Alurnya maju mundur ya teman-teman. Lanjutan dari part sebelumnya.
* Aku sudah ada janji dengan Feni untuk sarapan bubur ayam di warung Mas Tejo. Aku bersiap berangkat ke butik. Seperti biasa pakaianku sudah di siapkan di atas tempat tidur oleh Gina. Kami tidak mempunyai asisten rumah tangga yang menginap. Hanya ada orang yang membantu membersihkan rumah, mencuci, dan menyetrika pakaian kami secara harian dan tidak menginap, dia bekerja dari pagi sampai siang. Sedangkan untuk urusan memasak, Gina lah yang mengurusnya. Karena sedari kecil dia pandai memasak.Aku sudah terlanjur janji pada Feni. Kalau tidak di turuti bisa-bisa dia marah. Bergegas aku berangkat."Mas, kok buru-buru?" tanya Gina kepadaku."Iya, di butik aku harus briefing karyawan baru dulu," jawabku asal. Tentu saja kalian tahu kalau aku bohong."Sejak kapan ada karyawan baru di butik kita, Mas?" tanya Gina lagi. "Ya, kan produk dan barang yang kita jual bertambah banyak. Otomatis karyawan yang ada kewalahan. Tidak ada salahnya toh kita merekrut karyawan baru." Aku berkilah."Kamu kok nggak bilang sama aku, Mas?" protes Gina."Halah kelamaan minta persetujuan dari kamu. Sudah, ah! Pagi-pagi sudah mengajakku berdebat! Bikin pusing tahu nggak!" Aku beranjak langsung meninggalkan ruang makan."Mas, rantang bekalnya!" teriak Gina yang menyusul sambil menyodorkan rantang bersusun."Ya". Dengan malas aku mengambilnya. Sebenarnya aku enggan makan makanan ini. Ah nanti lebih baik ku berikan karyawanku atau ku buang saja. Simpel kan!Aku langsung meninggalkan Gina yang masih terpaku di muka pintu. Dan segera melajukan mobilku untuk menjemput kekasih hatiku tersayang.* Sesampainya di rumah Feni, lebih tepatnya rumah yang kubelikan untuknya secara kredit dengan cicilan yang rendah karena hanya rumah sederhana dengan tipe 36 plus yang memiliki dua kamar tidur. Aku bilang pada Feni kalau aku membelinya secara tunai. Gengsi dong masa aku harus bilang jujur kalau aku menyicil.Feni rupanya sudah menunggu di luar rumah. Penampilannya pagi ini begitu mempesona. Langsung saja dia naik ke mobilku.Kami menuju warung bubur ayam Mas Tejo. Warung sederhana sebenarnya. Tetapi rasanya enak. Apalagi di makan bareng dengan selingkuhan. Hahaha.Hari ini aku memutuskan untuk tidak ngantor. Malas sekali. Lebih baik aku bersenang-senang dengan Feni. Oh ya, aku ingat bekal dari Gina. Lebih baik ku buang saja. Malas sekali memakan bekal darinya."Mas, kok berhenti?" tanya Feni dengan heran. "Sebentar, Sayang. Mas mau buang sampah dulu." Aku segera mengambil rantang bekal dari Gina yang sudah dibungkus dengan plastik hitam sebelumnya. Nanti aku bilang saja ke Gina kalau rantangnya hilang karena aku lupa dimana menaruhnya. Setelah membuang 'sampah' tersebut. Aku menemani Feni berbelanja kebutuhan sehari-hari dan baju di mall. Kami seperti pasangan muda yang sedang di mabuk asmara. Bergandengan tangan erat dan saling memeluk pinggang. Setelah itu, kami memutuskan untuk ke hotel. Kalian tahukan setelah ini apa yang kami lakukan.Flasback selesai.