Arumi telah tertidur setelah Eva mengganti popok Arumi—tentu saja mendapat pengarahan dari mamanya. Meskipun tadi, mama Eva marah-marah, jiwa keibuannya muncul melihat putrinya kewalahan mengganti popok bayi itu. Sekesal-kesalnya mama Eva, melampiaskan kemarahan dengan mengabaikan Eva dan bayi itu sulit dilakukan. Apalagi saat melihat wajah bayi itu, membuat hatinya terenyuh dan tidak bisa menahan diri untuk mengelus pipi gembulnya.
Kini, Orangtua Eva duduk tegak di sofa memandangi dua orang beda usia itu secara bergantian. Eva duduk di karpet dan Rafa duduk di single sofa. Rafa memberi kode kepada Eva untuk ikut duduk di sofa, tapi perempuan itu bergeming dengan kepala tertunduk.
Lima belas menit telah berlalu, namun belum ada yang mengeluarkan suara. Terdengar helaan napas panjang dari mama Eva yang beradu dengan suara napas tiga orang lainnya.
"Ma," panggil Eva. Dia bergerak maju menggunakan lututnya. Dia meletakkan kedua tangannya di lutut mamanya dan menumpuk dagunya di sana.
Papa Eva menatap putrinya lalu mengangguk. Memberi semangat kepada putrinya agar menyelesaikan segera kesalahpahaman itu.
"Ma, lihat Eva. Jangan memalingkan wajah seperti itu. Bagaimana cara Eva mau jelasin kalau mama nggak mau lihat Eva." Eva memohon dengan wajah memelas.
Di ujung sana, Rafa menyaksikan keluarga kecil itu. Dia tidak paham titik permasalahan mereka. Dia membiarkan saja, Eva dan orangtuanya menyelesaikan semuanya tanpa dia harus campur tangan. Rafa tidak tahu bahwa masalah yang Eva hadapi melibatkan dirinya. Bahkan, anak Rafa adalah sumber mencuatnya kesalahpahaman itu.
"Kalian menikah saja!" Mama Eva memutuskan.
"Ma! Aku sama dia nggak ada hubungan apapun." Eva membela diri.
'Siapa yang mau menikah? Eva disuruh menikah? Memangnya Eva punya pacar?' batin Rafa masih memposisikan diri sebagai pendengar.
"Nggak ada hubungan, tapi punya bayi. Terus mama harus percaya ucapan kamu dan mengabaikan bukti nyata di depan mata Mama, iya?!"
'Eva punya bayi? Pantas saja dia bilang pernah mengganti popok bayi sebelumnya.'
"Mama salah paham. Dia bukan ...." Ucapan Eva terpotong oleh teriakan heboh dari seseorang.
"Arumiii ... Aku datang!"
Seorang perempuan yang berpenampilan seperti wanita karir memasuki rumah dengan berteriak. Di tangannya menenteng popok bayi dan buah-buahan. Dia melongo melihat keramaian di dalam rumah. Dia melempar senyum kaku kepada semua orang kemudian melanjutkan langkahnya mendekati Rafa.
"Mereka siapa, Raf?" tanya wanita karir itu dengan suara berbisik sambil meletakkan asal bawaanya lalu duduk di samping Rafa.
"Orangtua dari salah satu penyewa kos aku, Kak. Itu anaknya yang menyewa kos di sini." Rafa ikut berbisik dan menunjuk Eva dengan dagu.
"Oh, kirain ada masalah, ternyata cuma kunjungan keluarga. Ponakan aku mana? Udah berhenti nangis?" tanya Dona, kakak Rafa.
"Udah tidur. Tadi, Eva bantuin ganti popoknya sekalian menidurkan Arumi."
"Hebat juga anak itu," puji Dona.
Dia menatap orangtua Eva dan Eva lalu tersenyum. Senyuman kali ini lebih manis dan tulus. Aura cantiknya keluar ketika Dona tersenyum. "Semuanya, saya ke kamar Arumi ya. Silahkan lanjutkan pembicaraan kalian."
"Kamu siapa?" Pertanyaan Mama Eva menghentikan langkah Dona.
"Saya, kakaknya Rafa." Dona memegang kedua bahu Rafa.
"Kebetulan. Silahkan duduk. Kita bicarakan ini baik-baik. Sudah sewajarnya, pembicaraan ini dilakukan oleh dua pihak keluarga. Kamu wakili saja keluarga kamu."
Meskipun tidak mengerti, Dona menurut saja dan kembali duduk di dekat Rafa. Dia menatap tanya pada Rafa, meminta penjelasan. Orang yang ditatap hanya mengedikkan bahu.
"Ini ada masalah apa ya, Bu?" tanya Dona ingin segera menuntaskan rasa penasarannya.
