"Udah selesai?" tanya Rafa begitu Eva menyembulkan kepala dari dalam kamar mandi. Rafa berdiri bersandar di samping pintu kamar mandi, menunggu Eva selesai mandi. "Pak, bisa nggak sih tuh mulutnya ditutup dulu. Saya berasa mandi di pelatihan militer. Tiap menit diteriakin, 'Udah belum? Cepat-cepat' sakit telinga saya, Pak dengerinnya. Saya jadi nggak fokus mandinya." Eva mengajukan protes yang kesekian kalinya. Rafa memang membiarkan gadis itu mandi terlebih dahulu, tapi ketenangan tentu tidak dia berikan. Seperti yang dikatakan Eva, teriakan menyuruh Eva segera menyelesaikan ritual mandi terus dia lontarkan.Rafa menoleh dengan cengiran lebarnya, "Udah belum? Saya mau mandi juga. Lama banget mandinya. Ngapain aja sih di dalam? Udah hampir jam sembilan ini. Tanggung jawab kalau sampai saya flu.""Lemah banget sih, Pak. Kalau gitu nggak usah mandi malam, lah. Mending turu," kata Eva dengan nada sinis."Saya nggak bisa tidur kalau nggak mandi dulu. Apalagi seharian be
"Eva, Eva, bangun Nak." Suara panggilan dari luar sana berhasil membangunkan Eva. Eva meraba-raba ke atas nakas yang berada di samping ranjang, mencari ponselnya. Dia meraihnya dan menguap lebar sebelum mengecek jam. Dia mengintip pada layar ponselnya dan seketika matanya menjadi terbuka lebar melihat angka sembilan sudah tertera di sana. "Perasaan baru tidur bentar, kok udah jam sembilan aja? Nih jam hape pasti salah, kata Eva menunjuk-nunjuk ponselnya."Udah bener itu, Nak. Sekarang emang udah jam sembilan. Nih lihat." Citra, mama Eva menunjukkan ponselnya yang menampilkan angka yang sama dengan milik Eva."Cepet banget waktu berjalan," celetuk Eva masih belum percaya. Dia baru tertidur jam tiga subuh. Tidak ada aktivitas berarti yang dia lakukan. Dia hanya memandangi Rafa yang mendiamkannya karena telah menggunakan parfum mendiang istri Rafa. Eva sangat terbebani oleh rasa bersalah dan kesal sehingga sulit tidur. Eva tidak paham alasan kemarahan Rafa h
"Kok cepat banget baliknya?" rengek Eva ketika orangtuanya hendak naik mobil.Bagas memeluk singkat putrinya dan berkata, "Papa sama mama udah hampir semingguan di sini, Nak. Kerjaan udah numpuk. Nggak bisa ditinggal lebih lama lagi.""Aku ikut balik ya," kata Eva memohon. "Kamu udah punya keluarga baru di sini. Masa mau ditinggal. Tetap di sini ya, Nak. Masuk kampus juga nggak lama lagi, ya kan?" Bagas menatap lembut putrinya."Tapi, Pa. Aku juga pengen balik ke Jogja," ucap Eva memelas. "Lain kali saja kamu berkunjung ke rumah bareng Rafa dan cucu Papa," kata Bagas mengintip bayi yang berada di gendongan Rafa. "Kata siapa, Arumi itu cucu Papa?" Eva merasakan hal yang aneh saat Bagas mengakui Arumi sebagai bayinya. Ada kebahagiaan yang dirasakannya. Tetapi, di sini lain, dia tidak suka saat Bagas menganggap bayi itu seperti anak kandung Eva. Ada kecemburuan yang dirasakan Eva. Dia terbiasa menjadi satu-satunya anak perempuan di keluarga Bagas Mahendra. Eva tidak ingin kehadiran Aru
"Semalam, udah dibilangin nggak usah mandi kalau mudah flu. Nggak denger sih? Telinga tuh di tempel dua di kepala biar bisa dengar. Itu bukan pajangan doang." Eva mengomel sambil mengompres dahi Rafa."Bisa nggak sih, kamu rawat saya, nggak usah ngomel-ngomel. Bikin tambah pusing tau nggak," kata Rafa dengan suara lemah. Kini, Rafa hanya bisa berbaring dan dibungkus selimut tebal. Dia merasa dingin, tapi saat Eva menyentuhnya, kulit Rafa seperti terbakar karena panas. Termometer juga menunjukkan suhu 37 derajat celsius. "Tunggu bentar, saya ambilin bubur dulu." Eva bangkit hendak mengambil bubur yang telah dibuatnya beberapa menit lalu. "Nanti aja ya aku makannya. Belum lapar," ucap Rafa menahan lengan Eva."Nggak usah pegang-pegang, Pak. Panas," keluh Eva sambil menyingkirkan tangan Rafa yang terasa panas. "Pak Rafa harus makan biar bisa makan obat." Rafa menggeleng pelan. "Saya nggak mau makan obat. Pahit." "Kalau manis bukan obat namanya, Pak. Pokoknya Pak Rafa harus makan teru
