Dona menghampiri keranjang tidur bayi yang berisi Arumi di dalamnya. Bayi itu tidur dengan tenang. Mulutnya bergerak-gerak membuat Dona gemas melihatnya. Sejenak, dia melupakan tujuannya masuk ke sini.
"Anak ini sangat pandai memikat siapa pun yang melihatnya. Sangat cantik. Keponakanku tersayang." Dona tidak bisa mencegah bibirnya membentuk lengkungan.Di tepi tempat tidur, di sanalah Rafa memupuk kekesalan di dalam dada atas ucapan Dona yang menyuruhnya menikahi Eva. Tidak mungkin dia menikahi perempuan muda itu. Kalau pun dia ingin, Eva pasti menolaknya. Karena, Rafa seorang duda anak satu. Siapa yang ingin menikah dengan pria yang sudah punya anak?Lagipula, Rafa tidak ingin mengingkari janjinya pada mendiang istrinya. Dia akan tetap setia menyendiri setelah Arumi, istrinya meninggal. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mencari ibu baru untuk bayinya. Tetapi, Dona malah menyeretnya ke situasi yang menyebalkan. "Kakak pikir, kalian memang butuh seorang perempuan di rumah ini. Untuk menjaga kamu dan Arumi." Dona berbalik dan duduk di sofa yang berhadapan dengan tempat tidur."Tidak perlu! Aku bisa jaga diri sendiri dan sanggup jaga Arumi." Rafa menolak dengan tegas usulan kakaknya yang dia anggap aneh itu."Ini berbeda, Raf. Kamu dan Arumi butuh seorang perempuan di kehidupan kalian lagi."Rafa mendengus, "Aku tidak butuh, Kak. Aku bisa melakukan segalanya. Arumi cukup punya aku.""Ayolah, Raf. Kamu jangan pura-pura bisa melakukan segalanya. Lihat dirimu. Kamu panikan. Kamu tidak bisa mengganti popok Arumi, tidak paham cara menenangkan Arumi dan kakak tidak yakin kamu bisa merawat Arumi dengan baik.""Aku bisa merawat Arumi. Aku bisa belajar memakaikan popok untuk Arumi, memberinya makan dan memenuhi semua kebutuhan Arumi.""Tidak sesimpel itu, Raf. Kamu butuh ibu baru untuk Arumi.""Nggak bisa, Kak. Rafa tidak membutuhkan itu. Arumi hanya punya satu ibu dan nggak akan ada ibu baru untuknya. Aku juga hanya punya satu istri dan tidak memiliki niat untuk membuka hati untuk perempuan lain. Hatiku, cintaku dan semua yang kumiliki hanya bisa kuserahkan pada istriku, mama Arumi. Bukan orang lain.""Raf! Jangan egois! Pikiranmu itu sangat dangkal." sergah Dona.Rafa dan Dona saling tatap dengan pemikiran yang bertentangan. Dona menginginkan Rafa menikah lagi, sedangkan Rafa tetap ingin mempertahankan status dudanya."Aku nggak egois, Kak. Aku hanya berusaha menepati janji kepada istriku. Meskipun dia sudah meninggal, aku akan tetap dan selalu mencintainya. Aku tidak kan membiarkan orang lain menggantikan posisinya. Seharusnya, Kakak tahu betul hal ini.""Itu namanya egois, Raf. Kamu hanya mikirin janjimu, keinginanmu dan kesetianmu itu. Kamu nggak mikirin Arumi, anakmu! Pikirkan dia juga! Dia butuh seorang ibu.""Aku bisa menjadi ayah sekaligus ibu untuk anakku. Kakak jangan menyuruhku melakukan hal yang tidak aku inginkan. Ini keluarga aku, kehidupanku. Maka aku yang berhak menentukan jalan." Rafa membenci topik ini. Dia sudah tegas menolak, tapi Dona masih keras kepala memintanya menikah. "Itu berbeda, Raf. Laki-laki kodratnya menjadi ayah, bukan ibu. Anakmu membutuhkan ibu. Ibu yang nyata, seorang perempuan. Pikirkan lagi, Raf."Rafa bangkit berdiri. Menatap Dona dalam diam. Mulutnya ingin membalas ucapan Dona, tapi perdebatan akan terus berlanjut jika melakukannya. Dia dan Dona sama-sama keras kepala. "Aku bisa, Kak! Aku bisa menjadi apapun untuk anakku." Dengan nada penuh penekanan, Rafa mengucapkan. Dia yakin dengan