Aku mengikuti para petugas keamanan Mall yang membawa Tika dan Feni ke kantor. Sebenarnya aku bingung mau membela siapa? Kalau aku membela Tika, kasian Feni. Sebaliknya begitupun aku membela Feni, aku yakin Tika akan semakin membenciku.
Akhirnya mereka tiba di kantor keamanan Mall. Tika dan Feni di hadapkan oleh Robi--manajer Mall--. Aku jadi tahu namanya karena dia memakai pin nama di bajunya. Aku melihat dari depan pintu sambil sedikit menyembunyikan badanku. Aku takut kalau mereka menyadari keberadaanku. Ingin sekali aku ikut menengahi mereka. Tapi nyaliku jadi menciut."Pak Robi, mohon maaf tadi dua orang gadis ini membuat keributan di halaman Mall." Satpam 1 mulai menjelaskan."Ada apa sebenarnya? Kalau kalian mau berkelahi jangan di lingkungan Mall kami. Bikin malu saja. Kalian bisa memperburuk citra Mall kami. Cari aja sana area tinju. Sekalian biar kalian puas adu jotos," jawab si Robi dengan ketus. Aku yang pria saja kaget mendengarnya. Ini orang tidak ada lembutnya sama sekali dengan wanita."Dia duluan yang mulai. Dia menarik kalung berlian yang kukenakan," balas Feni geram. Oh ya, jelas saja Feni berhak marah. Soalnya Tika yang mengaku-ngaku duluan kalau kalung itu milik Mamanya. Tapi memang benar juga sih. Yang aku heran kok bisa sih Tika begitu mengenali barang Mamanya. Padahal sewaktu hidup Gina jarang memakainya. "Tetapi kalung yang dia kenakan itu milik Mamaku, Pak!" Tika mencari pembenaran. "Berarti dia yang sebenarnya maling. Kok bisa ada kalungnya di dia.""Ya bisa aja, dong! Kan Papamu yang memberikannya kepadaku sebagai tanda kalau dia akan menjadikan aku istri." Feni terlihat membenahi pakaiannya dan rambutnya yang terlihat berantakan."Hah? Nggak salah denger tuh! Papaku nggak akan nikahin wanita nakal macam kamu!" Tika melipatkan kedua tangannya di dadanya sambil membuang muka."Hei, kalian ini mau lanjut bertengkar atau mau damai sih! Kalau masih mau bertengkar saja, lebih baik kalian kami bawa ke kantor polisi!" tegas Satpam 2."Oke. Kami nggak akan lanjut bertengkar. Asalkan dia mengembalikan kalung berlian yang dia tarik tadi dari leherku!" Feni menunjuk tas kecil yang dikenakan Tika. Dia memang sedari dulu hobi memakai tas kecil karena praktis. Tidak seperti Feni yang suka memakai tas branded berukuran sedang."Kalau begitu mana barang yang telah kamu ambil? Bisa tunjukkan kepada kami?" bujuk Satpam 2 kepada Tika."Nggak mau! Itu punya Mamaku, Pak! Aku nggak akan mau menyerahkan kepada pelakor ini!" Tika tetap kekeuh tak mau menunjukkan kalung berliannya."Tetapi kalau kamu nggak mau menunjukkan kalungnya. Terpaksa nanti kamu kami amankan ke pihak kepolisian. Biar mereka yang menyelesaikan kasus kalian," tegas si Robi."Baik aku akan tunjukkan kepada kalian semua! Namun kalau sampai kalian ambil atau kalian berikan kepada wanita jal*ng ini, kalian semua yang akan kutuntut balik!" Tika semakin berapi-api."Kalau itu benar milik Mama kamu, emang ada buktinya?" tanya Satpam 1 semakin memojokkan Tika. "Tapi aku nggak bawa buktinya, Pak! Surat kalungnya ada di rumahku. Nanti akan kutelepon Nenekku agar beliau membawakannya kemari." Tika menjawab dengan tenang.Waduh, gawat! Kalau sampai beneran si tua bangka itu kemari! Bisa-bisa aku habis nanti di omelin! Masalah yang kemarin saja belum kelar. Ini mau di tambah lagi dengan masalah baru. Ya, memang semua ini salahku. Jujur ku akui kalau aku terlalu cepat memberikan kalung berlian itu untuk