Dalam gendongan Ryan Drake, gadis kecil itu meringkuk dengan tenang.
Jemari mungilnya mencengkeram erat pakaian pria asing yang telah menyelamatkannya, seolah takut kehilangan satu-satunya perlindungan yang dia miliki.
Meski tidak mengenal pria ini, ada sesuatu yang membuatnya merasa aman—kehangatan yang familiar namun tak bisa dijelaskan.
Ryan memeluk putrinya lembut, merasakan ikatan darah yang tak terbantahkan di antara mereka.
Tatapannya yang dingin menyapu para penjahat yang terkapar di lantai gudang pengap itu.
"Paman..." bisik gadis kecil itu pelan, suaranya bergetar. "Aku takut... mereka bilang akan menyakitiku kalau..."
"Tenang, kau aman sekarang," Ryan mengusap kepala gadis kecil itu dengan lembut, hatinya terasa sesak mendengar putrinya memanggilnya 'paman'.
Tatapannya yang dingin menyapu para penjahat yang terkapar di lantai. Niat membunuh perlahan menguar dari tubuhnya.
Selama enam ribu tahun di Alam Kultivasi, membunuh adalah hal yang wajar—bahkan diperlukan untuk bertahan hidup.
Namun setelah beberapa saat merenung, aura membunuh itu berangsur menghilang. Ini bukanlah Alam Kultivasi—membunuh di sini akan menimbulkan masalah yang tidak perlu, terutama dengan kondisi Jiwa Primordialnya yang rusak dan tanpa basis kultivasi.
'Lebih baik bersikap rendah hati sampai basis kultivasiku pulih sepenuhnya,' pikir Ryan, terus mengusap kepala gadis kecil itu dengan gerakan menenangkan.
Putrinya tampak jauh lebih tenang sekarang, mata besarnya yang sembab menatap Ryan dengan campuran rasa takut dan kepercayaan yang polos.
Tiba-tiba, kepala Ryan menoleh ke arah pintu gudang. Indera pendengarannya yang jauh melampaui manusia biasa menangkap suara langkah kaki dari kejauhan.
"Tim Alpha, amankan sisi timur!" terdengar suara perintah samar. "Tim Beta, bersiap di pintu belakang!"
Dari ritme dan intensitas suara yang tertangkap, dia bisa memperkirakan jumlah mereka—sekitar lima belas orang dewasa, bergerak dengan formasi yang terlatih.
'Bala bantuan kelompok ini,' Ryan membuat asumsi awal, tidak bergegas meninggalkan tempat.
Setelah menemukan putrinya, dia berniat menyelesaikan urusan dengan kelompok penjahat ini hari ini juga.
Pengalaman ribuan tahunnya menghadapi berbagai situasi berbahaya membuatnya tetap tenang, meski tahu akan menghadapi jumlah lawan yang lebih banyak.
"Lokasi sudah dikepung! Jangan bergerak, polisi!"
Sebuah suara lantang memecah keheningan gudang.
Mendengar ini, alis Ryan berkerut. Ternyata dugaannya meleset—bukan bala bantuan penjahat yang datang, melainkan polisi.
"Sial, tempat ini berantakan sekali," terdengar komentar salah satu polisi yang masuk. "Seperti baru saja terjadi perang..."
"Diam dan tetap fokus!" tegur yang lain dengan suara rendah. "Kita tidak tahu berapa orang yang masih bersembunyi di dalam."
Yuri Snyder, kapten unit khusus kepolisian Crockhark, melangkah masuk dengan pistol teracung.
Matanya yang tajam langsung menyapu pemandangan di dalam gudang—Beberapa pria bertubuh kekar tergeletak dengan kondisi yang mengenaskan, empat crossbow modifikasi berserakan di lantai, dan beberapa botol minuman keras yang pecah berceceran.
"Kapten," salah satu polisi berbisik, "ini Darko dan kelompoknya. Mereka buronan yang kita cari selama dua bulan terakhir."
"Dan sekarang mereka terkapar seperti karung beras," polisi lain menambahkan dengan nada tidak percaya. "Siapa yang bisa melakukan ini?"
