Tiba-tiba air mata menetes membasahi pipiku. Ya, baru kali ini merasa sangat kehilangan istriku. Sudah dua tahun lebih, aku tidak mempedulikan dan memperhatikan keadaan Gina. Aku sudah bosan. Terlebih saat mengetahui dia hamil, tentu saja aku makin acuh tak acuh. Badannya makin melar dan di berapa bagian tubuh juga menghitam. Membuatku semakin tak betah saja berada di rumah.
* * *Flashback mulai."Mas, besok temani aku periksa ke dokter kandungan ya? Aku nggak sabar ingin mengecek perkembangan dan jenis kelamin dedek," pinta Gina waktu itu. Sebenarnya dia sudah berapa kali pergi ke bidan di dekat rumah kami untuk memeriksa kandungan. Tetapi di bidan tidak ada alat USG seperti yang di miliki oleh dokter kandungan.Aku yang baru saja pulang kerja alias lembur, sebenarnya aku bukan lembur mengerjakan pekerjaan kantor. Tetapi aku lembur mengerjai Feni. Pasti kalian sudah tahu kan apa yang kumaksud. Lelah, hal yang pasti kurasakan setelah bertempur dengan Feni."Loh kamu kan udah sering periksa ke bidan Devi dengan di temani Tika. Ngapain harus periksa ke dokter kandungan segala! Mahal tahu! Buang-buang waktu dan uang saja!" jawabku dengan ketus."Tapi, Mas. Sudah lima bulan kita belum pernah mengecek anak dalam kandungan kita di dokter kandungan. Apa kamu tidak penasaran dengan jenis kelamin anak kita?" balas istriku dengan lembut."Kalau ku bilang tidak mau ya tidak mau. Kalau kamu tetap nekat ingin periksa ke dokter ya sana silakan aja pergi sendiri! Lagipula anak yang kamu kandung kan juga hasil kebobolan kita? Bukan sesuatu yang penting lah!"Gina hanya diam saja, kulihat genangan air mata dari manik matanya. Kemudian dia berlari ke kamar tidurnya. Ah, biarin aja. Dsar wanita cengeng! Sedikit-dikit menangis.*Iya, anak yang di kandung Gina adalah hasil kebobolan. Gina sebenarnya sudah memasang KB spiral selama belasan tahun. Tetapi yang namanya Tuhan berkehendak lain, Dia menitipkan janin di rahim istriku. Ketika mengetahui dia hamil lagi, tentu saja aku bingung. Karena aku sudah menjalin kasih dengan Feni.Waktu itu Gina menyodorkan hasil test pack padaku."Mas, aku sudah telat satu bulan nih dan surprise ternyata aku hamil!"Dengan malas aku mengamati benda pipih itu. Aku hanya berdehem "Hmm". Tanpa menunjukkan ekspresi senang atau bahagia karena prioritasku waktu itu hanyalah Feni. Toh salah dia juga kan kenapa bisa kebobolan? Aku juga tidak mengharapkan anak yang dia kandung. Bagiku dalam waktu dekat ini aku akan menikahi Feni dan menjadikannya istri keduaku alias menjadikan Feni adik madu Gina. Kan boleh saja lelaki beristri lebih dari satu kalau istri pertamanya tidak sanggup melayani.Flashback selesai.* * *Aku memilih menjauh ketika keluarga Gina dan para pelayat mulai satu persatu pergi meninggalkan makam almarhumah Gina. Banyak sekali saudara, kerabat, maupun sahabat Gina yang melayat. Hal ini menunjukkan kalau almarhumah adalah orang yang baik. Aku saja yang terlalu menyia-nyiakan Gina.Setelah menunggu sejam lebih, aku pun menghampiri makam almarhumah Gina yang masih basah. Makannya penuh dengan taburan bunga. Harum semerbak bunga begitu menyeruak.Kucium baru nisan dan tanah kuburannya. Istriku sayang, kenapa kamu harus secepat ini meninggalkanku? Aku belum sempat membahagiakanmu serta anak-anak kita. Tuhan, hidupkan istriku dan anak lelaki kembali. Aku berjanji akan membahagiakan mereka.Aku menangis sejadi-jadinya. Belum pernah seumur hidupku menangis seperti ini. Sebagai seorang lelaki, tentu saja pantang untuk menangis. Namun kali ini tentu saja terasa berbeda. Di tinggal mati istri dan anak sekaligus.