"Kalau sebenarnya Feni itu..." Tika kembali menggantungkan kalimat yang akan dia ucapkan.
"Halah! Kalau kamu mau memfitnah seseorang jangan tanggung-tanggung, Tik!" geramku."Paling kalau aku memberi tahu siapa Feni yang sebenarnya juga Papa nggak akan percaya. Sudah aku capek berdebat dengan Papa! Nggak ada gunanya!" Tika langsung membalikkan badan dan menaiki tangga menuju kamarnya."Ingat Riko! Urusan kita belum selesai. Kalau sampai aku menemukan bukti kalau kamu yang menyembunyikan sertifikat rumahku. Aku akan membuat perhitungan denganmu!" tunjuk ibu mertua di hadapan wajahku.Ibu menyusul Tika ke kamar. Entah rencana apa yang mereka akan lakukan padaku. Astaga! Serumit inikah masalah sejak kepergian Gina?Aku meremas rambutku. Aku pusing, kemudian aku merebahkan diri di kamarku. Bagaimana kalau nanti ketahuan kalau sertifikat rumah ini sudah aku sekolahkan di Bank?* * *Sore ini aku lebih baik jalan-jalan menghirup udara segar. Toh, hari ini hari minggu. Percuma aku berada di rumah. Tika dan Ibu tidak ada yang menghiraukanku. Seharian ini mereka menganggapku seolah tidak ada. Apalagi tatapan ibu kepadaku bagai elang yang akan menyambar mangsanya.Jalan-jalan ke Mall adalah suatu pilihan yang tidak buruk di sore hari cerah ini. Apalagi sambil mengopi cantik. Setiap hari aku merasa pusing semenjak kepergian Gina. Di tambah lagi Feni yang selalu membuat masalah. Setelah memarkirkan mobil, aku berjalan akan memasuki mall. Tiba-tiba ada kerumunan orang banyak. Karena penasaran aku berjalan mendekat. Aku pun menanyai salah satu pengunjung mall yang sedang menonton kejadian apa itu."Maaf, Mas. Kok rame banget? Ada apa ya ini?" tanyaku seraya mengernyitkan kening."Ini, Pak. Ada dua cewek yang sedang berkelahi sambil jambak-jambakan," jawab si lelaki sambil mendongakkan kepalanya ke atas karena terhalang orang-orang yang lebih tinggi.Aku penasaran. Aku berusaha menyeruak kerumunan orang-orang. Karena tubuhku yang tinggi besar dengan mudah aku melihat siapa yang berkelahi. Betapa terkejutnya aku ketika mengetahui siapa dua orang gadis yang sedang berkelahi itu."Heh kamu tuh dasar maling! Main tarik kalung orang aja!""Eh pelac**! Itu kalung berlian Mamaku tahu yang kamu pakai! Kamu tuh yang mencurinya.""Enak aja, siapa juga yang mencuri. Ini Papa kamu yang memberinya ke aku. Iya kan sebentar lagi aku akan menjadi istri Papa kamu. Dan aku akan menjadi ibu tiri kamu. Hahaha!""Heh! Kurang ajar kamu pelakor!" Tika menampar Feni. Feni pun tak mau kalah, terjadilah jambak-jambakan. Yang aku heran, segini banyaknya orang tidak ada yang berani melerai. Katanya takut kena gampar balik, karena tenaga mereka berdua sadis seperti laki-laki. "Eh bangs**! Beraninya ya kamu tampar pipiku. Ini mukaku perawatan di salon mahal! Baru aja aku pake filler dan tanam benang!" pekik Feni dengan mata melotot dan berkacak pinggang."Biarin aja! Sekalian ku bikin bonyok wajah kamu! Supaya kamu nggak merebut suami orang lagi! Kamu yang udah menyebabkan Mamaku meninggal. Aku nggak akan membiarkan kamu hidup enak!" Tika makin kesurupan. Aku pun tak berani melerai mereka. Aku bingung memilih siapa. Lagipula aku malu kalau ketahuan orang banyak karena akulah mereka berdua