Pemandangan ini jelas menunjukkan baru saja terjadi pertarungan sengit.
Namun yang membuat Yuri tertegun adalah fakta bahwa satu orang bisa mengalahkan empat penembak crossbow berpengalaman dan lima petarung jalanan dalam waktu singkat.
Tatapannya akhirnya tertuju pada Ryan yang berdiri tegak sambil menggendong seorang gadis kecil.
"Turunkan anak itu, letakkan tangan di kepala, dan berbaring di lantai!" seru salah seorang polisi dengan nada mengancam.
"Dia sendirian melawan mereka semua?" bisik seorang polisi muda pada rekannya. "Tidak masuk akal..."
Ryan tetap berdiri tenang di tempatnya. Matanya menyapu deretan senjata yang teracung padanya, dan sebuah dengusan dingin lolos dari bibirnya.
Dulu, senjata api mungkin akan membuatnya terkesan.
Namun setelah melihat begitu banyak senjata mengerikan di alam kultivasi—termasuk yang mampu menghancurkan planet dalam sekali serang—senjata-senjata buatan peradaban Bumi ini tampak tak lebih dari mainan di matanya.
"Pertama-tama, aku tidak berada di pihak yang sama dengan mereka," Ryan mundur selangkah sambil berkata tenang. "Aku melawan mereka untuk melindungi gadis ini, tanpa niat jahat."
Suasana di gudang semakin tegang.
Polisi-polisi itu menatap Ryan seolah menghadapi predator berbahaya—wajar saja, siapapun akan merasa terancam berhadapan dengan seseorang yang mampu melumpuhkan sepuluh penjahat sendirian.
DOR!
Sebuah tembakan memecah ketegangan. Yuri buru-buru menoleh.
Di sampingnya, seorang polisi muda berdiri gemetar, pistol di tangannya masih mengepulkan asap tipis.
"Rodriguez, apa yang kau lakukan?!" bentak Yuri murka. "Tidak ada perintah untuk menembak!"
"Ma-maaf Kapten! Tanganku... tanganku bergerak sendiri... orang itu... auranya terlalu menakutkan..."
Para polisi menatap dengan ekspresi ngeri—Ryan baru saja menghindari peluru dari jarak sedekat itu dengan gerakan yang nyaris tak terlihat mata telanjang. Sesuatu yang seharusnya mustahil dilakukan manusia normal.
"Dia... dia menghindar dari peluru?"
"Mustahil! Itu pasti hanya kebetulan!"
"Tidak... aku melihatnya dengan jelas. Dia bergerak sebelum Rodriguez menarik pelatuk..."
Meski rekan-rekannya berteriak panik memperingatkan, Yuri tetap melangkah maju dengan tenang.
Sebagai kapten unit khusus, dia telah menghadapi berbagai situasi berbahaya. Pengalamannya mengatakan bahwa kepanikan hanya akan memperburuk keadaan.
"Kapten Yuri, jangan mendekat! Orang ini terlalu berbahaya!"
"Mundur, Kapten! Biar kami yang tangani dia!"
Para polisi semakin tegang, hampir semua moncong senjata mereka terkunci pada tubuh Ryan.
Mereka telah memutuskan—jika pria berbahaya ini berani menyentuh Kapten Yuri, mereka akan menembak bersama-sama.
Sekalipun dia bisa menghindari satu peluru, tidak mungkin bisa menghindar dari rentetan tembakan sekaligus!
Ryan memiringkan kepala, mengamati polisi wanita yang berjalan ke arahnya.
Ada yang berbeda dari cara bergeraknya—hasil latihan keras bertahun-tahun, tanpa sedikitpun gerakan sia-sia. Seragam polisinya justru semakin menonjolkan keanggunannya sebagai seorang penegak hukum.
