Farhana buru-buru meraih gawai lamanya. Dia mencari sesuatu di sana. Jemarinya lincah menggulir koleksi foto dalam galery yang didominasi oleh seseorang.Tak lama, jarinya berhenti di salah satu baris slide. Mata sipit itu memicing, dan seketika memegangi kepalanya. Dia berusaha mengingat sesuatu tapi tak jua muncul ingatan yang ingin digali. "Sudah terlalu lama, ya Allah, apa aku melupakan sesuatu?" lirih Hana. Dia mencatat waktu yang dibacanya pada bagian bawah foto. 13 belas tahun silam, Farhana masih bocah SD kala gambar ini diambil."Kemana aku waktu itu? Mengapa pernyataan kakak begitu?"Farhana disibukkan dengan gelut ingatan yang memudar. Tidak semua momen dapat dia ingat sempurna tanpa bantuan orang lain. Bukankah memori otak hanya merekam kejadian kuat nan berkesan, pikirnya.Seberkas ide terbetik, Farhana mencari kontak para sahabat yang melanjutkan studi dengannya di satu sekolah."Do your magic." Manik mata Hana dengan cepat mengikuti nama kontak yang menggulir. "Teme
Butuh beberapa menit baginya untuk kembali tenang. Hana menarik napas panjang lalu mulai bangun dan menyelesaikan makan."Huuft!" Senyum malu-malu itu masih tampak di wajah manis Farhana.Dia menopang dagu, mengunyah pelan makanan seraya membayangkan bila mereka saling bertatapan nanti. Jemarinya sesekali menutup mata sambil terkekeh-kekeh. Dia juga mengetukkan ujung garpu ke atas trolli, sembari menggigit bibirnya gemas. Hana sedang melambung tinggi. Dia tak mengira bahwa Kayshan bersedia belajar membuka hati untuknya setelah beberapa bulan bersama. Kesabaran akhirnya berbuah manis.Sisa hari pun dilalui mereka seperti biasa. Tak saling jumpa dan sapa. Hanya saja, kali ini Kayshan banyak melakukan sesuatu untuk istrinya itu.Setiap kali Farhana keluar kamar sekadar mengambil minum atau sesuatu, sesering itulah Kay memberinya kejutan. Entah buket coklat, pashmina dan glove senada, gamis bahkan sepatu. Dia membelikan semua kebutuhan bagi sang nyonya yang akan pergi ke sebuah negara.
"Aku ikut." Kayshan lagi-lagi mengulas senyum manis sampai gigi putihnya terlihat. Binar mata Farhana meredup, suaminya sedang pemulihan pasca sakit. Dia tak rela bila Kay memaksakan diri menemani dan harus menahan kesakitan sementara dirinya bersenang-senang. Sang CEO lalu berdiri disamping Hana. Dia menunjukkan chatnya dengan dokter Richard. Pun obrolan dengan Kamala juga Ahmad untuk meminta doa untuk mereka."Jadi?" cicit Hana, tak berani melihat paras suaminya yang hampir menempeli pipi."Honeymoon dimulai," bisik Kayshan sukses membuat istrinya merona. Secepat kilat dia membubuhkan kecupan di pipi Farhana. "Ayo!" Blush! Hana diam menunduk malu.Jemarinya ditarik pelan oleh Kay. Saat Murni hendak memberikan sesuatu pada sang nyonya, Kayshan menampiknya. Pandangan sang CEO menajam untuk si asisten. Dia tahu Murni bekerja pada siapa. Selama ini Kay diam karena sedang mengumpulkan bukti.Tapi, kali ini dia tidak akan membiarkan orang itu bertindak seenaknya pada Hana. Kay berniat
"Bukan, Ma." Kemal menjawab pelan sambil menunduk. "Itu Mehru," lanjutnya masih di posisi yang sama.Kamala menepuk lembut bahu Kemal dua kali sebelum berlalu pergi. Dia paham mengapa anak itu bersikap demikian. Penyebabnya adalah cinta dan pemujaan. Kemal membiarkan Kamala pergi. Dia kagum pada wanita ini, di usia senjanya masih sangat bugar dan cantik. Beliau juga sabar menghadapi Kayshan.Tapi, satu hal yang mengganjal batin Kemal. Beliau belum bersedia menutup aurat. "Ma, hijrah, yuk," lirihnya menatap sayu punggung Kamala yang menjauh."Mama tahu nggak, kalau watak anak-anak mama itu hanya setia pada satu wanita. Seperti mama ... begitupun kedua abangku," gumam sang pria muda. Dia lalu berbalik badan melanjutkan menuju section di sana.Kemal bergelut dengan berbagai jenis pekerjaan yang mulai membuatnya penat. Pria muda itu bahkan sering lupa minum sehingga menyebabkan pinggangnya sakit.Dia baru sadar, bekerja di balik meja membutuhkan tenaga dan konsentrasi penuh. Sesuatu yang