dirinya. Sebab itulah, kalimat itu bisa keluar dari mulutnya. Rafa tidak ingin membawa orang lain ke dalam kehidupannya bersama Arumi—anak dan istrinya. Kehidupan mereka hanya bertiga. Tidak akan ada nama baru di kisah mereka. Rafa mendekati keranjang tidur bayinya lalu menatap sendu Arumi, satu-satunya yang paling dia cintai. Dia membelai pelan pipi Arumi. Matanya berkaca-kaca sehingga penglihatan buram. Tidak ingin dilihat menangis, Rafa berkata dengan suara serak, "Kakak bisa keluar sekarang. Biarkan aku berdua dengan Arumi di sini."Dona menghela napas sebelum membalas, "Raf, Kakak hanya ingin yang terbaik untuk kalian. Kakak nggak ada maksud lain." "Sudah cukup, Kak. Pembahasan ini kita akhiri di sini. Aku tetap pada pendirianku.""Rafa!" panggil Dona."Keluarlah, Kak." Rafa menyuruh dengan suara lemah. Dona menatap punggung Rafa yang membelakanginya. Dia bangkit berdiri dan keluar dari kamar. Dia akan memberi ruang untuk Rafa. Ruang untuk berpikir dan merenungi bahwa ucapannya benar. Meski dia tahu, cinta Rafa kepada mendiang istrinya sangat besar. Wajar saja, Rafa belum bisa berdamai dengan kondisinya saat ini. Baru tiga bulan. Itu waktu yang singkat untuk menerima takdir yang harus Rafa terima. Namun, Dona tidak ingin melihat adiknya terluka dan bersedih terlalu lama. Dia berpikir, menjodohkan Rafa dengan penyewa kos itu bisa menjadi jalan untuk Rafa melupakan kesedihannya."Raf, kamu harus bisa melupakan masa lalu kamu. Ada Arumi yang harus kamu pedulikan. Ada kehidupan bayimu yang harus kamu pertanggungjawabankan. Arumi tidak boleh kekurangan apapun, termasuk ibu." Dona berbisik di depan pintu kamar sebelim melanhkah menjauhi kamar Rafa.Di dalam sana, Rafa masih memandangi bayinya yang damai dengan tidurnya. Bayi itu, sama sekali tidak terganggu oleh perdebatan Rafa dan Dona."Nak, maafin Papa. Maafin Papamu yang bodoh ini. Papa ..." Rafa merancau dan segera membekap mulutnya. Dia tidak boleh memperdengarkan isakannya pada bayi itu. Bayi sensitif dengan suara. Jiwa mereka terikat. Bisa saja, bayi itu memahami perasaan Rafa dan terbangun. Rafa tidak ingin menganggu tidur bayinya.Rafa jatuh terduduk di samping keranjang tidur bayinya. Dia menelungkupkan wajah di antara dua lututnya. Tubuhnya bergetar karena menahan tangis. 'Arumi, Sayang. Kak Dona memintaku menikah lagi. Aku tidak mau. Aku masih mencintaimu. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau menikah lagi. Hanya kamu yang berhak menempati hatiku.''Arumi, aku merindukanmu. Aku butuh pelukanmu. Kamu di mana?''Sayang, apa kamu sudah membenciku? Kenapa kamu tidak datang memelukku saat aku butuh? Kenapa kamu meninggalkan aku bersama bayi kita? Tega sekali. Kamu menginginkan bayi kita, tapi kamu meninggalkannya tanpa sempat melihat betapa cantik bayi kita. Kamu jahat, Arumi!''Sayang, jika saja kamu masih hidup. Aku tidak akan merasakan ini. Kita akan bahagia dengan bayi cantik kita.'Rafa terus-terusan meneriakkan rasa rindunya dan harapan semu kepada istrinya. Jeritan dalam hati terus menggema hingga ke telinganya. Menjalar ke pikirannya dan menyakiti seluruh tubuhnya. Sangat menyiksa Rafa.Kamar mereka—Rafa dan istrinya—menjadi saksi bisu betapa cengeng dan rapuh sosok Rafa saat ini. Udara dalam kamar ini memeluk Rafa mengantikan pelukan Arumi. Semua perabotan ingin menutup mata. Tidak tega melihat ayah tunggal itu menangisi nasibnya.Rafa tidak tahu bahwa di balik pintu kamar itu, ada seorang perempuan yang mendengar penolakannya untuk menikah lagi.
