"No? Kenapa?" Suara Farhan ikut terdengar panik di seberang.Farhana memindahkan ponselnya ke telinga kiri agar lebih leluasa. "Pa-aarr, A-abang demam. Aku dah ngompres, pasang selang oksigen dan minumin obat dari ibu ... ta-tappi kok, A-abang nggak mau buka mata," jelas Hana terbata, sambil berjalan mondar mandir dan menggigiti kuku tangannya.Farhan menarik napas panjang. Ibunya telah berpesan bahwa Kayshan kini ada dalam pengawasan Dewiq langsung. Obat yang diberikan saat ini hanya sebagai penunda sakit dan pereda nyeri karena permintaan khusus Kayshan pada Dewiq sebelum pergi ke Skotlandia dengan Hana.Farhan tak dapat jujur tentang kondisi iparnya itu sebab Farhana pasti kebingungan di sana. Dewiq pun tidak mengatakan secara rinci sehingga dia terbatas menyampaikan informasi untuk kembarannya."No, Abang masih napas, nggak?" tanyanya konyol.Farhana mengerutkan keningnya yang mulus. Sekilas menilik dari balkon, pergerakan dada Kayshan apakah masih turun naik. "Ya masih, lah.""
"Jangan pergi kemana-mana lagi, Bang," lirih Kemal yang baru usai menggantikan Farhan mengisi kajian. "Jaga sendiri istrimu, aku belum tentu sanggup menyenangkan hatinya," sambung sang pria muda sembari memakai sandalnya. Kemal berjalan pelan menghampiri kerumunan pria di halaman rumah pribadi sang Yai. Dia menyalimi guru sekaligus pemilik Tazkiya tour tempatnya bernaung sebagai muthowif.Pandangan pun beralih pada Kayshan yang memberikan senyum lesu saat melihat Kemal meminta salim. Adiknya ini selalu saja santun meski dia kerap menyakitinya."Lagi di sini, Dek," tanya Kay lemah disela isakan halus Hana yang masih mendekapnya."Iya. Pulang tiap weekend, Bang," jawab Kemal pelan. Dia ikut pilu mendengar rintihan Hana sekaligus cemas melihat rupa pucat kakak beda ibunya ini. "Ke rumah sakit, Bang, ayo," ajak Kemal sangat lirih.Kayshan mengangguk, tubuhnya setengah melayang, jika tidak didekap erat Farhana, mungkin dia sudah pingsan.Ambulance khusus milik Tazkiya sudah siap terparkir
Farhan sedang bersiap menuju rumah sakit ketika Farhana berlari kecil ke arahnya. Dia langsung duduk di kursi depan padahal kembarannya itu masih membersihkan interior mobil."No, keluar dulu. Nggak bakal ditinggal," pinta Farhan, menowel pundak Farhana."Ogah!" sungutnya masih kesal. "Ayo, Paarr! Udah dua jam nih," rengeknya menarik lengan kemeja Farhan agar gegas berangkat.Dokter muda itu berdecak sebal. Dia terpaksa meletakkan penyedot debu portablenya dan bersiap duduk di belakang kemudi.Kala baru menekan tombol starter, ponsel Farhan berdering. "Ya?" ["Ajak Nana segera ke sini!"] ujar seseorang di ujung telepon."Ada sesuatu?" tanya Farhan ragu-ragu tapi mencoba bersikap tenang sebab Farhana memelototinya.["Lekas!"] sentaknya membuat Farhan menjauhkan gawai itu dari telinga."Oke, oke. Meluncur!" Klik. Farhana memutar posisi duduknya menghadap Farhan. Dia meminta penjelasan tentang telepon tadi."Kemoooonn!" Farhan tak memedulikan tatapan menusuk Hana. Dia berpura-pura tak
