Ryan Drake berdiri di tepi jalan, menatap mobil Alicia yang menjauh membawa putrinya. Di genggamannya masih terasa kehangatan tangan mungil Lena yang berusaha menggapainya. Setelah ribuan tahun di Alam Kultivasi, ini pertama kalinya dia merasakan dorongan kuat untuk melindungi seseorang.
Sementara itu, Alicia duduk tegang di balik kemudi. Sherly yang duduk di kursi belakang masih tampak gemetar, teringat aura mengerikan yang terpancar dari Ryan Drake.
"Sebagai praktisi bela diri," Sherly membuka pembicaraan dengan hati-hati, "saya bisa merasakan ada sesuatu yang sangat tidak biasa dari pria itu."
Alicia mengangkat alisnya sedikit, memilih untuk tidak menanggapi.
"Meski saya tidak tahu banyak tentangnya," Sherly melanjutkan, "tapi insting saya sebagai praktisi bela diri bisa merasakan ada sesuatu yang... mengerikan dalam dirinya."
"Kau pasti salah," Alicia mencibir. "Di dunia ini tidak ada yang mengenal Ryan Drake lebih baik dariku. Dia hanya orang biasa, tidak lebih."
'Ryan Drake?' Sherly mencatat nama itu dalam benaknya. Dia bertekad akan mencari tahu lebih banyak melalui jaringan Sekte bela dirinya.
"Nona Alicia," Sherly berkata serius, "Anda tahu saya tidak pernah membuat pernyataan tanpa dasar. Pria itu berbahaya. Sebaiknya Anda tidak membuatnya marah."
Perkataan Sherly membuat Alicia terdiam, sekilas raut ketakutan muncul di wajahnya.
Dia sangat memahami kemampuan Sherly–selama lima tahun bertugas sebagai pengawalnya atas perintah ibunya, Sherly tidak pernah salah dalam menilai ancaman.
Setiap bahaya selalu bisa dia antisipasi dengan tepat.
'Tapi Ryan?' Alicia membatin dengan bingung. Pria yang dulu begitu dekat dengannya itu tidak mungkin memiliki kemampuan seperti yang Sherly katakan.
Namun mengapa pengawal terpercayanya bisa sebegitu takut?
"Saya terlalu sombong selama ini," Sherly melanjutkan dengan nada getir. "Saya pikir hanya segelintir orang yang bisa mengalahkan saya di dunia ini. Tapi tadi... hanya dengan tatapannya saja, dia bisa membuat saya gemetar. Kekuatannya jauh di atas saya."
"Kau bercanda?" Alicia menatap tidak percaya. "Tidak mungkin dia lebih kuat darimu."
"Jangan meremehkan ini, Nona," Sherly tersenyum pahit. "Jika dia serius tadi, saya bahkan tidak akan sempat bergerak sebelum dia membunuh saya."
"Mustahil," Alicia menggeleng keras. "Saat aku mengenalnya dulu, dia hanya orang biasa. Bahkan tidak bisa berkelahi!"
Sherly menghela napas dalam. Dia tidak pernah merasa sekecil ini sebelumnya.
Ryan Drake yang dia hadapi tadi hampir tidak bisa dikategorikan sebagai manusia biasa.
Namun dia memilih untuk tidak menjelaskan lebih jauh–Alicia yang bukan praktisi bela diri mungkin tidak akan memahami.
Di pangkuannya, Lena tertidur pulas setelah kelelahan menangis. Bahunya sesekali masih bergetar, seolah dalam mimpi pun dia masih sedih karena Ryan tidak ikut pulang bersamanya.
Sherly mengusap lembut rambut Lena sambil menatapnya penuh kasih sayang. "Meski kejadian hari ini menakutkan, tapi jika Ryan Drake yang melindungi Nona Kecil, saya yakin tidak akan ada yang bisa menyakitinya."
Alicia tanpa sadar melirik putrinya melalui kaca spion. Meski selama ini memiliki Sherly di sisinya dan tidak pernah mengalami insiden serius, dia sadar bahwa perlindungan yang ada masih belum cukup.