"Ada apa dengan pintu kamarmu, Eva? Sudah hampir setengah jam kita menunggu di depan kamar." Mama Eva terus-menerus mengeluh. Jika Eva menghitungnya, itu sudah kesepuluh kali mamanya mengatakan kalimat yang sama."Sabar, Ma. Pintu kamar aku memang sering macet begini. Biasanya mudah kalau pakai kunci kamar untuk bantu narik pengganjal pintunya. tapi tadi aku lupa mengambil kunci di dalam kamar."Eva menjawab lagi sambil berusaha memutar gagang pintu yang tidak berfungsi. Jika Eva punya tenaga lebih mungkin dia sudah mendobraknya, tapi itu ide yang buruk."Kenapa kamu nggak minta kamar baru ke bapak kosmu. Atau kamu komplain ke dia biar pintunya diperbaiki." Papa Eva ikut mengeluarkan pendapatnya."Eva emang mau lakuin itu, Pa. Tapi, bapak kos baru aja pindah dari rumah kakaknya. Tadi aku baru ketemu dia. Belum sempat ngomongin masalah pintu ini.""Papa dobrak aja gimana?" usul Papa Eva."Jangan-jangan, Pa." Eva melambai-lambaikan kedua telapak tangannya
"Sebentar, Bu. Biarkan aku mencerna semua kalimat ibu." Eva mengangkat kedua tangannya, mencegah Dona mengatakan kalimat lainnya. Eva menjadi lamban berpikir mendengar permintaan semua orang yang menyuruhnya menikah dengan bapak kosnya sendiri. Sebenarnya, apa untungnya Eva menikah dengan duda beranak satu itu?Eva mengembuskan napas lalu menatap Dona. "Bu, kenapa saya yang harus menikah dengan Pak Rafa?""Karena, kamu cocok dengan Arumi. Saya percaya kamu bisa jaga ponakan saya. Eva, tolonglah mereka berdua. Rafa memang keras kepala dan egois. Tapi saya nggak mau lihat ponakan saya tumbuh tanpa ibu. Itu tidak baik untuk perkembangannya." Dona menatap Eva dengan lekat. Dia sangat berharap Eva mau menuruti permintaannya."Tapi Bu, saya tidak ..." Eva hendak menolak tapi Dona lebih dahulu mengeluarkan suara.Dona menarik tangan Eva. Digenggamnya dengan erat, seolah ingin menyalurkan betapa berharapnya Dona agar Eva setuju menikah dengan Rafa."Eva tolonglah. J
Jarum jam merayap berusaha menggapai angka sebelas. Orangtua Eva telah tertidur di kasur. Sedangkan Eva masih duduk lesehan di depan meja belajar lipatnya sambil menyandarkan punggungnya di bantal yang disusun sedemikian rupa agar membuatnya nyaman menikmati kegiatannya. Bukan belajar, melainkan menonton drama. Eva termasuk K-drama lovers. Jadi tidak aneh bila dia merelakan waktu tidurnya untuk nonton marathon seperti saat ini. Drama yang ditontonnya baru berjalan seperempat video ketika telinganya samar mendengar suara yang meningkahi percakapan antara Kim Min Kyu dengan lawan mainnya dalam drama yang ditonton Eva. Dia menjeda video, kemudian menajamkan pendengarannya. "Suara apaan ya?" tanya Eva pada dirinya sendiri. Ketika tidak ada suara lagi yang didengarnya, Eva mengedikkan bahu dan melanjutkan menonton dramanya. Baru sebentar dia jalankan, kembali terdengar suara bising. Eva menjeda lagi dan bangkit dari duduknya. "Suara apan sih itu? Ganggu banget deh
Rafa berdecak. "Aku mengatakan, menikahlah denganku." Rafa mengulang kalimatnya sambil mengambil tisu di meja. Dia menggulung kecil tisu itu lalu digunakan menyumbat lubang hidung kirinya yang mengeluarkan darah tadi. Sepuluh menit sudah berlalu dan benar kata Eva, darah tidak lagi mendesak ingin keluar. Namun, Rafa tetap menyumbatnya sebagai antisipasi jika darah kembali keluar.Rafa bangkit dan mendekati gadis yang sedang melongo dengan mata mengerjap-ngerjapkan matanya. Rafa mengambil baby Arumi dari gendongan Eva. "Halo, Eva? Kamu tidak mendengar aku?" Rafa menjentikkan jari tepat di depan wajah Eva.Seperti ditarik paksa dari lamunannya, Eva kaget dengan keberadaan Rafa di depannya. "Eh, Pak?" ucap Eva memundurkan kaki kirinya. "Tadi Pak Rafa bilang apa?""Kamu sangat menyukai kalimat itu, sampai-sampai ingin aku mengulanginya terus?" kata Rafa menyindir.Eva menggeleng kuat-kuat. Bukan karena menyukainya, lebih tepatnya, Eva tidak percaya pada kalimat