berkelahi."Kembalikan kalung berlianku. Itu mahar dari Papa kamu!" "Enak aja! Dasar pelakor hobinya ngangk*ng doang terus langsung kaya gitu, hah! Tahunya cuma merebut suami orang dan bersenang-senang di atas penderitaan anak istri orang lain!" "Siniin cepat! Emang kamu nggak takut aku teriakkin maling!""Silakan kamu teriakkin aku maling. Sekalian aku teriak kalo kamu pelakor!"Keduanya masih saling menindih. Hingga Feni berada di atas tubuh Tika. Tentu saja Tika tidak tinggal diam. Kedua tangannya berusaha mencekik leher Feni.Datanglah kedua satpam yang melerai perkelahian mereka. Hingga kedua satpam tersebut terkena tonjokan maupun pukulan dari Tika dan Feni. Pantas saja tidak ada yang berani. Mereka berdua seperti orang yang kesurupan. Pakaian dan juga rambut Feni acak-acakan. Begitu pula dengan Tika. Tetapi lebih parah Feni kondisinya.Kulihat tadi banyak orang yang mengambil video kejadian perkelahian anakku dengan selingkuhanku. Mungkin tak butuh beberapa menit, perkelahian mereka akan viral di jagat dunia maya.Satpam pun menggiring mereka ke kantor keamanan. Tetapi mereka berdua tetap ngotot beradu mulut. Kulihat di leher Feni kalung berlian yang kuberikan tempo hari lalu sudah tidak ada. Rupanya Tika sudah berhasil merampasnya dari Feni. Untung saja Tika tidak di teriaki maling oleh Feni. Mungkin mereka langsung bergumul berkelahi, jadi Feni tidak sempat meneriaki Tika maling. Coba saja hal itu terjadi. Bisa-bisa Tika habis di hajar massa.Suruh siapa sih anak kecil cari gara-gara. Semakin lama kurasakan, Tika semakin sulit di atur dan di kendalikan.Aku mengikuti para petugas keamanan Mall yang membawa Tika dan Feni ke kantor. Sebenarnya aku bingung mau membela siapa? Kalau aku membela Tika, kasian Feni. Sebaliknya begitupun aku membela Feni, aku yakin Tika akan semakin membenciku. Akhirnya mereka tiba di kantor keamanan Mall. Tika dan Feni di hadapkan oleh Robi--manajer Mall--. Aku jadi tahu namanya karena dia memakai pin nama di bajunya. Aku melihat dari depan pintu sambil sedikit menyembunyikan badanku. Aku takut kalau mereka menyadari keberadaanku. Ingin sekali aku ikut menengahi mereka. Tapi nyaliku jadi menciut."Pak Robi, mohon maaf tadi dua orang gadis ini membuat keributan di halaman Mall." Satpam 1 mulai menjelaskan."Ada apa sebenarnya? Kalau kalian mau berkelahi jangan di lingkungan Mall kami. Bikin malu saja. Kalian bisa memperburuk citra Mall kami. Cari aja sana area tinju. Sekalian biar kalian puas adu jotos," jawab si Robi dengan ketus. Aku yang pria saja kaget mendengarnya. Ini orang tidak ada lembutnya sama sek
Aku beranikan diri untuk masuk ke dalam. Seandainya Tika tidak menelepon Ibu, mungkin aku tidak akan ikut campur. Tapi ini Tika sudah kelewat batas. Aku harus menghentikannya. Daripada urusanku dengan Ibu dan Bapak makin runyam. Pak Robi dan dua satpam tersebut menatapku dengan heran. Aku langsung memulai pembicaraan."Selamat sore Pak. Maaf, bukannya saya mau ikut campur." Aku memulai pembicaraan. Jujur aku bingung harus berbicara apa. Tetapi keadaan mendesakku."Anda siapa?" tanya Pak Robi.Tika dan Feni terbengong-bengong menatapku. Apalagi Tika menatapku tajam."Hore, Mas Riko ke sini. Pasti Mas akan membelaku kan di sini?" tanya Feni dengan wajah yang berbinar-binar.Sementara itu Tika, matanya menatapku tajam. Dari sorot matanya aku bisa menebak, kalau dia ragu aku akan membelanya. Memang iya sih."Perkenalkan saya Riko, calon suaminya Feni. Kalung itu memang benar milik Feni. Beberapa hari yang lalu, saya memberikannya ke Feni sebagai tanda bukti kalau sebentar lagi Feni akan