* * *Aku pulang ke rumah dengan langkah gontai. Rumahku kosong. Pasti Tika tidak mau pulang dan lebih memilih untuk menginap di rumah ibu mertuaku.Kupandangi satu persatu foto kami. Mulai foto pernikahan kami tujuh belas tahun yang lalu. Ketika itu kami memutuskan untuk menikah muda dan kami masih kuliah di kampus yang sama walaupun berbeda jurusan. Suka duka kami lalui bersama-sama. Aku yang tidak ada modal sama sekali karena masih kuliah, lalu di berikan wewenang untuk mengelola butik milik Gina. Aku terkejut. Selama kami pacaran, Gina tidak sekalipun bercerita kalau dia mempunyai usaha butik. Gina bilang lebih baik aku saja yang mengelola usaha miliknya. Walaupun, tentu saja, Bapaknya Gina lah yang menyuntikkan modalnya.Gina begitu mempercayakan pengelolaan butik padaku, sementara dia fokus untuk mengurus rumah tangga dan membesarkan putri semata wayang kami. Hanya kadang-kadang dia mengecek laporan keuangan butik kami. Hingga akhirnya kami membuka beberapa cabang sampai ke luar kota.Tring. Ada sebuah notifikasi pesan w******p masuk ke ponselku.[Mas, sudah di transfer belum uangnya? Kamu kan udah janji kemarin.]Astaga! Aku benar-benar lupa mentransfer uang ke Feni. Pikiranku begitu kalut atas kematian istriku. Dasar murahan! Hanya uang, uang, dan uang saja sih di pikirannya![Mas, kok nggak di balas-balas sih? Padahal kamu dari tadi online aja? Aku dengar istrimu mati ya? Syukurlah kalo gitu. Asyik dong kalo dia udah mati, kita bisa segera menikah. Hehehe.]Feni mengirimiku pesan lagi, karena pesan sebelumnya tak kunjung aku balas. Aku kesal membaca pesan darinya Bisa-bisanya sih dia bersyukur atas kematian istriku![Mas, kok kamu diam? Kamu nangis ya? Haha hari gini laki-laki kok menangis di tinggal istrinya mati! Harusnya senang dong malah, kan bisa nikah lagi dengan aku yang masih muda dan seksi!]Mataku panas membaca pesan dari Feni. Ingin rasanya dibanting ponselku bila seandainya tidak ada hal-hal penting di dalam ponselku. Tapi urung kulakukan. Tak berapa lama kemudian ponselku berdering. Rupanya karena aku tak kunjung membalas pesannya, dia langsung meneleponku.[Mas, kamu kemana aja sih? Dari tadi kamu nggak ada membalas pesanku! Aku butuh uang, Mas! Aku ingin melakukan perawatan diri ke salon, belum lagi aku butuh belanja baju, tas, dan sepatu
Alurnya maju mundur ya teman-teman. Lanjutan dari part sebelumnya. * Aku sudah ada janji dengan Feni untuk sarapan bubur ayam di warung Mas Tejo. Aku bersiap berangkat ke butik. Seperti biasa pakaianku sudah di siapkan di atas tempat tidur oleh Gina. Kami tidak mempunyai asisten rumah tangga yang menginap. Hanya ada orang yang membantu membersihkan rumah, mencuci, dan menyetrika pakaian kami secara harian dan tidak menginap, dia bekerja dari pagi sampai siang. Sedangkan untuk urusan memasak, Gina lah yang mengurusnya. Karena sedari kecil dia pandai memasak.Aku sudah terlanjur janji pada Feni. Kalau tidak di turuti bisa-bisa dia marah. Bergegas aku berangkat."Mas, kok buru-buru?" tanya Gina kepadaku."Iya, di butik aku harus briefing karyawan baru dulu," jawabku asal. Tentu saja kalian tahu kalau aku bohong."Sejak kapan ada karyawan baru di butik kita, Mas?" tanya Gina lagi. "Ya, kan produk dan barang yang kita jual bertambah banyak. Otomatis karyawan yang ada kewalahan. Tidak ad
