"Eva, katakanlah dengan jelas. Jangan membuat saya kebingungan. Sekali lagi saya akan meminta kamu. Apa kamu bersedia menjadi ibu untuk Arumi?" ucap Rafa dengan tatapan penuh harap pada Eva.
Dia tahu, permintaannya sulit untuk dikabulkan oleh Eva. Bahkan dia sendiri sudah menganggap ini kegilaan. Eva masih mahasiswa. Dan benar, Eva memiliki banyak impian untuk diwujudkan di masa depan. Sedangkan, Rafa sekarang memintanya menjadi seorang ibu.Gadis muda mana yang ingin menikah dengan duda beranak satu yang belum bisa melupakan mendiang istrinya? Gadis muda mana yang mau terbebani oleh bayi kecil yang masih berusia tiga tahun? Tidak ada. Mungkin hanya orang terdesak atau memiliki niat terselubung untuk menyetujui permintaan Rafa.Duda beranak satu itu tidak punya pilihan lain. Dia butuh Eva untuk membantunya merawat Eva. Tetapi, menjadikan Eva sebagai pengasuh tidak akan cukup. Bayi Arumi butuh kasih sayang dari gadis muda itu layaknya dari ibunya sendiri. Itu harapa"Mau ke mana, Eva?" tanya Rafa dengan tatapan menelisik."Eh, kampret ... astaga Pak. Bikin kaget aja." Eva mengusap dadanya saat Rafa mengejutkannya dengan suaranya."Kamu mau ke mana? Mau kabur?" tanya Rafa."Iya. Saya berubah pikiran, Pak!" jawab Eva agak ketus sembari melanjutkan langkahnya. Sejak pulang dari rumah utama, semalaman Eva memikirkan keputusannya menikah dengan bapak kos. Makanya, pagi-pagi buta, dia hendak melarikan diri. Meninggalkan orangtuanya yang masih terlelap.Baru beberapa langkah Eva menjauh, Rafa segera menarik tas punggung gadis itu. "Kenapa lagi Eva. Kamu udah setuju semalam. Aku udah kabarin keluarga untuk datang ke sini buat acara lamaran. Jangan buat saya malu." Rafa memasang wajah sebal."Loh, Pak Rafa kok mainnya cepet banget. Saya belum siap, Pak. Saya belum bilang ke mama papa juga." Eva menyentak agar tas punggungnya terlepas dari cekalan Rafa. "Saya udah bilang ke mereka. Jadi jangan coba-coba kabur," balas Rafa."
"Mau konsep apa pernikahannya?" sahut Bilqis, istri Om Rafa memandangi Rafa dan Eva bergantian. Kebetulan dia memiliki usaha wedding organizer. "Loh, kok udah bahas konsep pernikahan aja? Kita nggak kenalan dulu aja?" ujar Eva kebingungan. Dia memandangi semua orang yang duduk melingkar di ruang tamu.Eva terlambat datang ke rumah utama karena masih sebal dengan kejadian tadi pagi. Dia gagal melarikan diri dan harus mendapatkan ceramah panjang dari orangtuanya. Jika bukan karena Arumi, Eva tidak akan berada di dalam rumah ini. Bayi itu dijadikan alat orang-orang dewasa ini untuk menarik Eva dengan cara membuat Arumi menangis. Sangat jahat dan licik, bukan?Eva menatap satu persatu keluarga Rafa yang terdiri Ardi Wijaya, papa Rafa yang datang bersama Dodi Wijaya beserta pasangan dan anak-anaknya. Dona juga datang. Tetapi, kakak Rafa itu memilih bermain bersama Arumi di kamar."Apa yang salah? Bukannya kalian udah sepakat mau menikah? Masa belum mau bahas konsep pernikaha
"Kenapa, Pa?" tanya Rafa dengan wajah lesu. Setelah usahanya membujuk Eva agar setuju menjadi ibu untuk Arumi, kini harus sia-sia karena keputusan Ardi yang menolak menikahkan mereka.Di sampingnya, Eva terdiam. Kondisi ini tentu menguntungkannya. Dia tidak perlu alasan lagi untuk menghindari menikah dengan Rafa. Tetapi, di lubuk hatinya yang paling dalam, ada rasa tidak rela. Mungkin rasa sayangnya ke Arumi yang mengundang perasaan itu."Ikut papa!" pinta Ardi sembari bangkit. Dia sempat pamit kepada semua orang. "Permisi semua, saya perlu bicara dulu dengan anak saya." Kompak semua orang mengangguk, mempersilahkan. Rafa mengekor di belakang papanya dan sempat melempar senyum pada orangtua Eva. Sejujurnya, Rafa merasa tidak enak pada orangtua Eva karena papanya mengatakan penolakan secara mendadak. Padahal sebelumnya, Ardi tampak antusias dengan rencana Rafa. Tetapi, Rafa juga tahu, papanya paling tidak suka jika anaknya dikatain seperti yang dilakukan Eva tadi. "Pa,
