"Ada apa dengan pintu kamarmu, Eva? Sudah hampir setengah jam kita menunggu di depan kamar." Mama Eva terus-menerus mengeluh. Jika Eva menghitungnya, itu sudah kesepuluh kali mamanya mengatakan kalimat yang sama.
"Sabar, Ma. Pintu kamar aku memang sering macet begini. Biasanya mudah kalau pakai kunci kamar untuk bantu narik pengganjal pintunya. tapi tadi aku lupa mengambil kunci di dalam kamar."Eva menjawab lagi sambil berusaha memutar gagang pintu yang tidak berfungsi. Jika Eva punya tenaga lebih mungkin dia sudah mendobraknya, tapi itu ide yang buruk."Kenapa kamu nggak minta kamar baru ke bapak kosmu. Atau kamu komplain ke dia biar pintunya diperbaiki." Papa Eva ikut mengeluarkan pendapatnya."Eva emang mau lakuin itu, Pa. Tapi, bapak kos baru aja pindah dari rumah kakaknya. Tadi aku baru ketemu dia. Belum sempat ngomongin masalah pintu ini.""Papa dobrak aja gimana?" usul Papa Eva."Jangan-jangan, Pa." Eva melambai-lambaikan kedua telapak tangannya. Eva segera menolak. Kalau papanya dobrak pintu, bisa tambah rusak. Itu lebih berbahaya untuk Eva."Terus mau gimana? Masa kita nunggu sampai pintu itu terbuka. Mama nggak mau bermalam depan kamar begini. Udah mirip tunawisma aja." Mama Eva cemberut. Dia sudah duduk selonjoran di teras kamar kos.Eva menatap kedua orangtuanya. Ini kesalahannya, seharusnya orangtuanya tidak perlu datang ke sini hanya untuk melihatnya. Meskipun sering kesal dengan sikap suka mengatur mamanya, Eva tetap patuh."Tunggu Eva di sini. Eva mau ke rumah utama dulu, minta kunci kamar ini." Eva beranjak dari depan pintu.Ketika melewati Papanya, Eva mendengar mamanya mengatakan kalimat yang dihindarinya. Eva sampai mematung di tempatnya."Hubungan kamu dengan Sofyan, gimana? Sofyan masih sering hubungin kamu?" tanya Mama Eva.Eva berbalik dan menatap dengan lelah mamanya. "Kenapa malah bahas itu, Ma?""Tiba-tiba teringat aja. Sejujurnya, Mama berharap hubungan kalian diakhiri saja.""Mama kenapa sih, selalu nentang hubungan aku sama Sofyan?""Karena, Mama nggak suka sama dia. Sofyan tidak punya masa depan. Hanya seorang atlet bulu tangkis. Itu nggak jamin masa depan kamu.""Terus mama pengen aku punya pasangan yang seperti apa?" tanya Eva. Dia cukup lelah mendengar mamanya selalu merendahkan profesi pacarnya yang merupakan seorang atlet. Padahal, di mata Eva, seorang atlet sangat keren dan tentu saja punya masa depan. Hanya saja, pandangan Eva berbeda dengan mamanya."Pria mapan, seperti bapak kos kamu." Tanpa beban, Mama Eva mengatakan itu.Mata Mira membulat sempurna. Tidak mengerti pemikiran mamanya."Mama mau aku nikah sama duda beranak satu? Big no, Mam!" kata Eva dengan suara yang sedikit meninggi."Mama lihat dia pria yang baik dan bertanggung jawab. Dia juga belum tua, tampan dan gagah. Dia cocok sama kamu. Lagipula, kakaknya menawari kamu untuk menjadi ibu sambung anak itu. Kamu juga tampak cocok sama bayinya.""Mama mikirin masa depan aku nggak sih? Mama seriusan ngomong itu?" Eva menatap heran mamanya yang terlihat santai mengatakan hal yang gila."Bukannya kamu sangat diuntungkan? Kamu tidak perlu tertekan demi mendapatkan anak lagi karena