"Emangnya Pak Rafa nggak ada niatan balik dulu ke rumah? Kok tiap hari nyuruh orang mulu buat ambilin baju gantinya." Pandangan Eva tidak lepas dari asisten Rafa yang lagi-lagi datang hanya untuk meminta pakaian ganti untuk Rafa. Selama empat hari berturut-turut, asisten itu rutin mengunjungi rumah dengan tujuan yang sama. "Eh, si Eneng!" seru Bu Siti kaget saat tersadar dengan kemunculan Eva di belakangnya. Dia mengelus dada lalu menutup pintu. "Maaf ya, Bu," ucap Eva menunjukkan cengiran. Cukup merasa bersalah telah mengejutkan Bu Siti. Dia melangkah lebih dulu."Pak Rafa bukannya nggak mau balik. Kan Neng Eva udah dikabarin juga sama Pak Rafa. Mertua Neng Eva masih perlu dirawat, jadi Pak Rafa nggak tega ninggalin." Bu Siti menjawab sambil menyusul Eva menuju dapur."Tapi kan, masa iya nggak ada kesempatan pulang sebentar. Emang dia nggak rindu Arumi?" Eva meraih gelas dan melangkah ke depan lemari es."Kalau itu, saya nggak tau juga Neng. Tanya Pak Rafa langsung aja." Bu Siti t
"Kami baik-baik aja kok, Pa." Eva melirik layar ponselnya yang menampilkan wajah Bagas. Panggilan telepon itu sudah berlangsung beberapa menit lalu dan Bagas bisa menangkap raut masygul di wajah putrinya. Akan tetapi, jawaban Eva yang berulang menekankan bahwa dia baik-baik saja membuat Bagas mengangguk. "Rafa belum pulang kerja?" tanya Bagas. "Bukan belum pulang, memang dia nggak mau pulang." Eva menjawab dengan jengkel. Mendengar nama Rafa disebut papanya kian membangkitkan kekesalan Eva pada suaminya. "Kalian bertengkar?" Itu bukan suara Bagas, melainkan suara mama Eva. Layar ponsel Eva kini dipenuhi oleh wajah mamanya. Desahan Eva lolos begitu saja. Dia menutup laptopnya yang sempat menganggur karena panggilan video dari orangtuanya. Seharusnya Eva melakukan itu sejak tadi. Toh, tugasnya tidak kunjung selesai sebab pikirannya tidak bisa fokus. Eva menyambar ponsel dan merebahkan tub
"Bu Siti, Arumi rewel nggak seharian ini?"'Tadi sempat rewel nyariin Neng Eva sama Pak Rafa. Tapi sekarang udah aman, Neng. Bibi masih bisa tangani. Sekarang, adek lagi seru-serunya main. Tuh, Neng.'Senyuman Eva merekah ketika layar ponsel menampilkan Arumi yang sedang berusaha memasang donat susunnya. Eva selalu merasa bangga tiap kali melihat tumbuh kembang Arumi. Mungkin itulah yang dirasakan oleh semua ibu di dunia ini. Sekecil apapun pencapaian si anak, tentu terasa hebat di mata seorang ibu.'Mau bicara, Neng?' tanya Bu Siti ketika melihat Eva hanya diam memandangi Arumi.Eva menggeleng dan berkata, "Nggak usah, Bu. Nanti dia nangis kalau liat aku tapi nggak gendong."Bu Siti terkekeh mendengar keluhan Eva. Kebebasan Eva terenggut ketika keberadaannya tertangkap oleh Arumi. Bayi itu sangat manja kepada Eva. Bahkan, Eva harus melarikan diri secara diam-diam jika ingin ke kampus. "Bu, nanti aku agak telat ya pulangnya. Nggak apa-apa 'kan?" Eva merasa t
Rafa memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan hanya menemukan Bu Siti dan Arumi yang bermain di ruang tengah. "Pak Ra—" Kalimat Bu Siti menggantung begitu saja karena Rafa segera berlalu menuju ruangan lain seperti mencari sesuatu.Setelah memasuki tiap kamar dalam rumah, Rafa memasuki area dapur lalu berjalan ke halaman belakang. Nihil.Tidak ada jejak Eva di rumah ini. Rafa mendekati Bu Siti. Tatapannya tampak tidak fokus. Bahkan keberadaan Arumi di sana, seperti buram di mata Rafa."Eva nggak balik ke rumah, Bu?" tanya Rafa.Bu Siti mengernyit heran. "Bukannya Neng Eva ke rumah sakit ya. Tadi dia bilang mau jengukin Pak Ardi. Memangnya Pak Rafa nggak ketemu? Atau Pak Rafa bukan di rumah sakit tapi di kantor ya, makanya nggak ketemu?" "Saya di rumah sakit tadi, Bu. Cuma Eva ... pergi." Rafa bingung menjelaskan situasi saat ini. Rafa hanya mendengar kabar bahwa Eva marah. Penjelasan lebih lanjut terkait kron
