Riko yang saat itu begitu muak dengan Gina. Ia berusaha menyimpan apa saja yang ia tidak suka dengan perubahan tubuh istrinya yang sedang mengandung anak mereka. Dengan dalih demikian, Riko mencari penyegaran di luar. "Mas, mau kemana malam-malam begini?" tanya Gina yang melihat suaminya bergegas mengambil jaket kulitnya. Riko sudah berpenampilan necis dengan kaos berwarna hitam dan celana jeans warna biru dongker. Riko kemudian berjalan mematut dirinya di depan cermin meja rias. Ia memastikan kalau rambutnya sudah tertata dengan rapi. Kemudian ia mengambil sebotol parfum aroma maskulin. Wangi segar parfum khas pria menguar ke seisi kamar mereka. Gina agak sedikit mual mencium aroma parfum tersebut. Memasuki usia kehamilan keempat memang rasa mual dan muntah yang ia rasakan mulai berkurang. "Mau ada meeting sama rekan bisnis di kafe. Kamu jangan terlalu kepo begitu, ah," jawab Riko seadanya. Ia sebenarnya sebal ditanya-tanya terus oleh wanita yang sudah menemaninya hidup selama bel
Riko terkekeh mendengar kata-kata Feni. Ia merasa yakin kalau istrinya tidak bakal tau tentang perselingkuhannya dengan Feni. Apalagi Gina juga tipe istri yang polos. Tidak seperti istri lain yang garang. Gina tipe istri rumahan, sederhana, dan tidak terlalu banyak protes. "Ah, enggak usah kamu pikirin. Dijamin aman. Istri Mas enggak akan tau sepak terjang kita. Asalkan kita main cantik dan rapih," jawab Riko dengan santai. "Beneran lho, Mas? Aku enggak mau kalau sampai dilabrak. Oke, aku janji enggak akan lagi berhubungan dengan lelaki lain. Asal Mas pun juga bisa setia sama aku," sahut Feni cepat. "Siap. Bisa diatur." Mobil yang mereka tumpangi akhirnya tiba di sebuah hotel bintang empat. Riko sudah memesan meja untuk dua orang. Candle light dinner acara spesial yang akan ia nikmati bersama Feni. Riko pun memarkirkan mobilnya. Mereka berdua terlihat berjalan melewati lobi hotel dan menuju restoran. Riko juga sudah memesan sebuah kamar untuk mereka berdua 'beristirahat.'Restoran
Malam ini, aku dan Feni akan bertemu untuk memadu kasih bersama. Wanita yang sudah lama menjadi selingkuhanku ini mempunyai pesona yang begitu memikat. Pada mulanya hubungan aku dengan Feni hanya iseng dan sebagai selingan saja, karena aku mulai bosan dengan istriku yang sedang hamil anak kedua dan mulai menua, terlihat gurat dan garis keriput di wajahnya. Istriku selalu sibuk dengan pekerjaan rumah. Padahal anak tunggal kami, Tika, sudah berusia lima belas tahun. Harusnya dia santai dan memikirkan untuk melakukan perawatan diri saja. Tetapi dia tidak pernah melakukan itu semua, apalagi dia kini hamil, semakin bertambah melar saja badannya.Mumpung istriku, Gina tidak ada di rumah. Dia menginap di rumah orang tuanya, beberapa hari yang lalu dia meminta izin padaku untuk mengantarkannya ke sana. Katanya dia mulai capek karena sudah hamil delapan bulan dan perlu rehat sejenak. Jarak rumah kami dengan rumah mertuaku hanya setengah jam saja dari rumah kami jika di tempuh dengan mengendara
Aku memunguti pakaianku yang berceceran di lantai dan memakainya kembali."Mas, kamu mau kemana? Kan permainan kita belum selesai." Feni berusaha menghalangi dan mencengkeram tanganku.Aku hanya diam saja. Aku langsung berjalan menuju garasi, tempat dimana aku memarkir mobilku.Tak kusangka, Feni malah mengikutiku."Mas, kamu mau ke rumah sakit kan melihat istrimu yang tak berguna itu?" Feni terus memberondongku dengan berbagai pertanyaannya."Diam kamu! Jangan ikut campur urusanku!" Aku menepis tangan Feni yang sedari tadi berusaha memegang tanganku."Mas! Urusanku ya urusanku! Aku harus tahu kamu mau pergi!Aku tak menghiraukan ocehannya. Aku langsung masuk ke dalam mobilku. Tetapi Feni malah berdiri di depan mobilku sambil merentangkan kedua tangannya dan berusaha menghalangi agar mobilku berjalan."Hei kamu! Jangan berdiri di depan situ dong! Gimana aku bisa lewat?" singgung aku kesal. Gimana nggak kesal. Aku penasaran dengan apa yang terjadi pada Gina eh dia malah menghalangiku.