Feni. Tetapi Feni terus saja memintaku untuk membelikan kalung berlian. Rencanaku, aku akan memberikan Feni kalung dengan uang dari penghasilan di butik. Tetapi karena uang yang ada untuk menutupi membayar hutang cicilan di bank dan juga rumah Feni. Jadinya aku belum sanggup untuk membelikannya. Namun Feni terus saja mendesakku. Katanya malu kalau tidak memakai perhiasan mewah ketika berkumpul dengan teman-teman. Jadi terpaksa aku mencuri kalung koleksi milik Gina. Hal itu kulakukan semasa Gina masih hidup.Aku tidak ada pilihan lain. Waktu itu di putuskan Feni adalah hal yang aku takutkan. Aku nekat mencuri kalung milik Gina. Sebenarnya Gina mengetahui kalau kalungnya hilang. ****Flashback mulai."Mas, kamu tahu nggak kalung berlian yang kutaruh di kotak ini?" tanya Gina ketika dia mau menyimpan perhiasan yang dia kenakan. Aku yang sudah mencurinya dan memberikannya untuk Feni tidak menyangka bahwa Gina akan mencarinya. Padahal koleksi kalung dia banyak. Hampir setengah lusin! Belum lagi yang emas putih saja. Kenapa kalung itu tetap di carinya? Heran aku. Padahal dia mau beli lagi kalungnya kan juga bisa. Nggak perlu panik mencari-cari begitu."Kalung berlian yang mana?" tanyaku balik namun tetap tenang seraya menutupi kegugupanku."Kalung berlian yang bentuk liontinnya love. Yang kita beli sewaktu kita liburan di Singapura," balas Gina yang sibuk mencari-cari di kotak perhiasan miliknya. "Loh, kok kamu tanya sama aku! Yang mengutak-atik dan tahu isi perhiasan itu kan kamu," jawabku dengan ketus."Aku kan hanya bertanya, Mas. Kali aja kamu tahu." "Jadi kamu menuduh aku maling dan mengambil kalung berlian milik kamu." Aku memasang wajah judes dan marah. Aku tidak terima di katakan maling. Kan belinya juga bersama-sama. Jadi aku punya hak juga dong atas kalung itu. Mau kuberikan dengan siapa itu juga terserah aku."Bukan begitu, Mas. Maaf kalau aku jadi menuduh kamu dan membuatmu tersinggung atas perkataanku tadi," bujuk Gina dengan lembut."Ya," jawabku singkat. Aku tidak mau menjawab panjang lebar lagi. Aku takut dia semakin curiga.Flashback selesai. ****Aku harus segera menengahi perkelahian Feni dan Tika. Aku takut nanti Ibu bakalan ke sini. Urusannya bisa panjang! Tapi aku bingung. Aku mau membela siapa ya?Aku beranikan diri untuk masuk ke dalam. Seandainya Tika tidak menelepon Ibu, mungkin aku tidak akan ikut campur. Tapi ini Tika sudah kelewat batas. Aku harus menghentikannya. Daripada urusanku dengan Ibu dan Bapak makin runyam. Pak Robi dan dua satpam tersebut menatapku dengan heran. Aku langsung memulai pembicaraan."Selamat sore Pak. Maaf, bukannya saya mau ikut campur." Aku memulai pembicaraan. Jujur aku bingung harus berbicara apa. Tetapi keadaan mendesakku."Anda siapa?" tanya Pak Robi.Tika dan Feni terbengong-bengong menatapku. Apalagi Tika menatapku tajam."Hore, Mas Riko ke sini. Pasti Mas akan membelaku kan di sini?" tanya Feni dengan wajah yang berbinar-binar.Sementara itu Tika, matanya menatapku tajam. Dari sorot matanya aku bisa menebak, kalau dia ragu aku akan membelanya. Memang iya sih."Perkenalkan saya Riko, calon suaminya Feni. Kalung itu memang benar milik Feni. Beberapa hari yang lalu, saya memberikannya ke Feni sebagai tanda bukti kalau sebentar lagi Feni akan