* * *Tika pulang ke rumah di antar dengan Ibu. Aku sibuk menonton televisi. Sebenarnya aku tidak memperhatikan siarannya. Pikiranku resah dan tenggelam mengingat Gina. Ya Allah. Kenapa baru sekarang aku tersadar, betapa aku sesungguhnya mencintai Gina. Selama beberapa tahun ini aku mengabaikannya, selingkuh dengan beberapa wanita. Karena kulihat Gina sudah tidak cantik lagi dan makin menua. Istilahnya aku ini mengalami puber kedua. Hingga hampir setahun belakangan ini aku dengan Feni. Yang begitu kumanjakan hingga tanpa sadar aku telah menguras harta Gina.Kulirik Tika dan Ibu ribut-ribut turun dari lantai dua. Kudengar pembicaraan mereka, apa sih yang mereka bicarakan!"Kok bisa hilang sih Nek sertifikat rumah ini?" tanya Tika kepada Neneknya. "Nenek juga nggak tahu, Tik. Emang kamu ada memindahkannya?" tanya Neneknya Tika balik."Nggak ada, Nek. Kan surat berharga dan perhiasan Mama di taruh di brankas di kamar Mama dan Papa," jawab Tika dengan ragu.Aku tepok jidat. Kok bisa sih mereka tiba-tiba mencari sertifikat rumah? Selama ini bukannya mereka acuh tak acuh dengan harta Gina? Ngapain juga sih Ibu mencari-cari segala! Lha wong harta Ibu dan Bapak tidak akan habis tujuh turunan. Masa cuma rumah ini aja mereka permasalahkan! Sejurus kemudian Ibu menatapku dengan curiga. Sedangkan aku yang di tatap pura-pura tidak tahu."Riko, kamu tahu dimana sertifikat rumah ini?" tanya Ibu dengan tatapan matanya yang tajam. "Ng, nggak, Bu. Riko nggak tahu!" jawabku gugup."Jangan bohong kamu! Itu kan kamar kamu. Yang tahu barang-barang di sana kan cuma kamu!" "Lagipula Ibu juga nggak sopan! Pakai masuk segala ke kamar Riko tanpa izin!""Heh, menantu gila!" hardik Ibu dengan berkacak pinggang. "Siapa sih yang sebenarnya nggak tahu etika dan sopan santun! Aku atau kamu! Kamu juga nggak ada izin memasukkan wanita lain ke kamar Gina. Pakai acara berzina segala. Cuih!! Aku sebenarnya malas menganggap kamu sebagai menantu lagi!""Papa harusnya juga sadar. Kalau kakek belum menendang Papa dari rumah ini. Tapi tunggu tanggal mainnya, Pa. Kakek nggak akan membiarkan Papa hidup tenang bersama gundik Papa itu!" sahut Tika yang membuatku terbelalak. "Apa maksud perkataan kamu, Tika? Kamu tuh ya yang sopan berkata pada orangtua!" jawabku dengan penuh emosi."Huh! Semenjak Papa selingkuh, sudah hilang rasa hormatku padamu! Apa Papa tahu kalau sebenarnya Feni itu..." balas Tika sambil terdiam memenggal kalimatnya."Sebenarnya apa? Cih! Anak kecil macam kamu tahu apa sih!" bantahku geram.* *Kira-kira apa ya yang mau di ucapkan Tika ke Papanya? Tunggu kelanjutannya ya teman-teman. ❤"Kalau sebenarnya Feni itu..." Tika kembali menggantungkan kalimat yang akan dia ucapkan."Halah! Kalau kamu mau memfitnah seseorang jangan tanggung-tanggung, Tik!" geramku."Paling kalau aku memberi tahu siapa Feni yang sebenarnya juga Papa nggak akan percaya. Sudah aku capek berdebat dengan Papa! Nggak ada gunanya!" Tika langsung membalikkan badan dan menaiki tangga menuju kamarnya."Ingat Riko! Urusan kita belum selesai. Kalau sampai aku menemukan bukti kalau kamu yang menyembunyikan sertifikat rumahku. Aku akan membuat perhitungan denganmu!" tunjuk ibu mertua di hadapan wajahku.Ibu menyusul Tika ke kamar. Entah rencana apa yang mereka akan lakukan padaku. Astaga! Serumit inikah masalah sejak kepergian Gina?Aku meremas rambutku. Aku pusing, kemudian aku merebahkan diri di kamarku. Bagaimana kalau nanti ketahuan kalau sertifikat rumah ini sudah aku sekolahkan di Bank?* * *Sore ini aku lebih baik jalan-jalan menghirup udara segar. Toh, hari ini hari minggu. Percuma aku berada di