Tiba-tiba air mata menetes membasahi pipiku. Ya, baru kali ini merasa sangat kehilangan istriku. Sudah dua tahun lebih, aku tidak mempedulikan dan memperhatikan keadaan Gina. Aku sudah bosan. Terlebih saat mengetahui dia hamil, tentu saja aku makin acuh tak acuh. Badannya makin melar dan di berapa bagian tubuh juga menghitam. Membuatku semakin tak betah saja berada di rumah.* * * Flashback mulai."Mas, besok temani aku periksa ke dokter kandungan ya? Aku nggak sabar ingin mengecek perkembangan dan jenis kelamin dedek," pinta Gina waktu itu. Sebenarnya dia sudah berapa kali pergi ke bidan di dekat rumah kami untuk memeriksa kandungan. Tetapi di bidan tidak ada alat USG seperti yang di miliki oleh dokter kandungan.Aku yang baru saja pulang kerja alias lembur, sebenarnya aku bukan lembur mengerjakan pekerjaan kantor. Tetapi aku lembur mengerjai Feni. Pasti kalian sudah tahu kan apa yang kumaksud. Lelah, hal yang pasti kurasakan setelah bertempur dengan Feni. "Loh kamu kan udah sering
[Mas, kok nggak di balas-balas sih? Padahal kamu dari tadi online aja? Aku dengar istrimu mati ya? Syukurlah kalo gitu. Asyik dong kalo dia udah mati, kita bisa segera menikah. Hehehe.]Feni mengirimiku pesan lagi, karena pesan sebelumnya tak kunjung aku balas. Aku kesal membaca pesan darinya Bisa-bisanya sih dia bersyukur atas kematian istriku![Mas, kok kamu diam? Kamu nangis ya? Haha hari gini laki-laki kok menangis di tinggal istrinya mati! Harusnya senang dong malah, kan bisa nikah lagi dengan aku yang masih muda dan seksi!]Mataku panas membaca pesan dari Feni. Ingin rasanya dibanting ponselku bila seandainya tidak ada hal-hal penting di dalam ponselku. Tapi urung kulakukan. Tak berapa lama kemudian ponselku berdering. Rupanya karena aku tak kunjung membalas pesannya, dia langsung meneleponku.[Mas, kamu kemana aja sih? Dari tadi kamu nggak ada membalas pesanku! Aku butuh uang, Mas! Aku ingin melakukan perawatan diri ke salon, belum lagi aku butuh belanja baju, tas, dan sepatu
Alurnya maju mundur ya teman-teman. Lanjutan dari part sebelumnya. * Aku sudah ada janji dengan Feni untuk sarapan bubur ayam di warung Mas Tejo. Aku bersiap berangkat ke butik. Seperti biasa pakaianku sudah di siapkan di atas tempat tidur oleh Gina. Kami tidak mempunyai asisten rumah tangga yang menginap. Hanya ada orang yang membantu membersihkan rumah, mencuci, dan menyetrika pakaian kami secara harian dan tidak menginap, dia bekerja dari pagi sampai siang. Sedangkan untuk urusan memasak, Gina lah yang mengurusnya. Karena sedari kecil dia pandai memasak.Aku sudah terlanjur janji pada Feni. Kalau tidak di turuti bisa-bisa dia marah. Bergegas aku berangkat."Mas, kok buru-buru?" tanya Gina kepadaku."Iya, di butik aku harus briefing karyawan baru dulu," jawabku asal. Tentu saja kalian tahu kalau aku bohong."Sejak kapan ada karyawan baru di butik kita, Mas?" tanya Gina lagi. "Ya, kan produk dan barang yang kita jual bertambah banyak. Otomatis karyawan yang ada kewalahan. Tidak ad
"Kalau sebenarnya Feni itu..." Tika kembali menggantungkan kalimat yang akan dia ucapkan."Halah! Kalau kamu mau memfitnah seseorang jangan tanggung-tanggung, Tik!" geramku."Paling kalau aku memberi tahu siapa Feni yang sebenarnya juga Papa nggak akan percaya. Sudah aku capek berdebat dengan Papa! Nggak ada gunanya!" Tika langsung membalikkan badan dan menaiki tangga menuju kamarnya."Ingat Riko! Urusan kita belum selesai. Kalau sampai aku menemukan bukti kalau kamu yang menyembunyikan sertifikat rumahku. Aku akan membuat perhitungan denganmu!" tunjuk ibu mertua di hadapan wajahku.Ibu menyusul Tika ke kamar. Entah rencana apa yang mereka akan lakukan padaku. Astaga! Serumit inikah masalah sejak kepergian Gina?Aku meremas rambutku. Aku pusing, kemudian aku merebahkan diri di kamarku. Bagaimana kalau nanti ketahuan kalau sertifikat rumah ini sudah aku sekolahkan di Bank?* * *Sore ini aku lebih baik jalan-jalan menghirup udara segar. Toh, hari ini hari minggu. Percuma aku berada di