Seharian ini, cuaca mendung membungkus langit seperti turut berdukacita mengantar jasad wanita henat yang dimakamkan sore ini. Eva berdiri di antara kerumunan orang-orang yang berduka. Eva bisa melihat bapak kosnya yang bernama Rafa sedang menggendong bayi perempuan yang masih memerah. Pria itu melongokkan kepala untuk melihat wajah istrinya untuk terakhir kali.
Arumi Cahaya Laksma.Nama wanita paling cantik di mata Rafa, kini terabadikan di batu nisan. Meninggal setelah melahirkan bayi mungil yang kini menangis. Seolah-olah, bayi merah itu mengetahui akan terpisah dengan ibunya untuk selama-lamanya."Kasihan sekali bayi itu," gumam Eva. Tatapannya tidak lepas dari bayi ditutupi bedung. Eva melangkah mendekati bapak kosnya. Ingin menyampaikan dukanya secara langsung. Dia berdiri di belakang Rafa dan memanggil dengan lirih, "Pak."Rafa berbalik dan melihat Eva. Wajah Rafa basah oleh air mata. Jelas sekali jejak kesedihan karena ditinggal belahan jiwanya. Meskipun sulit, Rafa berusaha menampilkan senyum pada Eva. Rafa menyerahkan bayinya ke gendongan kakaknya."Semoga Bapak diberi ketabahan. Sekarang, Ibu Arumi berada dalam pelukan Tuhan. Dia adalah wanita hebat." Eva adalah salah satu penyewa kos milik Rafa yang datang ke pemakaman menyampaikan duka cita. Dia memberi kalimat penyemangat pada Rafa yang terlihat rapuh. "Terima kasih, Eva," ucap Rafa yang dibalas anggukan oleh Eva.Rafa duduk di samping kuburan dan memperbaiki letak bunga Lily putih yang sengaja disusun untuk menghiasi batu nisan. "Kamu masih hidup di sini dan di sini, Sayang." Rafa menunjuk dadanya sebelah kiri lalu beralih ke kepalanya. "Ragamu memang tidak menemani kami lagi, tapi kamu abadi dalam ingatan aku, juga bagi anak kita."Rafa mengusap air matanya. "Aku janji akan menjaga bayi kita. Aku akan membesarkan dia menjadi perempuan hebat sepertimu. Kamu pegang janjiku."Eva tanpa sadar meneteskan air matanya lagi. Dia bisa merasakan sakit keluarga berduka itu. Juga bisa melihat ketulusan cinta dari bapak kosnya kepada istrinya. Sangat menyentuh, sehingga Eva menginginkan pria masa depannya juga mencintainya hingga akhir hayat seperti cinta bapak kosnya. Cepat-cepat Eva mengusap basah di pipinya. "Ayo pulang, Raf!" Dona, kakak Rafa mengusap punggung adiknya. "Aku masih mau di sini, Kak. Pulang saja lebih dulu." Rafa menolak. Dia masih ingin menemani istrinya.Dona memutar bola matanya. Dia cukup kesal dengan sikap Rafa yang terlalu menyesali kepergian istrinya. "Kamu, bisa gendong bayi?" tanya Dona.Eva yang berdiri di samping Dona menunjuk dirinya sendiri dan berkata, "Ibu tanya saya?" Dona mengangguk, "Bisa 'kan? Bantu saya gendong anak Rafa dulu. Saya harus paksa anak ini untuk pulang. Kalau tidak, bisa-bisa kita dibuat bermalam di sini."Sebelum Eva memberikan respon, bayi itu sudah Dona pindahkan ke tangan Eva. Bayi itu tidak berat, tapi Eva terlihat tertekan dengan bayi digendongannya. Ini pertama kalinya, Eva menggendong bayi baru lahir. Ketakutan dan perasaan was-was melingkupinya.'Bagaimana kalau bayi ini tiba-tiba bergerak dan jatuh?' pikir Eva yang membuatnya semakin ketakutan."Rafa, ayo pulang! Kasihan anak kamu. Kakak tau kamu bersedih, tapi nggak seharusnya kamu