[Mas, kok nggak di balas-balas sih? Padahal kamu dari tadi online aja? Aku dengar istrimu mati ya? Syukurlah kalo gitu. Asyik dong kalo dia udah mati, kita bisa segera menikah. Hehehe.]
Feni mengirimiku pesan lagi, karena pesan sebelumnya tak kunjung aku balas. Aku kesal membaca pesan darinya Bisa-bisanya sih dia bersyukur atas kematian istriku![Mas, kok kamu diam? Kamu nangis ya? Haha hari gini laki-laki kok menangis di tinggal istrinya mati! Harusnya senang dong malah, kan bisa nikah lagi dengan aku yang masih muda dan seksi!]Mataku panas membaca pesan dari Feni. Ingin rasanya dibanting ponselku bila seandainya tidak ada hal-hal penting di dalam ponselku. Tapi urung kulakukan.Tak berapa lama kemudian ponselku berdering. Rupanya karena aku tak kunjung membalas pesannya, dia langsung meneleponku.[Mas, kamu kemana aja sih? Dari tadi kamu nggak ada membalas pesanku! Aku butuh uang, Mas! Aku ingin melakukan perawatan diri ke salon, belum lagi aku butuh belanja baju, tas, dan sepatu branded.] rajuk Feni dengan nada manjanya.[Kenapa sih kamu ini nggak ngerti dengan keadaanku sama sekali! Aku masih berkabung, Fen! Aku baru saja kehilangan anak dan istriku. Bahkan tanah kuburan istriku masih basah!] jawabku dengan ketus. Aku tidak peduli lagi dia mau marah atau tidak. Tidak seperti dulu, kalau Feni marah atau ngambek, aku akan melakukan seribu satu jurus untuk membujuknya. Dulu kalau dia terus-terusan marah, aku tidak akan di berinya jatah![Mas, kamu nggak usah bingung gitu deh! Kalo istrimu mati, aku siap jadi penggantinya. Aku kan lebih muda dan cantik daripada dia!][Feni! Tega banget kamu bilang begitu!][Loh, siapa yang tega! Emang gitu kenyataannya! Sudah lah, Mas. Dengan matinya istrimu, artinya langkah kita untuk menuju pernikahan semakin terbuka. Hahaha.][Diam kamu jal*ng! Bisa-bisanya kamu menertawakan kemalanganku!]Bukannya diam karena kubentak. Feni malah semakin tak gentar.[Sudahlah Mas, kalau kamu tak mau mentransfer sekarang atau aku akan...][Apa maksudmu, Fen?][Aku akan bilang ke Ibu mertuamu kalau Mas menggadaikan surat rumahnya ke Bank!][Iya, iya aku transfer sekarang!]Licik sekali dia menggunakan senjata itu! Memang. Aku telah menggadaikan surat rumah yang ku tempati ini bersama istri dan anakku ke bank sejumlah lima ratus juta untuk membelikan Feni mobil dan sisanya untuk membelikan dia belanjaan seperti emas dan barang elektronik yang mewah. Sedangkan untuk cicilan perbulan, aku mengandalkan usaha butik milik orangtua Gina yang kukelola. Beberapa bulan ini Gina selalu menanyakan mengapa uang yang kusetor padanya selalu berkurang. Aku bilang saja habis untuk biaya operasional.Aku langsung membuka aplikasi mobile banking sebuah bank ternama di negeri ini di ponselku. Ku ketik angka lima juta. Kuklik kirim dan notifikasi bahwa uang yang ku transfer muncul. Uang lima juta yang ku beri kepada Feni habis dalam waktu dua minggu. Dia pasti meminta lagi kepadaku, biasanya ku kirim lagi satu juta atau dua juta. Sudah pasti Feni mengomel. Karena uang segitu pasti kurang untuk membiayai kebutuhannya yang hedonis. Aku tidak bisa mengirim uang lebih padanya, kalau sampai itu ku lakukan aku takut ketahuan.Tak perlu menunggu balasan yang terlalu lama. Feni langsung mengirim pesan terima kasih di serta emot cium. Huh, jijik aku! Seandainya dia tidak mengancamku, aku sebenarnya malas mengirim uang padanya!