Seharian ini, cuaca mendung membungkus langit seperti turut berdukacita mengantar jasad wanita henat yang dimakamkan sore ini. Eva berdiri di antara kerumunan orang-orang yang berduka. Eva bisa melihat bapak kosnya yang bernama Rafa sedang menggendong bayi perempuan yang masih memerah. Pria itu melongokkan kepala untuk melihat wajah istrinya untuk terakhir kali. Arumi Cahaya Laksma.Nama wanita paling cantik di mata Rafa, kini terabadikan di batu nisan. Meninggal setelah melahirkan bayi mungil yang kini menangis. Seolah-olah, bayi merah itu mengetahui akan terpisah dengan ibunya untuk selama-lamanya."Kasihan sekali bayi itu," gumam Eva. Tatapannya tidak lepas dari bayi ditutupi bedung. Eva melangkah mendekati bapak kosnya. Ingin menyampaikan dukanya secara langsung. Dia berdiri di belakang Rafa dan memanggil dengan lirih, "Pak."Rafa berbalik dan melihat Eva. Wajah Rafa basah oleh air mata. Jelas sekali jejak kesedihan karena ditinggal belahan jiwanya. Meskipun sulit, Rafa berusaha m
Berulang kali, Eva membolak-balik tubuhnya sambil menutupi telinganya dengan bantal. Dia berusaha tertidur lagi, tapi terganggu oleh suara tangisan bayi. Bahkan, dia sudah menyumpal telinga dengan earphone dan memutar instrumen penenang jiwa. Usaha untuk melanjutkan tidur tetap saja gagal gara-gara bayi itu."Anak siapa sih yang nangis terus? Emak bapaknya nggak kasihan apa liat anaknya nggak berhenti nangis?" Eva melempar asal bantalnya, lalu terduduk. Dia mengembuskan napas kasar."Padahal ini hari pertama aku bisa istirahat setelah seminggu penuh ujian akhir semester. Aku relain nggak pulang biar bisa tenang di kos. Tidur puas tanpa dengar ceramah mama papa yang selalu nyuruh cepat lulus."Eva merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan ilmu komunikasi. Dia mahasiswa yang pintar tapi minim kepedulian terhadap nilai dan mata kuliahnya sehingga semuanya menjadi berantakan dan nilai-nilainya anjlok. Hari ini menjadi hari kebebasannya setelah berperang dengan materi-materi kuliah, makal
Setelah ucapan spontan yang diucapkan Eva. Yang membuat wajahnya dan wajah bapak kos berubah kaget. Keduanya kompak membuang muka karena salah tingkah.Eva tidak memiliki pemikiran lain dari perkataannya. Dia hanya ingin meminta izin mencium bayi itu juga, tapi waktu yang dipilihnya ternyata salah. Perkataan yang membuatnya malu karena kesalahpahaman di pemikiran keduanya."Saya ... saya ke supermarket depan dulu. Titip Arumi. Saya segera kembali. Secepatnya." Bapak kos segera pamit untuk menghindari kegugupan dan rasa canggung yang masih membungkus Eva dan dirinya.Eva hanya mengangguk pelan.Ditinggal berdua dengan bayi mungil itu membuat Eva tidak bisa melakukan hal banyak selain mengajak bayi itu berinteraksi. Eva tidak berani meninggalkan tempat duduknya karena khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang hilang dari rumah ini, pasti dia yang akan dituduh. Meskipun Eva tidak pernah punya niat mengambil apapun, tapi namanya masalah akan menghampiri walaupun bukan dia penyebabnya.Sesaat,
Arumi telah tertidur setelah Eva mengganti popok Arumi—tentu saja mendapat pengarahan dari mamanya. Meskipun tadi, mama Eva marah-marah, jiwa keibuannya muncul melihat putrinya kewalahan mengganti popok bayi itu. Sekesal-kesalnya mama Eva, melampiaskan kemarahan dengan mengabaikan Eva dan bayi itu sulit dilakukan. Apalagi saat melihat wajah bayi itu, membuat hatinya terenyuh dan tidak bisa menahan diri untuk mengelus pipi gembulnya. Kini, Orangtua Eva duduk tegak di sofa memandangi dua orang beda usia itu secara bergantian. Eva duduk di karpet dan Rafa duduk di single sofa. Rafa memberi kode kepada Eva untuk ikut duduk di sofa, tapi perempuan itu bergeming dengan kepala tertunduk. Lima belas menit telah berlalu, namun belum ada yang mengeluarkan suara. Terdengar helaan napas panjang dari mama Eva yang beradu dengan suara napas tiga orang lainnya. "Ma," panggil Eva. Dia bergerak maju menggunakan lututnya. Dia meletakkan kedua tangannya di lutut mamanya dan menumpuk dagunya di sana.