Aku memunguti pakaianku yang berceceran di lantai dan memakainya kembali.
"Mas, kamu mau kemana? Kan permainan kita belum selesai." Feni berusaha menghalangi dan mencengkeram tanganku.Aku hanya diam saja. Aku langsung berjalan menuju garasi, tempat dimana aku memarkir mobilku.Tak kusangka, Feni malah mengikutiku."Mas, kamu mau ke rumah sakit kan melihat istrimu yang tak berguna itu?" Feni terus memberondongku dengan berbagai pertanyaannya."Diam kamu! Jangan ikut campur urusanku!" Aku menepis tangan Feni yang sedari tadi berusaha memegang tanganku."Mas! Urusanku ya urusanku! Aku harus tahu kamu mau pergi!Aku tak menghiraukan ocehannya. Aku langsung masuk ke dalam mobilku. Tetapi Feni malah berdiri di depan mobilku sambil merentangkan kedua tangannya dan berusaha menghalangi agar mobilku berjalan."Hei kamu! Jangan berdiri di depan situ dong! Gimana aku bisa lewat?" singgung aku kesal. Gimana nggak kesal. Aku penasaran dengan apa yang terjadi pada Gina eh dia malah menghalangiku."Biarin Mas! Kamu toh udah nggak peduli aku lagi! Kamu malah ingin mendatanginya!" Aku membunyikan klakson mobilku berkali-kali agar Feni minggir. Aku tak mau dia mati konyol! Kalau dia mati tentu saja akan menambah masalah!"Minggir! Kalau kamu nggak minggir, uang jatah bulan ini nggak akan aku transfer!" gertakku.Feni pun akhirnya minggir. Dasar jal*ang matre! Di iming-imingi duit aja baru bergerak! Dia kemudian langsung menghampiriku. "Inget ya, Mas! Hari ini juga kamu harus segera mentransfer jatahku!""Iya, iya. Berisik tahu! Dasar di otakku itu hanya ada uang, uang, dan uang!"Aku meninggalkan Feni yang sepertinya dia mengumpatku. Tapi peduli amat! Aku juga tidak mendengarnya. Aku langsung melajukan mobilku ke rumah sakit. Perjalanan yang seharusnya di tempuh dalam waktu lima belas menit. Hanya lima menit saja aku sampai di sana. Aku benar-benar mengebut, tidak mempedulikan pengendara lain maupun rambu lalu lintas. Yang ada di otakku sekarang hanyalah Gina.Aku menanyakan dimana ruangan Gina di rawat tapi pihak resepsionis mengatakan bahwa Gina masih berada di ruangan IGD. Tak berapa lama aku sampai di ruang IGD. Kulihat Ibu dan Tika menangis berpelukan."I, ibu. Tika. Ada apa ini? Kenapa kalian berdua menangis?" Ada apa yang terjadi sebenarnya. Ibu mertua menatapku dengan penuh kebencian. Sama dengan putriku, Tika, seakan dari sorot kedua matanya yang menatapku tajam, seakan-akan tidak ada kata maaf untukku. Apa dia lupa bahwa aku adalah ayah kandungnya?"Mau apa kamu ke sini?" tanya Ibu sambil menatapku dengan sinis."Bagaimana keadaan Gina, Bu?" tanyaku balik dengan nada cemas."Oh bagus ya kelakuan kamu, Rik? Gina sudah tidak ada baru kamu menanyakan keadaannya!"jawab Ibu sambil menunjuk mukaku."Maksud Ibu? Gina sudah tidak ada bagaimana?""Mama udah meninggal!" teriak putriku dengan histeris. "Puas Papa!""Kamu jangan mengada-ngada, Tik!" bentakku pada Tika."Apa aku terlihat bohong Pa! Silakan saja Papa lihat ke dalam ruangan kalau Papa tidak percaya!" Tika balik membentakku. Aku bergegas masuk ke dalam ruangan. Terlihat dua orang perawat sedang menutup kain selimut kepada salah satu pasien.Aku menghampiri salah satu perawat tersebut."Pe, permisi sus. Apa benar ini pasien yang bernama Gina?""Maaf, anda siapanya Ibu Gina, Pak?" tanya salah satu perawat tersebut dengan sopan."Saya suaminya, Sus.""Baik. Maaf Pak dengan berat hati, kami harus mengatakan bahwa istri anda sudah meninggal karena penyakit jantung.""Terus bagaimana dengan bayi saya, Sus?""Bayi anda sudah