Hana mendengar pintu kamarnya dibuka. Dia panik, lalu mengunci pintu kamar mandi agar Kayshan tak melihatnya berpakaian seperti ini."Hana?!" panggil Kay mencari istrinya saat melihat ruangan kosong. Dia berjalan ke balkon kamar. "Sayang?" Sang nyonya buru-buru memakai bathrobe yang menggantung di toilet lalu diam-diam keluar dari sana.Rasanya dia sudah bergegas menyambar gamis tidurnya dari atas ranjang, tapi kenapa Kayshan tiba-tiba muncul dan malah berhasil menahan bajunya itu.Kayshan menggoda dengan terus menarik bajunya hingga Hana mendekat. Dia penasaran, daritadi ngapain di kamar mandi jika baru ganti baju sekarang."Lepasin," rengek Hana. Dia sudah berusaha menahan tarikan Kay, tapi tenaganya kalah kuat. Hana pun terhuyung ke depan sampai membentur tubuh suaminya.Kay menahan pinggangnya, dia menyingkirkan rambut Hana yang menutupi bahu sehingga tali lingerie itu terlihat."Pakai apa, sih?" godanya lagi pura-pura tak paham."Ish, diem. Sana sana!" Farhana buru-buru merapatk
"Morning, Sayang," suara Kayshan terdengar malas saat menarik pinggang istrinya yang menjauh. "Pagi ... Abang, alarm ponselku nggak bunyi, telat subuhan, nih." Farhana menyingkirkan lengan Kayshan yang melingkari pinggangnya lalu gegas bangun."Bukan nggak bunyi, kita tidur pules banget," bisik Kayshan ikut beringsut saat Hana hendak turun. Wanita itu mengelak ketika Kay akan menjamahnya lagi. Dia buru-buru menuju kamar mandi.Saat melepas lingerie hijau tua yang dia kenakan. Hana melihat kulit putih mulusnya kini dihiasi bercak pink di beberapa titik. Dia menggigit bibir, baru tahu wujud jejak kecupan di permukaan kulitnya. Jemari lentik itu meraba pelan, kuatir menimbulkan rasa nyeri ketika disentuh. Tapi, ternyata tidak.Justru ingatan panas semalam kembali melintas saat dia menelusuri satu per satu jejak tersebut. Farhana buru-buru menggelengkan kepala, meski senyum malu-malunya muncul.Dia gegas membersihkan tubuh dan bersuci lalu keluar dari sana.Ketika hendak menghampar saja
"No? Kenapa?" Suara Farhan ikut terdengar panik di seberang.Farhana memindahkan ponselnya ke telinga kiri agar lebih leluasa. "Pa-aarr, A-abang demam. Aku dah ngompres, pasang selang oksigen dan minumin obat dari ibu ... ta-tappi kok, A-abang nggak mau buka mata," jelas Hana terbata, sambil berjalan mondar mandir dan menggigiti kuku tangannya.Farhan menarik napas panjang. Ibunya telah berpesan bahwa Kayshan kini ada dalam pengawasan Dewiq langsung. Obat yang diberikan saat ini hanya sebagai penunda sakit dan pereda nyeri karena permintaan khusus Kayshan pada Dewiq sebelum pergi ke Skotlandia dengan Hana.Farhan tak dapat jujur tentang kondisi iparnya itu sebab Farhana pasti kebingungan di sana. Dewiq pun tidak mengatakan secara rinci sehingga dia terbatas menyampaikan informasi untuk kembarannya."No, Abang masih napas, nggak?" tanyanya konyol.Farhana mengerutkan keningnya yang mulus. Sekilas menilik dari balkon, pergerakan dada Kayshan apakah masih turun naik. "Ya masih, lah.""