Aku menghabiskan waktuku bersama Feni malam ini. Rasa kehilangan karena meninggalnya Gina sebenarnya masih terasa. Tetapi Feni begitu mempesona, sehingga mengalahkan segalanya dan membuatku terlena. Aku pun sampai lupa kalau Gina sudah meninggal.Ponselku dari tadi berdering terus. Terlihat di sana nama Tika, Ibu, dan Bapak bergantian meneleponku. Ada apa sih dengan mereka semua?Avku memilih untuk mematikan ponselku. Malam ini aku akan bersenang-senang dengan Feni. Urusan dengan mereka, biarlah menjadi urusan besok.Pagi hari, aku baru saja membuka mataku. Rupanya tadi malam aku ketiduran. Sehingga lupa kalau hari ini adalah awal pekan. Aku harus segera ngantor alias ke butik. Aku sudah beberapa hari ini tidak mengontrol keadaan butik. Karena aku berkabung atas kepergian Gina. Ah, tidak seutuhnya berkabung juga sih, kan aku butuh hiburan setelah istriku meninggal. Wajar saja kan aku ini lelaki.Baru saja mataku terbuka beberapa saat, Feni sudah duduk di samping ranjang di sebelahku, s
"Sudah kuduga pasti kamu akan melakukan hal ini! Ya dan aku bisa saja melaporkanmu ke polisi karena sudah berani melakukan percobaan penganiyaan pada pegawaiku," kata laki-laki tua itu, kuakui walau sudah berusia sudah tujuh puluh tahun tetapi beliau masih bertubuh tinggi dan tegap. Karena beliau selalu menjaga stamina tubuh dengan makan makanan bergizi dan juga olahraga ringan seperti jalan kaki hampir setiap hari. Tidak sepertiku yang jarang sekali olahraga, kecuali olahraga di kasur bersama gundikku. Kalau itu sih aku sering. Ups! Apalagi aku juga hobi makan junk food dan makanan berlemak."Lepaskan Erza! Berani sekali kamu! Belum apa-apa saja baru jadi manajer kamu sudah berani menghajar pegawaiku! Kurang ajar kamu Riko!" Aku melepaskan kerah baju Riko. Jujur aku merasa di permalukan oleh Bapak! Kalau beliau mau menegurku kan seharusnya tidak di depan umum seperti ini. Ini sama saja beliau seperti menginjak-injak harga diriku."Ada apa sebenarnya ini? Jelaskan padaku Riko! Jangan
Aku bingung akan pulang kemana. Ingin pulang ke rumah Feni tetapi nanti Feni meminta uang kepadaku. Sebenarnya aku ragu ingin memberikan uang kepada Feni karena jumlahnya hanya sejuta. Yang ada nanti dia nanti malah mengomel, bukannya bersyukur kukasih uang segitu.Pulang ke rumahku juga pilihan yang tidak bagus. Karena di rumahku juga ada Tika dan Ibu. Pasti Tika sudah mengadukan aku kepada Ibu tentang kejadian tempo hari. Duh jadi serba salah nih. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumahku saja. Daripada pulang ke rumah Feni. Setelah memarkirkan mobilku di garasi. Kuamati keadaan sekeliling rumahku yang tampak sepi. Kemana ya kira-kira Tika dan Ibu pergi?Aku membuka pintu dengan kunci serep rumah yang mencekam. Gelap. Padahal hari masih siang. Tercium bau kemenyan meski tidak terlalu menyengat. Kenapa rumahku jadi horor begini sih suasananya?Aku berusaha menyalakan lampu. Aku pun meraih sakelar, lampu tidak berhasil menyala. Tiba-tiba angin berhembus. Membuat bulu kudukku
"Loh katanya kan kamu mau kunikahi, makanya aku ngambil kalung istriku sebagai tanda kalau aku serius sama kamu Fen?" tanyaku penuh keheranan.“Aku sudah berpikir ulang Mas, lebih baik aku menikmati masa mudaku. Lagipula anakmu selalu saja ikut campur dalam urusan kita!” protes Feni.“Maksudmu, Tika?”“Iya Mas, siapa lagi?”“Soal Tika biar Mas saja yang menghadapi. Kamu nggak usah bingung.”“Kan sepertinya butik Mas bangkrut, buktinya pegawai Mas belum menyetor uang hasil penjualan butik!” Feni merajuk.Waduh, aku seperti dilemma saat ini. Mau jujur kalau uang butikku sudah di sita Bapak mertua sepertinya tidak mungkin. Kalau kubilang jujur, pasti Feni tidak mau menikah denganku.“Emmm, sudah kok di transfer ke Mas. Tapi hanya dua juta, Fen," jawabku berkelit.Tentu saja aku berbohong kan aku tidak mau kehilangan Feni.“Ya sudah, transfer semua uangnya ke aku! Ingat ya Mas aku hari ini mau shopping dan ke salon!”“Tapi kamu mau kan menikah denganku?” tanyaku lagi meyakinkan.“Iya, iya