bersikap seperti ini. Arumi sudah tiada, kamu harus merelakannya. Sekarang, kamu punya bayi yang harus dipedulikan." Tidak mendapat respon dari Rafa, Dona menarik tangan adiknya. "Raf, pulang!"Rafa mengangguk dan bangkit. "Aku pamit pulang, Sayang. Tenanglah di sana. Aku akan menyusulmu suatu hari nanti."Langkah kaki Rafa berat meninggalkan istrinya tidur sendirian di sana. Kehilangan seorang istri atau ibu adalah pengalaman paling buruk yang dialami oleh seorang suami atau anak. Kalau bisa, Rafa ingin menukar dengan nyawanya. Bayi mereka akan lebih baik jika memiliki ibu tanpa ayah, dibanding ayah tanpa ibu. Bayi mungil itu lebih membutuhkan sosok ibu.***"Udah mau balik?"Eva terperanjat dengan suara dari arah belakangnya. Ketika menoleh, dia mendapati Rafa berdiri di sana.Eva mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Rafa."Kamu pulang pakai apa?" kata Rafa."Saya udah pesan ojek online, Pak. Bentar lagi sampai." "Makasih ya, Eva. Kamu banyak bantu saya hari ini." Rafa mengucap dengan tulus.Lagi, Eva mengangguk sebagai balasan. "Selama beberapa minggu, mungkin bulan, saya nggak balik ke kos dulu. Kamu sama teman-teman kamu tetap hati-hati di sana. Ingat jam malam. Kunci gerbang.""Iya, Pak. Aman." Eva mengatakannya dengan yakin. Dia tahu penjagaan dan aturan kos sangat ketat. Tetapi, itu wajar karena kos hanya dihuni oleh perempuan."Anak Bapak ke mana?" tanya Eva yang menyadari sejak pulang dari pemakaman, bayi itu tidak terlihat."Dia tidur sama kakak saya.""Bapak nggak ada niat gitu buat cari ibu baru buat anak bapak?" tanya Eva dengan nada bercanda. Dia bisa melakukannya, karena melihat Rafa cukup santai sekarang."Kamu mau?" tanya Rafa.Berulang kali, Eva membolak-balik tubuhnya sambil menutupi telinganya dengan bantal. Dia berusaha tertidur lagi, tapi terganggu oleh suara tangisan bayi. Bahkan, dia sudah menyumpal telinga dengan earphone dan memutar instrumen penenang jiwa. Usaha untuk melanjutkan tidur tetap saja gagal gara-gara bayi itu."Anak siapa sih yang nangis terus? Emak bapaknya nggak kasihan apa liat anaknya nggak berhenti nangis?" Eva melempar asal bantalnya, lalu terduduk. Dia mengembuskan napas kasar."Padahal ini hari pertama aku bisa istirahat setelah seminggu penuh ujian akhir semester. Aku relain nggak pulang biar bisa tenang di kos. Tidur puas tanpa dengar ceramah mama papa yang selalu nyuruh cepat lulus."Eva merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan ilmu komunikasi. Dia mahasiswa yang pintar tapi minim kepedulian terhadap nilai dan mata kuliahnya sehingga semuanya menjadi berantakan dan nilai-nilainya anjlok. Hari ini menjadi hari kebebasannya setelah berperang dengan materi-materi kuliah, makal
Setelah ucapan spontan yang diucapkan Eva. Yang membuat wajahnya dan wajah bapak kos berubah kaget. Keduanya kompak membuang muka karena salah tingkah.Eva tidak memiliki pemikiran lain dari perkataannya. Dia hanya ingin meminta izin mencium bayi itu juga, tapi waktu yang dipilihnya ternyata salah. Perkataan yang membuatnya malu karena kesalahpahaman di pemikiran keduanya."Saya ... saya ke supermarket depan dulu. Titip Arumi. Saya segera kembali. Secepatnya." Bapak kos segera pamit untuk menghindari