* * *"Gin, Gina. Aku ingin memelukmu."Aku terbangun di pagi hari, ternyata aku ngelindur dan mengigau. Kukira aku memeluk Gina, aku malah memeluk guling. Ya, guling yang biasa di peluk Gina. Karena aku menolak untuk memeluknya ketika dia masih hidup, padahal dia sedang hamil. Ya Allah, Gina. Dihirup aroma gulingnya Gina. Masih tercium aroma khas istriku. Aroma yang begitu kurindukan.Kulirik jam dinding yang terpasang di dinding kamarku. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Aku depok jidat. Astaga! Aku terlambat ke butik.Dengan tergesa-gesa, aku langsung mandi dan pergi ke ruang makan. Ku dapati meja makan kosong. Biasanya pagi-pagi, Gina sudah memasak sarapan dengan sayur dan lauk pauk yang enak. Tetapi seringkali, aku malah memilih sarapan di luar dengan Feni.Seperti waktu itu.Flashback mulai."Mas, yuk sarapan dulu. Aku sudah siapkan untuk kamu dan Tika. Ada sop ayam, ayam kentaki, dan perkedel kentang," kata Gina dengan lembut."Ya," jawabku singkat. Aku mencium aroma masakan yang di masak Gina. Betapa harum dan lezat menggugah selera. Tetapi karena aku sudah janji dengan Feni untuk sarapan di warung bubur ayam."Gin, aku buru-buru nih ke butik. Soalnya udah ada janji dengan orang yang mau membeli dengan jumlah besar. Sayang kan kalau nggak di terima?" balasku memberi alasan kepada Gina."Yaa.." Terdengar nada kecewa dari mulut Gina."Terus mau gimana lagi," kataku sambil mengendurkan bahu."Ya sudah, Mas. Ini aku bawakan bekal untuk Mas makan siang," sahut Gina sambil memberikan sebuah rantang yang berukuran kecil kepadaku."Baiklah," kataku sambil menerima rantang dari Gina dengan malas-malasan. Sebenarnya memalukan sih. Masa sudah dewasa masih saja bawa-bawa-bawa bekal makanan kayak anak TK! Apa kata anak bagiku atasannya membawa bekal!Lagipula Gina ini sangat aneh. Masa sudah setua ini membawa bekal makanan! Padahal dulu-dulu dia tidak pernah begini.*Alurnya maju mundur ya teman-teman. Lanjutan dari part sebelumnya. * Aku sudah ada janji dengan Feni untuk sarapan bubur ayam di warung Mas Tejo. Aku bersiap berangkat ke butik. Seperti biasa pakaianku sudah di siapkan di atas tempat tidur oleh Gina. Kami tidak mempunyai asisten rumah tangga yang menginap. Hanya ada orang yang membantu membersihkan rumah, mencuci, dan menyetrika pakaian kami secara harian dan tidak menginap, dia bekerja dari pagi sampai siang. Sedangkan untuk urusan memasak, Gina lah yang mengurusnya. Karena sedari kecil dia pandai memasak.Aku sudah terlanjur janji pada Feni. Kalau tidak di turuti bisa-bisa dia marah. Bergegas aku berangkat."Mas, kok buru-buru?" tanya Gina kepadaku."Iya, di butik aku harus briefing karyawan baru dulu," jawabku asal. Tentu saja kalian tahu kalau aku bohong."Sejak kapan ada karyawan baru di butik kita, Mas?" tanya Gina lagi. "Ya, kan produk dan barang yang kita jual bertambah banyak. Otomatis karyawan yang ada kewalahan. Tidak ad