kamu cukup menjadi ibu anak itu. Kamu juga akan dijaga oleh bapak kos kamu. Mama juga sempat cerita sama kakaknya, katanya bapak kos kamu itu pernah jadi dosen LB di salah satu kampus sini. Mama bisa titipin kamu ke dia supaya segera menyelesaikan kuliah.""Ma!" tegur Eva. Apakah mamanya sadar dengan ucapannya?Eva menoleh ke papanya. Meminta pertolongan agar papanya memberinya pembelaan. Tetapi, Papa Eva hanya diam saja."Ah, menyebalkan! Aku akan ke rumah utama minta kunci. Sepertinya pikiran mama sama papa terganggu karena kelamaan nunggu di depan kamar."Eva berlalu dengan perasaan dongkol. Dia menuju rumah utama dan menemukan Dona sedang termenung di teras.Eva memaksakan senyum di wajah sebelum menyapa Dona. "Bu, Pak Rafa ada di mana ya?"Tersadar dari lamunannya, Dona mengintip dulu ke dalam sebelum menjawab, "Ada di dalam. Di kamarnya Arumi. Kamu tau 'kan? Langsung masuk aja."Eva mengangguk. Dia beranjak memasuki rumah."Eva!" panggil Dona mencekal lengan Eva.Eva menatap tanya Dona. Dia tidak bisa menebak alasan Dona menghentikannya. Dia menunggu Dona kembali bersuara."Eva, saya mohon bantuan kamu," kata Dona dengan wajah agak memelas.Eva mengerutkan dahi, "Bantuin apa, Bu?"Dona menelan ludah. Dia ragu untuk mengatakan keinginannya, tapi merasa harus menyampaikannya pada Eva."Kamu mau ya nikah sama Rafa. Aku mohon. Jadi ibu untuk Arumi.""Sebentar, Bu. Biarkan aku mencerna semua kalimat ibu." Eva mengangkat kedua tangannya, mencegah Dona mengatakan kalimat lainnya. Eva menjadi lamban berpikir mendengar permintaan semua orang yang menyuruhnya menikah dengan bapak kosnya sendiri. Sebenarnya, apa untungnya Eva menikah dengan duda beranak satu itu?Eva mengembuskan napas lalu menatap Dona. "Bu, kenapa saya yang harus menikah dengan Pak Rafa?""Karena, kamu cocok dengan Arumi. Saya percaya kamu bisa jaga ponakan saya. Eva, tolonglah mereka berdua. Rafa memang keras kepala dan egois. Tapi saya nggak mau lihat ponakan saya tumbuh tanpa ibu. Itu tidak baik untuk perkembangannya." Dona menatap Eva dengan lekat. Dia sangat berharap Eva mau menuruti permintaannya."Tapi Bu, saya tidak ..." Eva hendak menolak tapi Dona lebih dahulu mengeluarkan suara.Dona menarik tangan Eva. Digenggamnya dengan erat, seolah ingin menyalurkan betapa berharapnya Dona agar Eva setuju menikah dengan Rafa."Eva tolonglah. J
Jarum jam merayap berusaha menggapai angka sebelas. Orangtua Eva telah tertidur di kasur. Sedangkan Eva masih duduk lesehan di depan meja belajar lipatnya sambil menyandarkan punggungnya di bantal yang disusun sedemikian rupa agar membuatnya nyaman menikmati kegiatannya. Bukan belajar, melainkan menonton drama. Eva termasuk K-drama lovers. Jadi tidak aneh bila dia merelakan waktu tidurnya untuk nonton marathon seperti saat ini. Drama yang ditontonnya baru berjalan seperempat video ketika telinganya samar mendengar suara yang meningkahi percakapan antara Kim Min Kyu dengan lawan mainnya dalam drama yang ditonton Eva. Dia menjeda video, kemudian menajamkan pendengarannya. "Suara apaan ya?" tanya Eva pada dirinya sendiri. Ketika tidak ada suara lagi yang didengarnya, Eva mengedikkan bahu dan melanjutkan menonton dramanya. Baru sebentar dia jalankan, kembali terdengar suara bising. Eva menjeda lagi dan bangkit dari duduknya. "Suara apan sih itu? Ganggu banget deh
