Air mata kembali mengalir di pipi Alicia Moore meski dia telah berulang kali memperingatkan dirinya untuk tidak lagi menangis demi pria ini.
Enam tahun berlalu dengan begitu menyakitkan, dan semua penderitaan itu bermula dari sosok yang kini duduk dengan tenang di hadapannya.
Tanpa menatap Ryan lebih lama, Alicia berbalik menuju pintu.
Begitu berada di luar, dia segera mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan tangan gemetar.
Ryan hanya menampilkan sedikit keterkejutan di wajahnya, itupun hanya sekilas.
Dia telah menduga ada sesuatu yang terjadi selama enam tahun ini hingga mengubah Alicia menjadi sosok yang begitu berbeda.
Namun saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu.
Yuri yang masih berdiri di sana memperhatikan dengan heran.
Si Ratu Es Crockhark yang terkenal dengan sikapnya yang dingin terhadap semua pria, kini justru kehilangan kendali karena seorang pria berpenampilan lusuh.
Tiba-tiba Ryan bangkit dari kursinya dan melangkah keluar, meninggalkan borgol dingin yang kini tergeletak di lantai. Dengan langkah panjang, dia segera menyusul Alicia.
"Cia," panggil Ryan lembut, "dengarkan aku."
Alicia berhenti mendadak dan berbalik. Matanya yang dingin menatap tajam. "Penjelasan?" dia mendengus. "Sejak hari kau pergi, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan di antara kita."
Ryan hendak membuka mulut ketika Yuri muncul dengan borgol rusak di tangannya. "Nona Alicia," ujar Yuri, "jika Anda ingin pergi bersama pria ini, dia bisa dibebaskan dengan jaminan."
Di balik sikap profesionalnya, jelas terlihat kilatan rasa ingin tahu di mata Yuri. Api gosip telah menyala dalam dirinya.
Alicia telah kembali ke ekspresi dinginnya yang biasa, menyadari bahwa dia tak seharusnya kehilangan kendali di depan orang lain.
Dia mengangguk pada Yuri tanpa melirik Ryan. "Baik, Nona Yuri. Maaf merepotkan. Beri tahu asisten saya untuk mengurus jaminannya."
Yuri yang masih penasaran memberi isyarat pada polisi muda di dekatnya untuk mengurus prosedur pembebasan Ryan.
Meski enggan melewatkan drama di hadapannya, polisi muda itu bergegas pergi melaksanakan perintah.
Tanpa menunggu lebih lama, Alicia berbalik dan melangkah menuju pintu keluar.
Ryan mengikuti dalam diam, senyum getir tersungging di bibirnya.
Meski status tahanannya belum resmi dibebaskan, tidak ada polisi yang berani menahannya—tidak setelah menyaksikan kemampuannya melumpuhkan sembilan penjahat bersenjata dalam sekejap.
Matahari telah tenggelam ketika mereka keluar dari kantor polisi.
Alicia berjalan dengan kepala tertunduk, setiap langkahnya dipenuhi amarah dan kesedihan yang bercampur aduk.
Di depan mobil Mazda merah yang terparkir, dia berhenti mendadak dan berbalik menghadap Ryan.
"Cia..." Ryan mencoba berbicara, tapi Alicia segera memotongnya dengan mengambil sebuah kartu dari dompetnya.
"Ini," Alicia menyodorkan kartu debit dengan tangan gemetar, suaranya sedingin es, "seratus juta. PIN-nya enam angka nol. Mulai sekarang, aku harap kau tidak muncul lagi di hadapanku."
Setiap kata yang terucap seperti menusuk jantungnya sendiri.
Meski kebencian memenuhi hatinya, kenangan akan tahun-tahun indah mereka masih tersimpan rapi di sudut terdalam benaknya.
Mengambil kartu bank ini dan mengucapkan kata-kata itu membuat hatinya seolah berdarah.
Ryan tertegun. Haruskah enam tahun ketidakhadirannya membuat Alicia menyimpan dendam sebesar ini?
Dia ingin menjelaskan, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Di antara semua pengalamannya sebagai Iblis Surgawi, urusan hati selalu menjadi yang tersulit untuk dihadapi.
Melihat Ryan hanya berdiri diam, Alicia menggigit bibir bawahnya dan melemparkan kartu itu ke kaki pria itu sebelum berbalik dengan langkah terhuyung.
