"Saya terima nikah dan kawinnya Eva Auristela Bagas binti Bagas Mahendra dengan mas kawin tersebut, tunai!" Kalimat itu terlontar dengan tegas dan jelas dari bibir merah dan penuh Rafa. Dia menjabat tangan papa Eva dengan kuat.
"Bagaimana para saksi?" tanya Bagas, papa Eva kepada saksi-saksi yang menyaksikan akad nikah. Bagas menolehkan kepalanya ke arah saksi yang duduk di dekatnya.Kompak semua orang mengangguk dan mengatakan, "Sah." Jabat tangan antara Rafa dan Bagas terlepas lalu dilanjutkan dengan berdoa. Akhirnya, mereka telah sah menjadi pasangan suami istri.Siang itu, segalanya terjadi begitu cepat. Eva dirias langsung oleh Tante Bilqis. Ketrampilan make up Bilqis tidak bisa dianggap remeh. Dia pernah menjadi MUA pribadi seorang aktris. Hanya dekorasi sederhana yang dialkukan oleh tim WO dari Tante Bilqis pada rumah Rafa. Pernikahan itu berlangsung sederhana tapi tidak mengurangi sakralnya acara itu.Setelah mengucapkan akad, dilanjutkan acara tukar cincin. Sa"Untuk sementara kita tidur sekamar saja," ucap Rafa begitu memasuki kamar yang di belakangnya ada Eva mengekor.Rangkaian acara pernikahan Rafa dan Eva baru selesai saat gelap malam menyapa. Tadinya, Rafa merasa tidak enak pada Eva karena pernikahan mereka sangat sederhana dan tertutup. Hanya dihadiri keluarga inti. Menurut Rafa, pernikahan mereka sangat jauh dari impian gadis itu yang ingin menggelar pernikahan mewah untuk dijadikan kenangan dan pengalaman paling berkesan dalam hidupnya.Ternyata, Rafa salah besar. Eva justru merasa tenang karena pernikahan mereka tersembunyi dan hanya diketahui orang-orang terdekatnya. Dia memang sempat sedih, karena saudaranya tidak bisa hadir. Tetapi itu bukan masalah. Lagipula, ini bukan pernikahan nyata bagi Eva. Yang terjadi hari ini hanya dilakukan sebagai formalitas agar tidak ada fitnah ketika Eva menjadi ibu pengganti untuk Arumi."Saya nggak bisa balik ke kamar kos aja, Pak? Saya tidur di sana aja." Eva mengusulkan sambil duduk
"Baju apaan nih?" tanya Eva mengurai sebuah dress selutut yang tipis dan berenda di bagian atas. "Seriusan, kak Dona nyuruh aku pakai ini? Nggak salah?"Eva menarik baju lainnya yang memiliki model berbeda tapi tetap sexy. Sudah hampir setengah jam, Eva berdiri di depan lemari dan hanya memandang heran pakaian-pakaian yang katanya pemberian Dona. Entah apa yang dipikirkan kakak iparnya itu hingga memberikan pakaian kekurangan kain seperti itu. Eva yang terbiasa memakai celana sampai melongo ketika pertama mengurai gaun minim itu.Dia melirik bapak kosnya yang setia memandangi laptop berlogo menyala di depannya. "Pak, ... Pak Rafa ...," panggil Eva. "Apa?" balas Rafa tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop."Pak, liat ini deh," kata Eva mengundang perhatian Rafa. "Apaan sih, Eva?" tanya Rafa sambil menekan enter. Dia mengangkat wajah dan membelalakkan mata. "Astaga, Eva. Itu lingerie, ngapain dipajang semua?""Nah iya, namanya lingerie," kata Eva baru mengingat nama gaun minim itu
"Udah selesai?" tanya Rafa begitu Eva menyembulkan kepala dari dalam kamar mandi. Rafa berdiri bersandar di samping pintu kamar mandi, menunggu Eva selesai mandi. "Pak, bisa nggak sih tuh mulutnya ditutup dulu. Saya berasa mandi di pelatihan militer. Tiap menit diteriakin, 'Udah belum? Cepat-cepat' sakit telinga saya, Pak dengerinnya. Saya jadi nggak fokus mandinya." Eva mengajukan protes yang kesekian kalinya. Rafa memang membiarkan gadis itu mandi terlebih dahulu, tapi ketenangan tentu tidak dia berikan. Seperti yang dikatakan Eva, teriakan menyuruh Eva segera menyelesaikan ritual mandi terus dia lontarkan.Rafa menoleh dengan cengiran lebarnya, "Udah belum? Saya mau mandi juga. Lama banget mandinya. Ngapain aja sih di dalam? Udah hampir jam sembilan ini. Tanggung jawab kalau sampai saya flu.""Lemah banget sih, Pak. Kalau gitu nggak usah mandi malam, lah. Mending turu," kata Eva dengan nada sinis."Saya nggak bisa tidur kalau nggak mandi dulu. Apalagi seharian be
"Eva, Eva, bangun Nak." Suara panggilan dari luar sana berhasil membangunkan Eva. Eva meraba-raba ke atas nakas yang berada di samping ranjang, mencari ponselnya. Dia meraihnya dan menguap lebar sebelum mengecek jam. Dia mengintip pada layar ponselnya dan seketika matanya menjadi terbuka lebar melihat angka sembilan sudah tertera di sana. "Perasaan baru tidur bentar, kok udah jam sembilan aja? Nih jam hape pasti salah, kata Eva menunjuk-nunjuk ponselnya."Udah bener itu, Nak. Sekarang emang udah jam sembilan. Nih lihat." Citra, mama Eva menunjukkan ponselnya yang menampilkan angka yang sama dengan milik Eva."Cepet banget waktu berjalan," celetuk Eva masih belum percaya. Dia baru tertidur jam tiga subuh. Tidak ada aktivitas berarti yang dia lakukan. Dia hanya memandangi Rafa yang mendiamkannya karena telah menggunakan parfum mendiang istri Rafa. Eva sangat terbebani oleh rasa bersalah dan kesal sehingga sulit tidur. Eva tidak paham alasan kemarahan Rafa h