kegugupan dan rasa canggung yang masih membungkus Eva dan dirinya.Eva hanya mengangguk pelan.Ditinggal berdua dengan bayi mungil itu membuat Eva tidak bisa melakukan hal banyak selain mengajak bayi itu berinteraksi. Eva tidak berani meninggalkan tempat duduknya karena khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang hilang dari rumah ini, pasti dia yang akan dituduh. Meskipun Eva tidak pernah punya niat mengambil apapun, tapi namanya masalah akan menghampiri walaupun bukan dia penyebabnya.Sesaat,
Arumi telah tertidur setelah Eva mengganti popok Arumi—tentu saja mendapat pengarahan dari mamanya. Meskipun tadi, mama Eva marah-marah, jiwa keibuannya muncul melihat putrinya kewalahan mengganti popok bayi itu. Sekesal-kesalnya mama Eva, melampiaskan kemarahan dengan mengabaikan Eva dan bayi itu sulit dilakukan. Apalagi saat melihat wajah bayi itu, membuat hatinya terenyuh dan tidak bisa menahan diri untuk mengelus pipi gembulnya. Kini, Orangtua Eva duduk tegak di sofa memandangi dua orang beda usia itu secara bergantian. Eva duduk di karpet dan Rafa duduk di single sofa. Rafa memberi kode kepada Eva untuk ikut duduk di sofa, tapi perempuan itu bergeming dengan kepala tertunduk. Lima belas menit telah berlalu, namun belum ada yang mengeluarkan suara. Terdengar helaan napas panjang dari mama Eva yang beradu dengan suara napas tiga orang lainnya. "Ma," panggil Eva. Dia bergerak maju menggunakan lututnya. Dia meletakkan kedua tangannya di lutut mamanya dan menumpuk dagunya di sana.
Dona menghampiri keranjang tidur bayi yang berisi Arumi di dalamnya. Bayi itu tidur dengan tenang. Mulutnya bergerak-gerak membuat Dona gemas melihatnya. Sejenak, dia melupakan tujuannya masuk ke sini."Anak ini sangat pandai memikat siapa pun yang melihatnya. Sangat cantik. Keponakanku tersayang." Dona tidak bisa mencegah bibirnya membentuk lengkungan.Di tepi tempat tidur, di sanalah Rafa memupuk kekesalan di dalam dada atas ucapan Dona yang menyuruhnya menikahi Eva. Tidak mungkin dia menikahi perempuan muda itu. Kalau pun dia ingin, Eva pasti menolaknya. Karena, Rafa seorang duda anak satu. Siapa yang ingin menikah dengan pria yang sudah punya anak?Lagipula, Rafa tidak ingin mengingkari janjinya pada mendiang istrinya. Dia akan tetap setia menyendiri setelah Arumi, istrinya meninggal. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mencari ibu baru untuk bayinya. Tetapi, Dona malah menyeretnya ke situasi yang menyebalkan. "Kakak pikir, kalian memang butuh seorang perempuan di rumah
"Ada apa dengan pintu kamarmu, Eva? Sudah hampir setengah jam kita menunggu di depan kamar." Mama Eva terus-menerus mengeluh. Jika Eva menghitungnya, itu sudah kesepuluh kali mamanya mengatakan kalimat yang sama."Sabar, Ma. Pintu kamar aku memang sering macet begini. Biasanya mudah kalau pakai kunci kamar untuk bantu narik pengganjal pintunya. tapi tadi aku lupa mengambil kunci di dalam kamar."Eva menjawab lagi sambil berusaha memutar gagang pintu yang tidak berfungsi. Jika Eva punya tenaga lebih mungkin dia sudah mendobraknya, tapi itu ide yang buruk."Kenapa kamu nggak minta kamar baru ke bapak kosmu. Atau kamu komplain ke dia biar pintunya diperbaiki." Papa Eva ikut mengeluarkan pendapatnya."Eva emang mau lakuin itu, Pa. Tapi, bapak kos baru aja pindah dari rumah kakaknya. Tadi aku baru ketemu dia. Belum sempat ngomongin masalah pintu ini.""Papa dobrak aja gimana?" usul Papa Eva."Jangan-jangan, Pa." Eva melambai-lambaikan kedua telapak tangannya