"Kalau sebenarnya Feni itu..." Tika kembali menggantungkan kalimat yang akan dia ucapkan."Halah! Kalau kamu mau memfitnah seseorang jangan tanggung-tanggung, Tik!" geramku."Paling kalau aku memberi tahu siapa Feni yang sebenarnya juga Papa nggak akan percaya. Sudah aku capek berdebat dengan Papa! Nggak ada gunanya!" Tika langsung membalikkan badan dan menaiki tangga menuju kamarnya."Ingat Riko! Urusan kita belum selesai. Kalau sampai aku menemukan bukti kalau kamu yang menyembunyikan sertifikat rumahku. Aku akan membuat perhitungan denganmu!" tunjuk ibu mertua di hadapan wajahku.Ibu menyusul Tika ke kamar. Entah rencana apa yang mereka akan lakukan padaku. Astaga! Serumit inikah masalah sejak kepergian Gina?Aku meremas rambutku. Aku pusing, kemudian aku merebahkan diri di kamarku. Bagaimana kalau nanti ketahuan kalau sertifikat rumah ini sudah aku sekolahkan di Bank?* * *Sore ini aku lebih baik jalan-jalan menghirup udara segar. Toh, hari ini hari minggu. Percuma aku berada di
Aku mengikuti para petugas keamanan Mall yang membawa Tika dan Feni ke kantor. Sebenarnya aku bingung mau membela siapa? Kalau aku membela Tika, kasian Feni. Sebaliknya begitupun aku membela Feni, aku yakin Tika akan semakin membenciku. Akhirnya mereka tiba di kantor keamanan Mall. Tika dan Feni di hadapkan oleh Robi--manajer Mall--. Aku jadi tahu namanya karena dia memakai pin nama di bajunya. Aku melihat dari depan pintu sambil sedikit menyembunyikan badanku. Aku takut kalau mereka menyadari keberadaanku. Ingin sekali aku ikut menengahi mereka. Tapi nyaliku jadi menciut."Pak Robi, mohon maaf tadi dua orang gadis ini membuat keributan di halaman Mall." Satpam 1 mulai menjelaskan."Ada apa sebenarnya? Kalau kalian mau berkelahi jangan di lingkungan Mall kami. Bikin malu saja. Kalian bisa memperburuk citra Mall kami. Cari aja sana area tinju. Sekalian biar kalian puas adu jotos," jawab si Robi dengan ketus. Aku yang pria saja kaget mendengarnya. Ini orang tidak ada lembutnya sama sek
Aku beranikan diri untuk masuk ke dalam. Seandainya Tika tidak menelepon Ibu, mungkin aku tidak akan ikut campur. Tapi ini Tika sudah kelewat batas. Aku harus menghentikannya. Daripada urusanku dengan Ibu dan Bapak makin runyam. Pak Robi dan dua satpam tersebut menatapku dengan heran. Aku langsung memulai pembicaraan."Selamat sore Pak. Maaf, bukannya saya mau ikut campur." Aku memulai pembicaraan. Jujur aku bingung harus berbicara apa. Tetapi keadaan mendesakku."Anda siapa?" tanya Pak Robi.Tika dan Feni terbengong-bengong menatapku. Apalagi Tika menatapku tajam."Hore, Mas Riko ke sini. Pasti Mas akan membelaku kan di sini?" tanya Feni dengan wajah yang berbinar-binar.Sementara itu Tika, matanya menatapku tajam. Dari sorot matanya aku bisa menebak, kalau dia ragu aku akan membelanya. Memang iya sih."Perkenalkan saya Riko, calon suaminya Feni. Kalung itu memang benar milik Feni. Beberapa hari yang lalu, saya memberikannya ke Feni sebagai tanda bukti kalau sebentar lagi Feni akan