'Uang?' Ryan tersenyum pahit dalam hati. Sebagai Iblis Surgawi yang pernah menguasai ribuan planet, uang tak lebih dari angka tak berarti baginya.
Dia telah melewati berbagai rintangan untuk kembali ke Bumi demi Alicia, tapi pertemuan pertama mereka justru berakhir seperti ini.
Melihat Alicia hampir mencapai mobilnya, Ryan bergerak cepat dan meraih pergelangan tangan wanita itu.
WUSSH!
Sebuah bayangan hitam melesat dari samping, menyerang Ryan dengan kecepatan luar biasa.
Tanpa menoleh, Ryan mengayunkan tangannya dengan gerakan santai namun terukur. Bayangan itu—yang ternyata adalah Sherly—terpental beberapa meter ke belakang.
Sherly mendarat dengan menahan sakit di kakinya, matanya menatap Ryan dengan campuran ketakutan dan keterkejutan.
Di hadapannya, pria berpakaian lusuh ini memancarkan aura penindasan yang begitu kuat hingga membuatnya sulit bernapas.
Selama karirnya sebagai pengawal pribadi, Sherly belum pernah merasakan intimidasi seperti ini.
Meski yang dia lihat hanyalah seorang pria berpenampilan sederhana, instingnya menjerit bahwa sosok di hadapannya adalah ancaman yang mematikan—seolah dengan satu jentikan jari saja, Ryan bisa melenyapkannya dalam sekejap.
Ryan mengalihkan pandangannya ke arah Sherly yang baru saja terpental. Setelah ribuan tahun berada di puncak kultivasi, dia bisa dengan mudah merasakan aliran qi yang sangat tipis mengalir dalam tubuh wanita itu. Meski lemah, keberadaan praktisi bela diri tradisional di era modern seperti ini cukup mengejutkan."Menarik," gumam Ryan dalam hati. "Masih ada yang mempertahankan jalan seni bela diri di dunia yang energi qi-nya telah menipis inii."Sherly berusaha bangkit, namun kakinya gemetar hebat. Selama bertahun-tahun berkarir sebagai pengawal elit, ini pertama kalinya dia merasakan tekanan yang begitu mencekam. Bahkan di bawah terik matahari sore, keringat dingin mengalir di punggungnya."Kau tidak perlu setakut itu," ujar Ryan dengan nada tenang. "Aku tidak berniat menyakiti siapapun."Meski berusaha menekan auranya, hawa membunuh yang telah meresap ke dalam setiap sel tubuhnya selama ribuan tahun tidak mudah dihilangkan. Bahkan tanpa basis kultivasinya, kehadirannya tetap meng
Ryan Drake berdiri di tepi jalan, menatap mobil Alicia yang menjauh membawa putrinya. Di genggamannya masih terasa kehangatan tangan mungil Lena yang berusaha menggapainya. Setelah ribuan tahun di Alam Kultivasi, ini pertama kalinya dia merasakan dorongan kuat untuk melindungi seseorang.Sementara itu, Alicia duduk tegang di balik kemudi. Sherly yang duduk di kursi belakang masih tampak gemetar, teringat aura mengerikan yang terpancar dari Ryan Drake."Sebagai praktisi bela diri," Sherly membuka pembicaraan dengan hati-hati, "saya bisa merasakan ada sesuatu yang sangat tidak biasa dari pria itu."Alicia mengangkat alisnya sedikit, memilih untuk tidak menanggapi."Meski saya tidak tahu banyak tentangnya," Sherly melanjutkan, "tapi insting saya sebagai praktisi bela diri bisa merasakan ada sesuatu yang... mengerikan dalam dirinya.""Kau pasti salah," Alicia mencibir. "Di dunia ini tidak ada yang mengenal Ryan Drake lebih baik dariku. Dia hanya orang biasa, tidak lebih."'Ryan Drake?' She