Kemal diam sembari menurunkan pandangan. Dia menunggu kalimat lanjutan dari Hana. "Nama gadis itu, Mehru? Orang terdekat Kakak?" Farhana jadi penasaran sebab Kemal tak pernah terlihat atau terdengar bertegur sapa dengan wanita."Hmm. Deket banget," jawabnya pelan. "Oh, pantesan dia mau bantu. Selamat, yah. Semoga happy," sambung Hana datar. Entah mengapa dia tak suka mendengar kalimatnya sendiri.Farhana masih ingat wajah gadis itu, putih mulus dan cantik. Apalagi profesi pekerjaannya mulia, sebagai perawat. Wajar kalau dia bungkam saat didesak Kayshan. Ternyata Kemal adalah orang spesial yang tersirat dalam ucapannya kala itu.Kemal mendongak, melihat wajah gadis ayu di hadapannya. Kedua alis sang lelaki ini ikut mengerut mendengar penuturan Hana."Aku happy, kok. Meski nggak ada sesiapa di sisiku saat ini," balas Kemal sedikit melengkungkan senyum. "Lagian, penghuni hatiku bukan Mehru. Jadi, tidak perlu beri ucapan selamat." Dia berkata sambil berlalu pergi.Farhana melihat keperg
Tatapan para pria itu kini tertuju ke pintu yang mulai terbuka sebab terdorong dari luar. Seorang gadis ayu muncul di sana. Sejenak, dia terheran sebab pandangan para penghuni ruangan terpusat padanya."P-pak?" cicitnya ragu ketika akan melangkah ke arah Kayshan. Dia memilih mendekap map di depan dadanya seakan ingin bersembunyi di sebaliknya."Sini," kata Kayshan menggerakkan jarinya agar Gisel mendekat.Sekretaris Kayshan itu menyerahkan dokumen pada sang pimpinan sekaligus menarik pulpen dari holder. Ketika Gisel membuka halaman untuk sign, Kayshan bertanya, "Dia sudah datang?" Sekretaris ayu itu mengangguk. "Sudah, Pak." "Siapkan ruang meeting." Kay menutup map tadi dan menyerahkan kembali pada Gisel."Baik." Gadis berkacamata itu berlalu pergi setelah menerima kembali dokumennya. Namun, saat tiba di ambang pintu, dia berdiri menyamping sembari membuka panelnya lebar. "Mari, gentleman," sambung Gisel, menjulurkan lengan, menyilakan para staf keluar ruangan.Jajaran top managem
"Abiii!" Dia berlari mendekat sambil merentangkan kedua tangannya.Kemal berhenti tepat di depan lift. Dia tersenyum lalu berjongkok, bersiap menyambut si gadis cantik yang sedang berlari ke arahnya."Jangan lari-lari, Sayang!" serunya tapi tak digubris anak itu. Dia tetap berlari sepanjang lorong.Senyum lebar tersungging di bibir pink seperti Cherry. Pipinya merona karena dingin meski gamis dan hijab hitam menjuntai menutupi tubuh mungilnya. Grep!"Abi!" "Alhamdulillah. Kesayangan Abi dah pulang ke Jakarta lagi." Kemal mendekap erat Gauri, dia rindu ocehan gadis ini jika dirinya menginap di rumah Kamala.Saat perjumpaan pertama mereka beberapa tahun lalu, gadis itu sedang mengamuk dan memukuli Kayshan karena enggan makan dan minum obat.Kemal yang baru mendarat dari Jeddah, tak tega melihat Gauri terus memberontak dalam gendongan Kayshan.Kamala menjelaskan kondisi Gauri saat itu. Biasanya Kay dapat menenangkannya tapi suasana hati Kayshan masih dirundung pilu setelah kepergian E