Rafa berdecak. "Aku mengatakan, menikahlah denganku." Rafa mengulang kalimatnya sambil mengambil tisu di meja. Dia menggulung kecil tisu itu lalu digunakan menyumbat lubang hidung kirinya yang mengeluarkan darah tadi. Sepuluh menit sudah berlalu dan benar kata Eva, darah tidak lagi mendesak ingin keluar. Namun, Rafa tetap menyumbatnya sebagai antisipasi jika darah kembali keluar.Rafa bangkit dan mendekati gadis yang sedang melongo dengan mata mengerjap-ngerjapkan matanya. Rafa mengambil baby Arumi dari gendongan Eva. "Halo, Eva? Kamu tidak mendengar aku?" Rafa menjentikkan jari tepat di depan wajah Eva.Seperti ditarik paksa dari lamunannya, Eva kaget dengan keberadaan Rafa di depannya. "Eh, Pak?" ucap Eva memundurkan kaki kirinya. "Tadi Pak Rafa bilang apa?""Kamu sangat menyukai kalimat itu, sampai-sampai ingin aku mengulanginya terus?" kata Rafa menyindir.Eva menggeleng kuat-kuat. Bukan karena menyukainya, lebih tepatnya, Eva tidak percaya pada kalimat
"Eva, katakanlah dengan jelas. Jangan membuat saya kebingungan. Sekali lagi saya akan meminta kamu. Apa kamu bersedia menjadi ibu untuk Arumi?" ucap Rafa dengan tatapan penuh harap pada Eva. Dia tahu, permintaannya sulit untuk dikabulkan oleh Eva. Bahkan dia sendiri sudah menganggap ini kegilaan. Eva masih mahasiswa. Dan benar, Eva memiliki banyak impian untuk diwujudkan di masa depan. Sedangkan, Rafa sekarang memintanya menjadi seorang ibu. Gadis muda mana yang ingin menikah dengan duda beranak satu yang belum bisa melupakan mendiang istrinya? Gadis muda mana yang mau terbebani oleh bayi kecil yang masih berusia tiga tahun? Tidak ada. Mungkin hanya orang terdesak atau memiliki niat terselubung untuk menyetujui permintaan Rafa. Duda beranak satu itu tidak punya pilihan lain. Dia butuh Eva untuk membantunya merawat Eva. Tetapi, menjadikan Eva sebagai pengasuh tidak akan cukup. Bayi Arumi butuh kasih sayang dari gadis muda itu layaknya dari ibunya sendiri. Itu harapa
"Mau ke mana, Eva?" tanya Rafa dengan tatapan menelisik."Eh, kampret ... astaga Pak. Bikin kaget aja." Eva mengusap dadanya saat Rafa mengejutkannya dengan suaranya."Kamu mau ke mana? Mau kabur?" tanya Rafa."Iya. Saya berubah pikiran, Pak!" jawab Eva agak ketus sembari melanjutkan langkahnya. Sejak pulang dari rumah utama, semalaman Eva memikirkan keputusannya menikah dengan bapak kos. Makanya, pagi-pagi buta, dia hendak melarikan diri. Meninggalkan orangtuanya yang masih terlelap.Baru beberapa langkah Eva menjauh, Rafa segera menarik tas punggung gadis itu. "Kenapa lagi Eva. Kamu udah setuju semalam. Aku udah kabarin keluarga untuk datang ke sini buat acara lamaran. Jangan buat saya malu." Rafa memasang wajah sebal."Loh, Pak Rafa kok mainnya cepet banget. Saya belum siap, Pak. Saya belum bilang ke mama papa juga." Eva menyentak agar tas punggungnya terlepas dari cekalan Rafa. "Saya udah bilang ke mereka. Jadi jangan coba-coba kabur," balas Rafa."
