"Sudah kuduga pasti kamu akan melakukan hal ini! Ya dan aku bisa saja melaporkanmu ke polisi karena sudah berani melakukan percobaan penganiyaan pada pegawaiku," kata laki-laki tua itu, kuakui walau sudah berusia sudah tujuh puluh tahun tetapi beliau masih bertubuh tinggi dan tegap. Karena beliau selalu menjaga stamina tubuh dengan makan makanan bergizi dan juga olahraga ringan seperti jalan kaki hampir setiap hari. Tidak sepertiku yang jarang sekali olahraga, kecuali olahraga di kasur bersama gundikku. Kalau itu sih aku sering. Ups! Apalagi aku juga hobi makan junk food dan makanan berlemak."Lepaskan Erza! Berani sekali kamu! Belum apa-apa saja baru jadi manajer kamu sudah berani menghajar pegawaiku! Kurang ajar kamu Riko!" Aku melepaskan kerah baju Riko. Jujur aku merasa di permalukan oleh Bapak! Kalau beliau mau menegurku kan seharusnya tidak di depan umum seperti ini. Ini sama saja beliau seperti menginjak-injak harga diriku."Ada apa sebenarnya ini? Jelaskan padaku Riko! Jangan
Aku bingung akan pulang kemana. Ingin pulang ke rumah Feni tetapi nanti Feni meminta uang kepadaku. Sebenarnya aku ragu ingin memberikan uang kepada Feni karena jumlahnya hanya sejuta. Yang ada nanti dia nanti malah mengomel, bukannya bersyukur kukasih uang segitu.Pulang ke rumahku juga pilihan yang tidak bagus. Karena di rumahku juga ada Tika dan Ibu. Pasti Tika sudah mengadukan aku kepada Ibu tentang kejadian tempo hari. Duh jadi serba salah nih. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumahku saja. Daripada pulang ke rumah Feni. Setelah memarkirkan mobilku di garasi. Kuamati keadaan sekeliling rumahku yang tampak sepi. Kemana ya kira-kira Tika dan Ibu pergi?Aku membuka pintu dengan kunci serep rumah yang mencekam. Gelap. Padahal hari masih siang. Tercium bau kemenyan meski tidak terlalu menyengat. Kenapa rumahku jadi horor begini sih suasananya?Aku berusaha menyalakan lampu. Aku pun meraih sakelar, lampu tidak berhasil menyala. Tiba-tiba angin berhembus. Membuat bulu kudukku
"Loh katanya kan kamu mau kunikahi, makanya aku ngambil kalung istriku sebagai tanda kalau aku serius sama kamu Fen?" tanyaku penuh keheranan.“Aku sudah berpikir ulang Mas, lebih baik aku menikmati masa mudaku. Lagipula anakmu selalu saja ikut campur dalam urusan kita!” protes Feni.“Maksudmu, Tika?”“Iya Mas, siapa lagi?”“Soal Tika biar Mas saja yang menghadapi. Kamu nggak usah bingung.”“Kan sepertinya butik Mas bangkrut, buktinya pegawai Mas belum menyetor uang hasil penjualan butik!” Feni merajuk.Waduh, aku seperti dilemma saat ini. Mau jujur kalau uang butikku sudah di sita Bapak mertua sepertinya tidak mungkin. Kalau kubilang jujur, pasti Feni tidak mau menikah denganku.“Emmm, sudah kok di transfer ke Mas. Tapi hanya dua juta, Fen," jawabku berkelit.Tentu saja aku berbohong kan aku tidak mau kehilangan Feni.“Ya sudah, transfer semua uangnya ke aku! Ingat ya Mas aku hari ini mau shopping dan ke salon!”“Tapi kamu mau kan menikah denganku?” tanyaku lagi meyakinkan.“Iya, iya
Aku baru saja selesai makan malam. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Kulihat layar ponselku, ternyata Mamaku yang menelepon.[Halo Ma, ada apa?] tanyaku membuka percakapan. [Anu Rik. Anu!] jawab Mama terbata-bata.[Anu kenapa Ma?] tanyaku dengan heran.[Bapak mertuamu ke rumah Mama. Katanya dia ingin ketemu kamu!] [Terus Mama bilang apa? Riko kan sedang nggak ada di rumah Mama.][Mama bilang kamu sedang di butik ada kerjaan. Mama nggak salah ngomong kan?] [I,iya sih nggak salah.] jawabku gugup, jangan sampai Mama tahu kalau aku sedang berbohong.[Ayo Riko! Cepetan kamu ke sini. Katanya Papa mertua kamu ingin berbicara denganmu.][Baiklah Ma. Riko segera meluncur ke sana.]Aku segera menyudahi makan malamku dengan Feni."Mas mau kemana? Kok buru-buru banget makannya," tanya Feni ketika aku bersiap untuk pulang ke rumah orangtuaku."Bapak mertuaku ingin bertemu denganku," jawabku singkat. "Aku harus segera ke sana." *Sesampainya di rumah orangtuaku. Aku belum masuk ke dalam rumah. Tetap