Kejadian penculikan ini membuktikan bahwa mereka membutuhkan pengamanan yang lebih ketat.
Mobil mereka memasuki kompleks Star Lake, area perumahan paling eksklusif di Crockhark. Petugas keamanan membungkuk hormat saat mobil Alicia melewati gerbang. Di depan sebuah vila mewah berlantai tiga, Sebastian Hold, kepala pelayan berusia 60 tahun yang dikirim oleh ibu Alicia, sudah menunggu.
Begitu mobil berhenti, Lena terbangun dan langsung melompat turun. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia berlari masuk ke dalam vila.
"Syukurlah Nona Kecil selamat," Sebastian tersenyum lega, namun senyumnya memudar saat Lena mengabaikannya dan membanting pintu kamarnya keras-keras.
"Maafkan sikapnya, Paman Sebastian," Alicia menghela napas. "Dia masih shock dengan kejadian hari ini."
Sebastian mengangguk maklum. "Tentu saja saya mengerti, Nona Alicia."
Di dalam vila, Alicia mencoba membuka pintu kamar Lena namun terkunci. Dia hendak memanggil putrinya ketika Sherly menahannya dengan lembut.
"Biarkan dia sendiri dulu, Nona. Anda juga perlu istirahat."
Dengan berat hati, Alicia menurut dan berjalan ke kamarnya di lantai dua.
Kelelahan enam tahun terakhir seolah menghantamnya sekaligus. Orang-orang hanya mengenalnya sebagai "Ratu Es" yang dingin dan tak tersentuh. Mereka tidak tahu perjuangannya–hamil di luar nikah, dicemooh masyarakat, membangun Moore Group dari nol.
Penculikan Lena hari ini pasti bukan kebetulan. Meski pengamanan di acara peletakan batu pertama proyek baru Moore Group sangat ketat, Lena tetap bisa diculik hanya dalam hitungan menit. Siapa yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk melakukan ini?
'Ayah? Atau mungkin keluarga Zen?' Alicia memikirkan kemungkinan dalang di balik penculikan ini.
Berbaring telentang di ranjang empuk, Alicia Moore menatap kosong saat lampu di atap bergoyang lembut ditiup angin.
Ia memikirkan masa depan dirinya dan gadis kecil itu yang akan dipenuhi banyak konspirasi dan perhitungan. Alicia bahkan bertekad untuk melindungi Lena apapun yang terjadi, bahkan jika harus mengorbankan nyawanya.
Tenggelam dalam pikirannya, Alicia sama sekali tidak menyadari pergerakan mencurigakan di halaman vila. Sebuah sosok gelap bergerak dengan presisi di antara sudut-sudut buta kamera CCTV. Meski rumah Alicia dijaga dengan sistem keamanan yang ketat, sosok itu berhasil mencapai jendela kamar Lena tanpa terdeteksi.
Dengan gerakan terlatih, sosok itu membuka jendela dari luar nyaris tanpa suara. Dalam kegelapan kamar, sepasang matanya berkilat dingin menatap Lena yang tertidur pulas.