"Mau konsep apa pernikahannya?" sahut Bilqis, istri Om Rafa memandangi Rafa dan Eva bergantian. Kebetulan dia memiliki usaha wedding organizer. "Loh, kok udah bahas konsep pernikahan aja? Kita nggak kenalan dulu aja?" ujar Eva kebingungan. Dia memandangi semua orang yang duduk melingkar di ruang tamu.Eva terlambat datang ke rumah utama karena masih sebal dengan kejadian tadi pagi. Dia gagal melarikan diri dan harus mendapatkan ceramah panjang dari orangtuanya. Jika bukan karena Arumi, Eva tidak akan berada di dalam rumah ini. Bayi itu dijadikan alat orang-orang dewasa ini untuk menarik Eva dengan cara membuat Arumi menangis. Sangat jahat dan licik, bukan?Eva menatap satu persatu keluarga Rafa yang terdiri Ardi Wijaya, papa Rafa yang datang bersama Dodi Wijaya beserta pasangan dan anak-anaknya. Dona juga datang. Tetapi, kakak Rafa itu memilih bermain bersama Arumi di kamar."Apa yang salah? Bukannya kalian udah sepakat mau menikah? Masa belum mau bahas konsep pernikaha
"Kenapa, Pa?" tanya Rafa dengan wajah lesu. Setelah usahanya membujuk Eva agar setuju menjadi ibu untuk Arumi, kini harus sia-sia karena keputusan Ardi yang menolak menikahkan mereka.Di sampingnya, Eva terdiam. Kondisi ini tentu menguntungkannya. Dia tidak perlu alasan lagi untuk menghindari menikah dengan Rafa. Tetapi, di lubuk hatinya yang paling dalam, ada rasa tidak rela. Mungkin rasa sayangnya ke Arumi yang mengundang perasaan itu."Ikut papa!" pinta Ardi sembari bangkit. Dia sempat pamit kepada semua orang. "Permisi semua, saya perlu bicara dulu dengan anak saya." Kompak semua orang mengangguk, mempersilahkan. Rafa mengekor di belakang papanya dan sempat melempar senyum pada orangtua Eva. Sejujurnya, Rafa merasa tidak enak pada orangtua Eva karena papanya mengatakan penolakan secara mendadak. Padahal sebelumnya, Ardi tampak antusias dengan rencana Rafa. Tetapi, Rafa juga tahu, papanya paling tidak suka jika anaknya dikatain seperti yang dilakukan Eva tadi. "Pa,
"Saya terima nikah dan kawinnya Eva Auristela Bagas binti Bagas Mahendra dengan mas kawin tersebut, tunai!" Kalimat itu terlontar dengan tegas dan jelas dari bibir merah dan penuh Rafa. Dia menjabat tangan papa Eva dengan kuat."Bagaimana para saksi?" tanya Bagas, papa Eva kepada saksi-saksi yang menyaksikan akad nikah. Bagas menolehkan kepalanya ke arah saksi yang duduk di dekatnya. Kompak semua orang mengangguk dan mengatakan, "Sah." Jabat tangan antara Rafa dan Bagas terlepas lalu dilanjutkan dengan berdoa. Akhirnya, mereka telah sah menjadi pasangan suami istri. Siang itu, segalanya terjadi begitu cepat. Eva dirias langsung oleh Tante Bilqis. Ketrampilan make up Bilqis tidak bisa dianggap remeh. Dia pernah menjadi MUA pribadi seorang aktris. Hanya dekorasi sederhana yang dialkukan oleh tim WO dari Tante Bilqis pada rumah Rafa. Pernikahan itu berlangsung sederhana tapi tidak mengurangi sakralnya acara itu.Setelah mengucapkan akad, dilanjutkan acara tukar cincin. Sa