Aku menghabiskan waktuku bersama Feni malam ini. Rasa kehilangan karena meninggalnya Gina sebenarnya masih terasa. Tetapi Feni begitu mempesona, sehingga mengalahkan segalanya dan membuatku terlena. Aku pun sampai lupa kalau Gina sudah meninggal.Ponselku dari tadi berdering terus. Terlihat di sana nama Tika, Ibu, dan Bapak bergantian meneleponku. Ada apa sih dengan mereka semua?Avku memilih untuk mematikan ponselku. Malam ini aku akan bersenang-senang dengan Feni. Urusan dengan mereka, biarlah menjadi urusan besok.Pagi hari, aku baru saja membuka mataku. Rupanya tadi malam aku ketiduran. Sehingga lupa kalau hari ini adalah awal pekan. Aku harus segera ngantor alias ke butik. Aku sudah beberapa hari ini tidak mengontrol keadaan butik. Karena aku berkabung atas kepergian Gina. Ah, tidak seutuhnya berkabung juga sih, kan aku butuh hiburan setelah istriku meninggal. Wajar saja kan aku ini lelaki.Baru saja mataku terbuka beberapa saat, Feni sudah duduk di samping ranjang di sebelahku, s
"Sudah kuduga pasti kamu akan melakukan hal ini! Ya dan aku bisa saja melaporkanmu ke polisi karena sudah berani melakukan percobaan penganiyaan pada pegawaiku," kata laki-laki tua itu, kuakui walau sudah berusia sudah tujuh puluh tahun tetapi beliau masih bertubuh tinggi dan tegap. Karena beliau selalu menjaga stamina tubuh dengan makan makanan bergizi dan juga olahraga ringan seperti jalan kaki hampir setiap hari. Tidak sepertiku yang jarang sekali olahraga, kecuali olahraga di kasur bersama gundikku. Kalau itu sih aku sering. Ups! Apalagi aku juga hobi makan junk food dan makanan berlemak."Lepaskan Erza! Berani sekali kamu! Belum apa-apa saja baru jadi manajer kamu sudah berani menghajar pegawaiku! Kurang ajar kamu Riko!" Aku melepaskan kerah baju Riko. Jujur aku merasa di permalukan oleh Bapak! Kalau beliau mau menegurku kan seharusnya tidak di depan umum seperti ini. Ini sama saja beliau seperti menginjak-injak harga diriku."Ada apa sebenarnya ini? Jelaskan padaku Riko! Jangan
Aku bingung akan pulang kemana. Ingin pulang ke rumah Feni tetapi nanti Feni meminta uang kepadaku. Sebenarnya aku ragu ingin memberikan uang kepada Feni karena jumlahnya hanya sejuta. Yang ada nanti dia nanti malah mengomel, bukannya bersyukur kukasih uang segitu.Pulang ke rumahku juga pilihan yang tidak bagus. Karena di rumahku juga ada Tika dan Ibu. Pasti Tika sudah mengadukan aku kepada Ibu tentang kejadian tempo hari. Duh jadi serba salah nih. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumahku saja. Daripada pulang ke rumah Feni. Setelah memarkirkan mobilku di garasi. Kuamati keadaan sekeliling rumahku yang tampak sepi. Kemana ya kira-kira Tika dan Ibu pergi?Aku membuka pintu dengan kunci serep rumah yang mencekam. Gelap. Padahal hari masih siang. Tercium bau kemenyan meski tidak terlalu menyengat. Kenapa rumahku jadi horor begini sih suasananya?Aku berusaha menyalakan lampu. Aku pun meraih sakelar, lampu tidak berhasil menyala. Tiba-tiba angin berhembus. Membuat bulu kudukku