Aku menghabiskan waktuku bersama Feni malam ini. Rasa kehilangan karena meninggalnya Gina sebenarnya masih terasa. Tetapi Feni begitu mempesona, sehingga mengalahkan segalanya dan membuatku terlena. Aku pun sampai lupa kalau Gina sudah meninggal.Ponselku dari tadi berdering terus. Terlihat di sana nama Tika, Ibu, dan Bapak bergantian meneleponku. Ada apa sih dengan mereka semua?Avku memilih untuk mematikan ponselku. Malam ini aku akan bersenang-senang dengan Feni. Urusan dengan mereka, biarlah menjadi urusan besok.Pagi hari, aku baru saja membuka mataku. Rupanya tadi malam aku ketiduran. Sehingga lupa kalau hari ini adalah awal pekan. Aku harus segera ngantor alias ke butik. Aku sudah beberapa hari ini tidak mengontrol keadaan butik. Karena aku berkabung atas kepergian Gina. Ah, tidak seutuhnya berkabung juga sih, kan aku butuh hiburan setelah istriku meninggal. Wajar saja kan aku ini lelaki.Baru saja mataku terbuka beberapa saat, Feni sudah duduk di samping ranjang di sebelahku, s
"Sudah kuduga pasti kamu akan melakukan hal ini! Ya dan aku bisa saja melaporkanmu ke polisi karena sudah berani melakukan percobaan penganiyaan pada pegawaiku," kata laki-laki tua itu, kuakui walau sudah berusia sudah tujuh puluh tahun tetapi beliau masih bertubuh tinggi dan tegap. Karena beliau selalu menjaga stamina tubuh dengan makan makanan bergizi dan juga olahraga ringan seperti jalan kaki hampir setiap hari. Tidak sepertiku yang jarang sekali olahraga, kecuali olahraga di kasur bersama gundikku. Kalau itu sih aku sering. Ups! Apalagi aku juga hobi makan junk food dan makanan berlemak."Lepaskan Erza! Berani sekali kamu! Belum apa-apa saja baru jadi manajer kamu sudah berani menghajar pegawaiku! Kurang ajar kamu Riko!" Aku melepaskan kerah baju Riko. Jujur aku merasa di permalukan oleh Bapak! Kalau beliau mau menegurku kan seharusnya tidak di depan umum seperti ini. Ini sama saja beliau seperti menginjak-injak harga diriku."Ada apa sebenarnya ini? Jelaskan padaku Riko! Jangan
Aku bingung akan pulang kemana. Ingin pulang ke rumah Feni tetapi nanti Feni meminta uang kepadaku. Sebenarnya aku ragu ingin memberikan uang kepada Feni karena jumlahnya hanya sejuta. Yang ada nanti dia nanti malah mengomel, bukannya bersyukur kukasih uang segitu.Pulang ke rumahku juga pilihan yang tidak bagus. Karena di rumahku juga ada Tika dan Ibu. Pasti Tika sudah mengadukan aku kepada Ibu tentang kejadian tempo hari. Duh jadi serba salah nih. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumahku saja. Daripada pulang ke rumah Feni. Setelah memarkirkan mobilku di garasi. Kuamati keadaan sekeliling rumahku yang tampak sepi. Kemana ya kira-kira Tika dan Ibu pergi?Aku membuka pintu dengan kunci serep rumah yang mencekam. Gelap. Padahal hari masih siang. Tercium bau kemenyan meski tidak terlalu menyengat. Kenapa rumahku jadi horor begini sih suasananya?Aku berusaha menyalakan lampu. Aku pun meraih sakelar, lampu tidak berhasil menyala. Tiba-tiba angin berhembus. Membuat bulu kudukku