Dalam kegelapan malam, Zhuo Ming–pembunuh bayaran kelas atas yang terkenal di dunia bawah tanah, menyeringai dalam hati. Targetnya begitu dekat, tak menyadari bahaya yang mengintai. Namun sebelum tangannya menyentuh membuka jendela lebih lebar, Lena tiba-tiba bangun dan bangkit dari tempat tidurnya. Air mata masih membekas di pipinya—sisa-sisa kesedihan karena Ryan tidak diizinkan ikut pulang. Dengan langkah pelan, gadis kecil itu berjalan menuju jendela. "Aku yakin Paman masih di sekitar sini," gumamnya pada diri sendiri. Tanpa ragu, dia membuka jendela kamarnya dan memandang ke arah pohon besar yang tumbuh di dekat dinding. Zhuo Ming mundur ke dalam bayangan, terkejut dengan tindakan tak terduga targetnya. Namun seringai kejam segera menghiasi wajahnya—ini justru membuat pekerjaannya lebih mudah. Tidak perlu repot-repot menyusup masuk. Dengan kelincahan yang mengejutkan, Lena mulai memanjat turun menggunakan dahan-dahan pohon. Darah Iblis Surgawi dalam tubuhnya secara nalur
"Biar saya bantu—" Sherly mencoba menawarkan bantuan, tapi Ryan memotongnya."Kau bawa saja mereka kembali," ujar Ryan dengan nada yang membuat bulu kuduk Sherly meremang. "Aku akan mengurusnya di sini."Sherly mengangguk pelan mendengar perintah Ryan, lalu menggiring Alicia dan Lena kembali ke vila. Dia tidak berani membantah pria yang selalu membuatnya takut itu."Paman! Aku mau sama Paman!" Lena masih meronta dalam gendongan Sherly."Lena, sudah malam. Kita harus tidur," Alicia berusaha membujuk putrinya dengan suara lembut, meski tangannya masih gemetar akibat kejadian tadi.Malam ini Alicia memutuskan Lena akan tidur di kamarnya. Dia tidak berani membiarkan putrinya sendirian setelah apa yang terjadi."Mama... aku mau Paman..." Lena terus terisak sambil mencengkeram selimut."Sssh, tidurlah sayang." Alicia mengusap rambut putrinya dengan lembut, berusaha menyembunyikan kekhawatiran dalam suaranya.Setelah Lena terlelap, Alicia menoleh pada Sherly yang berdiri di dekat pintu. "Sia
Suasana di dalam mobil terasa mencekam setelah Alicia menyelesaikan tiga syarat kerasnya. Dia melirik ke arah Ryan, menunggu reaksi pria yang pernah mengisi seluruh ruang di hatinya itu. Dalam benaknya, Ryan pasti akan membantah atau setidaknya mencoba bernegosiasi—bagaimanapun, syarat-syarat itu sangat membatasi.Namun yang mengejutkan, Ryan hanya mengangguk ringan, seolah persyaratan yang baru didengarnya tak lebih penting dari debu di jalanan. Wajahnya tetap tenang, tanpa sedikitpun tanda keberatan."Gajimu..." Alicia hendak melanjutkan, namun Ryan segera memotong."Sediakan saja tempat tinggal dan makan," ujarnya dengan nada ringan.Alicia menatapnya dengan pandangan menyelidik. Kemarahan dan kebencian yang terpendam selama enam tahun kembali bergolak dalam dadanya.Dalam benaknya ia teringat kabar tentang uang yang Ryan ambil dari ayahnua sebelum menghilang. Namun kenapa sekarang, ketika ditawari gaji untuk pekerjaan pengawal 24 jam, dia justru menolak?'Apa sebenarnya yang ka
"Ah!" Kepala pelayan tua itu berteriak terkejut, matanya terbelalak melihat situasi di hadapannya. Setelah bertahun-tahun merawat Alicia Moore dan putrinya, dia sangat memahami bahaya yang selalu mengintai keluarga ini. Bagaimana mungkin nyonyanya membiarkan pria asing masuk dan bahkan mempercayakan pengawasan Lena selama 24 jam penuh?Berbeda dengan sang kepala pelayan yang dipenuhi keraguan, Sherly justru tersenyum dari tempatnya berdiri di tangga. Kedatangan Ryan Drake jelas telah meringankan setengah bebannya. Dia sadar tidak memiliki kemampuan untuk melindungi ibu dan anak itu sepenuhnya. Dengan kehadiran pria ini, dia bisa lebih tenang.Namun kelegaan Sherly tidak bertahan lama. Ryan yang tadinya tersenyum hangat pada Lena, tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arah Sherly. Senyumnya masih ada, tapi berbeda–ada kilat dingin yang membuat bulu kuduk Sherly meremang. Seketika itu juga, hawa dingin menyelimuti tubuhnya hingga dia nyaris lupa bernapas."Ini kepala pelayan rumah t