"Saya terima nikah dan kawinnya Eva Auristela Bagas binti Bagas Mahendra dengan mas kawin tersebut, tunai!" Kalimat itu terlontar dengan tegas dan jelas dari bibir merah dan penuh Rafa. Dia menjabat tangan papa Eva dengan kuat."Bagaimana para saksi?" tanya Bagas, papa Eva kepada saksi-saksi yang menyaksikan akad nikah. Bagas menolehkan kepalanya ke arah saksi yang duduk di dekatnya. Kompak semua orang mengangguk dan mengatakan, "Sah." Jabat tangan antara Rafa dan Bagas terlepas lalu dilanjutkan dengan berdoa. Akhirnya, mereka telah sah menjadi pasangan suami istri. Siang itu, segalanya terjadi begitu cepat. Eva dirias langsung oleh Tante Bilqis. Ketrampilan make up Bilqis tidak bisa dianggap remeh. Dia pernah menjadi MUA pribadi seorang aktris. Hanya dekorasi sederhana yang dialkukan oleh tim WO dari Tante Bilqis pada rumah Rafa. Pernikahan itu berlangsung sederhana tapi tidak mengurangi sakralnya acara itu.Setelah mengucapkan akad, dilanjutkan acara tukar cincin. Sa
"Untuk sementara kita tidur sekamar saja," ucap Rafa begitu memasuki kamar yang di belakangnya ada Eva mengekor.Rangkaian acara pernikahan Rafa dan Eva baru selesai saat gelap malam menyapa. Tadinya, Rafa merasa tidak enak pada Eva karena pernikahan mereka sangat sederhana dan tertutup. Hanya dihadiri keluarga inti. Menurut Rafa, pernikahan mereka sangat jauh dari impian gadis itu yang ingin menggelar pernikahan mewah untuk dijadikan kenangan dan pengalaman paling berkesan dalam hidupnya.Ternyata, Rafa salah besar. Eva justru merasa tenang karena pernikahan mereka tersembunyi dan hanya diketahui orang-orang terdekatnya. Dia memang sempat sedih, karena saudaranya tidak bisa hadir. Tetapi itu bukan masalah. Lagipula, ini bukan pernikahan nyata bagi Eva. Yang terjadi hari ini hanya dilakukan sebagai formalitas agar tidak ada fitnah ketika Eva menjadi ibu pengganti untuk Arumi."Saya nggak bisa balik ke kamar kos aja, Pak? Saya tidur di sana aja." Eva mengusulkan sambil duduk
"Baju apaan nih?" tanya Eva mengurai sebuah dress selutut yang tipis dan berenda di bagian atas. "Seriusan, kak Dona nyuruh aku pakai ini? Nggak salah?"Eva menarik baju lainnya yang memiliki model berbeda tapi tetap sexy. Sudah hampir setengah jam, Eva berdiri di depan lemari dan hanya memandang heran pakaian-pakaian yang katanya pemberian Dona. Entah apa yang dipikirkan kakak iparnya itu hingga memberikan pakaian kekurangan kain seperti itu. Eva yang terbiasa memakai celana sampai melongo ketika pertama mengurai gaun minim itu.Dia melirik bapak kosnya yang setia memandangi laptop berlogo menyala di depannya. "Pak, ... Pak Rafa ...," panggil Eva. "Apa?" balas Rafa tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop."Pak, liat ini deh," kata Eva mengundang perhatian Rafa. "Apaan sih, Eva?" tanya Rafa sambil menekan enter. Dia mengangkat wajah dan membelalakkan mata. "Astaga, Eva. Itu lingerie, ngapain dipajang semua?""Nah iya, namanya lingerie," kata Eva baru mengingat nama gaun minim itu