"Kalau sebenarnya Feni itu..." Tika kembali menggantungkan kalimat yang akan dia ucapkan."Halah! Kalau kamu mau memfitnah seseorang jangan tanggung-tanggung, Tik!" geramku."Paling kalau aku memberi tahu siapa Feni yang sebenarnya juga Papa nggak akan percaya. Sudah aku capek berdebat dengan Papa! Nggak ada gunanya!" Tika langsung membalikkan badan dan menaiki tangga menuju kamarnya."Ingat Riko! Urusan kita belum selesai. Kalau sampai aku menemukan bukti kalau kamu yang menyembunyikan sertifikat rumahku. Aku akan membuat perhitungan denganmu!" tunjuk ibu mertua di hadapan wajahku.Ibu menyusul Tika ke kamar. Entah rencana apa yang mereka akan lakukan padaku. Astaga! Serumit inikah masalah sejak kepergian Gina?Aku meremas rambutku. Aku pusing, kemudian aku merebahkan diri di kamarku. Bagaimana kalau nanti ketahuan kalau sertifikat rumah ini sudah aku sekolahkan di Bank?* * *Sore ini aku lebih baik jalan-jalan menghirup udara segar. Toh, hari ini hari minggu. Percuma aku berada di
Aku mengikuti para petugas keamanan Mall yang membawa Tika dan Feni ke kantor. Sebenarnya aku bingung mau membela siapa? Kalau aku membela Tika, kasian Feni. Sebaliknya begitupun aku membela Feni, aku yakin Tika akan semakin membenciku. Akhirnya mereka tiba di kantor keamanan Mall. Tika dan Feni di hadapkan oleh Robi--manajer Mall--. Aku jadi tahu namanya karena dia memakai pin nama di bajunya. Aku melihat dari depan pintu sambil sedikit menyembunyikan badanku. Aku takut kalau mereka menyadari keberadaanku. Ingin sekali aku ikut menengahi mereka. Tapi nyaliku jadi menciut."Pak Robi, mohon maaf tadi dua orang gadis ini membuat keributan di halaman Mall." Satpam 1 mulai menjelaskan."Ada apa sebenarnya? Kalau kalian mau berkelahi jangan di lingkungan Mall kami. Bikin malu saja. Kalian bisa memperburuk citra Mall kami. Cari aja sana area tinju. Sekalian biar kalian puas adu jotos," jawab si Robi dengan ketus. Aku yang pria saja kaget mendengarnya. Ini orang tidak ada lembutnya sama sek
Aku beranikan diri untuk masuk ke dalam. Seandainya Tika tidak menelepon Ibu, mungkin aku tidak akan ikut campur. Tapi ini Tika sudah kelewat batas. Aku harus menghentikannya. Daripada urusanku dengan Ibu dan Bapak makin runyam. Pak Robi dan dua satpam tersebut menatapku dengan heran. Aku langsung memulai pembicaraan."Selamat sore Pak. Maaf, bukannya saya mau ikut campur." Aku memulai pembicaraan. Jujur aku bingung harus berbicara apa. Tetapi keadaan mendesakku."Anda siapa?" tanya Pak Robi.Tika dan Feni terbengong-bengong menatapku. Apalagi Tika menatapku tajam."Hore, Mas Riko ke sini. Pasti Mas akan membelaku kan di sini?" tanya Feni dengan wajah yang berbinar-binar.Sementara itu Tika, matanya menatapku tajam. Dari sorot matanya aku bisa menebak, kalau dia ragu aku akan membelanya. Memang iya sih."Perkenalkan saya Riko, calon suaminya Feni. Kalung itu memang benar milik Feni. Beberapa hari yang lalu, saya memberikannya ke Feni sebagai tanda bukti kalau sebentar lagi Feni akan