"Jangan pergi kemana-mana lagi, Bang," lirih Kemal yang baru usai menggantikan Farhan mengisi kajian. "Jaga sendiri istrimu, aku belum tentu sanggup menyenangkan hatinya," sambung sang pria muda sembari memakai sandalnya. Kemal berjalan pelan menghampiri kerumunan pria di halaman rumah pribadi sang Yai. Dia menyalimi guru sekaligus pemilik Tazkiya tour tempatnya bernaung sebagai muthowif.Pandangan pun beralih pada Kayshan yang memberikan senyum lesu saat melihat Kemal meminta salim. Adiknya ini selalu saja santun meski dia kerap menyakitinya."Lagi di sini, Dek," tanya Kay lemah disela isakan halus Hana yang masih mendekapnya."Iya. Pulang tiap weekend, Bang," jawab Kemal pelan. Dia ikut pilu mendengar rintihan Hana sekaligus cemas melihat rupa pucat kakak beda ibunya ini. "Ke rumah sakit, Bang, ayo," ajak Kemal sangat lirih.Kayshan mengangguk, tubuhnya setengah melayang, jika tidak didekap erat Farhana, mungkin dia sudah pingsan.Ambulance khusus milik Tazkiya sudah siap terparkir
Farhan langsung mendekat dan mengusap tengkuk Mehru. Dia lalu menuntun istrinya kembali duduk di sebelah Dewiq yang juga terlihat cemas."Tolong ambilkan itu," kata Dewiq pada Farhan, menunjuk ke box putih berisi peralatannya di bawah meja sofa.Lelaki itu gegas meraih benda yang dimaksud dan langsung menyodorkan pada sang mama. Dewiq lantas memeriksa menantunya seksama. Setelah beberapa menit, dia melihat pada Farhan, bergantian dengan Mehru. "Beli testpack, deh. Coba kalian hitung sendiri," katanya sembari bangun meninggalkan mereka.Farhan melihat ke arah istrinya lalu menoleh memanggil sang mama. "Lah, Nyak?" "Masa dokter dan suster nggak peka, hadeuh!" kekeh Dewiq sembari melambaikan tangan."Mas?""Kayaknya sih iya, Yang." Farhan meraih ponselnya dari saku celana. Dia lalu duduk disamping istrinya sambil mengingat dan menghitung masa subur Mehru. "Palingan baru sepekan lebih deh. Pas private party di spa itu 'kan aku haid hari pertama," ujar Mehru mengingat acara satu bulan
Setelah semua dokumen selesai dirapikan, Farhan di ajak Kemal masuk ke dalam untuk menemui Mehru. Debaran jantungnya mulai tak normal ketika nyaris mencapai ambang pintu. Meski dilakukan serba mendadak, tapi dirinya yakin bahwa Dewiq pasti memberikan segala yang terbaik.Langkah kaki Farhan terhenti ketika melihat wanita cantik dalam balutan kebaya serba putih, berdiri dan menunduk malu-malu. Tidak ada singer seperti Hana. Hanya Tiara mungil sebagai penghias sekaligus penahan agar hijab panjangnya tak mudah bergeser."Neng Eru, suaminya datang," bisik Khuzaemah, mengusap lembut punggung Mehru agar mendongakkan kepalanya.Lengan Farhan ditarik Dewiq agar dia melangkah masuk. Tapi lelaki itu malah menahan tangan ibunya."Nyak, bentaran ngapah. Kagak paham amat ni bunyi jantung dah kek bedug lebaran," sungutnya sambil mengusap dada."Tandanya idup brati. Ayo, waktunya mepet ... kamu 'kan harus kuliah nanti malam," balas sang mama tersenyum lebar.Farhan menepuk wajahnya. "Etdah ... kek