"Udah selesai?" tanya Rafa begitu Eva menyembulkan kepala dari dalam kamar mandi. Rafa berdiri bersandar di samping pintu kamar mandi, menunggu Eva selesai mandi. "Pak, bisa nggak sih tuh mulutnya ditutup dulu. Saya berasa mandi di pelatihan militer. Tiap menit diteriakin, 'Udah belum? Cepat-cepat' sakit telinga saya, Pak dengerinnya. Saya jadi nggak fokus mandinya." Eva mengajukan protes yang kesekian kalinya. Rafa memang membiarkan gadis itu mandi terlebih dahulu, tapi ketenangan tentu tidak dia berikan. Seperti yang dikatakan Eva, teriakan menyuruh Eva segera menyelesaikan ritual mandi terus dia lontarkan.Rafa menoleh dengan cengiran lebarnya, "Udah belum? Saya mau mandi juga. Lama banget mandinya. Ngapain aja sih di dalam? Udah hampir jam sembilan ini. Tanggung jawab kalau sampai saya flu.""Lemah banget sih, Pak. Kalau gitu nggak usah mandi malam, lah. Mending turu," kata Eva dengan nada sinis."Saya nggak bisa tidur kalau nggak mandi dulu. Apalagi seharian be
"Eva, Eva, bangun Nak." Suara panggilan dari luar sana berhasil membangunkan Eva. Eva meraba-raba ke atas nakas yang berada di samping ranjang, mencari ponselnya. Dia meraihnya dan menguap lebar sebelum mengecek jam. Dia mengintip pada layar ponselnya dan seketika matanya menjadi terbuka lebar melihat angka sembilan sudah tertera di sana. "Perasaan baru tidur bentar, kok udah jam sembilan aja? Nih jam hape pasti salah, kata Eva menunjuk-nunjuk ponselnya."Udah bener itu, Nak. Sekarang emang udah jam sembilan. Nih lihat." Citra, mama Eva menunjukkan ponselnya yang menampilkan angka yang sama dengan milik Eva."Cepet banget waktu berjalan," celetuk Eva masih belum percaya. Dia baru tertidur jam tiga subuh. Tidak ada aktivitas berarti yang dia lakukan. Dia hanya memandangi Rafa yang mendiamkannya karena telah menggunakan parfum mendiang istri Rafa. Eva sangat terbebani oleh rasa bersalah dan kesal sehingga sulit tidur. Eva tidak paham alasan kemarahan Rafa h
Rafa memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan hanya menemukan Bu Siti dan Arumi yang bermain di ruang tengah. "Pak Ra—" Kalimat Bu Siti menggantung begitu saja karena Rafa segera berlalu menuju ruangan lain seperti mencari sesuatu.Setelah memasuki tiap kamar dalam rumah, Rafa memasuki area dapur lalu berjalan ke halaman belakang. Nihil.Tidak ada jejak Eva di rumah ini. Rafa mendekati Bu Siti. Tatapannya tampak tidak fokus. Bahkan keberadaan Arumi di sana, seperti buram di mata Rafa."Eva nggak balik ke rumah, Bu?" tanya Rafa.Bu Siti mengernyit heran. "Bukannya Neng Eva ke rumah sakit ya. Tadi dia bilang mau jengukin Pak Ardi. Memangnya Pak Rafa nggak ketemu? Atau Pak Rafa bukan di rumah sakit tapi di kantor ya, makanya nggak ketemu?" "Saya di rumah sakit tadi, Bu. Cuma Eva ... pergi." Rafa bingung menjelaskan situasi saat ini. Rafa hanya mendengar kabar bahwa Eva marah. Penjelasan lebih lanjut terkait kron
"Bu Siti, Arumi rewel nggak seharian ini?"'Tadi sempat rewel nyariin Neng Eva sama Pak Rafa. Tapi sekarang udah aman, Neng. Bibi masih bisa tangani. Sekarang, adek lagi seru-serunya main. Tuh, Neng.'Senyuman Eva merekah ketika layar ponsel menampilkan Arumi yang sedang berusaha memasang donat susunnya. Eva selalu merasa bangga tiap kali melihat tumbuh kembang Arumi. Mungkin itulah yang dirasakan oleh semua ibu di dunia ini. Sekecil apapun pencapaian si anak, tentu terasa hebat di mata seorang ibu.'Mau bicara, Neng?' tanya Bu Siti ketika melihat Eva hanya diam memandangi Arumi.Eva menggeleng dan berkata, "Nggak usah, Bu. Nanti dia nangis kalau liat aku tapi nggak gendong."Bu Siti terkekeh mendengar keluhan Eva. Kebebasan Eva terenggut ketika keberadaannya tertangkap oleh Arumi. Bayi itu sangat manja kepada Eva. Bahkan, Eva harus melarikan diri secara diam-diam jika ingin ke kampus. "Bu, nanti aku agak telat ya pulangnya. Nggak apa-apa 'kan?" Eva merasa t
