"Semua orang pada kenapa sih? Nggak percaya banget kalau aku bisa jaga Arumi. Dari tadi gantian telepon aku. Tuh-tuh 'kan nelpon lagi." Eva mengomel karena ketenangan selalu terganggu oleh panggil telepon atau panggilan video dari banyak orang. Tidak terlalu banyak sih, hanya kedua orangtuanya, Dona, Papa Ardi, dan yang paling menyebalkan adalah bapak kosnya alias suaminya sekaligus bapak dari Arumi.Eva menatap layar ponselnya yang menampilkan panggilan video dari Rafa yang menunggu Eva terima. Eva menghela napas dengan kasar. Dia memaksakan senyum sebelum menerima panggilan.Setelah ikon telepon berwarna hijau dia geser, layar itu berubah menampilkan wajah bapak kosnya.'Arumi, mana Eva?' Tanpa sapaan, Rafa langsung menanyakan keberadaan bayinya.Eva mengarahkan kamera ponsel ke bayi yang sedang tertidur. Eva terlalu malas menjawab pertanyaan yang sama untuk kedua puluh kalinya dalam durasi waktu dua jam. Pria itu sepertinya sangat senggang di kantornya hingga menelepon terus-menerus
"Eh, Kausar ngapain ke sini?" tanya Eva gugup. Dia memeluk erat bayi di gendongannya. Dia khawatir kalau teman kelasnya itu berpikir aneh-aneh pada dirinya yang menggendong bayi.Bukannya menjawab, Kausar malah balik bertanya sambil melihat heran pada Eva dan bayi itu bergantian. "Bayi siapa, Eva? Nggak mungkin anak kamu ya 'kan?" Eva menggeleng kuat-kuat dan segera mengelak. "Bukanlah! Mana mungkin ini anak aku." Dia tertawa canggung. 'Maafin Kak Eva ya, Sayang. Bukannya nggak mau ngakuin kamu sebagai anak, tapi Kak Eva harus berbohong. Tolong bekerja samalah sama Kakak kali ini.' Eva membatin sambil memandang wajah Arumi yang cemberut. Mungkin bayi itu paham maksud Eva."Oh, terus anak siapa? Kok kamu yang jagain. Keluarga kamu datang ke sini?" ucap Kausar."Nggak. Aku sendirian di sini. Ini bayi bapak kos di sini, aku bantu jagain," jelas Eva."Baik banget mau jagain anak orang. Tetapi kamu keren. Belajar langsung merawat bayi sebelum beneran rawat anak sendiri." Kausar memuji.Ev
"Pak Rafa, jangan teriak-teriak. Eva ketakutan." Eva menegur sambil memeluk Arumi yang tengah mengerjap-ngerjapkan matanya."Berikan bayi saya," pinta Rafa dengan suara yang terkontrol. Namun, warna merah padam yang membungkus wajahnya belum juga lenyap. Rafa mengambil paksa Arumi dari tangan Eva. "Pak Rafa kenapa sih?" tanya Eva berpura-pura tidak tahu penyebab kemarahan Rafa. "Di mana laki-laki itu? Kamu sembunyikan dia di mana?" tanya Rafa dengan penekanan di setiap kata yang disebutkan. Dia berusaha menahan amarahnya agar bayi di gendongannya tidak kaget. "Dia ... dia ada di ...," ucap Eva takut-takut."Katakan Eva!" sergah Rafa. Dia sangat jengkel saat ini. Eva terlihat ingin melindungi laki-laki yang dianggap penyusup oleh Rafa.Eva melirik Arumi yang kini sudah menangis. Bayi itu pasti kaget mendengar teriakan papanya. Eva sangat ingin merebut bayi itu dari tangan Rafa dan menenangkannya, tapi dia sangat takut akan kemarahan Rafa. "Dia ada di kamar kos saya, Pak," jawab Eva
"Ngapain kamu ke kos perempuan?" tanya Rafa pada Kausar yang kini disidangnya di rumah utama."Pak Rafa, berapa kali saya harus jelasin kalau Kausar itu teman saya. Kebetulan hanya kos saya yang dekat dari kampus. Makanya, Kausar ke sini. Dia hanya numpang tidur sebentar, Pak." Eva bersuara hendak membela Kausar."Kamu diam Eva. Saya nggak nyuruh kamu bicara. Saya nanya ke laki-laki ini." Rafa menatap tajam Kausar.Teman kelas Eva itu mendongak. Kantuk masih tercetak jelas di wajahnya. Tingkat kefokusannya pun masih rendah. Kepalanya sedikit pusing akibat dibangunkan paksa oleh Rafa. Itu bukan kejam, Rafa hanya bersikap sebagai pelindung bagi Eva. Dia patut mencurigai teman kelas istrinya itu. Siapa yang tahu niat seseorang."Jawab saya! Ngapain kamu masuk ke sini. Padahal udah jelas-jelas kalau kos ini khusus perempuan," pinta Sultan mendesak."Saya cuma numpang tidur kok, Pak. Nggak lebih. Yang dikatakan Eva itu benar. Saya anak rantau, Pak. Numpang tidur di kos teman udah sering ter