"Loh katanya kan kamu mau kunikahi, makanya aku ngambil kalung istriku sebagai tanda kalau aku serius sama kamu Fen?" tanyaku penuh keheranan.“Aku sudah berpikir ulang Mas, lebih baik aku menikmati masa mudaku. Lagipula anakmu selalu saja ikut campur dalam urusan kita!” protes Feni.“Maksudmu, Tika?”“Iya Mas, siapa lagi?”“Soal Tika biar Mas saja yang menghadapi. Kamu nggak usah bingung.”“Kan sepertinya butik Mas bangkrut, buktinya pegawai Mas belum menyetor uang hasil penjualan butik!” Feni merajuk.Waduh, aku seperti dilemma saat ini. Mau jujur kalau uang butikku sudah di sita Bapak mertua sepertinya tidak mungkin. Kalau kubilang jujur, pasti Feni tidak mau menikah denganku.“Emmm, sudah kok di transfer ke Mas. Tapi hanya dua juta, Fen," jawabku berkelit.Tentu saja aku berbohong kan aku tidak mau kehilangan Feni.“Ya sudah, transfer semua uangnya ke aku! Ingat ya Mas aku hari ini mau shopping dan ke salon!”“Tapi kamu mau kan menikah denganku?” tanyaku lagi meyakinkan.“Iya, iya
Aku baru saja selesai makan malam. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Kulihat layar ponselku, ternyata Mamaku yang menelepon.[Halo Ma, ada apa?] tanyaku membuka percakapan. [Anu Rik. Anu!] jawab Mama terbata-bata.[Anu kenapa Ma?] tanyaku dengan heran.[Bapak mertuamu ke rumah Mama. Katanya dia ingin ketemu kamu!] [Terus Mama bilang apa? Riko kan sedang nggak ada di rumah Mama.][Mama bilang kamu sedang di butik ada kerjaan. Mama nggak salah ngomong kan?] [I,iya sih nggak salah.] jawabku gugup, jangan sampai Mama tahu kalau aku sedang berbohong.[Ayo Riko! Cepetan kamu ke sini. Katanya Papa mertua kamu ingin berbicara denganmu.][Baiklah Ma. Riko segera meluncur ke sana.]Aku segera menyudahi makan malamku dengan Feni."Mas mau kemana? Kok buru-buru banget makannya," tanya Feni ketika aku bersiap untuk pulang ke rumah orangtuaku."Bapak mertuaku ingin bertemu denganku," jawabku singkat. "Aku harus segera ke sana." *Sesampainya di rumah orangtuaku. Aku belum masuk ke dalam rumah. Tetap
Selesai fitting baju pengantin, kami mencari rumah ustadz yang akan menikahkan kami. Ya, kami akan segera menikah secara siri. Sebenarnya bisa saja kami menikah resmi tetapi Bapak menyembunyikan akta kematian Gina dariku. Ini mungkin maksud Bapak. Bapak tidak ingin aku menikah lagi secara resmi.Tadi Feni memilih untuk fitting di salon rias yang cukup besar. Mulanya dia tidak setuju untuk fitting di sana. Dia maunya beli baju jadi di sebuah butik ternama. Dengan alasan kebaya untuk menikah hanya satu kali dipakai seumur hidup. Aku terus mencoba untuk membujuknya, karena hanya satu kali seumur hidup percuma kalau beli, mubazir kubilang. Sayang uangnya. Padahal dia tidak tahu saja kalau aku hampir bangkrut. Akhirnya dia menurut, walau penuh dengan drama.Pak penghulu menyetujui kami menikah minggu depan. Feni pun setuju dia akan berhenti sekolah dan fokus melayani serta mengurus rumah tangga. Memang usia Feni jauh lebih muda, bahkan hampir seusia Tika. Aku pun harus bersiap-siap membimb