tidak bisa kami selamatkan karena sudah meninggal di dalam perut ibunya. Jadi kami memutuskan untuk tidak mengeluarkan janinnya." "Apa? Innalillahi wa innalillahi rojiun."Aku meminta para perawat untuk membuka kain penutup yang menutupi wajah istriku. Aku terkejut. Padahal istriku sudah meninggal. Dia tersenyum walau wajahnya sudah memucat. Ya Tuhan. Cantik sekali Gina. Tak kusangka. Baru kali ini aku menyadarinya.Seketika duniaku runtuh mengetahui bahwa anak dan istriku meninggal. Apalagi anak yang dikandung istriku berjenis kelamin laki-laki. Padahal aku sudah sangat ingin memiliki anak laki-laki. Tetapi harapan itu sudah sirna, karena aku malah menyia-nyiakan Gina. Dan malah lebih memilih selingkuh dengan Feni.Aku meremas rambutku. Oh Tuhan mengapa secepat ini Kau ambil istriku. Ini tentu sangat tidak adil bagiku.* * * Pihak keluarga Gina mengurus pemakaman almarhumah Gina dengan baik. Mereka tidak mengizinkan untuk turut serta dalam mengurus jenazah Gina. "Mau apa kamu ke sini?" gertak Bapak mertuaku ketika aku ingin membantu memandikan jenazah istriku."Ri, Riko ingin membantu mengurus jenazah Gina Pak. Anggap saja ini kewajiban Riko yang terakhir kepada Gina," kataku pelan."Apa? Orang seperti kamu masih pantas di sebut suami! Suami macam apa kamu! Yang tega berselingkuh di saat istri sedang hamil! Pergi kamu menjauh dari sini! Aku tidak rela almarhumah putrikku di sentuh oleh pengkhianat macam kamu!" jawab Bapak dengan berang."Ta, tapi Pak.""Tidak ada tapi-tapian. Masih banyak di sini saudara dan kerabat kami yang sanggup untuk mengurus jenazah Gina."Aku pun berlalu dari hadapan Bapak mertua. Percuma saja berdebat dengan beliau. Beliau wataknya keras. Kalau sudah bilang A ya tetap A. Aku melihat Tika menangis sambil memeluk Ibu mertuaku. Air matanya banjir membasahi kerudung dan gamis yang di pakai Ibu. Sesekali Tika menatapku dengan penuh kebencian seolah akulah yang menyebabkan Mamanya meninggal dunia.Sementara Mama dan Papaku sudah datang dari tadi. Beliau membawa berbagai macam bahan sembako seperti gula, teh, kopi, dan masih banyak lagi. Katanya untuk membantu untuk acara selamatan tahlilan. Beliau sudah mengucapkan turut berbeda sungkawa atas kepergian menantunya kepada besan. Tetapi Ibu dan Bapak hanya menanggapinya dengan acuh tak acuh. Aku hanya bisa melihat jenazah Gina dari kejauhan berbaur dengan para tamu yang hadir sambil membacakan dia untuk almarhumah. Sampai tiba di pemakaman pun, keluarga Gina tak mengizinkanku untuk dekat-dekat.Mereka seolah tak menganggapku ada.Tiba-tiba air mata menetes membasahi pipiku. Ya, baru kali ini merasa sangat kehilangan istriku. Sudah dua tahun lebih, aku tidak mempedulikan dan memperhatikan keadaan Gina. Aku sudah bosan. Terlebih saat mengetahui dia hamil, tentu saja aku makin acuh tak acuh. Badannya makin melar dan di berapa bagian tubuh juga menghitam. Membuatku semakin tak betah saja berada di rumah.* * * Flashback mulai."Mas, besok temani aku periksa ke dokter kandungan ya? Aku nggak sabar ingin mengecek perkembangan dan jenis kelamin dedek," pinta Gina waktu itu. Sebenarnya dia sudah berapa kali pergi ke bidan di dekat rumah kami untuk memeriksa kandungan. Tetapi di bidan tidak ada alat USG seperti yang di miliki oleh dokter kandungan.Aku yang baru saja pulang kerja alias lembur, sebenarnya aku bukan lembur mengerjakan pekerjaan kantor. Tetapi aku lembur mengerjai Feni. Pasti kalian sudah tahu kan apa yang kumaksud. Lelah, hal yang pasti kurasakan setelah bertempur dengan Feni. "Loh kamu kan udah sering