"Saya mau adik kamu menikahi putri saya," kata Mama Eva mantap.
Eva, Dona dan Rafa kaget mendengarnya. Mata Rafa bahkan membulat sempurna. Dia baru tersadar tenyata sejak tadi, pembicaraan Eva dan orangtuanya tentang dirinya dan Eva. Dia mendongak dan menatap Dona.
Di sisi lain, Eva meringis mendengar ucapan mamanya. Sangat memalukan. Dia seperti perempuan yang buruk dan harus segera dinikahi oleh Rafa demi pertanggungjawaban. Eva tidak bisa memikirkan lagi reaksi Dona atau Rafa di ujung sana.
"Sebentar, Bu. Kenapa adik saya harus menikahi anak ibu?" Dona bertanya dengan nada tenang.
"Tentu saja dia harus menikah dengan putri saya. Dia dan Eva sudah memiliki anak, tapi saya dan keluarga besar Eva tidak pernah mendapat kabar pernikahan mereka. Karena itu, saya sangat malu jika Eva harus pulang dengan bayinya dan dia, tanpa ada ikatan pernikahan." Mama Eva menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk Rafa.
Dona menatap Rafa lalu tertawa. Dia merasa lucu dengan situasi yang dihadapi saat ini.
"Kenapa kamu ketawa?" Mama Eva terganggu dengan reaksi Dona.
"Begini, Bu. Ada kesalahpahaman di sini. Adik saya ini, si Rafa memang ayah dari Arumi. Tapi ibunya bukan Eva." Dona memperjelas dan meluruskan kesalahpahaman itu.
"Bukan Eva? Trus siapa?" tanya mama Eva, entah kepada siapa. Dia menatap putrinya lalu berkata, "Eva? Itu benar?"
Wajah mama Eva memerah, menahan malu. Dia tidak sanggup mendengar jawaban Eva, tapi dia harus. Eva mengangguk.
"Iya, Ma. Yang dikatakan kakak Pak Rafa itu benar. Makanya mama dengerin penjelasan Eva dulu. Mama sih langsung marah-marah, bikin heboh saja." Eva bernapas lega. Akhirnya, dia bisa mengatakan semua kalimat yang sejak tadi tertahan.
"Kenapa kamu baru bilang? Bikin malu mama tau nggak." Mama Eva mencicit. Dia sangat malu mengangkat wajahnya. Ketegasan yang telihat di wajahnya tadi berubah menjadi semu merah. Dia ingin menghilang aja dari hadapan pemilik kos itu.
"Itu salah mama sendiri. Makanya jangan negatif mulu pikirannya sama anak sendiri." Eva menyalahkan mamanya. Merasa puas bahwa dirinya benar dan mamanya salah.
"Kamu nih, bukannya belain mama malah nyalahin. Harusnya kamu cepat-cepat bilang kalau bayi itu bukan anak kamu. Siapa coba yang nggak salah paham ngeliat kamu gendong bayi dan terlihat sayang banget sama bayi itu. Mama aja kaget liat kamu."
"Banyak kali, Ma. Banyak orang yang gendong bayi yang bukan anaknya. Mama juga sering 'kan gendong anak Tante Ayu, nggak ada tuh yang bilang anak itu anak mama." Eva tidak mau kalah.
"Ngelawan terus kalau mama ngomong." Mama Eva mendelik.
"Sudah-sudah, jangan berdebat di sini. Nggak enak sama Nak Rafa dan kakaknya." Papa Eva menengahi dua perempuan itu.
"Ma, minta maaf sana sama Rafa dan kakaknya. Mama udah bentak-bentak tadi." Perintah Papa Eva dengan suara berbisik sambil menyenggol istri.
Mama Eva menghadapkan seluruh tubuhnya ke arah Rafa dan Dona. Dengan kerendahan diri, dia berkata, "Saya minta maaf ya udah salah paham sama kamu, Ra-Rafa. Rafa 'kan? Dan maafin saya juga ya udah marah-marah tadi."
Rafa tersenyum maklum lalu membalas, "Nggak apa-apa, Bu. Justru saya mau terima kasih sama Eva karena udah bantuin saya tadi."
Rafa beralih melihat Eva yang sedang memainkan karpet. 'Ada-ada saja tingkah perempuan itu.' Rafa membatin.
"Tapi kalau Rafa mau nikahin Eva, saya setuju." Tiba-tiba Dona mengeluarkan suara.