"Kami baik-baik aja kok, Pa." Eva melirik layar ponselnya yang menampilkan wajah Bagas. Panggilan telepon itu sudah berlangsung beberapa menit lalu dan Bagas bisa menangkap raut masygul di wajah putrinya. Akan tetapi, jawaban Eva yang berulang menekankan bahwa dia baik-baik saja membuat Bagas mengangguk. "Rafa belum pulang kerja?" tanya Bagas. "Bukan belum pulang, memang dia nggak mau pulang." Eva menjawab dengan jengkel. Mendengar nama Rafa disebut papanya kian membangkitkan kekesalan Eva pada suaminya. "Kalian bertengkar?" Itu bukan suara Bagas, melainkan suara mama Eva. Layar ponsel Eva kini dipenuhi oleh wajah mamanya. Desahan Eva lolos begitu saja. Dia menutup laptopnya yang sempat menganggur karena panggilan video dari orangtuanya. Seharusnya Eva melakukan itu sejak tadi. Toh, tugasnya tidak kunjung selesai sebab pikirannya tidak bisa fokus. Eva menyambar ponsel dan merebahkan tub
"Emangnya Pak Rafa nggak ada niatan balik dulu ke rumah? Kok tiap hari nyuruh orang mulu buat ambilin baju gantinya." Pandangan Eva tidak lepas dari asisten Rafa yang lagi-lagi datang hanya untuk meminta pakaian ganti untuk Rafa. Selama empat hari berturut-turut, asisten itu rutin mengunjungi rumah dengan tujuan yang sama. "Eh, si Eneng!" seru Bu Siti kaget saat tersadar dengan kemunculan Eva di belakangnya. Dia mengelus dada lalu menutup pintu. "Maaf ya, Bu," ucap Eva menunjukkan cengiran. Cukup merasa bersalah telah mengejutkan Bu Siti. Dia melangkah lebih dulu."Pak Rafa bukannya nggak mau balik. Kan Neng Eva udah dikabarin juga sama Pak Rafa. Mertua Neng Eva masih perlu dirawat, jadi Pak Rafa nggak tega ninggalin." Bu Siti menjawab sambil menyusul Eva menuju dapur."Tapi kan, masa iya nggak ada kesempatan pulang sebentar. Emang dia nggak rindu Arumi?" Eva meraih gelas dan melangkah ke depan lemari es."Kalau itu, saya nggak tau juga Neng. Tanya Pak Rafa langsung aja." Bu Siti t
"Wiiihhh ada ibu kos main ke sini," sambut Ajeng melihat kedatangan Eva bersama Arumi dalam gendongannya."Liat Eva gendong anak. Berasa liat ibu-ibu beneran," timpal Rida bercanda."Bangke kalian berdua. Gue masih muda ya. Paling muda di antara kalian. Mana ada muka ibu-ibu?" Eva melepas sendalnya dan bergabung duduk lesehan sambil mengomel. Bibirnya sudah maju beberap senti akibat disebut mirip ibu-ibu. Ajeng dan Rida cekikikan menanggapi Eva. "Iya-iya si paling muda." Rida tidak tega melihat bibir manyun Eva.Ajeng menyodorkan sepiring rujak mangga ke hadapan Eva. "Nih makan, gue udah potongin. Anak Lo kesiniin. Mumpung bapaknya nggak ada, gue mau unyel-unyel."Eva memeluk Arumi. "Jangan dong! Bapaknya marah ntar kalau anaknya diapa-apain.""Makanya Lo diam. Jangan laporin ke bapak kos." Ajeng menyelipkan tangannya di bawah ketiak Arumi, bersiap menariknya."Mending nggak usah. Lecet dikit, bapaknya bisa ngamuk." "Ya elah, mau dipangku doang, Va. Nggak gue banting." "Gue nggak y