Sekitar empat-lima kuburan di belakang makam ibu Ryan, seorang pria tua duduk di depan sebuah makam menjatuhkan botol minuman keras. Ryan sudah menyadari keberadaan pria itu sejak awal, tapi tidak menghiraukannya. Pria itu berusia sekitar lima puluh tahun, wajahnya muram dan tampak setengah mabuk. Meski begitu, di balik ekspresi sedihnya, tersembunyi aura yang tak biasa. Pakaiannya kasual namun rapi, dan Ryan dapat langsung mengenali–pria ini bukan orang biasa, melainkan seorang prajurit senior dengan kemampuan bela diri tinggi. Namun bagi Ryan Drake, dia tetaplah tidak lebih dari orang tua biasa. Setelah melirik sekilas ke arah pria tua itu, Ryan kembali memfokuskan perhatiannya pada makam ibunya. Dengan gerakan penuh hormat, dia berlutut dan membenturkan kepalanya sembilan kali ke tanah. Setiap benturan membuat embun pagi yang membasahi rumput meresap ke pakaiannya, namun Ryan tak peduli. Dahinya menyentuh nisan marmer yang dingin, merasakan kesedihan yang begitu dalam men
Lena masih bergelayut manja di kaki Ryan saat Alicia berjalan menuruni tangga. Dia bisa mendengar dengan jelas percakapan antara keduanya tentang rencana pergi ke taman bermain.'Tidak, ini terlalu berbahaya,' pikir Alicia sambil mengerutkan kening. Tempat ramai selalu menjadi ancaman bagi keselamatan putrinya.Tepat ketika dia hendak melangkah maju untuk melarang rencana itu, sebuah batuk pelan terdengar dari belakangnya. Alicia menoleh dan mendapati Sherly menatapnya penuh arti.Lima tahun bekerja bersama telah membuat mereka saling memahami tanpa perlu banyak kata. Dari tatapan dan anggukan kecil Sherly, Alicia bisa menangkap maksudnya—Ryan Drake lebih dari mampu untuk melindungi Lena."Sebenarnya kau percaya padanya," Sherly berkata dengan suara lembut. "Kau tidur nyenyak tadi malam."Komentar sederhana itu membuat Alicia tertegun. Memang benar, semalam adalah tidur paling lelap yang dia dapatkan sejak Ryan menghilang. Biasanya, meski ada Sherly yang selalu siaga, Alicia tetap
Kelas yang membosankan.Ryan Drake duduk dengan tenang di hadapan Lena, mengawasi gadis kecil itu yang sedang mencoba menulis karakter Teks Dao di lembar kertas putih. Jemari mungilnya menggenggam kuas dengan canggung, menciptakan goresan yang tak beraturan dan jauh dari bentuk ideal.Ini pertama kalinya Ryan menjadi guru dalam hidupnya—terlebih lagi, mengajarkan praktik kultivasi. Selama ribuan tahun sebagai Iblis Surgawi, tak terhitung orang yang datang mencari bimbingannya, berlutut di pintu masuk istana perinya, memohon dan menyembah. Namun tak peduli siapapun mereka atau sebesar apapun bakat yang mereka miliki, Ryan selalu menolak dengan kejam.Dia selalu menghindari masalah yang tak perlu. Pengikut setia di sekitarnya sudah lebih dari cukup untuk membantunya menyelesaikan berbagai urusan. Mengenai para pengikut ini, Ryan bahkan tak pernah memikirkannya lebih jauh.Murid, bagaimanapun, berbeda dari pengikut. Hubungan guru-murid mirip seperti hubungan pewaris. Selama perjal
Setelah makan siang, Ryan Drake dan Cynthia Carlson kembali ke Star Lake bersama gadis kecil itu. Perjalanan pulang berlangsung dalam keheningan yang nyaman, dengan Lena tertidur pulas di kursi belakang—kelelahan setelah aktivitas seharian. "Dia benar-benar menguras semua energinya hari ini," ujar Cynthia sambil melirik ke belakang, nada suaranya jauh lebih lembut dibanding ketika mereka berangkat pagi tadi. Ryan mengangguk. "Anak-anak memang seperti itu. Meledak-ledak, lalu habis seketika." Saat mereka sampai, vila tampak sunyi. Ryan menggendong Lena yang masih tertidur dan membawanya ke dalam. Cynthia mengikuti dengan langkah pelan, raut wajahnya menampakkan kelegaan karena akhirnya bisa beristirahat. "Sepertinya Alicia dan Sherly masih belum kembali," ujar Ryan setelah memeriksa seluruh ruangan. Cynthia menghela napas. "Penelitian ini benar-benar menyita waktu mereka. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya bekerja seharian di laboratorium." "Kau bisa beristirahat di k