Mungkin othor hanya akan rilis 1-2 bab per harinya. Dan ini bab terakhir hari ini. Oh ya, jangan lupa tinggalkan komen dan bintang ya ^^ Selamat membaca \(^_^)/
Dalam kegelapan malam, Zhuo Ming–pembunuh bayaran kelas atas yang terkenal di dunia bawah tanah, menyeringai dalam hati. Targetnya begitu dekat, tak menyadari bahaya yang mengintai. Namun sebelum tangannya menyentuh membuka jendela lebih lebar, Lena tiba-tiba bangun dan bangkit dari tempat tidurnya. Air mata masih membekas di pipinya—sisa-sisa kesedihan karena Ryan tidak diizinkan ikut pulang. Dengan langkah pelan, gadis kecil itu berjalan menuju jendela. "Aku yakin Paman masih di sekitar sini," gumamnya pada diri sendiri. Tanpa ragu, dia membuka jendela kamarnya dan memandang ke arah pohon besar yang tumbuh di dekat dinding. Zhuo Ming mundur ke dalam bayangan, terkejut dengan tindakan tak terduga targetnya. Namun seringai kejam segera menghiasi wajahnya—ini justru membuat pekerjaannya lebih mudah. Tidak perlu repot-repot menyusup masuk. Dengan kelincahan yang mengejutkan, Lena mulai memanjat turun menggunakan dahan-dahan pohon. Darah Iblis Surgawi dalam tubuhnya secara nalur
"Biar saya bantu—" Sherly mencoba menawarkan bantuan, tapi Ryan memotongnya."Kau bawa saja mereka kembali," ujar Ryan dengan nada yang membuat bulu kuduk Sherly meremang. "Aku akan mengurusnya di sini."Sherly mengangguk pelan mendengar perintah Ryan, lalu menggiring Alicia dan Lena kembali ke vila. Dia tidak berani membantah pria yang selalu membuatnya takut itu."Paman! Aku mau sama Paman!" Lena masih meronta dalam gendongan Sherly."Lena, sudah malam. Kita harus tidur," Alicia berusaha membujuk putrinya dengan suara lembut, meski tangannya masih gemetar akibat kejadian tadi.Malam ini Alicia memutuskan Lena akan tidur di kamarnya. Dia tidak berani membiarkan putrinya sendirian setelah apa yang terjadi."Mama... aku mau Paman..." Lena terus terisak sambil mencengkeram selimut."Sssh, tidurlah sayang." Alicia mengusap rambut putrinya dengan lembut, berusaha menyembunyikan kekhawatiran dalam suaranya.Setelah Lena terlelap, Alicia menoleh pada Sherly yang berdiri di dekat pintu. "Sia
Suasana di dalam mobil terasa mencekam setelah Alicia menyelesaikan tiga syarat kerasnya. Dia melirik ke arah Ryan, menunggu reaksi pria yang pernah mengisi seluruh ruang di hatinya itu. Dalam benaknya, Ryan pasti akan membantah atau setidaknya mencoba bernegosiasi—bagaimanapun, syarat-syarat itu sangat membatasi.Namun yang mengejutkan, Ryan hanya mengangguk ringan, seolah persyaratan yang baru didengarnya tak lebih penting dari debu di jalanan. Wajahnya tetap tenang, tanpa sedikitpun tanda keberatan."Gajimu..." Alicia hendak melanjutkan, namun Ryan segera memotong."Sediakan saja tempat tinggal dan makan," ujarnya dengan nada ringan.Alicia menatapnya dengan pandangan menyelidik. Kemarahan dan kebencian yang terpendam selama enam tahun kembali bergolak dalam dadanya.Dalam benaknya ia teringat kabar tentang uang yang Ryan ambil dari ayahnua sebelum menghilang. Namun kenapa sekarang, ketika ditawari gaji untuk pekerjaan pengawal 24 jam, dia justru menolak?'Apa sebenarnya yang ka