Kemal tak henti menciumi pipi Farhana dan merangkulnya mesra sejak keluar dari ruangan dokter obgyn. Dia masih setengah tak percaya jika saat ini Hana mengandung buah hati mereka. "Baru tiga pekan." Hana melingkarkan lengannya pada pinggang sang suami. "Alhamdulillah. Kita sementara pindah ke rumah ibu atau mama aja gimana, Za. Biar aku tenang kalau ke toko," ujar Kemal sembari menarik tuas pintu mobil di basement."Nggak mau. Aku pengen di Parung. Kuliah sudah online lagi ... ada mbak yang bantu ngasuh Arsha, bibi pun pasti sering ke rumah liat aku," pinta Hana ketika suaminya sudah duduk di belakang kemudi."Tapi, Sayang ...."Farhana menggenggam jemari kiri Kemal lalu mengecupnya. "Aku tenang dan betah karena di sana ada bau Kakak. Please, nggak mau pindah," tuturnya lembut sambil memandangi wajah teduh sang suami.Putra Khadijah terdiam sesaat, lalu tersenyum mengangguk. "Kalah dah kalau ibun sudah begini," balasnya seraya mengusap pipi Hana yang mulai chubby.Perjalanan mereka
Farhan gegas ke tangga belakang. Dia menggantikan Hana memapah Kemal naik ke atas."Kenapa, Bang?" "Entah, tiba-tiba pusing banget sampai muter-muter gini," tuturnya lirih sambil menahan kepala.Mehru yang sedang menggendong Farshad, buru-buru merapikan bale di teras belakang. Tapi Hana langsung berlari masuk dan membuka kamar mereka. Dia meminta Farhan memapah suaminya masuk, dan memeriksanya.Kembaran Hana itu gegas turun ke bawah mengambil tas kerja darurat yang ada di bagasi mobilnya.Farhan memeriksa iparnya ini, kemudian meminta Mehru mengambil cairan infus di mobilnya."Pusingnya range berapa, Bang? 1-10," tanya Farhan."7, bukan pusing sakit kepala tapi semua berputar-putar cepat." Kemal masih memejam, sambil memijat tengkuknya."Kalau nyeri parah di bagian tertentu, bilang ya, Bang. Nanti kuresepkan pereda nyeri sebelum cek lab.""Kayaknya Kakak kecapean deh. Pergi pulang antar aku ngampus, ke kantor, ke toko parfum ... ikut ngasuh Arsha, kadang kebangun malam beberapa kali
Segimanapun lelahnya, Kemal takkan tidur sebelum Hana kembali rileks. Seperti saat ini, dia mengusap lembut pundak mulus istrinya sembari membicarakan tentang rencana Hana.Deep talk mulai jadwal kuliah, kegiatan Kemal, sikon Arsha juga hal lain yang saling berkaitan.Hana serasa menemukan teman sebaya, yang membuatnya bebas mengeluarkan pendapat. Sekaligus figur seperti sang ayah, penyabar juga memiliki visi ke depan.Dengan Kemal dia merasa menjadi dirinya sendiri. Farhana mulai manja, kekanakan meskipun sikap anggunnya sebagai keturunan Tazkiya tetap melekat. Ibun menduselkan kepalanya di dada sang suami. Mendengar detak jantung Kemal sebelum tidur kini bagai candu, selalu membuatnya mudah masuk ke alam mimpi.Rengekan Farshad terdengar oleh Kemal satu jam ke depan. Dia juga lelah tapi tak tega membangunkan Hana.Kemal perlahan melepaskan dekapannya lalu turun dari ranjang mendekati box Arsha. "Hai boy, sama abi, ya. Jangan ganggu ibun, oke?" ucapnya lirih seraya menggendong kepo
Kemal menjawab Kamala hanya dengan gelengan kepala, dia mengejar Hana yang masuk ke kamar mandi belakang.Tok. Tok."Zaa, buka bentar," pinta Kemal mengetuk pintu, saat mendengar suara mual muntah dari dalam kamar mandi. "Sayang ...."Beberapa detik kemudian, panel itu terbuka. Hana menyembulkan kepalanya di celah pintu.Kemal mendorong pelan, kuatir istrinya kenapa-napa di dalam. "Buka, Sayang."Hana menggeleng sembari menahan pintu. "Kak, bawa daleman aku nggak di mobil?"Dia ingat, pernah melihat satu kontainer di bagasi Innova Zenix milik suaminya. Ketika Hana tanya apa isinya, sang suami menjawab itu adalah pakaian mereka.Untuk berjaga-jaga jika mendadak menginap di suatu tempat. Semua perlengkapan pribadi sudah tertata rapi dalam satu box."Bawa, kenapa?" tanyanya sembari merapikan rambut Hana yang menyembul dari ujung pashmina.Hana menarik lengan sang suami agar mendekat. "Ada pembalut juga?" bisiknya.Kemal mengernyit, sedang mengingat apakah dirinya sudah membeli barang sa