"Loh katanya kan kamu mau kunikahi, makanya aku ngambil kalung istriku sebagai tanda kalau aku serius sama kamu Fen?" tanyaku penuh keheranan.“Aku sudah berpikir ulang Mas, lebih baik aku menikmati masa mudaku. Lagipula anakmu selalu saja ikut campur dalam urusan kita!” protes Feni.“Maksudmu, Tika?”“Iya Mas, siapa lagi?”“Soal Tika biar Mas saja yang menghadapi. Kamu nggak usah bingung.”“Kan sepertinya butik Mas bangkrut, buktinya pegawai Mas belum menyetor uang hasil penjualan butik!” Feni merajuk.Waduh, aku seperti dilemma saat ini. Mau jujur kalau uang butikku sudah di sita Bapak mertua sepertinya tidak mungkin. Kalau kubilang jujur, pasti Feni tidak mau menikah denganku.“Emmm, sudah kok di transfer ke Mas. Tapi hanya dua juta, Fen," jawabku berkelit.Tentu saja aku berbohong kan aku tidak mau kehilangan Feni.“Ya sudah, transfer semua uangnya ke aku! Ingat ya Mas aku hari ini mau shopping dan ke salon!”“Tapi kamu mau kan menikah denganku?” tanyaku lagi meyakinkan.“Iya, iya
Riko terkekeh mendengar kata-kata Feni. Ia merasa yakin kalau istrinya tidak bakal tau tentang perselingkuhannya dengan Feni. Apalagi Gina juga tipe istri yang polos. Tidak seperti istri lain yang garang. Gina tipe istri rumahan, sederhana, dan tidak terlalu banyak protes. "Ah, enggak usah kamu pikirin. Dijamin aman. Istri Mas enggak akan tau sepak terjang kita. Asalkan kita main cantik dan rapih," jawab Riko dengan santai. "Beneran lho, Mas? Aku enggak mau kalau sampai dilabrak. Oke, aku janji enggak akan lagi berhubungan dengan lelaki lain. Asal Mas pun juga bisa setia sama aku," sahut Feni cepat. "Siap. Bisa diatur." Mobil yang mereka tumpangi akhirnya tiba di sebuah hotel bintang empat. Riko sudah memesan meja untuk dua orang. Candle light dinner acara spesial yang akan ia nikmati bersama Feni. Riko pun memarkirkan mobilnya. Mereka berdua terlihat berjalan melewati lobi hotel dan menuju restoran. Riko juga sudah memesan sebuah kamar untuk mereka berdua 'beristirahat.'Restoran
Riko yang saat itu begitu muak dengan Gina. Ia berusaha menyimpan apa saja yang ia tidak suka dengan perubahan tubuh istrinya yang sedang mengandung anak mereka. Dengan dalih demikian, Riko mencari penyegaran di luar. "Mas, mau kemana malam-malam begini?" tanya Gina yang melihat suaminya bergegas mengambil jaket kulitnya. Riko sudah berpenampilan necis dengan kaos berwarna hitam dan celana jeans warna biru dongker. Riko kemudian berjalan mematut dirinya di depan cermin meja rias. Ia memastikan kalau rambutnya sudah tertata dengan rapi. Kemudian ia mengambil sebotol parfum aroma maskulin. Wangi segar parfum khas pria menguar ke seisi kamar mereka. Gina agak sedikit mual mencium aroma parfum tersebut. Memasuki usia kehamilan keempat memang rasa mual dan muntah yang ia rasakan mulai berkurang. "Mau ada meeting sama rekan bisnis di kafe. Kamu jangan terlalu kepo begitu, ah," jawab Riko seadanya. Ia sebenarnya sebal ditanya-tanya terus oleh wanita yang sudah menemaninya hidup selama bel
Begitulah awal mula petaka yang terjadi. Hingga beberapa rentetan peristiwa yang masih segar dalam ingatan Riko sampai saat ini. Andai saja ia tidak tergoda dengan Feni, mungkin dia tidak akan berada di tempat ini. Mungkin juga mendiang Gina sampai saat ini masih hidup. Andai saja semua itu terjadi, mungkin Riko, Tika, dan mendiang Gina akan menjadi keluarga bahagia. Calon ak lelaki yang sebenarnya sangat Riko harapkan pun akan lahir ke dunia ini. Walau terpaut jarak usia enam belas tahun, Tika dengan senang hati menerima kehadiran adik lelakinya itu. * *Tertegun Tika kini berada di depan pusara wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya itu. Di dalam sana terbaring Gina dan calon buah hatinya yang belum sempat ia lahirnya ke dunia ini. Tika mencium batu nisan Mamanya. Air matanya yang tak bisa ia bendung lagi itu tumpah. Sebuah buket bunga mawar berwarna merah kesukaan Gina, Tika letakkan dia atas tanah makam Mamanya. Ia begitu menyesali kejadian itu. Andai saja waktu itu ti