"Ah!" Kepala pelayan tua itu berteriak terkejut, matanya terbelalak melihat situasi di hadapannya. Setelah bertahun-tahun merawat Alicia Moore dan putrinya, dia sangat memahami bahaya yang selalu mengintai keluarga ini. Bagaimana mungkin nyonyanya membiarkan pria asing masuk dan bahkan mempercayakan pengawasan Lena selama 24 jam penuh?Berbeda dengan sang kepala pelayan yang dipenuhi keraguan, Sherly justru tersenyum dari tempatnya berdiri di tangga. Kedatangan Ryan Drake jelas telah meringankan setengah bebannya. Dia sadar tidak memiliki kemampuan untuk melindungi ibu dan anak itu sepenuhnya. Dengan kehadiran pria ini, dia bisa lebih tenang.Namun kelegaan Sherly tidak bertahan lama. Ryan yang tadinya tersenyum hangat pada Lena, tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arah Sherly. Senyumnya masih ada, tapi berbeda–ada kilat dingin yang membuat bulu kuduk Sherly meremang. Seketika itu juga, hawa dingin menyelimuti tubuhnya hingga dia nyaris lupa bernapas."Ini kepala pelayan rumah t
Sekitar empat-lima kuburan di belakang makam ibu Ryan, seorang pria tua duduk di depan sebuah makam menjatuhkan botol minuman keras. Ryan sudah menyadari keberadaan pria itu sejak awal, tapi tidak menghiraukannya. Pria itu berusia sekitar lima puluh tahun, wajahnya muram dan tampak setengah mabuk. Meski begitu, di balik ekspresi sedihnya, tersembunyi aura yang tak biasa. Pakaiannya kasual namun rapi, dan Ryan dapat langsung mengenali–pria ini bukan orang biasa, melainkan seorang prajurit senior dengan kemampuan bela diri tinggi. Namun bagi Ryan Drake, dia tetaplah tidak lebih dari orang tua biasa. Setelah melirik sekilas ke arah pria tua itu, Ryan kembali memfokuskan perhatiannya pada makam ibunya. Dengan gerakan penuh hormat, dia berlutut dan membenturkan kepalanya sembilan kali ke tanah. Setiap benturan membuat embun pagi yang membasahi rumput meresap ke pakaiannya, namun Ryan tak peduli. Dahinya menyentuh nisan marmer yang dingin, merasakan kesedihan yang begitu dalam men
Lena masih bergelayut manja di kaki Ryan saat Alicia berjalan menuruni tangga. Dia bisa mendengar dengan jelas percakapan antara keduanya tentang rencana pergi ke taman bermain.'Tidak, ini terlalu berbahaya,' pikir Alicia sambil mengerutkan kening. Tempat ramai selalu menjadi ancaman bagi keselamatan putrinya.Tepat ketika dia hendak melangkah maju untuk melarang rencana itu, sebuah batuk pelan terdengar dari belakangnya. Alicia menoleh dan mendapati Sherly menatapnya penuh arti.Lima tahun bekerja bersama telah membuat mereka saling memahami tanpa perlu banyak kata. Dari tatapan dan anggukan kecil Sherly, Alicia bisa menangkap maksudnya—Ryan Drake lebih dari mampu untuk melindungi Lena."Sebenarnya kau percaya padanya," Sherly berkata dengan suara lembut. "Kau tidur nyenyak tadi malam."Komentar sederhana itu membuat Alicia tertegun. Memang benar, semalam adalah tidur paling lelap yang dia dapatkan sejak Ryan menghilang. Biasanya, meski ada Sherly yang selalu siaga, Alicia tetap
Ryan Drake tidak bisa menahan senyumnya saat melihat Lena berlari-lari kecil menuju mobil Jeep Wrangler hitam yang terparkir di garasi belakang vila Moore. Sejak mendapat izin dari Alicia untuk membawa putrinya ke taman bermain, perasaan hangat terus menyelimuti hatinya. "Paman! Ayo cepat!" seru Lena sambil melompat-lompat tak sabar di samping mobil. Ryan mengusap lembut kepala gadis kecil itu. "Sabarlah sedikit, Puti Kecil. Kita punya banyak waktu untuk bersenang-senang hari ini." Setelah memastikan Lena duduk dengan aman di kursi belakang, Ryan menyalakan mesin mobil. Alunan musik lembut mengisi kabin kendaraan, diiringi tawa riang Lena yang tak henti-hentinya berceloteh tentang wahana apa saja yang ingin dia coba nanti. Melalui kaca spion, Ryan mengamati wajah ceria putrinya. Ada kehangatan yang tak terlukiskan setiap kali melihat senyum polos itu. Bahkan setelah ribuan tahun menjadi Iblis Surgawi yang ditakuti di seluruh jagat raya, dia tidak pernah merasakan kebahagiaan