Farhana memulai pemeriksaan dengan pengecekan ovulasi, lalu Histerosalpingografi (HSG) alias rontgen untuk memperlihatkan kondisi rahim dan tuba falopi secara real-time alias langsung.Setelah itu USG transvaginal, Histeroskopi untuk mengatasi masalah polip, fibroid, dan perdarahan abnormal, serta memastikan hasil pemeriksaan HSG. Kemudian Laparoskopi, mendiagnosis serta mengobati penyakit terkait gangguan pada area perut dan panggul.Dikuatirkan Farhana mengalami gangguan pada endometriosis, tumor fibroid, kista, suka nyeri panggul, dan masalah kesuburan. Saat melakukan tes ini, dokter membius pasien.Farhan setia menemani kembarannya sampai semua rangkaian test selesai. Dewiq pun meminta putrinya itu langsung opname dalam satu ruangan dengan Kayshan.Beberapa jam kemudian, Hana mual muntah dan merasakan nyeri di daerah perut bagian bawah sebagai efek samping setelah semua prosedur dijalani.Hana meringis nyeri meskipun dokter telah memberikan obat pereda sakit. "Perjuanganku jadi ib
Farhana langsung menghubungi ibunya agar menjemput Kayshan saat itu juga.Namun, ketika Hana ingin melepaskan cengkraman Kayshan dari dasternya, lelaki itu malah menahan pergelangan tangannya. "Aku nggak apa, Sayang. Besok aja," ucapnya lemah sembari beringsut ke atas dan memeluk gulingnya."Nggak, ke RS sekarang aja," tampik Hana bergegas menyiapkan koper dan kebutuhan sang suami selama di Rumkit."Hana," tahannya lagi. "Aku masih pengen tidur di rumah meluk kamu sebelum operasi besok." Dia tersenyum getir, tatapannya pun ikut sendu.Farhana diam, ikut merasa pilu saat melihat sorot mata sang suami. Dia pun mengabulkan permintaan Kayshan dan urung melanjutkan niatan.Keduanya saling meleburkan rasa cemas, gundah sekaligus memperkuat dengan banyak untaian doa.Keesokan pagi. Kayshan sudah terbaring di brangkar ruang isolasi mengenakan baju operasi berwarna biru, selaras dengan masker berwarna senada yang menutup mulutnya.Infus tergantung menetes dari selang menuju ke tangannya di sis
Farhan langsung mendekat dan mengusap tengkuk Mehru. Dia lalu menuntun istrinya kembali duduk di sebelah Dewiq yang juga terlihat cemas."Tolong ambilkan itu," kata Dewiq pada Farhan, menunjuk ke box putih berisi peralatannya di bawah meja sofa.Lelaki itu gegas meraih benda yang dimaksud dan langsung menyodorkan pada sang mama. Dewiq lantas memeriksa menantunya seksama. Setelah beberapa menit, dia melihat pada Farhan, bergantian dengan Mehru. "Beli testpack, deh. Coba kalian hitung sendiri," katanya sembari bangun meninggalkan mereka.Farhan melihat ke arah istrinya lalu menoleh memanggil sang mama. "Lah, Nyak?" "Masa dokter dan suster nggak peka, hadeuh!" kekeh Dewiq sembari melambaikan tangan."Mas?""Kayaknya sih iya, Yang." Farhan meraih ponselnya dari saku celana. Dia lalu duduk disamping istrinya sambil mengingat dan menghitung masa subur Mehru. "Palingan baru sepekan lebih deh. Pas private party di spa itu 'kan aku haid hari pertama," ujar Mehru mengingat acara satu bulan
Setelah semua dokumen selesai dirapikan, Farhan di ajak Kemal masuk ke dalam untuk menemui Mehru. Debaran jantungnya mulai tak normal ketika nyaris mencapai ambang pintu. Meski dilakukan serba mendadak, tapi dirinya yakin bahwa Dewiq pasti memberikan segala yang terbaik.Langkah kaki Farhan terhenti ketika melihat wanita cantik dalam balutan kebaya serba putih, berdiri dan menunduk malu-malu. Tidak ada singer seperti Hana. Hanya Tiara mungil sebagai penghias sekaligus penahan agar hijab panjangnya tak mudah bergeser."Neng Eru, suaminya datang," bisik Khuzaemah, mengusap lembut punggung Mehru agar mendongakkan kepalanya.Lengan Farhan ditarik Dewiq agar dia melangkah masuk. Tapi lelaki itu malah menahan tangan ibunya."Nyak, bentaran ngapah. Kagak paham amat ni bunyi jantung dah kek bedug lebaran," sungutnya sambil mengusap dada."Tandanya idup brati. Ayo, waktunya mepet ... kamu 'kan harus kuliah nanti malam," balas sang mama tersenyum lebar.Farhan menepuk wajahnya. "Etdah ... kek