"Fyuu, akhirnya Arumi tidur juga," ucap Eva bernapas lega. Dia merenggangkan ototnya yang terasa pegal-pegal. Hari pertama menjadi ibu bagi Arumi sangat melelahkan. Eva menoleh dan menatap Rafa. "Sekarang giliran Pak Rafa yang harus minum obat," sambung Eva sambil berjalan mengambil obat di nakas. "Nggak usah, Eva. Saya nggak biasa makan obat. Biarin saya istirahat, nanti sembuh sendiri." Rafa menggeleng kuat-kuat. Dia merasa tubuhnya sedikit membaik setelah makan bubur. Eva tidak peduli penolakan Rafa. Dia harus memaksa pria itu agar mau makan obat. Eva mendekat dan duduk di pinggir kasur."Pak, mana tangannya?" pinta Eva."Mau ngapain?" tanya Rafa bingung."Ck, sini," Eva menarik tangan Rafa yang disembunyikan di balik selimut. Dia meletakkan dua butir obat demam pada telapak tangan Rafa. "Makan!" Rafa mengembalikan obat itu ke tangan Eva, "Saya nggak suka makan obat.""Emang ada orang yang suka makan obat?" sindir Eva. "Dimakan ya, Pak. Jangan persulit saya.""Simpan saja. Saya
"Loh, Pak? Kok udah rapi aja. Emang ya udah sehat?" tanya Eva ketika melihat Rafa berjalan ke arah dapur.Pria dengan kemeja putih dan vest abu-abu yang melekat di tubuhnya berdeham pelan. "Udah mendingan." Dia menatap satu persatu makanan yang tersedia di meja. "Kamu yang masak?"Eva mengangguk, "Duduklah, Pak Rafa. Saya tidak tau makanan apa yang Pak Rafa sukai, tapi di kulkas hanya ada bahan-bahan ini yang bisa aku kelola," jelas Eva menunjuk udang goreng krispi, oseng tahu tempe, dan sayur bening."Dari penampilan sepertinya layak dimakan. Kamu jago masak?" tanya Rafa menyampirkan blazer abu-abunya di sandaran kursi. Dia duduk di kursi paling ujung. "Nggak jago, Pak. Saya cuma campur-campur bahan makanan," kata Eva melepas celemek dari lehernya dan meletakkannya di atas meja."Bahaya nih. Kalau kamu asal campur. terus saya keracunan gimana?" kata Rafa mulai ragu mencoba masakan Eva.Eva berdecak sebelum menjawab, "Saya masih tau lah pak yang mana aja bisa dicampur dan mana yang n
"Eva, saya berangkat ya. Arumi tolong dijaga baik-baik. Segera kabari saya kalau ada apa-apa," kata Rafa pamit. Dia menatap bayinya yang masih tertidur lelap. Dia mendekatkan wajah lalu mencium singkat pipi dan kening Arumi."Siap, Pak. Aman di tangan saya. Pak Rafa kerja yang nyaman, biar urusan Arumi serahin ke saya." Eva mengatakan dengan bersemangat. Dia harus mengambil hati pria itu agar mempercayainya. Ini demi masa depannya yang gemilang. Rafa mengancing blazernya lalu menyambar kunci mobil dan ponselnya yang berada di atas meja. Saat melewati Eva, dia berkata, "Setiap tiga jam, kalau Arumi tidur, kamu bangunin, terus beri dia susu. Kamu harus aktifkan nomor kamu sepanjang hari supaya saya mudah hubungin kamu. Dan satu hal lagi, kamu tidak perlu repot-repot bersihin rumah, fokus aja sama Arumi. Biar urusan beberes rumah, dikerjakan oleh house cleaning services.""Rumah Pak Rafa ini nggak luas-luas amat, saya masih bisa beresin kok. Nggak usah pakai cleaning services segala," ba
"Semua orang pada kenapa sih? Nggak percaya banget kalau aku bisa jaga Arumi. Dari tadi gantian telepon aku. Tuh-tuh 'kan nelpon lagi." Eva mengomel karena ketenangan selalu terganggu oleh panggil telepon atau panggilan video dari banyak orang. Tidak terlalu banyak sih, hanya kedua orangtuanya, Dona, Papa Ardi, dan yang paling menyebalkan adalah bapak kosnya alias suaminya sekaligus bapak dari Arumi.Eva menatap layar ponselnya yang menampilkan panggilan video dari Rafa yang menunggu Eva terima. Eva menghela napas dengan kasar. Dia memaksakan senyum sebelum menerima panggilan.Setelah ikon telepon berwarna hijau dia geser, layar itu berubah menampilkan wajah bapak kosnya.'Arumi, mana Eva?' Tanpa sapaan, Rafa langsung menanyakan keberadaan bayinya.Eva mengarahkan kamera ponsel ke bayi yang sedang tertidur. Eva terlalu malas menjawab pertanyaan yang sama untuk kedua puluh kalinya dalam durasi waktu dua jam. Pria itu sepertinya sangat senggang di kantornya hingga menelepon terus-menerus