Riko kini hidup dalam penyesalan, ia berada di panti jompo pasca pemulihan luka operasi di perutnya. Akibat ditvsvk olehFeni. Hari-hari yang dilalui Riko terasa sepi. Padahal banyak teman seusianya di sini. Tetapi ia lebih memilih menyendiri meratapi nasibnya. "Gina, Gina..." kata Riko mengigau dalam tidurnya pada suatu malam. Tak dapat dipungkiri. Laki-laki yang sebenarnya terbilang masih belum bisa dikatakan lansia itu masih merindukan istrinya yang sudah meninggal. Rasa bersalah menghantui pikirannya di setiap waktu. Andaikan waktu bisa diputar kembali. Mungkin dia tidak akan menjadi pesakitan seperti ini. Hal yang paling disesali Riko adalah berselingkuh dengan Feni. Seorang gadis remaja yang seumuran dengan Tika--putrinya. Pesona gadis itu memang memabukkan Riko. Semua memang berawal dari coba-coba. Hingga akhirnya dicoba terus dan ketagihan. --Flashback OnWaktu itu Riko menjemput putrinya ke sekolah karena sepeda motor yang digunakan Tika masuk bengkel dan harus diservis s
PoV Author Riko di temukan oleh Tika dan petugas bank yang akan menyita rumah KPR Feni. Sedangkan Feni dan Erik--ayahnya Riko-- melarikan diri ke sebuah hotel untuk bersembunyi sebelum akhirnya di tangkap oleh pihak kepolisian. Keadaan rumah ini tentu saja berantakan.Riko langsung di lakukan ke UGD karena kondisi perutnya yang sobek karena luka tusuk yang lumayan dalam. Darah pun mengalir, untungnya petugas medis dengan cepat mengambil tindakan untuk menolong Riko."Pa, bertahan ya, Pa. Tika ada di samping Papa," kata Tika dengan air mata yang mengalir menenangkan sang Papa. Padahal ia membenci tindakan Papanya yang menikah lagi dengan sang pelakor. Namun sebagai seorang anak satu-satunya, ia tetap tidak tega dengan kondisi Papanya yang sedang menahan kesakitan seperti ini.Riko yang sayup-sayup mendengar suara Tika yang menyemangati dirinya, dia sudah pasrah dengan keadaan. Walaupun tak sadarkan diri, dia dapat dengan jelas mendengar suara putrinya itu.Dokter dan para perawat yang
Aku sudah muak sekali dengan Mas Riko! Sudahnya nggak punya uang dan miskin tapi belagunya minta ampun! Aku kesal sekali ketika dia memergokiku berjalan dengan temanku. Huh itu baru temanku aja loh. Teman tapi mesra. Hihihi. Sebenarnya Mas Riko nggak tahu kalau aku sudah jadi simpanan om-om yang lain. Yaa, aku tahu kalau aku sudah menikah. Tapi nggak ada salahnya kan mencari om-om yang lebih kaya sebagai cadangan. Aku mengambil pisau lipat di saku celana jeansku dan tanpa sengaja aku sudah menusuk Mas Riko sebanyak dua tusukan. Astaga aku khilaf, bagaimana ini? Sebenarnya tadi aku nggak berniat untuk menusuk Mas Riko. Tapi dia ngomel terus. Bikin panas telingaku saja. Bergegas aku menelepon om kesayanganku. Om Erik, kalian tahu siapa Om Erik itu kan? Hehehe.Sementara menunggu kedatangan Om Erik. Aku segera mengemasi baju-baju dan juga barang-barangku. Aku takut nanti polisi datang dan mencidukku.Tak lama kemudian Om Erik yang sudah berumur tujuh puluhan itu datang dan membantu aku