Aku mengikuti para petugas keamanan Mall yang membawa Tika dan Feni ke kantor. Sebenarnya aku bingung mau membela siapa? Kalau aku membela Tika, kasian Feni. Sebaliknya begitupun aku membela Feni, aku yakin Tika akan semakin membenciku. Akhirnya mereka tiba di kantor keamanan Mall. Tika dan Feni di hadapkan oleh Robi--manajer Mall--. Aku jadi tahu namanya karena dia memakai pin nama di bajunya. Aku melihat dari depan pintu sambil sedikit menyembunyikan badanku. Aku takut kalau mereka menyadari keberadaanku. Ingin sekali aku ikut menengahi mereka. Tapi nyaliku jadi menciut."Pak Robi, mohon maaf tadi dua orang gadis ini membuat keributan di halaman Mall." Satpam 1 mulai menjelaskan."Ada apa sebenarnya? Kalau kalian mau berkelahi jangan di lingkungan Mall kami. Bikin malu saja. Kalian bisa memperburuk citra Mall kami. Cari aja sana area tinju. Sekalian biar kalian puas adu jotos," jawab si Robi dengan ketus. Aku yang pria saja kaget mendengarnya. Ini orang tidak ada lembutnya sama sek
Aku beranikan diri untuk masuk ke dalam. Seandainya Tika tidak menelepon Ibu, mungkin aku tidak akan ikut campur. Tapi ini Tika sudah kelewat batas. Aku harus menghentikannya. Daripada urusanku dengan Ibu dan Bapak makin runyam. Pak Robi dan dua satpam tersebut menatapku dengan heran. Aku langsung memulai pembicaraan."Selamat sore Pak. Maaf, bukannya saya mau ikut campur." Aku memulai pembicaraan. Jujur aku bingung harus berbicara apa. Tetapi keadaan mendesakku."Anda siapa?" tanya Pak Robi.Tika dan Feni terbengong-bengong menatapku. Apalagi Tika menatapku tajam."Hore, Mas Riko ke sini. Pasti Mas akan membelaku kan di sini?" tanya Feni dengan wajah yang berbinar-binar.Sementara itu Tika, matanya menatapku tajam. Dari sorot matanya aku bisa menebak, kalau dia ragu aku akan membelanya. Memang iya sih."Perkenalkan saya Riko, calon suaminya Feni. Kalung itu memang benar milik Feni. Beberapa hari yang lalu, saya memberikannya ke Feni sebagai tanda bukti kalau sebentar lagi Feni akan
Aku menghabiskan waktuku bersama Feni malam ini. Rasa kehilangan karena meninggalnya Gina sebenarnya masih terasa. Tetapi Feni begitu mempesona, sehingga mengalahkan segalanya dan membuatku terlena. Aku pun sampai lupa kalau Gina sudah meninggal.Ponselku dari tadi berdering terus. Terlihat di sana nama Tika, Ibu, dan Bapak bergantian meneleponku. Ada apa sih dengan mereka semua?Avku memilih untuk mematikan ponselku. Malam ini aku akan bersenang-senang dengan Feni. Urusan dengan mereka, biarlah menjadi urusan besok.Pagi hari, aku baru saja membuka mataku. Rupanya tadi malam aku ketiduran. Sehingga lupa kalau hari ini adalah awal pekan. Aku harus segera ngantor alias ke butik. Aku sudah beberapa hari ini tidak mengontrol keadaan butik. Karena aku berkabung atas kepergian Gina. Ah, tidak seutuhnya berkabung juga sih, kan aku butuh hiburan setelah istriku meninggal. Wajar saja kan aku ini lelaki.Baru saja mataku terbuka beberapa saat, Feni sudah duduk di samping ranjang di sebelahku, s
"Sudah kuduga pasti kamu akan melakukan hal ini! Ya dan aku bisa saja melaporkanmu ke polisi karena sudah berani melakukan percobaan penganiyaan pada pegawaiku," kata laki-laki tua itu, kuakui walau sudah berusia sudah tujuh puluh tahun tetapi beliau masih bertubuh tinggi dan tegap. Karena beliau selalu menjaga stamina tubuh dengan makan makanan bergizi dan juga olahraga ringan seperti jalan kaki hampir setiap hari. Tidak sepertiku yang jarang sekali olahraga, kecuali olahraga di kasur bersama gundikku. Kalau itu sih aku sering. Ups! Apalagi aku juga hobi makan junk food dan makanan berlemak."Lepaskan Erza! Berani sekali kamu! Belum apa-apa saja baru jadi manajer kamu sudah berani menghajar pegawaiku! Kurang ajar kamu Riko!" Aku melepaskan kerah baju Riko. Jujur aku merasa di permalukan oleh Bapak! Kalau beliau mau menegurku kan seharusnya tidak di depan umum seperti ini. Ini sama saja beliau seperti menginjak-injak harga diriku."Ada apa sebenarnya ini? Jelaskan padaku Riko! Jangan