Dona menghampiri keranjang tidur bayi yang berisi Arumi di dalamnya. Bayi itu tidur dengan tenang. Mulutnya bergerak-gerak membuat Dona gemas melihatnya. Sejenak, dia melupakan tujuannya masuk ke sini."Anak ini sangat pandai memikat siapa pun yang melihatnya. Sangat cantik. Keponakanku tersayang." Dona tidak bisa mencegah bibirnya membentuk lengkungan.Di tepi tempat tidur, di sanalah Rafa memupuk kekesalan di dalam dada atas ucapan Dona yang menyuruhnya menikahi Eva. Tidak mungkin dia menikahi perempuan muda itu. Kalau pun dia ingin, Eva pasti menolaknya. Karena, Rafa seorang duda anak satu. Siapa yang ingin menikah dengan pria yang sudah punya anak?Lagipula, Rafa tidak ingin mengingkari janjinya pada mendiang istrinya. Dia akan tetap setia menyendiri setelah Arumi, istrinya meninggal. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mencari ibu baru untuk bayinya. Tetapi, Dona malah menyeretnya ke situasi yang menyebalkan. "Kakak pikir, kalian memang butuh seorang perempuan di rumah
"Ada apa dengan pintu kamarmu, Eva? Sudah hampir setengah jam kita menunggu di depan kamar." Mama Eva terus-menerus mengeluh. Jika Eva menghitungnya, itu sudah kesepuluh kali mamanya mengatakan kalimat yang sama."Sabar, Ma. Pintu kamar aku memang sering macet begini. Biasanya mudah kalau pakai kunci kamar untuk bantu narik pengganjal pintunya. tapi tadi aku lupa mengambil kunci di dalam kamar."Eva menjawab lagi sambil berusaha memutar gagang pintu yang tidak berfungsi. Jika Eva punya tenaga lebih mungkin dia sudah mendobraknya, tapi itu ide yang buruk."Kenapa kamu nggak minta kamar baru ke bapak kosmu. Atau kamu komplain ke dia biar pintunya diperbaiki." Papa Eva ikut mengeluarkan pendapatnya."Eva emang mau lakuin itu, Pa. Tapi, bapak kos baru aja pindah dari rumah kakaknya. Tadi aku baru ketemu dia. Belum sempat ngomongin masalah pintu ini.""Papa dobrak aja gimana?" usul Papa Eva."Jangan-jangan, Pa." Eva melambai-lambaikan kedua telapak tangannya
"Sebentar, Bu. Biarkan aku mencerna semua kalimat ibu." Eva mengangkat kedua tangannya, mencegah Dona mengatakan kalimat lainnya. Eva menjadi lamban berpikir mendengar permintaan semua orang yang menyuruhnya menikah dengan bapak kosnya sendiri. Sebenarnya, apa untungnya Eva menikah dengan duda beranak satu itu?Eva mengembuskan napas lalu menatap Dona. "Bu, kenapa saya yang harus menikah dengan Pak Rafa?""Karena, kamu cocok dengan Arumi. Saya percaya kamu bisa jaga ponakan saya. Eva, tolonglah mereka berdua. Rafa memang keras kepala dan egois. Tapi saya nggak mau lihat ponakan saya tumbuh tanpa ibu. Itu tidak baik untuk perkembangannya." Dona menatap Eva dengan lekat. Dia sangat berharap Eva mau menuruti permintaannya."Tapi Bu, saya tidak ..." Eva hendak menolak tapi Dona lebih dahulu mengeluarkan suara.Dona menarik tangan Eva. Digenggamnya dengan erat, seolah ingin menyalurkan betapa berharapnya Dona agar Eva setuju menikah dengan Rafa."Eva tolonglah. J
Jarum jam merayap berusaha menggapai angka sebelas. Orangtua Eva telah tertidur di kasur. Sedangkan Eva masih duduk lesehan di depan meja belajar lipatnya sambil menyandarkan punggungnya di bantal yang disusun sedemikian rupa agar membuatnya nyaman menikmati kegiatannya. Bukan belajar, melainkan menonton drama. Eva termasuk K-drama lovers. Jadi tidak aneh bila dia merelakan waktu tidurnya untuk nonton marathon seperti saat ini. Drama yang ditontonnya baru berjalan seperempat video ketika telinganya samar mendengar suara yang meningkahi percakapan antara Kim Min Kyu dengan lawan mainnya dalam drama yang ditonton Eva. Dia menjeda video, kemudian menajamkan pendengarannya. "Suara apaan ya?" tanya Eva pada dirinya sendiri. Ketika tidak ada suara lagi yang didengarnya, Eva mengedikkan bahu dan melanjutkan menonton dramanya. Baru sebentar dia jalankan, kembali terdengar suara bising. Eva menjeda lagi dan bangkit dari duduknya. "Suara apan sih itu? Ganggu banget deh