Kurang ajar sekali Feni berani benar berjalan dengan pria yang jauh lebih muda dariku! Keterlaluan sekali dia! Padahal aku sudah bermodal besar untuk menikahinya sampai berani berhutang segala! Duh sekarang aku bingung bagaimana cara melunasi utang-utangku. Mana Bapak sudah memecatku dan mengambil alih kepemilikan butik lagi. Bahkan jualan baju di pasar pun tidak jadi Bapak berikan untukku karena Bapak sudah terlanjur tahu dan marah kalau aku penyebab putrinya meninggal. Ya ampun kenapa nasibku makin apes begini sih??Feni rupanya mengunci diri di kamarnya setelah kupergoki jalan dengan seorang laki-laki bau kencur. Berani sekali jalan-jalan dengan laki-laki padahal dia sudah menikah! Lupa apa kalau aku sudah mencukupi dan juga mengabulkan apa pun yang dia minta. Tapi apa yang kudapat? Balasannya sungguh sangat menyakitkanku. Sekarang saat aku jatuh miskin dia malah berbalik ingin menjauhiku.Feni mengunci diri di kamar sedari tadi. Aku juga malas menegur dia. Biarkan saja dia di dala
"Maaf anda bertiga ada perlu apa ke rumah kami?" tanya Bapak malah menimpali."Perkenalkan Saya Andi, kepala cabang Bank XXX dan ini kedua anak buah saya Rizki dan Azmi. Kami kemari ingin berbicara dengan Pak Riko mengenai tunggakan cicilan di bank selama tiga bulan," kata orang yang berdasi itu.Bagai di sambar petir di siang bolong. Aku tak menyangka tiga orang ini adalah orang bank yang berniat membicarakan tunggakanku yang tidak kubayarkan selama tiga bulan!Bapak melirikku tajam. Aku langsung berkeringat dingin, tubuhku gemetar. "Baik. Kalau begitu kenalkan saya Pak Sugito, mertua Pak Riko. Berapa jumlah uang yang di pinjam Pak Riko di bank dan apa jaminannya?" tanya Bapak sambil menahan amarah."Pak Riko meminjam uang sebanyak lima ratus juta rupiah lima bulan yang lalu dan menjaminkan sertifikat rumah ini," jawab Azmi dengan tenang."Betul begitu, Riko?" tanya Bapak kepadaku, seolah ingin menghakimiku."I, iya Pak," balasku lirih."Untuk apa uang itu?""Be, beli rumah dan perh
PoV RikoSeperti biasa rutinitas setiap hari aku ingin pergi ke butik. Persetan dengan Bapak yang melarangku untuk bekerja di butik."Pak, maaf! Bapak tidak boleh masuk lagi ke butik ini!" kata Erza sambil menahan tubuhku."Loh, kenapa? Memangnya kamu ini siapa? Aku ini bos kamu. Ingat bos kamu! Atasan kamu! Kenapa aku tidak boleh masuk ke kantorku sendiri?" Emosiku mulai naik."Maaf, Pak Riko. Ini perintah dari Pak Sugito. Anda tidak boleh lagi bekerja di kantor ini," jawab Erza dengan tegas."Apa Pak Sugito yang menyuruh kamu? Aku tidak percaya!" bentakku kesal."Silakan kalau Bapak tidak percaya. Bapak bisa tanyakan sendiri pada beliau.""Ah, sial*n.""Maaf, Bapak sudah bukan atasan di butik ini dan tidak berhak lagi atas butik ini," sambung Mirna yang tiba-tiba muncul di depan pintu butik."Kamu juga! Kenapa kamu jadi ikut-ikutan, Mir!" Aku semakin kesal."Saya bukan ikut-ikutan, Pak. Saya hanya menjalankan tugas sebagai karyawan," jawab Mirna kalem."Kalau tidak ada kepentingan l