Setelah mencoba hampir semua wahana, waktu sudah menunjukkan lewat tengah hari. Namun semangat Lena masih membara, seolah energinya tak ada habisnya. "Sayang, ayo istirahat dulu untuk makan siang," ajak Ryan sambil menggendong Lena turun dari komidi putar. "Setelah itu kita bisa bermain lagi." Lena mengangguk antusias. "Baik, Paman! Nanti aku mau naik roller coaster, tapi..." Dia menggigit bibirnya ragu. "Aku takut naik sendiri. Paman mau menemaniku?" Ryan tersenyum lembut. "Tentu saja. Paman akan selalu menemanimu." Mereka berjalan menyusuri area kuliner taman bermain yang sepi. Hanya beberapa restoran yang buka, dan pengunjungnya bisa dihitung dengan jari. 'Sepertinya tidak akan ada makanan yang layak di sini,' pikir Ryan sambil mengerutkan kening. Dia baru akan mengusulkan untuk makan di kota ketika sebuah suara familiar memanggil mereka. "Lena! Ayo makan sushi bersama!" Cindy Grey berlari menghampiri mereka dengan semangat. Di belakangnya, seorang pengawal mengawasi Ryan den
Sherly mengendap memasuki kamar Ryan dengan langkah ragu. Setelah menutup pintu perlahan, ia tetap berdiri di tempat yang sama, seolah takut mendekat. Bayangan tubuhnya yang ramping terlihat jelas di bawah sinar rembulan yang menembus jendela.Ryan nyaris tersenyum geli melihat tingkah pengawal itu. 'Praktisi bela diri ini sepertinya menganggapku monster pemakan manusia,' pikirnya. 'Setiap bertemu denganku, dia selalu gemetar ketakutan. Padahal aku tidak pernah berniat menakutinya.'"Perusahaan Nona Alicia sedang dalam masalah," ujar Sherly dengan suara lembut namun terdengar jelas di telinga Ryan.Ryan mengernyitkan dahi, membuat tubuh Sherly langsung menegang. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya."Ma-maafkan saya," Sherly buru-buru menjelaskan, suaranya bergetar. "Saya tidak bermaksud menguping. Kebetulan saya berada di dekat pintu saat Anda berbicara dengan Nona Alicia tadi."Ryan tersadar bahwa kerutan di dahinya telah membuat Sherly salah paham. Ia sebenarnya hanya khawa
Langit telah menggelap ketika Ryan Drake dan Lena kembali ke vila Moore setelah seharian bermain di taman hiburan. Ryan mengira Alicia sudah pulang, namun ternyata hanya ada Sebastian yang menyambut mereka."Selamat datang, Tuan Ryan, Nona Kecil," sapa Sebastian ramah. "Mari, saya sudah menyiapkan makan malam yang hangat untuk kalian."Aroma lezat menguar dari ruang makan. Sebastian telah menyiapkan hidangan mewah yang membuat perut Ryan terasa lapar. Namun ia mengernyit menyadari ketidakhadiran Alicia."Nona masih di kantor?" tanya Ryan.Sebastian mengangguk dengan ekspresi prihatin. "Ya, belakangan ini Nona selalu pulang larut. Sejak awal mendirikan perusahaan sendiri, dia memang selalu bekerja sangat keras," jelasnya. "Tidak mudah bagi seorang ibu tunggal membangun karier seperti ini."Mendengar itu, Ryan merasakan sesak di dadanya. Seharusnya ia ada di sisi Alicia, melindunginya dari segala kesulitan. Namun saat wanita itu paling membutuhkannya, ia justru menghilang. Pantas saja