Selesai fitting baju pengantin, kami mencari rumah ustadz yang akan menikahkan kami. Ya, kami akan segera menikah secara siri. Sebenarnya bisa saja kami menikah resmi tetapi Bapak menyembunyikan akta kematian Gina dariku. Ini mungkin maksud Bapak. Bapak tidak ingin aku menikah lagi secara resmi.Tadi Feni memilih untuk fitting di salon rias yang cukup besar. Mulanya dia tidak setuju untuk fitting di sana. Dia maunya beli baju jadi di sebuah butik ternama. Dengan alasan kebaya untuk menikah hanya satu kali dipakai seumur hidup. Aku terus mencoba untuk membujuknya, karena hanya satu kali seumur hidup percuma kalau beli, mubazir kubilang. Sayang uangnya. Padahal dia tidak tahu saja kalau aku hampir bangkrut. Akhirnya dia menurut, walau penuh dengan drama.Pak penghulu menyetujui kami menikah minggu depan. Feni pun setuju dia akan berhenti sekolah dan fokus melayani serta mengurus rumah tangga. Memang usia Feni jauh lebih muda, bahkan hampir seusia Tika. Aku pun harus bersiap-siap membimb
"Mas, akhir-akhir ini kenapa kamu jadi sering lembur?" tanyaku curiga kepada suamiku."Ah, kamu itu kayak nggak tahu urusan bisnis saja! Aku ini sekalian rapat ketemu klien yang akan bekerja sama menanam modal di butik kita!" jawab Mas Riko menjelaskan padaku."Menanam modal? Untuk apa, Mas? Aku rasa suntikan modal dari Bapak tiga bulan sekali sudah cukup untuk membesarkan butik kita," balasku pada Mas Riko.Kan aneh, masa ada sih seorang menantu pemilik butik rapat setiap hari. Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Harusnya sebagai pengelola, tugasnya cukup mengontrol sesekali saja. Buat apa terlalu ikut campur. Kecuali ada pegawai yang gerak-geriknya mencurigakan, barulah kita bertindak lebih intensif.Sewaktu awal menikah dulu, Bapakku mempercayakan Mas Riko untuk mengelola butik cabang milik Bapak. Karena Bapak mempunyai beberapa butik. Mas Riko menyuruhku untuk di rumah saja dan tidak usah bekerja. Biar dia yang mengelola butik. Tiga belas tahun pernikahan kami, alhamdulillah be
Pernikahanku dengan Feni adalah pernikahan kedua dalam hidupku. Tak kusangka malah berakhir dengan kekacauan yang membuatku malu setengah mati. Belum lagi Mamanya Feni terus saja mengomel tidak jelas. "Mas, besok jadikan membawaku ke toko emas untuk membeli mas kawin?" rajuk Feni.Wah, gawat. Uang di ATM ku tinggal dua juta rupiah. Sedangkan harga mas kawin yang akan kuberikan kepada Feni kemarin hampir seratus juta. Sayang sekali anak sial*n itu sudah mengambilnya dariku. Untung ada kartu kredit ku dan milik Gina. Kan masih bisa di gunakan. "Iya sayang, tapi jangan banyak-banyak ya beli perhiasannya," jawabku pelan."Jangan banyak-banyak gimana sih Mas? Pokoknya aku nggak mau tahu," sahut Feni merengek sambil menghentakkan kakinya macam anak kecil."Ya." Hanya itu jawabanku singkat.Dengan mengendarai mobil kami menuju mall. Feni yang mengajakku ke sana, katanya toko emas langganan dia.Feni memilih perhiasan emas yang dia sukai. Mulai dari gelang, cincin, dan kalung. Si penjual e
PoV RikoSeperti biasa rutinitas setiap hari aku ingin pergi ke butik. Persetan dengan Bapak yang melarangku untuk bekerja di butik."Pak, maaf! Bapak tidak boleh masuk lagi ke butik ini!" kata Erza sambil menahan tubuhku."Loh, kenapa? Memangnya kamu ini siapa? Aku ini bos kamu. Ingat bos kamu! Atasan kamu! Kenapa aku tidak boleh masuk ke kantorku sendiri?" Emosiku mulai naik."Maaf, Pak Riko. Ini perintah dari Pak Sugito. Anda tidak boleh lagi bekerja di kantor ini," jawab Erza dengan tegas."Apa Pak Sugito yang menyuruh kamu? Aku tidak percaya!" bentakku kesal."Silakan kalau Bapak tidak percaya. Bapak bisa tanyakan sendiri pada beliau.""Ah, sial*n.""Maaf, Bapak sudah bukan atasan di butik ini dan tidak berhak lagi atas butik ini," sambung Mirna yang tiba-tiba muncul di depan pintu butik."Kamu juga! Kenapa kamu jadi ikut-ikutan, Mir!" Aku semakin kesal."Saya bukan ikut-ikutan, Pak. Saya hanya menjalankan tugas sebagai karyawan," jawab Mirna kalem."Kalau tidak ada kepentingan l