Dalam sekejap mata, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Mereka sudah berada di luar taman bermain dan menemukan sebuah restoran tradisional Windhaven di dekatnya. Aroma masakan khas menguar dari pintu restoran yang terbuka, membuat perut mereka bergema dengan suara kelaparan. Melihat Ryan Drake dan Lena memesan satu meja penuh makanan, Cynthia Carlson merasa tertekan. Dua orang ini benar-benar seperti dua ember nasi tanpa dasar. "Kalian yakin bisa menghabiskan semua ini?" tanya Cynthia tak percaya. "Tentu saja!" jawab Lena bersemangat. "Aku sangat lapar!" Ryan hanya tersenyum, mulai menikmati hidangan dengan tempo yang lebih tenang dibanding putrinya yang makan dengan lahap. "Ryan Drake, apa yang telah kau lakukan sebelumnya?" tanya Cynthia Carlson sambil menatap Ryan yang duduk di seberangnya. Mendengar pertanyaan Cynthia, Ryan mengangkat kepalanya, dan setelah memikirkannya sejenak, dia tersenyum. "Sebelumnya, aku tinggal di tempat khusus selama bertahun-tahun.
Setelah episode ini, tidak ada hal tak terduga terjadi lagi. Perjalanan mereka menuju taman bermain berlangsung tanpa hambatan. Ryan sesekali melirik ke arah kaca spion, memastikan tidak ada lagi yang mengikuti mobil mereka. Lalu lintas pagi itu pun cukup lengang, membuat mereka bisa sampai di tujuan lebih cepat dari perkiraan.Ryan Drake dapat dengan jelas merasakan bahwa setelah peristiwa penyergapan itu, sikap Cynthia terhadap dirinya jauh lebih baik. Tatapan curiga dan waspada yang sebelumnya selalu wanita itu tujukan padanya kini berganti menjadi sorot penuh rasa hormat, meski masih ada sedikit keraguan di dalamnya.Setidaknya ketika berbicara, Cynthia tidak lagi sedingin sebelumnya. Nada suaranya lebih hangat, bahkan sesekali dia tersenyum tipis menanggapi komentar-komentar Ryan."Kau tadi mengalahkan mereka semua dengan sangat mudah," komentar Cynthia saat mereka membelikan Lena es krim di taman bermain. "Dari mana kau belajar seperti itu?"Ryan hanya mengangkat bahu. "Pen
Sebelum Cynthia bisa protes lebih lanjut, Ryan sudah keluar dari mobil. Dengan langkah tenang namun penuh waspada, dia berjalan mendekati mobil hitam yang berhenti beberapa meter di belakang mereka. Dari dalam mobil, lima pria bertubuh kekar keluar dengan wajah garang. Tiga di antaranya memegang tongkat baseball, sementara dua lainnya mengeluarkan pisau lipat dari saku mereka. "Lihat siapa yang datang ini," salah satu dari mereka berkata dengan nada mengejek. "Pengawal kecil tampan yang berani." "Kau lebih pantas menjadi gigolo daripada pengawal." Tawa penuh penghinaan menyeruak dari para pria itu. Mendengar ejekan mereka, Ryan tidak merespon. Matanya hanya mengamati kelima pria itu dengan tenang, seolah menilai ancaman yang mereka berikan. "Hei bocah tampan, kami punya pesan untuk Alicia Moore," kata pria lain sambil mengarahkan pisaunya ke arah Ryan. "Dia sebaiknya menarik diri dari proyek kosmetiknya, atau hal buruk akan terjadi pada orang-orang yang dia sayangi." "Begitu