Ryan membiarkan para polisi memborgol pergelangan tangannya tanpa perlawanan. Borgol besi itu terasa dingin di kulitnya, tapi dia hanya tersenyum tipis. Meski seluruh basis kultivasinya telah hilang, tubuh fisiknya yang telah digembleng selama ribuan tahun tetap jauh melampaui batasan manusia biasa. Borgol seperti ini tidak lebih dari mainan anak-anak baginya—bisa dipatahkan hanya dengan sedikit tenaga.Namun Ryan memilih untuk tidak melakukannya. Menambah masalah dengan pihak berwenang hanya akan mempersulit tujuannya mencari Alicia. Lagipula, putrinya masih dalam pengawasan polisi wanita bernama Yuri Snyder itu.Dengan patuh, Ryan mengikuti prosedur. Para polisi mengawal dirinya dan putrinya, serta para penjahat yang telah dia lumpuhkan, menuju kantor polisi kota. Perjalanan berlangsung dalam keheningan yang mencekam. Para petugas masih trauma melihat demonstrasi kekuatannya di gudang tadi.Di ruang interogasi yang sempit dan pengap, Ryan duduk dengan tenang di kursi metal yan
Suara langkah anggun bergema di lorong kantor polisi. Alicia Moore berjalan dengan langkah tergesa namun tetap menjaga posturnya. Atasan putihnya dipadukan dengan rok kotak-kotak selutut, membingkai sosoknya yang sempurna dengan tinggi 180 centimeter. Penampilannya sederhana namun elegan, jenis yang mampu menarik perhatian tanpa perlu berusaha.Di balik wajah cantiknya yang nyaris sempurna, hampir tidak ada emosi yang terbaca. Yang tampak hanyalah kesan dingin dan tak acuh, meski ada secercah kecemasan yang tersembunyi di balik topeng es itu."Nona Alicia, Anda sudah tiba!" dua orang polisi menyambut dengan antusias."Di mana putriku?" tanyanya langsung, mengabaikan sambutan mereka. Matanya menyapu area sekitar dengan tak sabar.Yuri yang baru keluar dari ruang interogasi segera menghampiri. "Nona Alicia," sapanya menenangkan, "jangan khawatir. Putri Anda baik-baik saja, tidak terluka sedikitpun.""Tolong antarkan saya ke tempat putri saya sekarang," Alicia meminta, nada suaranya t
Air mata kembali mengalir di pipi Alicia Moore meski dia telah berulang kali memperingatkan dirinya untuk tidak lagi menangis demi pria ini. Enam tahun berlalu dengan begitu menyakitkan, dan semua penderitaan itu bermula dari sosok yang kini duduk dengan tenang di hadapannya.Tanpa menatap Ryan lebih lama, Alicia berbalik menuju pintu. Begitu berada di luar, dia segera mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan tangan gemetar.Ryan hanya menampilkan sedikit keterkejutan di wajahnya, itupun hanya sekilas. Dia telah menduga ada sesuatu yang terjadi selama enam tahun ini hingga mengubah Alicia menjadi sosok yang begitu berbeda. Namun saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu.Yuri yang masih berdiri di sana memperhatikan dengan heran. Si Ratu Es Crockhark yang terkenal dengan sikapnya yang dingin terhadap semua pria, kini justru kehilangan kendali karena seorang pria berpenampilan lusuh.Tiba-tiba Ryan bangkit dari kursinya dan melangkah keluar, meninggalkan b
"Lihat orang itu, bajunya compang-camping seperti gelandangan," bisik seorang wanita paruh baya kepada temannya di kursi seberang, matanya melirik sinis ke arah pria yang baru saja naik ke dalam bus."Ssst, jangan keras-keras. Tapi benar, baunya juga tidak enak. Pasti orang kampung yang baru turun gunung," balas temannya sambil mengernyitkan hidung.Ryan Drake, pria yang menjadi objek pembicaraan itu, hanya duduk diam di kursinya. Pakaiannya memang kotor dan robek di beberapa bagian, tapi sorot matanya yang tenang menyiratkan kedalaman yang tak terduga. Dia baru saja menuruni Gunung Ergo, sebuah perjalanan yang bagi orang lain hanya memakan waktu beberapa hari, tapi baginya telah berlangsung selama 6000 tahun di dimensi lain.Bus melaju membelah jalanan berkelok, membawa para penumpang menuju kota Crockhark. Seorang pria bertubuh kekar dengan jaket kulit berdiri dari kursinya, pura-pura kehilangan keseimbangan saat bus melewati tikungan. Gerakan tangannya yang terlatih nyaris tak