"Makasih udah anterin," ucap Eva sekenanya lalu melepas seat belt. Dia masih kesal dengan pria disampingnya. Sampai saat ini, dia masih penasaran pada percakapan antara Bu Siti dan Rafa.Kalimat 'Nanti saya sediakan. Pak Rafa pasti suka' terus terbayang-bayang di kepalanya. Sejujurnya, dia takut kalau-kalau Rafa meminta seorang perempuan untuk melampiaskan hasratnya. Bu Siti pernah memperingati Eva tentang kebutuhan seorang laki-laki pada perempuan, tapi Eva sungguh belum siap melayani suaminya. Jangankan melayani, Eva saja masih meragukan perasaannya pada Rafa. Satu hal yang pasti, Eva tidak ingin Rafa melakukan hal itu dengan perempuan lain. Entah mengapa, hatinya tidak rela."Tunggu," ucap Rafa mencegah Eva yang hendak keluar dari mobil. Eva menutup pintu mobil. Dia menunggu Rafa berbicara lagi. "Sepertinya malam ini saya akan nggak bakal pulang ke rumah. Arumi bisa saya titip di kamu?" Eva menoleh dengan cepat. Jantungnya berdegup kencang. Perasaan khawatir dan takut menyelinap
Ucapan Rafa cukup sukses membuat Eva tergemap. Gadis itu tercenung untuk beberapa saat. Dia memikirkan kebenaran ucapan Rafa. Mungkin saja Rafa dalam keadaan tidak sadar saat mengatakannya. Namun, Eva juga mengkhawatirkan kalau Rafa sebenarnya sudah menciumnya tapi berdalih hendak mencuri ciuman Eva. Eva berdeham untuk mengurai rasa gugupnya. "Ngaco banget pagi-pagi," komentar Eva sambil mendorong bahu Rafa agar menjauh. Dia bangun lalu merapikan rambutnya dan menjepit dengan jedai.Rafa terkekeh pelan sebelum berkata, "Saya serius loh, tapi gagal soalnya kamu keburu bangun. Bukankah menyenangkan, kalau pagi-pagi kita membuat menciptakan suasana romantis? Suami istri suka gitu."Mata Eva melotot mendengar itu. Tidak ingin menanggapi Rafa lebih lanjut, Eva mencoba menghindar. "Gimana kondisi Papa Ardi?" tanya Eva bangkit dari kasur.Terdengar helaan napas dari Rafa. Cukup kecewa karena Eva kembali mengalihkan pembicaraan. Padahal Rafa ingin membicarakan hubungan mereka dari hati ke ha
"Rabu depan Sofyan bakalan main. Apa gue harus ke sana?" gumam Eva sendiri sambil tengkurap di kasur, memperhatikan jadwal Indonesia Masters. Beberapa saat, dia kembali memikirkan percakapan dengan Kausar tadi siang di kantin. "Apa bener kata Kausar? Perasaan gue udah berpaling ke Rafa? Masa sih?"Permasalahannya yang dihadapinya sekarang menjadikan Eva sebagai sosok yang egois dan kurang ajar. Tepatnya, dia bersikap seperti perempuan yang berselingkuh dan mainin perasaan laki-laki. Dia memiliki Rafa sebagai suaminya dan Sofyan sebagai pacarnya. Dulu, Eva ingin melepaskan Rafa ketika Arumi cukup besar atau memiliki seseorang yang bisa menjaganya. Namun, seiring berjalannya waktu, kebersamaan mereka justru membuat Eva terikat. Eva sulit beranjak dari kehidupannya saat ini. Arumi membuat hari-hari Eva lebih menyenangkan dan menantang. Dan Rafa dengan segala kebaikan dan ketulusannya membuat Eva perlahan membuka cela di hati untuk dimasuki oleh Rafa. 'Lalu bagaimana dengan Sofyan?'Sua
"Va, hubungan lo sama Sofyan nggak baik-baik aja 'kan?" celetuk Kausar mengalihkan pandangan dari layar hp ke Eva.Gadis itu tidak menjawab. Kausar yakin Eva mendengarnya. Terlihat jelas gerakan Eva yang hendak mengambil saus sambal seketika terhenti."Eva, woy!" Eva menyambar botol saus dengan cepat. "Sok tau!"Kausar berdecak lalu memperlihatkan room chat antara dirinya dengan Sofyan kepada Eva. "Udah semingguan lebih, dia terus nanyain lu ke gue.""Kangen sama o kali, tapi nggak ada topik makanya nanyain gue," kilah Eva. Bakso di mangkuknya tidak menarik lagi. Kini pikirannya kembali tertuju pada Sofyan. Sejak tahu perkara kecelakaan yang dialami abangnya, Eva memutuskan untuk menjaga jarak dari Sofyan. Bukan karena membenci laki-laki itu, tapi Eva mencoba menemukan jawaban dari keinginannya saat ini. Sekaligus memperjelas perasaan cintanya tertuju pada siapa. Eva berpikir mencoba melepas pikiran dari Sofyan mungkin membuatnya bisa menentukan pilihannya dengan tepat. Sebab, sela