Sarapan pagi telah usai dengan irama ceria ini. Meja makan yang tadinya penuh dengan berbagai hidangan kini hampir kosong, menyisakan beberapa remah roti dan piring-piring yang telah dibersihkan dari makanan. Dengan ekspresi tercengang, Cynthia Carlson memperhatikan Ryan Drake dan Lena yang telah menghabiskan semua makanan di depan mereka. Nafsu makan mereka berdua yang begitu besar tanpa sadar mempengaruhi Cynthia, hingga ia pun ikut menikmati telur dadar ekstra yang disediakan Sebastian. "Aku tidak pernah melihat Lena makan sebanyak ini," komentar Cynthia sambil menyeka mulutnya dengan serbet. "Biasanya dia hanya menyentuh sedikit makanannya." Ryan tersenyum tipis. "Gadis kecil yang sedang tumbuh butuh banyak energi," ujarnya ringan. Lena melompat dari kursinya dengan gerakan lincah. Dengan mata berbinar penuh semangat, gadis kecil itu berlari ke arah Cynthia Carlson dan menarik ujung bajunya. "Bibi Cynthia, kamu sudah berjanji padaku untuk menemani kita ke taman bermain h
Dengan senyum licik di wajah merah muda gadis kecil itu, tangan kecilnya menggaruk hidung Ryan Drake secara berirama. Sensasi geli di hidungnya membuat Ryan menahan keinginan untuk bersin, sementara dia tetap berpura-pura tidur. Melalui celah matanya yang sedikit terbuka, dia mengamati putrinya dengan penuh kasih sayang. Lena menatap wajah "tertidur" ayahnya dengan tatapan jahil, tidak menyadari bahwa Ryan sebenarnya mengawasi setiap gerakannya. Gadis kecil itu mengulurkan tangannya lagi, kali ini menyentuh pipi Ryan. Melalui celah matanya, menatap gadis kecil di sampingnya, Ryan Drake merasakan kehangatan yang berbeda di dalam hatinya, perasaan ini adalah sesuatu yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Bahkan saat menjadi penguasa tertinggi sebagai Iblis Surgawi, menakutkan di ribuan planet, tidak ada perasaan yang bisa menandingi kelembutan yang dia rasakan saat ini. Hanya perasaan terhubung oleh darah saja membuat orang melupakan segala kekhawatirannya. Ketika jari-j
Melihat dua Rumput Biru di mata air, senyum tipis muncul di wajah Ryan Drake. Meskipun kedua Rumput Biru itu masih membutuhkan waktu beberapa ratus tahun lagi untuk mencapai kematangan penuh, hal ini bukanlah masalah baginya. "Raja Obat Zein memiliki formasi yang dapat mempercepat pertumbuhan ramuan," Ryan mengingat pengetahuan yang diperolehnya selama ekspedisinya ke Sekte Raja Obat. "Dan aku telah mempelajari teknik itu." Saat membuat keributan besar di Sekte Raja Obat dahulu, Ryan sempat mengakses Paviliun Koleksi mereka dan mempelajari gulungan spiritual berisi formasi untuk mempercepat pertumbuhan ramuan. Formasi ini tidak memerlukan bahan-bahan langka, cukup dengan jimat dasar untuk membuatnya berfungsi. "Di Bumi mungkin tidak ada kristal spiritual," Ryan merenung, "tetapi jimat giok yang terbuat dari batu giok berkualitas tinggi setelah perlakuan khusus juga bisa berfungsi sebagai medium." "Sepertinya, selanjutnya, aku harus menemukan batu giok yang bagus," Ryan berbisik
Mengikuti fluktuasi energi spiritual ini, Ryan Drake berjalan maju dengan langkah tenang namun penuh antisipasi. Cahaya bulan yang temaram menyusup di antara celah dedaunan, memberi penerangan samar bagi jalurnya yang berkelok. Semakin dalam dia melangkah, semakin kuat energi spiritual yang dia rasakan, hingga akhirnya, ia mencapai sebuah mata air. Mata air kecil ini terletak di sebelah lereng gunung, tersembunyi di balik bebatuan dan pepohonan yang lebat. Permukaannya berkilau lembut, memantulkan cahaya bulan yang pucat. Ryan merasakan kedamaian aneh saat mendekati mata air itu. "Ini bukan mata air biasa," gumamnya, merasakan kosentrasi energi spiritual yang luar biasa. Di sekitar mata air, tata letak energi spiritualnya jauh lebih padat dibandingkan dengan tempat lain yang pernah dia temukan di Bumi. Bahkan Ganoderma lucidum yang telah ditemukannya sebelumnya, aura di sekelilingnya tidak sepadat aura di sekitar mata air ini. Ryan tersenyum tipis. Dia tahu bahwa tempat