Kemal tak henti menciumi pipi Farhana dan merangkulnya mesra sejak keluar dari ruangan dokter obgyn. Dia masih setengah tak percaya jika saat ini Hana mengandung buah hati mereka. "Baru tiga pekan." Hana melingkarkan lengannya pada pinggang sang suami. "Alhamdulillah. Kita sementara pindah ke rumah ibu atau mama aja gimana, Za. Biar aku tenang kalau ke toko," ujar Kemal sembari menarik tuas pintu mobil di basement."Nggak mau. Aku pengen di Parung. Kuliah sudah online lagi ... ada mbak yang bantu ngasuh Arsha, bibi pun pasti sering ke rumah liat aku," pinta Hana ketika suaminya sudah duduk di belakang kemudi."Tapi, Sayang ...."Farhana menggenggam jemari kiri Kemal lalu mengecupnya. "Aku tenang dan betah karena di sana ada bau Kakak. Please, nggak mau pindah," tuturnya lembut sambil memandangi wajah teduh sang suami.Putra Khadijah terdiam sesaat, lalu tersenyum mengangguk. "Kalah dah kalau ibun sudah begini," balasnya seraya mengusap pipi Hana yang mulai chubby.Perjalanan mereka
Farhan gegas ke tangga belakang. Dia menggantikan Hana memapah Kemal naik ke atas."Kenapa, Bang?" "Entah, tiba-tiba pusing banget sampai muter-muter gini," tuturnya lirih sambil menahan kepala.Mehru yang sedang menggendong Farshad, buru-buru merapikan bale di teras belakang. Tapi Hana langsung berlari masuk dan membuka kamar mereka. Dia meminta Farhan memapah suaminya masuk, dan memeriksanya.Kembaran Hana itu gegas turun ke bawah mengambil tas kerja darurat yang ada di bagasi mobilnya.Farhan memeriksa iparnya ini, kemudian meminta Mehru mengambil cairan infus di mobilnya."Pusingnya range berapa, Bang? 1-10," tanya Farhan."7, bukan pusing sakit kepala tapi semua berputar-putar cepat." Kemal masih memejam, sambil memijat tengkuknya."Kalau nyeri parah di bagian tertentu, bilang ya, Bang. Nanti kuresepkan pereda nyeri sebelum cek lab.""Kayaknya Kakak kecapean deh. Pergi pulang antar aku ngampus, ke kantor, ke toko parfum ... ikut ngasuh Arsha, kadang kebangun malam beberapa kali
Segimanapun lelahnya, Kemal takkan tidur sebelum Hana kembali rileks. Seperti saat ini, dia mengusap lembut pundak mulus istrinya sembari membicarakan tentang rencana Hana.Deep talk mulai jadwal kuliah, kegiatan Kemal, sikon Arsha juga hal lain yang saling berkaitan.Hana serasa menemukan teman sebaya, yang membuatnya bebas mengeluarkan pendapat. Sekaligus figur seperti sang ayah, penyabar juga memiliki visi ke depan.Dengan Kemal dia merasa menjadi dirinya sendiri. Farhana mulai manja, kekanakan meskipun sikap anggunnya sebagai keturunan Tazkiya tetap melekat. Ibun menduselkan kepalanya di dada sang suami. Mendengar detak jantung Kemal sebelum tidur kini bagai candu, selalu membuatnya mudah masuk ke alam mimpi.Rengekan Farshad terdengar oleh Kemal satu jam ke depan. Dia juga lelah tapi tak tega membangunkan Hana.Kemal perlahan melepaskan dekapannya lalu turun dari ranjang mendekati box Arsha. "Hai boy, sama abi, ya. Jangan ganggu ibun, oke?" ucapnya lirih seraya menggendong kepo