"Kok cepat banget baliknya?" rengek Eva ketika orangtuanya hendak naik mobil.Bagas memeluk singkat putrinya dan berkata, "Papa sama mama udah hampir semingguan di sini, Nak. Kerjaan udah numpuk. Nggak bisa ditinggal lebih lama lagi.""Aku ikut balik ya," kata Eva memohon. "Kamu udah punya keluarga baru di sini. Masa mau ditinggal. Tetap di sini ya, Nak. Masuk kampus juga nggak lama lagi, ya kan?" Bagas menatap lembut putrinya."Tapi, Pa. Aku juga pengen balik ke Jogja," ucap Eva memelas. "Lain kali saja kamu berkunjung ke rumah bareng Rafa dan cucu Papa," kata Bagas mengintip bayi yang berada di gendongan Rafa. "Kata siapa, Arumi itu cucu Papa?" Eva merasakan hal yang aneh saat Bagas mengakui Arumi sebagai bayinya. Ada kebahagiaan yang dirasakannya. Tetapi, di sini lain, dia tidak suka saat Bagas menganggap bayi itu seperti anak kandung Eva. Ada kecemburuan yang dirasakan Eva. Dia terbiasa menjadi satu-satunya anak perempuan di keluarga Bagas Mahendra. Eva tidak ingin kehadiran Aru
"Semalam, udah dibilangin nggak usah mandi kalau mudah flu. Nggak denger sih? Telinga tuh di tempel dua di kepala biar bisa dengar. Itu bukan pajangan doang." Eva mengomel sambil mengompres dahi Rafa."Bisa nggak sih, kamu rawat saya, nggak usah ngomel-ngomel. Bikin tambah pusing tau nggak," kata Rafa dengan suara lemah. Kini, Rafa hanya bisa berbaring dan dibungkus selimut tebal. Dia merasa dingin, tapi saat Eva menyentuhnya, kulit Rafa seperti terbakar karena panas. Termometer juga menunjukkan suhu 37 derajat celsius. "Tunggu bentar, saya ambilin bubur dulu." Eva bangkit hendak mengambil bubur yang telah dibuatnya beberapa menit lalu. "Nanti aja ya aku makannya. Belum lapar," ucap Rafa menahan lengan Eva."Nggak usah pegang-pegang, Pak. Panas," keluh Eva sambil menyingkirkan tangan Rafa yang terasa panas. "Pak Rafa harus makan biar bisa makan obat." Rafa menggeleng pelan. "Saya nggak mau makan obat. Pahit." "Kalau manis bukan obat namanya, Pak. Pokoknya Pak Rafa harus makan teru
"Fyuu, akhirnya Arumi tidur juga," ucap Eva bernapas lega. Dia merenggangkan ototnya yang terasa pegal-pegal. Hari pertama menjadi ibu bagi Arumi sangat melelahkan. Eva menoleh dan menatap Rafa. "Sekarang giliran Pak Rafa yang harus minum obat," sambung Eva sambil berjalan mengambil obat di nakas. "Nggak usah, Eva. Saya nggak biasa makan obat. Biarin saya istirahat, nanti sembuh sendiri." Rafa menggeleng kuat-kuat. Dia merasa tubuhnya sedikit membaik setelah makan bubur. Eva tidak peduli penolakan Rafa. Dia harus memaksa pria itu agar mau makan obat. Eva mendekat dan duduk di pinggir kasur."Pak, mana tangannya?" pinta Eva."Mau ngapain?" tanya Rafa bingung."Ck, sini," Eva menarik tangan Rafa yang disembunyikan di balik selimut. Dia meletakkan dua butir obat demam pada telapak tangan Rafa. "Makan!" Rafa mengembalikan obat itu ke tangan Eva, "Saya nggak suka makan obat.""Emang ada orang yang suka makan obat?" sindir Eva. "Dimakan ya, Pak. Jangan persulit saya.""Simpan saja. Saya
"Loh, Pak? Kok udah rapi aja. Emang ya udah sehat?" tanya Eva ketika melihat Rafa berjalan ke arah dapur.Pria dengan kemeja putih dan vest abu-abu yang melekat di tubuhnya berdeham pelan. "Udah mendingan." Dia menatap satu persatu makanan yang tersedia di meja. "Kamu yang masak?"Eva mengangguk, "Duduklah, Pak Rafa. Saya tidak tau makanan apa yang Pak Rafa sukai, tapi di kulkas hanya ada bahan-bahan ini yang bisa aku kelola," jelas Eva menunjuk udang goreng krispi, oseng tahu tempe, dan sayur bening."Dari penampilan sepertinya layak dimakan. Kamu jago masak?" tanya Rafa menyampirkan blazer abu-abunya di sandaran kursi. Dia duduk di kursi paling ujung. "Nggak jago, Pak. Saya cuma campur-campur bahan makanan," kata Eva melepas celemek dari lehernya dan meletakkannya di atas meja."Bahaya nih. Kalau kamu asal campur. terus saya keracunan gimana?" kata Rafa mulai ragu mencoba masakan Eva.Eva berdecak sebelum menjawab, "Saya masih tau lah pak yang mana aja bisa dicampur dan mana yang n