Ryan Drake mengamati dengan seksama saat Nyonya Grey perlahan melepaskan kacamata hitam dan maskernya. Seketika, ia terpaku melihat wajah yang tersembunyi di balik penyamaran itu. Awalnya ia mengira wanita itu menyembunyikan bekas luka atau kecacatan, namun kenyataannya sangat berbeda.Di hadapannya kini duduk seorang wanita dengan paras yang luar biasa cantik. Kulitnya putih bersih tanpa cela, matanya besar dengan bulu mata lentik, hidungnya mancung sempurna, dan bibirnya mungil semerah ceri. Fitur wajahnya menunjukkan perpaduan ras yang menghasilkan kecantikan eksotis. Yang lebih mengejutkan, wanita ini tampak sangat muda, seperti baru berusia awal dua puluhan–terlalu muda untuk menjadi ibu dari anak berusia lima tahun."Saya Jessica Grey," ucapnya dengan suara merdu yang tidak lagi teredam pengubah suara. "Dan Anda adalah?""Ryan Drake," jawab Ryan singkat, masih berusaha mengingat di mana ia pernah melihat wajah ini.Jessica tampak sedikit terkejut, bahkan kecewa, melihat rea
Sekelompok pengawal bergegas menghampiri pelaku penculikan yang tergeletak lemas di lantai. Mereka berusaha membangunkannya, namun pria itu tetap tak sadarkan diri. Seluruh tubuhnya bermandikan keringat dingin, sesekali tersentak karena rasa sakit yang masih mendera bahkan dalam ketidaksadarannya. Ryan mengabaikan keributan di sekitarnya. Perhatiannya terpusat pada Lena yang masih mencengkeram bajunya erat. Dengan lembut, dia membungkuk dan meraih putrinya ke dalam pelukan. "Takut, sayang?" tanyanya dengan nada penuh kasih sayang. Lena menggeleng tegas meski tubuh mungilnya masih sedikit gemetar. "Aku tidak takut! Kalau ada Paman, aku tidak takut apa pun!" Kata-kata polos itu membuat hati Ryan menghangat. Selama ribuan tahun menjadi Iblis Surgawi yang ditakuti di seluruh jagat raya, dia telah menerima berbagai pujian dan sanjungan dari para penguasa dan praktisi seni bela diri. Namun tidak ada yang mampu menggetarkan hatinya seperti ucapan sederhana putrinya ini. Insiden
Setelah mencoba hampir semua wahana, waktu sudah menunjukkan lewat tengah hari. Namun semangat Lena masih membara, seolah energinya tak ada habisnya. "Sayang, ayo istirahat dulu untuk makan siang," ajak Ryan sambil menggendong Lena turun dari komidi putar. "Setelah itu kita bisa bermain lagi." Lena mengangguk antusias. "Baik, Paman! Nanti aku mau naik roller coaster, tapi..." Dia menggigit bibirnya ragu. "Aku takut naik sendiri. Paman mau menemaniku?" Ryan tersenyum lembut. "Tentu saja. Paman akan selalu menemanimu." Mereka berjalan menyusuri area kuliner taman bermain yang sepi. Hanya beberapa restoran yang buka, dan pengunjungnya bisa dihitung dengan jari. 'Sepertinya tidak akan ada makanan yang layak di sini,' pikir Ryan sambil mengerutkan kening. Dia baru akan mengusulkan untuk makan di kota ketika sebuah suara familiar memanggil mereka. "Lena! Ayo makan sushi bersama!" Cindy Grey berlari menghampiri mereka dengan semangat. Di belakangnya, seorang pengawal mengawasi Ryan den
Ryan Drake tidak bisa menahan senyumnya saat melihat Lena berlari-lari kecil menuju mobil Jeep Wrangler hitam yang terparkir di garasi belakang vila Moore. Sejak mendapat izin dari Alicia untuk membawa putrinya ke taman bermain, perasaan hangat terus menyelimuti hatinya. "Paman! Ayo cepat!" seru Lena sambil melompat-lompat tak sabar di samping mobil. Ryan mengusap lembut kepala gadis kecil itu. "Sabarlah sedikit, Puti Kecil. Kita punya banyak waktu untuk bersenang-senang hari ini." Setelah memastikan Lena duduk dengan aman di kursi belakang, Ryan menyalakan mesin mobil. Alunan musik lembut mengisi kabin kendaraan, diiringi tawa riang Lena yang tak henti-hentinya berceloteh tentang wahana apa saja yang ingin dia coba nanti. Melalui kaca spion, Ryan mengamati wajah ceria putrinya. Ada kehangatan yang tak terlukiskan setiap kali melihat senyum polos itu. Bahkan setelah ribuan tahun menjadi Iblis Surgawi yang ditakuti di seluruh jagat raya, dia tidak pernah merasakan kebahagiaan
