengan lekat. Dia sangat berharap Eva mau menuruti permintaannya."Tapi Bu, saya tidak ..." Eva hendak menolak tapi Dona lebih dahulu mengeluarkan suara.Dona menarik tangan Eva. Digenggamnya dengan erat, seolah ingin menyalurkan betapa berharapnya Dona agar Eva setuju menikah dengan Rafa."Eva tolonglah. J
Jarum jam merayap berusaha menggapai angka sebelas. Orangtua Eva telah tertidur di kasur. Sedangkan Eva masih duduk lesehan di depan meja belajar lipatnya sambil menyandarkan punggungnya di bantal yang disusun sedemikian rupa agar membuatnya nyaman menikmati kegiatannya. Bukan belajar, melainkan menonton drama. Eva termasuk K-drama lovers. Jadi tidak aneh bila dia merelakan waktu tidurnya untuk nonton marathon seperti saat ini. Drama yang ditontonnya baru berjalan seperempat video ketika telinganya samar mendengar suara yang meningkahi percakapan antara Kim Min Kyu dengan lawan mainnya dalam drama yang ditonton Eva. Dia menjeda video, kemudian menajamkan pendengarannya. "Suara apaan ya?" tanya Eva pada dirinya sendiri. Ketika tidak ada suara lagi yang didengarnya, Eva mengedikkan bahu dan melanjutkan menonton dramanya. Baru sebentar dia jalankan, kembali terdengar suara bising. Eva menjeda lagi dan bangkit dari duduknya. "Suara apan sih itu? Ganggu banget deh
Rafa berdecak. "Aku mengatakan, menikahlah denganku." Rafa mengulang kalimatnya sambil mengambil tisu di meja. Dia menggulung kecil tisu itu lalu digunakan menyumbat lubang hidung kirinya yang mengeluarkan darah tadi. Sepuluh menit sudah berlalu dan benar kata Eva, darah tidak lagi mendesak ingin keluar. Namun, Rafa tetap menyumbatnya sebagai antisipasi jika darah kembali keluar.Rafa bangkit dan mendekati gadis yang sedang melongo dengan mata mengerjap-ngerjapkan matanya. Rafa mengambil baby Arumi dari gendongan Eva. "Halo, Eva? Kamu tidak mendengar aku?" Rafa menjentikkan jari tepat di depan wajah Eva.Seperti ditarik paksa dari lamunannya, Eva kaget dengan keberadaan Rafa di depannya. "Eh, Pak?" ucap Eva memundurkan kaki kirinya. "Tadi Pak Rafa bilang apa?""Kamu sangat menyukai kalimat itu, sampai-sampai ingin aku mengulanginya terus?" kata Rafa menyindir.Eva menggeleng kuat-kuat. Bukan karena menyukainya, lebih tepatnya, Eva tidak percaya pada kalimat
"Eva, katakanlah dengan jelas. Jangan membuat saya kebingungan. Sekali lagi saya akan meminta kamu. Apa kamu bersedia menjadi ibu untuk Arumi?" ucap Rafa dengan tatapan penuh harap pada Eva. Dia tahu, permintaannya sulit untuk dikabulkan oleh Eva. Bahkan dia sendiri sudah menganggap ini kegilaan. Eva masih mahasiswa. Dan benar, Eva memiliki banyak impian untuk diwujudkan di masa depan. Sedangkan, Rafa sekarang memintanya menjadi seorang ibu. Gadis muda mana yang ingin menikah dengan duda beranak satu yang belum bisa melupakan mendiang istrinya? Gadis muda mana yang mau terbebani oleh bayi kecil yang masih berusia tiga tahun? Tidak ada. Mungkin hanya orang terdesak atau memiliki niat terselubung untuk menyetujui permintaan Rafa. Duda beranak satu itu tidak punya pilihan lain. Dia butuh Eva untuk membantunya merawat Eva. Tetapi, menjadikan Eva sebagai pengasuh tidak akan cukup. Bayi Arumi butuh kasih sayang dari gadis muda itu layaknya dari ibunya sendiri. Itu harapa
"Mau ke mana, Eva?" tanya Rafa dengan tatapan menelisik."Eh, kampret ... astaga Pak. Bikin kaget aja." Eva mengusap dadanya saat Rafa mengejutkannya dengan suaranya."Kamu mau ke mana? Mau kabur?" tanya Rafa."Iya. Saya berubah pikiran, Pak!" jawab Eva agak ketus sembari melanjutkan langkahnya. Sejak pulang dari rumah utama, semalaman Eva memikirkan keputusannya menikah dengan bapak kos. Makanya, pagi-pagi buta, dia hendak melarikan diri. Meninggalkan orangtuanya yang masih terlelap.Baru beberapa langkah Eva menjauh, Rafa segera menarik tas punggung gadis itu. "Kenapa lagi Eva. Kamu udah setuju semalam. Aku udah kabarin keluarga untuk datang ke sini buat acara lamaran. Jangan buat saya malu." Rafa memasang wajah sebal."Loh, Pak Rafa kok mainnya cepet banget. Saya belum siap, Pak. Saya belum bilang ke mama papa juga." Eva menyentak agar tas punggungnya terlepas dari cekalan Rafa. "Saya udah bilang ke mereka. Jadi jangan coba-coba kabur," balas Rafa."