Farhan menarik kaca spion dalam. Dia memastikan penampilannya sudah rapi. "Apeeeee?" sambar Dewiq kali ini tak kalah judes. Farhan menunjuk ke arah saudaranya juga keluarga Kusuma yang hadir. Mereka tampak membawa kotak hias berisi beberapa barang."Itu apaan?" cicit Farhan. Jantungnya sudah berdebar kencang tapi Dewiq malah keluar dari mobil tanpa menjawab pertanyaannya, begitupun dengan sang ayah.Ahmad hanya menaik-turunkan alisnya ketika Farhan turun dari mobil. Sang ayah menepuk pundak putranya lalu menggamit lengan Farhan.Farhan bertanya pada Mahendra dan Aiswa tapi mereka bilang tidak tahu apa-apa. Hanya diminta datang ke sini pagi ini.Sang dokter mulai gugup ketika melihat kediaman Mehru. Teras rumah gadis itu dipenuhi pria sepuh yang menyambut kedatangan keluarganya.Netra jeli putra Ahmad sibuk melihat sana sini, barangkali ada sosok yang bisa memberi penjelasan singkat, tapi harapannya kosong. Bahkan kembarannya pun entah kemana.Rombongan dipersilakan masuk hunian. Set
Ahmad keluar dari ruang baca dan langsung diberondong pertanyaan oleh Farhan."Dalem, Kak, daleeeeemmmm ...." kata Ahmad, menyahuti panggilan putranya yang terlihat gusar. (Dalem bentuk sangat halus dari iya, selain nggih, dalam budaya Jawa)Farhan menarik lengan Ahmad untuk duduk di ruang tengah. "Babeh ingkar janji?" Dahi sang yai mengernyit. "Janji apa?""Janjiku kepadamu, kek lagu lawas." Farhan merengut sebal, entah kemana larinya emosi tadi. Begitu melihat wajah teduh Ahmad semua seketika sirna. "Yang tentang jodohin itu, loh!" "Enggak. Ayah memang masih menerima beberapa proposal baru. Tapi semuanya dikembalikan ... termasuk milik donatur Banten itu," beber Ahmad sambil menunjuk ke arah meja console tempat biasa dia menaruh map-map proposal. "Tuh, kosong."Farhan mendadak termenung. Jadi, penolakan Mehru tadi apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu? Ucapan Dewiq yang mengatakan pada Mehru bahwa dirinya akan menggelar lamaran ... jadi ditujukan pada gadis mana? Pikir Farhan.
Mehru melangkah tegap meninggalkan taman penghubung antar cluster itu. Kepalanya menunduk, menyembunyikan senyum getir.Dia mawas diri. Mehru sempat mencari tahu silsilah keluarga Reezi dari Mifyaz. Pemuda itu memang tak bercerita banyak, dia hanya mengatakan bahwa sang dokter adalah cucu dari tokoh terpandang nan alim di daerahnya.Habrizi juga merupakan putra pertama Raden Hasbi, seorang pebisnis ulung di Singapura. Ibunya adalah putri pemilik salah satu perusahaan penyuplai obat-obatan dan alat medis. Posisi dokter itu terlalu tinggi untuknya. Bahkan jika Reezi menunduk pun, belum tentu keluarga besarnya setuju.Jika saja ayahnya masih hidup, mungkin Mehru bisa sedikit menegakkan kepala. Dulu, saat pabrik kerupuk mereka masih berjaya, keluarganya dipandang mampu lagi disegani. Namun, semua itu cuma masa lalu. Mehru buru-buru menepis kekecewaannya dengan menggeleng kepala sembari terus melangkah ke suster station.Satu pekan berlalu begitu saja. Sikap Farhan masih sama. Dan sudah