Aku bingung akan pulang kemana. Ingin pulang ke rumah Feni tetapi nanti Feni meminta uang kepadaku. Sebenarnya aku ragu ingin memberikan uang kepada Feni karena jumlahnya hanya sejuta. Yang ada nanti dia nanti malah mengomel, bukannya bersyukur kukasih uang segitu.Pulang ke rumahku juga pilihan yang tidak bagus. Karena di rumahku juga ada Tika dan Ibu. Pasti Tika sudah mengadukan aku kepada Ibu tentang kejadian tempo hari. Duh jadi serba salah nih. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumahku saja. Daripada pulang ke rumah Feni. Setelah memarkirkan mobilku di garasi. Kuamati keadaan sekeliling rumahku yang tampak sepi. Kemana ya kira-kira Tika dan Ibu pergi?Aku membuka pintu dengan kunci serep rumah yang mencekam. Gelap. Padahal hari masih siang. Tercium bau kemenyan meski tidak terlalu menyengat. Kenapa rumahku jadi horor begini sih suasananya?Aku berusaha menyalakan lampu. Aku pun meraih sakelar, lampu tidak berhasil menyala. Tiba-tiba angin berhembus. Membuat bulu kudukku
"Loh katanya kan kamu mau kunikahi, makanya aku ngambil kalung istriku sebagai tanda kalau aku serius sama kamu Fen?" tanyaku penuh keheranan.“Aku sudah berpikir ulang Mas, lebih baik aku menikmati masa mudaku. Lagipula anakmu selalu saja ikut campur dalam urusan kita!” protes Feni.“Maksudmu, Tika?”“Iya Mas, siapa lagi?”“Soal Tika biar Mas saja yang menghadapi. Kamu nggak usah bingung.”“Kan sepertinya butik Mas bangkrut, buktinya pegawai Mas belum menyetor uang hasil penjualan butik!” Feni merajuk.Waduh, aku seperti dilemma saat ini. Mau jujur kalau uang butikku sudah di sita Bapak mertua sepertinya tidak mungkin. Kalau kubilang jujur, pasti Feni tidak mau menikah denganku.“Emmm, sudah kok di transfer ke Mas. Tapi hanya dua juta, Fen," jawabku berkelit.Tentu saja aku berbohong kan aku tidak mau kehilangan Feni.“Ya sudah, transfer semua uangnya ke aku! Ingat ya Mas aku hari ini mau shopping dan ke salon!”“Tapi kamu mau kan menikah denganku?” tanyaku lagi meyakinkan.“Iya, iya
Aku baru saja selesai makan malam. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Kulihat layar ponselku, ternyata Mamaku yang menelepon.[Halo Ma, ada apa?] tanyaku membuka percakapan. [Anu Rik. Anu!] jawab Mama terbata-bata.[Anu kenapa Ma?] tanyaku dengan heran.[Bapak mertuamu ke rumah Mama. Katanya dia ingin ketemu kamu!] [Terus Mama bilang apa? Riko kan sedang nggak ada di rumah Mama.][Mama bilang kamu sedang di butik ada kerjaan. Mama nggak salah ngomong kan?] [I,iya sih nggak salah.] jawabku gugup, jangan sampai Mama tahu kalau aku sedang berbohong.[Ayo Riko! Cepetan kamu ke sini. Katanya Papa mertua kamu ingin berbicara denganmu.][Baiklah Ma. Riko segera meluncur ke sana.]Aku segera menyudahi makan malamku dengan Feni."Mas mau kemana? Kok buru-buru banget makannya," tanya Feni ketika aku bersiap untuk pulang ke rumah orangtuaku."Bapak mertuaku ingin bertemu denganku," jawabku singkat. "Aku harus segera ke sana." *Sesampainya di rumah orangtuaku. Aku belum masuk ke dalam rumah. Tetap