Aku baru saja selesai makan malam. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Kulihat layar ponselku, ternyata Mamaku yang menelepon.[Halo Ma, ada apa?] tanyaku membuka percakapan. [Anu Rik. Anu!] jawab Mama terbata-bata.[Anu kenapa Ma?] tanyaku dengan heran.[Bapak mertuamu ke rumah Mama. Katanya dia ingin ketemu kamu!] [Terus Mama bilang apa? Riko kan sedang nggak ada di rumah Mama.][Mama bilang kamu sedang di butik ada kerjaan. Mama nggak salah ngomong kan?] [I,iya sih nggak salah.] jawabku gugup, jangan sampai Mama tahu kalau aku sedang berbohong.[Ayo Riko! Cepetan kamu ke sini. Katanya Papa mertua kamu ingin berbicara denganmu.][Baiklah Ma. Riko segera meluncur ke sana.]Aku segera menyudahi makan malamku dengan Feni."Mas mau kemana? Kok buru-buru banget makannya," tanya Feni ketika aku bersiap untuk pulang ke rumah orangtuaku."Bapak mertuaku ingin bertemu denganku," jawabku singkat. "Aku harus segera ke sana." *Sesampainya di rumah orangtuaku. Aku belum masuk ke dalam rumah. Tetap
Selesai fitting baju pengantin, kami mencari rumah ustadz yang akan menikahkan kami. Ya, kami akan segera menikah secara siri. Sebenarnya bisa saja kami menikah resmi tetapi Bapak menyembunyikan akta kematian Gina dariku. Ini mungkin maksud Bapak. Bapak tidak ingin aku menikah lagi secara resmi.Tadi Feni memilih untuk fitting di salon rias yang cukup besar. Mulanya dia tidak setuju untuk fitting di sana. Dia maunya beli baju jadi di sebuah butik ternama. Dengan alasan kebaya untuk menikah hanya satu kali dipakai seumur hidup. Aku terus mencoba untuk membujuknya, karena hanya satu kali seumur hidup percuma kalau beli, mubazir kubilang. Sayang uangnya. Padahal dia tidak tahu saja kalau aku hampir bangkrut. Akhirnya dia menurut, walau penuh dengan drama.Pak penghulu menyetujui kami menikah minggu depan. Feni pun setuju dia akan berhenti sekolah dan fokus melayani serta mengurus rumah tangga. Memang usia Feni jauh lebih muda, bahkan hampir seusia Tika. Aku pun harus bersiap-siap membimb
"Mas, akhir-akhir ini kenapa kamu jadi sering lembur?" tanyaku curiga kepada suamiku."Ah, kamu itu kayak nggak tahu urusan bisnis saja! Aku ini sekalian rapat ketemu klien yang akan bekerja sama menanam modal di butik kita!" jawab Mas Riko menjelaskan padaku."Menanam modal? Untuk apa, Mas? Aku rasa suntikan modal dari Bapak tiga bulan sekali sudah cukup untuk membesarkan butik kita," balasku pada Mas Riko.Kan aneh, masa ada sih seorang menantu pemilik butik rapat setiap hari. Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Harusnya sebagai pengelola, tugasnya cukup mengontrol sesekali saja. Buat apa terlalu ikut campur. Kecuali ada pegawai yang gerak-geriknya mencurigakan, barulah kita bertindak lebih intensif.Sewaktu awal menikah dulu, Bapakku mempercayakan Mas Riko untuk mengelola butik cabang milik Bapak. Karena Bapak mempunyai beberapa butik. Mas Riko menyuruhku untuk di rumah saja dan tidak usah bekerja. Biar dia yang mengelola butik. Tiga belas tahun pernikahan kami, alhamdulillah be