"Bro Darko, katamu Alicia Moore benar-benar akan mengirimkan uang tebusannya kemari?" Suara bernada ragu memecah keheningan gudang yang pengap. Para pria bertato itu duduk mengelilingi meja kayu usang, kartu-kartu berserakan di atasnya bersama botol-botol minuman keras yang setengah kosong.Darko, pria berkulit gelap dengan rokok terselip di bibirnya, mengambil selembar kartu sambil mendengus meremehkan. "Dia tidak punya pilihan lain. Kalau dia berani tidak mengirimkan uang tebusannya kemari, kita bisa membuat anak ini 'menghilang' dari dunia ini selamanya." Seringai kejam menghiasi wajahnya. "Lagipula, uang mukanya sudah kita terima. Kita pasti untung besar dari semua ini.""Bagaimana dengan orang-orang yang kau atur?" tanya salah satu rekannya, matanya melirik was-was ke arah gadis kecil yang meringkuk ketakutan di sudut gudang."Tenang saja," Darko menjawab santai. "Empat pemanah kita sudah siap di atas dengan crossbow canggih itu. Satu tembakan dalam jarak 20 meter dijamin memati
Air mata kembali mengalir di pipi Alicia Moore meski dia telah berulang kali memperingatkan dirinya untuk tidak lagi menangis demi pria ini. Enam tahun berlalu dengan begitu menyakitkan, dan semua penderitaan itu bermula dari sosok yang kini duduk dengan tenang di hadapannya.Tanpa menatap Ryan lebih lama, Alicia berbalik menuju pintu. Begitu berada di luar, dia segera mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan tangan gemetar.Ryan hanya menampilkan sedikit keterkejutan di wajahnya, itupun hanya sekilas. Dia telah menduga ada sesuatu yang terjadi selama enam tahun ini hingga mengubah Alicia menjadi sosok yang begitu berbeda. Namun saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu.Yuri yang masih berdiri di sana memperhatikan dengan heran. Si Ratu Es Crockhark yang terkenal dengan sikapnya yang dingin terhadap semua pria, kini justru kehilangan kendali karena seorang pria berpenampilan lusuh.Tiba-tiba Ryan bangkit dari kursinya dan melangkah keluar, meninggalkan b
Suara langkah anggun bergema di lorong kantor polisi. Alicia Moore berjalan dengan langkah tergesa namun tetap menjaga posturnya. Atasan putihnya dipadukan dengan rok kotak-kotak selutut, membingkai sosoknya yang sempurna dengan tinggi 180 centimeter. Penampilannya sederhana namun elegan, jenis yang mampu menarik perhatian tanpa perlu berusaha.Di balik wajah cantiknya yang nyaris sempurna, hampir tidak ada emosi yang terbaca. Yang tampak hanyalah kesan dingin dan tak acuh, meski ada secercah kecemasan yang tersembunyi di balik topeng es itu."Nona Alicia, Anda sudah tiba!" dua orang polisi menyambut dengan antusias."Di mana putriku?" tanyanya langsung, mengabaikan sambutan mereka. Matanya menyapu area sekitar dengan tak sabar.Yuri yang baru keluar dari ruang interogasi segera menghampiri. "Nona Alicia," sapanya menenangkan, "jangan khawatir. Putri Anda baik-baik saja, tidak terluka sedikitpun.""Tolong antarkan saya ke tempat putri saya sekarang," Alicia meminta, nada suaranya t