Rafa berdecak. "Aku mengatakan, menikahlah denganku." Rafa mengulang kalimatnya sambil mengambil tisu di meja. Dia menggulung kecil tisu itu lalu digunakan menyumbat lubang hidung kirinya yang mengeluarkan darah tadi. Sepuluh menit sudah berlalu dan benar kata Eva, darah tidak lagi mendesak ingin keluar. Namun, Rafa tetap menyumbatnya sebagai antisipasi jika darah kembali keluar.Rafa bangkit dan mendekati gadis yang sedang melongo dengan mata mengerjap-ngerjapkan matanya. Rafa mengambil baby Arumi dari gendongan Eva. "Halo, Eva? Kamu tidak mendengar aku?" Rafa menjentikkan jari tepat di depan wajah Eva.Seperti ditarik paksa dari lamunannya, Eva kaget dengan keberadaan Rafa di depannya. "Eh, Pak?" ucap Eva memundurkan kaki kirinya. "Tadi Pak Rafa bilang apa?""Kamu sangat menyukai kalimat itu, sampai-sampai ingin aku mengulanginya terus?" kata Rafa menyindir.Eva menggeleng kuat-kuat. Bukan karena menyukainya, lebih tepatnya, Eva tidak percaya pada kalimat
"Eva, katakanlah dengan jelas. Jangan membuat saya kebingungan. Sekali lagi saya akan meminta kamu. Apa kamu bersedia menjadi ibu untuk Arumi?" ucap Rafa dengan tatapan penuh harap pada Eva. Dia tahu, permintaannya sulit untuk dikabulkan oleh Eva. Bahkan dia sendiri sudah menganggap ini kegilaan. Eva masih mahasiswa. Dan benar, Eva memiliki banyak impian untuk diwujudkan di masa depan. Sedangkan, Rafa sekarang memintanya menjadi seorang ibu. Gadis muda mana yang ingin menikah dengan duda beranak satu yang belum bisa melupakan mendiang istrinya? Gadis muda mana yang mau terbebani oleh bayi kecil yang masih berusia tiga tahun? Tidak ada. Mungkin hanya orang terdesak atau memiliki niat terselubung untuk menyetujui permintaan Rafa. Duda beranak satu itu tidak punya pilihan lain. Dia butuh Eva untuk membantunya merawat Eva. Tetapi, menjadikan Eva sebagai pengasuh tidak akan cukup. Bayi Arumi butuh kasih sayang dari gadis muda itu layaknya dari ibunya sendiri. Itu harapa
"Mau ke mana, Eva?" tanya Rafa dengan tatapan menelisik."Eh, kampret ... astaga Pak. Bikin kaget aja." Eva mengusap dadanya saat Rafa mengejutkannya dengan suaranya."Kamu mau ke mana? Mau kabur?" tanya Rafa."Iya. Saya berubah pikiran, Pak!" jawab Eva agak ketus sembari melanjutkan langkahnya. Sejak pulang dari rumah utama, semalaman Eva memikirkan keputusannya menikah dengan bapak kos. Makanya, pagi-pagi buta, dia hendak melarikan diri. Meninggalkan orangtuanya yang masih terlelap.Baru beberapa langkah Eva menjauh, Rafa segera menarik tas punggung gadis itu. "Kenapa lagi Eva. Kamu udah setuju semalam. Aku udah kabarin keluarga untuk datang ke sini buat acara lamaran. Jangan buat saya malu." Rafa memasang wajah sebal."Loh, Pak Rafa kok mainnya cepet banget. Saya belum siap, Pak. Saya belum bilang ke mama papa juga." Eva menyentak agar tas punggungnya terlepas dari cekalan Rafa. "Saya udah bilang ke mereka. Jadi jangan coba-coba kabur," balas Rafa."
"Mau konsep apa pernikahannya?" sahut Bilqis, istri Om Rafa memandangi Rafa dan Eva bergantian. Kebetulan dia memiliki usaha wedding organizer. "Loh, kok udah bahas konsep pernikahan aja? Kita nggak kenalan dulu aja?" ujar Eva kebingungan. Dia memandangi semua orang yang duduk melingkar di ruang tamu.Eva terlambat datang ke rumah utama karena masih sebal dengan kejadian tadi pagi. Dia gagal melarikan diri dan harus mendapatkan ceramah panjang dari orangtuanya. Jika bukan karena Arumi, Eva tidak akan berada di dalam rumah ini. Bayi itu dijadikan alat orang-orang dewasa ini untuk menarik Eva dengan cara membuat Arumi menangis. Sangat jahat dan licik, bukan?Eva menatap satu persatu keluarga Rafa yang terdiri Ardi Wijaya, papa Rafa yang datang bersama Dodi Wijaya beserta pasangan dan anak-anaknya. Dona juga datang. Tetapi, kakak Rafa itu memilih bermain bersama Arumi di kamar."Apa yang salah? Bukannya kalian udah sepakat mau menikah? Masa belum mau bahas konsep pernikaha