[Mas, kok nggak di balas-balas sih? Padahal kamu dari tadi online aja? Aku dengar istrimu mati ya? Syukurlah kalo gitu. Asyik dong kalo dia udah mati, kita bisa segera menikah. Hehehe.]Feni mengirimiku pesan lagi, karena pesan sebelumnya tak kunjung aku balas. Aku kesal membaca pesan darinya Bisa-bisanya sih dia bersyukur atas kematian istriku![Mas, kok kamu diam? Kamu nangis ya? Haha hari gini laki-laki kok menangis di tinggal istrinya mati! Harusnya senang dong malah, kan bisa nikah lagi dengan aku yang masih muda dan seksi!]Mataku panas membaca pesan dari Feni. Ingin rasanya dibanting ponselku bila seandainya tidak ada hal-hal penting di dalam ponselku. Tapi urung kulakukan. Tak berapa lama kemudian ponselku berdering. Rupanya karena aku tak kunjung membalas pesannya, dia langsung meneleponku.[Mas, kamu kemana aja sih? Dari tadi kamu nggak ada membalas pesanku! Aku butuh uang, Mas! Aku ingin melakukan perawatan diri ke salon, belum lagi aku butuh belanja baju, tas, dan sepatu
Alurnya maju mundur ya teman-teman. Lanjutan dari part sebelumnya. * Aku sudah ada janji dengan Feni untuk sarapan bubur ayam di warung Mas Tejo. Aku bersiap berangkat ke butik. Seperti biasa pakaianku sudah di siapkan di atas tempat tidur oleh Gina. Kami tidak mempunyai asisten rumah tangga yang menginap. Hanya ada orang yang membantu membersihkan rumah, mencuci, dan menyetrika pakaian kami secara harian dan tidak menginap, dia bekerja dari pagi sampai siang. Sedangkan untuk urusan memasak, Gina lah yang mengurusnya. Karena sedari kecil dia pandai memasak.Aku sudah terlanjur janji pada Feni. Kalau tidak di turuti bisa-bisa dia marah. Bergegas aku berangkat."Mas, kok buru-buru?" tanya Gina kepadaku."Iya, di butik aku harus briefing karyawan baru dulu," jawabku asal. Tentu saja kalian tahu kalau aku bohong."Sejak kapan ada karyawan baru di butik kita, Mas?" tanya Gina lagi. "Ya, kan produk dan barang yang kita jual bertambah banyak. Otomatis karyawan yang ada kewalahan. Tidak ad
"Kalau sebenarnya Feni itu..." Tika kembali menggantungkan kalimat yang akan dia ucapkan."Halah! Kalau kamu mau memfitnah seseorang jangan tanggung-tanggung, Tik!" geramku."Paling kalau aku memberi tahu siapa Feni yang sebenarnya juga Papa nggak akan percaya. Sudah aku capek berdebat dengan Papa! Nggak ada gunanya!" Tika langsung membalikkan badan dan menaiki tangga menuju kamarnya."Ingat Riko! Urusan kita belum selesai. Kalau sampai aku menemukan bukti kalau kamu yang menyembunyikan sertifikat rumahku. Aku akan membuat perhitungan denganmu!" tunjuk ibu mertua di hadapan wajahku.Ibu menyusul Tika ke kamar. Entah rencana apa yang mereka akan lakukan padaku. Astaga! Serumit inikah masalah sejak kepergian Gina?Aku meremas rambutku. Aku pusing, kemudian aku merebahkan diri di kamarku. Bagaimana kalau nanti ketahuan kalau sertifikat rumah ini sudah aku sekolahkan di Bank?* * *Sore ini aku lebih baik jalan-jalan menghirup udara segar. Toh, hari ini hari minggu. Percuma aku berada di