"Sebentar, Bu. Biarkan aku mencerna semua kalimat ibu." Eva mengangkat kedua tangannya, mencegah Dona mengatakan kalimat lainnya. Eva menjadi lamban berpikir mendengar permintaan semua orang yang menyuruhnya menikah dengan bapak kosnya sendiri. Sebenarnya, apa untungnya Eva menikah dengan duda beranak satu itu?Eva mengembuskan napas lalu menatap Dona. "Bu, kenapa saya yang harus menikah dengan Pak Rafa?""Karena, kamu cocok dengan Arumi. Saya percaya kamu bisa jaga ponakan saya. Eva, tolonglah mereka berdua. Rafa memang keras kepala dan egois. Tapi saya nggak mau lihat ponakan saya tumbuh tanpa ibu. Itu tidak baik untuk perkembangannya." Dona menatap Eva dengan lekat. Dia sangat berharap Eva mau menuruti permintaannya."Tapi Bu, saya tidak ..." Eva hendak menolak tapi Dona lebih dahulu mengeluarkan suara.Dona menarik tangan Eva. Digenggamnya dengan erat, seolah ingin menyalurkan betapa berharapnya Dona agar Eva setuju menikah dengan Rafa."Eva tolonglah. J
Jarum jam merayap berusaha menggapai angka sebelas. Orangtua Eva telah tertidur di kasur. Sedangkan Eva masih duduk lesehan di depan meja belajar lipatnya sambil menyandarkan punggungnya di bantal yang disusun sedemikian rupa agar membuatnya nyaman menikmati kegiatannya. Bukan belajar, melainkan menonton drama. Eva termasuk K-drama lovers. Jadi tidak aneh bila dia merelakan waktu tidurnya untuk nonton marathon seperti saat ini. Drama yang ditontonnya baru berjalan seperempat video ketika telinganya samar mendengar suara yang meningkahi percakapan antara Kim Min Kyu dengan lawan mainnya dalam drama yang ditonton Eva. Dia menjeda video, kemudian menajamkan pendengarannya. "Suara apaan ya?" tanya Eva pada dirinya sendiri. Ketika tidak ada suara lagi yang didengarnya, Eva mengedikkan bahu dan melanjutkan menonton dramanya. Baru sebentar dia jalankan, kembali terdengar suara bising. Eva menjeda lagi dan bangkit dari duduknya. "Suara apan sih itu? Ganggu banget deh
Rafa berdecak. "Aku mengatakan, menikahlah denganku." Rafa mengulang kalimatnya sambil mengambil tisu di meja. Dia menggulung kecil tisu itu lalu digunakan menyumbat lubang hidung kirinya yang mengeluarkan darah tadi. Sepuluh menit sudah berlalu dan benar kata Eva, darah tidak lagi mendesak ingin keluar. Namun, Rafa tetap menyumbatnya sebagai antisipasi jika darah kembali keluar.Rafa bangkit dan mendekati gadis yang sedang melongo dengan mata mengerjap-ngerjapkan matanya. Rafa mengambil baby Arumi dari gendongan Eva. "Halo, Eva? Kamu tidak mendengar aku?" Rafa menjentikkan jari tepat di depan wajah Eva.Seperti ditarik paksa dari lamunannya, Eva kaget dengan keberadaan Rafa di depannya. "Eh, Pak?" ucap Eva memundurkan kaki kirinya. "Tadi Pak Rafa bilang apa?""Kamu sangat menyukai kalimat itu, sampai-sampai ingin aku mengulanginya terus?" kata Rafa menyindir.Eva menggeleng kuat-kuat. Bukan karena menyukainya, lebih tepatnya, Eva tidak percaya pada kalimat