Aku menghabiskan waktuku bersama Feni malam ini. Rasa kehilangan karena meninggalnya Gina sebenarnya masih terasa. Tetapi Feni begitu mempesona, sehingga mengalahkan segalanya dan membuatku terlena. Aku pun sampai lupa kalau Gina sudah meninggal.Ponselku dari tadi berdering terus. Terlihat di sana nama Tika, Ibu, dan Bapak bergantian meneleponku. Ada apa sih dengan mereka semua?Avku memilih untuk mematikan ponselku. Malam ini aku akan bersenang-senang dengan Feni. Urusan dengan mereka, biarlah menjadi urusan besok.Pagi hari, aku baru saja membuka mataku. Rupanya tadi malam aku ketiduran. Sehingga lupa kalau hari ini adalah awal pekan. Aku harus segera ngantor alias ke butik. Aku sudah beberapa hari ini tidak mengontrol keadaan butik. Karena aku berkabung atas kepergian Gina. Ah, tidak seutuhnya berkabung juga sih, kan aku butuh hiburan setelah istriku meninggal. Wajar saja kan aku ini lelaki.Baru saja mataku terbuka beberapa saat, Feni sudah duduk di samping ranjang di sebelahku, s
"Sudah kuduga pasti kamu akan melakukan hal ini! Ya dan aku bisa saja melaporkanmu ke polisi karena sudah berani melakukan percobaan penganiyaan pada pegawaiku," kata laki-laki tua itu, kuakui walau sudah berusia sudah tujuh puluh tahun tetapi beliau masih bertubuh tinggi dan tegap. Karena beliau selalu menjaga stamina tubuh dengan makan makanan bergizi dan juga olahraga ringan seperti jalan kaki hampir setiap hari. Tidak sepertiku yang jarang sekali olahraga, kecuali olahraga di kasur bersama gundikku. Kalau itu sih aku sering. Ups! Apalagi aku juga hobi makan junk food dan makanan berlemak."Lepaskan Erza! Berani sekali kamu! Belum apa-apa saja baru jadi manajer kamu sudah berani menghajar pegawaiku! Kurang ajar kamu Riko!" Aku melepaskan kerah baju Riko. Jujur aku merasa di permalukan oleh Bapak! Kalau beliau mau menegurku kan seharusnya tidak di depan umum seperti ini. Ini sama saja beliau seperti menginjak-injak harga diriku."Ada apa sebenarnya ini? Jelaskan padaku Riko! Jangan
Aku bingung akan pulang kemana. Ingin pulang ke rumah Feni tetapi nanti Feni meminta uang kepadaku. Sebenarnya aku ragu ingin memberikan uang kepada Feni karena jumlahnya hanya sejuta. Yang ada nanti dia nanti malah mengomel, bukannya bersyukur kukasih uang segitu.Pulang ke rumahku juga pilihan yang tidak bagus. Karena di rumahku juga ada Tika dan Ibu. Pasti Tika sudah mengadukan aku kepada Ibu tentang kejadian tempo hari. Duh jadi serba salah nih. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumahku saja. Daripada pulang ke rumah Feni. Setelah memarkirkan mobilku di garasi. Kuamati keadaan sekeliling rumahku yang tampak sepi. Kemana ya kira-kira Tika dan Ibu pergi?Aku membuka pintu dengan kunci serep rumah yang mencekam. Gelap. Padahal hari masih siang. Tercium bau kemenyan meski tidak terlalu menyengat. Kenapa rumahku jadi horor begini sih suasananya?Aku berusaha menyalakan lampu. Aku pun meraih sakelar, lampu tidak berhasil menyala. Tiba-tiba angin berhembus. Membuat bulu kudukku