Aku mengikuti para petugas keamanan Mall yang membawa Tika dan Feni ke kantor. Sebenarnya aku bingung mau membela siapa? Kalau aku membela Tika, kasian Feni. Sebaliknya begitupun aku membela Feni, aku yakin Tika akan semakin membenciku. Akhirnya mereka tiba di kantor keamanan Mall. Tika dan Feni di hadapkan oleh Robi--manajer Mall--. Aku jadi tahu namanya karena dia memakai pin nama di bajunya. Aku melihat dari depan pintu sambil sedikit menyembunyikan badanku. Aku takut kalau mereka menyadari keberadaanku. Ingin sekali aku ikut menengahi mereka. Tapi nyaliku jadi menciut."Pak Robi, mohon maaf tadi dua orang gadis ini membuat keributan di halaman Mall." Satpam 1 mulai menjelaskan."Ada apa sebenarnya? Kalau kalian mau berkelahi jangan di lingkungan Mall kami. Bikin malu saja. Kalian bisa memperburuk citra Mall kami. Cari aja sana area tinju. Sekalian biar kalian puas adu jotos," jawab si Robi dengan ketus. Aku yang pria saja kaget mendengarnya. Ini orang tidak ada lembutnya sama sek
Aku beranikan diri untuk masuk ke dalam. Seandainya Tika tidak menelepon Ibu, mungkin aku tidak akan ikut campur. Tapi ini Tika sudah kelewat batas. Aku harus menghentikannya. Daripada urusanku dengan Ibu dan Bapak makin runyam. Pak Robi dan dua satpam tersebut menatapku dengan heran. Aku langsung memulai pembicaraan."Selamat sore Pak. Maaf, bukannya saya mau ikut campur." Aku memulai pembicaraan. Jujur aku bingung harus berbicara apa. Tetapi keadaan mendesakku."Anda siapa?" tanya Pak Robi.Tika dan Feni terbengong-bengong menatapku. Apalagi Tika menatapku tajam."Hore, Mas Riko ke sini. Pasti Mas akan membelaku kan di sini?" tanya Feni dengan wajah yang berbinar-binar.Sementara itu Tika, matanya menatapku tajam. Dari sorot matanya aku bisa menebak, kalau dia ragu aku akan membelanya. Memang iya sih."Perkenalkan saya Riko, calon suaminya Feni. Kalung itu memang benar milik Feni. Beberapa hari yang lalu, saya memberikannya ke Feni sebagai tanda bukti kalau sebentar lagi Feni akan
Aku menghabiskan waktuku bersama Feni malam ini. Rasa kehilangan karena meninggalnya Gina sebenarnya masih terasa. Tetapi Feni begitu mempesona, sehingga mengalahkan segalanya dan membuatku terlena. Aku pun sampai lupa kalau Gina sudah meninggal.Ponselku dari tadi berdering terus. Terlihat di sana nama Tika, Ibu, dan Bapak bergantian meneleponku. Ada apa sih dengan mereka semua?Avku memilih untuk mematikan ponselku. Malam ini aku akan bersenang-senang dengan Feni. Urusan dengan mereka, biarlah menjadi urusan besok.Pagi hari, aku baru saja membuka mataku. Rupanya tadi malam aku ketiduran. Sehingga lupa kalau hari ini adalah awal pekan. Aku harus segera ngantor alias ke butik. Aku sudah beberapa hari ini tidak mengontrol keadaan butik. Karena aku berkabung atas kepergian Gina. Ah, tidak seutuhnya berkabung juga sih, kan aku butuh hiburan setelah istriku meninggal. Wajar saja kan aku ini lelaki.Baru saja mataku terbuka beberapa saat, Feni sudah duduk di samping ranjang di sebelahku, s
"Sudah kuduga pasti kamu akan melakukan hal ini! Ya dan aku bisa saja melaporkanmu ke polisi karena sudah berani melakukan percobaan penganiyaan pada pegawaiku," kata laki-laki tua itu, kuakui walau sudah berusia sudah tujuh puluh tahun tetapi beliau masih bertubuh tinggi dan tegap. Karena beliau selalu menjaga stamina tubuh dengan makan makanan bergizi dan juga olahraga ringan seperti jalan kaki hampir setiap hari. Tidak sepertiku yang jarang sekali olahraga, kecuali olahraga di kasur bersama gundikku. Kalau itu sih aku sering. Ups! Apalagi aku juga hobi makan junk food dan makanan berlemak."Lepaskan Erza! Berani sekali kamu! Belum apa-apa saja baru jadi manajer kamu sudah berani menghajar pegawaiku! Kurang ajar kamu Riko!" Aku melepaskan kerah baju Riko. Jujur aku merasa di permalukan oleh Bapak! Kalau beliau mau menegurku kan seharusnya tidak di depan umum seperti ini. Ini sama saja beliau seperti menginjak-injak harga diriku."Ada apa sebenarnya ini? Jelaskan padaku Riko! Jangan