Ryan membiarkan para polisi memborgol pergelangan tangannya tanpa perlawanan. Borgol besi itu terasa dingin di kulitnya, tapi dia hanya tersenyum tipis. Meski seluruh basis kultivasinya telah hilang, tubuh fisiknya yang telah digembleng selama ribuan tahun tetap jauh melampaui batasan manusia biasa. Borgol seperti ini tidak lebih dari mainan anak-anak baginya—bisa dipatahkan hanya dengan sedikit tenaga.Namun Ryan memilih untuk tidak melakukannya. Menambah masalah dengan pihak berwenang hanya akan mempersulit tujuannya mencari Alicia. Lagipula, putrinya masih dalam pengawasan polisi wanita bernama Yuri Snyder itu.Dengan patuh, Ryan mengikuti prosedur. Para polisi mengawal dirinya dan putrinya, serta para penjahat yang telah dia lumpuhkan, menuju kantor polisi kota. Perjalanan berlangsung dalam keheningan yang mencekam. Para petugas masih trauma melihat demonstrasi kekuatannya di gudang tadi.Di ruang interogasi yang sempit dan pengap, Ryan duduk dengan tenang di kursi metal yan
Dalam gendongan Ryan Drake, gadis kecil itu meringkuk dengan tenang. Jemari mungilnya mencengkeram erat pakaian pria asing yang telah menyelamatkannya, seolah takut kehilangan satu-satunya perlindungan yang dia miliki. Meski tidak mengenal pria ini, ada sesuatu yang membuatnya merasa aman—kehangatan yang familiar namun tak bisa dijelaskan.Ryan memeluk putrinya lembut, merasakan ikatan darah yang tak terbantahkan di antara mereka. Tatapannya yang dingin menyapu para penjahat yang terkapar di lantai gudang pengap itu."Paman..." bisik gadis kecil itu pelan, suaranya bergetar. "Aku takut... mereka bilang akan menyakitiku kalau...""Tenang, kau aman sekarang," Ryan mengusap kepala gadis kecil itu dengan lembut, hatinya terasa sesak mendengar putrinya memanggilnya 'paman'. Tatapannya yang dingin menyapu para penjahat yang terkapar di lantai. Niat membunuh perlahan menguar dari tubuhnya. Selama enam ribu tahun di Alam Kultivasi, membunuh adalah hal yang wajar—bahkan diperlukan untuk b
"Bro Darko, katamu Alicia Moore benar-benar akan mengirimkan uang tebusannya kemari?" Suara bernada ragu memecah keheningan gudang yang pengap. Para pria bertato itu duduk mengelilingi meja kayu usang, kartu-kartu berserakan di atasnya bersama botol-botol minuman keras yang setengah kosong.Darko, pria berkulit gelap dengan rokok terselip di bibirnya, mengambil selembar kartu sambil mendengus meremehkan. "Dia tidak punya pilihan lain. Kalau dia berani tidak mengirimkan uang tebusannya kemari, kita bisa membuat anak ini 'menghilang' dari dunia ini selamanya." Seringai kejam menghiasi wajahnya. "Lagipula, uang mukanya sudah kita terima. Kita pasti untung besar dari semua ini.""Bagaimana dengan orang-orang yang kau atur?" tanya salah satu rekannya, matanya melirik was-was ke arah gadis kecil yang meringkuk ketakutan di sudut gudang."Tenang saja," Darko menjawab santai. "Empat pemanah kita sudah siap di atas dengan crossbow canggih itu. Satu tembakan dalam jarak 20 meter dijamin memati
"Lihat orang itu, bajunya compang-camping seperti gelandangan," bisik seorang wanita paruh baya kepada temannya di kursi seberang, matanya melirik sinis ke arah pria yang baru saja naik ke dalam bus."Ssst, jangan keras-keras. Tapi benar, baunya juga tidak enak. Pasti orang kampung yang baru turun gunung," balas temannya sambil mengernyitkan hidung.Ryan Drake, pria yang menjadi objek pembicaraan itu, hanya duduk diam di kursinya. Pakaiannya memang kotor dan robek di beberapa bagian, tapi sorot matanya yang tenang menyiratkan kedalaman yang tak terduga. Dia baru saja menuruni Gunung Ergo, sebuah perjalanan yang bagi orang lain hanya memakan waktu beberapa hari, tapi baginya telah berlangsung selama 6000 tahun di dimensi lain.Bus melaju membelah jalanan berkelok, membawa para penumpang menuju kota Crockhark. Seorang pria bertubuh kekar dengan jaket kulit berdiri dari kursinya, pura-pura kehilangan keseimbangan saat bus melewati tikungan. Gerakan tangannya yang terlatih nyaris tak