Lena masih bergelayut manja di kaki Ryan saat Alicia berjalan menuruni tangga. Dia bisa mendengar dengan jelas percakapan antara keduanya tentang rencana pergi ke taman bermain.'Tidak, ini terlalu berbahaya,' pikir Alicia sambil mengerutkan kening. Tempat ramai selalu menjadi ancaman bagi keselamatan putrinya.Tepat ketika dia hendak melangkah maju untuk melarang rencana itu, sebuah batuk pelan terdengar dari belakangnya. Alicia menoleh dan mendapati Sherly menatapnya penuh arti.Lima tahun bekerja bersama telah membuat mereka saling memahami tanpa perlu banyak kata. Dari tatapan dan anggukan kecil Sherly, Alicia bisa menangkap maksudnya—Ryan Drake lebih dari mampu untuk melindungi Lena."Sebenarnya kau percaya padanya," Sherly berkata dengan suara lembut. "Kau tidur nyenyak tadi malam."Komentar sederhana itu membuat Alicia tertegun. Memang benar, semalam adalah tidur paling lelap yang dia dapatkan sejak Ryan menghilang. Biasanya, meski ada Sherly yang selalu siaga, Alicia tetap
Sekitar empat-lima kuburan di belakang makam ibu Ryan, seorang pria tua duduk di depan sebuah makam menjatuhkan botol minuman keras. Ryan sudah menyadari keberadaan pria itu sejak awal, tapi tidak menghiraukannya. Pria itu berusia sekitar lima puluh tahun, wajahnya muram dan tampak setengah mabuk. Meski begitu, di balik ekspresi sedihnya, tersembunyi aura yang tak biasa. Pakaiannya kasual namun rapi, dan Ryan dapat langsung mengenali–pria ini bukan orang biasa, melainkan seorang prajurit senior dengan kemampuan bela diri tinggi. Namun bagi Ryan Drake, dia tetaplah tidak lebih dari orang tua biasa. Setelah melirik sekilas ke arah pria tua itu, Ryan kembali memfokuskan perhatiannya pada makam ibunya. Dengan gerakan penuh hormat, dia berlutut dan membenturkan kepalanya sembilan kali ke tanah. Setiap benturan membuat embun pagi yang membasahi rumput meresap ke pakaiannya, namun Ryan tak peduli. Dahinya menyentuh nisan marmer yang dingin, merasakan kesedihan yang begitu dalam men
"Ah!" Kepala pelayan tua itu berteriak terkejut, matanya terbelalak melihat situasi di hadapannya. Setelah bertahun-tahun merawat Alicia Moore dan putrinya, dia sangat memahami bahaya yang selalu mengintai keluarga ini. Bagaimana mungkin nyonyanya membiarkan pria asing masuk dan bahkan mempercayakan pengawasan Lena selama 24 jam penuh?Berbeda dengan sang kepala pelayan yang dipenuhi keraguan, Sherly justru tersenyum dari tempatnya berdiri di tangga. Kedatangan Ryan Drake jelas telah meringankan setengah bebannya. Dia sadar tidak memiliki kemampuan untuk melindungi ibu dan anak itu sepenuhnya. Dengan kehadiran pria ini, dia bisa lebih tenang.Namun kelegaan Sherly tidak bertahan lama. Ryan yang tadinya tersenyum hangat pada Lena, tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arah Sherly. Senyumnya masih ada, tapi berbeda–ada kilat dingin yang membuat bulu kuduk Sherly meremang. Seketika itu juga, hawa dingin menyelimuti tubuhnya hingga dia nyaris lupa bernapas."Ini kepala pelayan rumah t