"Eva, katakanlah dengan jelas. Jangan membuat saya kebingungan. Sekali lagi saya akan meminta kamu. Apa kamu bersedia menjadi ibu untuk Arumi?" ucap Rafa dengan tatapan penuh harap pada Eva. Dia tahu, permintaannya sulit untuk dikabulkan oleh Eva. Bahkan dia sendiri sudah menganggap ini kegilaan. Eva masih mahasiswa. Dan benar, Eva memiliki banyak impian untuk diwujudkan di masa depan. Sedangkan, Rafa sekarang memintanya menjadi seorang ibu. Gadis muda mana yang ingin menikah dengan duda beranak satu yang belum bisa melupakan mendiang istrinya? Gadis muda mana yang mau terbebani oleh bayi kecil yang masih berusia tiga tahun? Tidak ada. Mungkin hanya orang terdesak atau memiliki niat terselubung untuk menyetujui permintaan Rafa. Duda beranak satu itu tidak punya pilihan lain. Dia butuh Eva untuk membantunya merawat Eva. Tetapi, menjadikan Eva sebagai pengasuh tidak akan cukup. Bayi Arumi butuh kasih sayang dari gadis muda itu layaknya dari ibunya sendiri. Itu harapa
"Mau ke mana, Eva?" tanya Rafa dengan tatapan menelisik."Eh, kampret ... astaga Pak. Bikin kaget aja." Eva mengusap dadanya saat Rafa mengejutkannya dengan suaranya."Kamu mau ke mana? Mau kabur?" tanya Rafa."Iya. Saya berubah pikiran, Pak!" jawab Eva agak ketus sembari melanjutkan langkahnya. Sejak pulang dari rumah utama, semalaman Eva memikirkan keputusannya menikah dengan bapak kos. Makanya, pagi-pagi buta, dia hendak melarikan diri. Meninggalkan orangtuanya yang masih terlelap.Baru beberapa langkah Eva menjauh, Rafa segera menarik tas punggung gadis itu. "Kenapa lagi Eva. Kamu udah setuju semalam. Aku udah kabarin keluarga untuk datang ke sini buat acara lamaran. Jangan buat saya malu." Rafa memasang wajah sebal."Loh, Pak Rafa kok mainnya cepet banget. Saya belum siap, Pak. Saya belum bilang ke mama papa juga." Eva menyentak agar tas punggungnya terlepas dari cekalan Rafa. "Saya udah bilang ke mereka. Jadi jangan coba-coba kabur," balas Rafa."
"Mau konsep apa pernikahannya?" sahut Bilqis, istri Om Rafa memandangi Rafa dan Eva bergantian. Kebetulan dia memiliki usaha wedding organizer. "Loh, kok udah bahas konsep pernikahan aja? Kita nggak kenalan dulu aja?" ujar Eva kebingungan. Dia memandangi semua orang yang duduk melingkar di ruang tamu.Eva terlambat datang ke rumah utama karena masih sebal dengan kejadian tadi pagi. Dia gagal melarikan diri dan harus mendapatkan ceramah panjang dari orangtuanya. Jika bukan karena Arumi, Eva tidak akan berada di dalam rumah ini. Bayi itu dijadikan alat orang-orang dewasa ini untuk menarik Eva dengan cara membuat Arumi menangis. Sangat jahat dan licik, bukan?Eva menatap satu persatu keluarga Rafa yang terdiri Ardi Wijaya, papa Rafa yang datang bersama Dodi Wijaya beserta pasangan dan anak-anaknya. Dona juga datang. Tetapi, kakak Rafa itu memilih bermain bersama Arumi di kamar."Apa yang salah? Bukannya kalian udah sepakat mau menikah? Masa belum mau bahas konsep pernikaha
"Kenapa, Pa?" tanya Rafa dengan wajah lesu. Setelah usahanya membujuk Eva agar setuju menjadi ibu untuk Arumi, kini harus sia-sia karena keputusan Ardi yang menolak menikahkan mereka.Di sampingnya, Eva terdiam. Kondisi ini tentu menguntungkannya. Dia tidak perlu alasan lagi untuk menghindari menikah dengan Rafa. Tetapi, di lubuk hatinya yang paling dalam, ada rasa tidak rela. Mungkin rasa sayangnya ke Arumi yang mengundang perasaan itu."Ikut papa!" pinta Ardi sembari bangkit. Dia sempat pamit kepada semua orang. "Permisi semua, saya perlu bicara dulu dengan anak saya." Kompak semua orang mengangguk, mempersilahkan. Rafa mengekor di belakang papanya dan sempat melempar senyum pada orangtua Eva. Sejujurnya, Rafa merasa tidak enak pada orangtua Eva karena papanya mengatakan penolakan secara mendadak. Padahal sebelumnya, Ardi tampak antusias dengan rencana Rafa. Tetapi, Rafa juga tahu, papanya paling tidak suka jika anaknya dikatain seperti yang dilakukan Eva tadi. "Pa,