"Aku pulang ya, Eva. Makasih loh udah biarin aku nginap sampai seharian," ungkap Kausar dengan tawa bahagia."Iya. hati-hati pulangnya. Titip salam sama ortu kamu," balas Eva."Nanti kalau dia nanya salam dari siapa, aku jawabnya dari calon mantu, nggak apa-apa ya, Eva?" kata Kausar menggoda. Dia melirik bapak kos yang melipat tangan di depan dada dengan raut kecut.Eva terkekeh pelan, "Bisa aja kamu. Dapat salam dari teman kelas." "Orangtua aku kadang nggak percaya kalau aku bilang dari teman kelas. Selalu ngira dari pacar kalau ada titip salam." Kausar masih tidak mau mengalah. Dia sudah lama menyukai gadis itu tapi selalu ditolak. Karena Eva sangat setia pada kekasihnya yang atlet itu."Nggak usah bilang ke orangtua kamu. Nggak ada yang nitip salam lagi," ucap Rafa dengan nada ketus. Dia sangat jengkel melihat pemuda itu bersikeras mendekati Eva secara terang-terangan, di depan Rafa. Kalau saja, Eva tidak melarangnya merahasiakan pernikahan mereka, Rafa sudah melabrak pemuda itu ag
"Boleh ya, Pak?" tanya Eva memohon. Dia menarik-narik lengan kemeja Rafa.Merasa terganggu dengan berisiknya Eva meminta izin, Rafa menghela napas lelah. Eva sudah mengekorinya sejak Rafa bangun. Bayangin betapa kagetnya pria itu ketika terbangun dan langsung mendapati Eva sedang duduk di samping sambil memandangi dirinya. Rafa hampir saja terjatuh dari kasur saking kagetnya. Bukan cuma itu, Eva juga menunggui Rafa selesai mandi. Gadis itu dengan santainya bersandar di depan pintu kamar mandi Rafa untuk meminta hal yang sama yaitu izin. Beruntung Rafa mengenakan bathrobe saat keluar kamar mandi. Kalau seandainya, Rafa keluar hanya menggunakan kolor atau handuk, tidak bisa dibayangkan betapa canggung kedua insan itu bertemu.Dari sekian banyak keanehan Eva, ada hal yang menggelitik dan menyenangkan bagi Rafa. Gadis itu menjadi begitu penurut. Rafa menyuruh menyetrika pakaian kantornya, Eva lakukan. Rafa meminta dimasakkan untuk bekal dibawa ke kantor, Eva gerak cepat memenuhinya. Eva be
"Udah di mana, Eva?" tanya Rafa sambil menutup pintu kamarnya. Dia berjalan ke ruang tamu dan duduk di sana. Perasaan khawatir tiba-tiba menyusupi jiwanya karena Eva masih berada di luar rumah ketika jam bergerak cepat ke angka satu dini hari. 'Saya masih di luar, Pak. Mau nitip sesuatu?' Terdengar suara berisik yang menjadi latar suara Eva.Rafa menghela nafas panjang sebelum berkata, "Cepat pulang Eva! Sudah tengah malam. Kamu ngapain aja di luar?" 'Macet, Pak. Ada truk besar yang terguling dan halangin jalan. Mobil yang saya kendarai kejebak di tengah-tengah, nggak bisa gerak lagi."Kamu pulang sama siapa?" tanya Rafa dengan suara terkontrol.'Sama sopir taksi online lah, Pak.' Di seberang sana, Eva menjawab santai."Teman-teman kamu ke mana? Kenapa nggak anterin kamu pulang dulu?" 'Ribet, Pak. Arah kami berbeda. Saya nggak mau repotin mereka buat anterin pulang. Kasihan merekanya.'Rafa mendengus. Seharusnya, dia tidak memberikan izin keluar pada gadis itu jika berakhir harus me
"Masuk ke kamar, Eva." Rafa memerintah sebelum Eva sempat mendaratkan pantatnya di sofa ruang tamu.Eva nurut saja daripada menambah kekesalan Rafa. Eva tidak mengerti alasan Raga bersikap dingin padanya. Padahal dia keluar dengan izin pria itu juga. Lalu, di mana letak kesalahannya?"Kamar siapa?" tanya Eva menghentikan langkahnya. Dia menunjuk kamarnya dan kamar Rafa bergantian. Rafa melewati Eva kemudian membuka pintu kamarnya sendiri. "Masuk!" titah Rafa.Eva menyipitkan mata melihat Rafa, "Ngapain saya disuruh masuk ke kamar Pak Rafa? Pak Rafa berniat buruk ya sama saya?" tanya Eva menaruh curiga pada Rafa. Wajar saja dia mencurigai bapak kosnya. Sekarang sudah tengah malam. Sangat tidak wajar, jika pria normal dan seorang gadis berada di dalam kamar yang sama. Walaupun mereka suami istri, tetapi ada perjanjian di antara mereka. Dan berduaan di ruang sama, tentu menjadi kondisi yang rentan."Saya bilang, masuk Eva!" perintah Rafa dengan penekanan.Eva mengembuskan napas kasar seb