Kemal menjawab Kamala hanya dengan gelengan kepala, dia mengejar Hana yang masuk ke kamar mandi belakang.Tok. Tok."Zaa, buka bentar," pinta Kemal mengetuk pintu, saat mendengar suara mual muntah dari dalam kamar mandi. "Sayang ...."Beberapa detik kemudian, panel itu terbuka. Hana menyembulkan kepalanya di celah pintu.Kemal mendorong pelan, kuatir istrinya kenapa-napa di dalam. "Buka, Sayang."Hana menggeleng sembari menahan pintu. "Kak, bawa daleman aku nggak di mobil?"Dia ingat, pernah melihat satu kontainer di bagasi Innova Zenix milik suaminya. Ketika Hana tanya apa isinya, sang suami menjawab itu adalah pakaian mereka.Untuk berjaga-jaga jika mendadak menginap di suatu tempat. Semua perlengkapan pribadi sudah tertata rapi dalam satu box."Bawa, kenapa?" tanyanya sembari merapikan rambut Hana yang menyembul dari ujung pashmina.Hana menarik lengan sang suami agar mendekat. "Ada pembalut juga?" bisiknya.Kemal mengernyit, sedang mengingat apakah dirinya sudah membeli barang sa
Farhan menarik kaca spion dalam. Dia memastikan penampilannya sudah rapi. "Apeeeee?" sambar Dewiq kali ini tak kalah judes. Farhan menunjuk ke arah saudaranya juga keluarga Kusuma yang hadir. Mereka tampak membawa kotak hias berisi beberapa barang."Itu apaan?" cicit Farhan. Jantungnya sudah berdebar kencang tapi Dewiq malah keluar dari mobil tanpa menjawab pertanyaannya, begitupun dengan sang ayah.Ahmad hanya menaik-turunkan alisnya ketika Farhan turun dari mobil. Sang ayah menepuk pundak putranya lalu menggamit lengan Farhan.Farhan bertanya pada Mahendra dan Aiswa tapi mereka bilang tidak tahu apa-apa. Hanya diminta datang ke sini pagi ini.Sang dokter mulai gugup ketika melihat kediaman Mehru. Teras rumah gadis itu dipenuhi pria sepuh yang menyambut kedatangan keluarganya.Netra jeli putra Ahmad sibuk melihat sana sini, barangkali ada sosok yang bisa memberi penjelasan singkat, tapi harapannya kosong. Bahkan kembarannya pun entah kemana.Rombongan dipersilakan masuk hunian. Set
Ahmad keluar dari ruang baca dan langsung diberondong pertanyaan oleh Farhan."Dalem, Kak, daleeeeemmmm ...." kata Ahmad, menyahuti panggilan putranya yang terlihat gusar. (Dalem bentuk sangat halus dari iya, selain nggih, dalam budaya Jawa)Farhan menarik lengan Ahmad untuk duduk di ruang tengah. "Babeh ingkar janji?" Dahi sang yai mengernyit. "Janji apa?""Janjiku kepadamu, kek lagu lawas." Farhan merengut sebal, entah kemana larinya emosi tadi. Begitu melihat wajah teduh Ahmad semua seketika sirna. "Yang tentang jodohin itu, loh!" "Enggak. Ayah memang masih menerima beberapa proposal baru. Tapi semuanya dikembalikan ... termasuk milik donatur Banten itu," beber Ahmad sambil menunjuk ke arah meja console tempat biasa dia menaruh map-map proposal. "Tuh, kosong."Farhan mendadak termenung. Jadi, penolakan Mehru tadi apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu? Ucapan Dewiq yang mengatakan pada Mehru bahwa dirinya akan menggelar lamaran ... jadi ditujukan pada gadis mana? Pikir Farhan.
Mehru melangkah tegap meninggalkan taman penghubung antar cluster itu. Kepalanya menunduk, menyembunyikan senyum getir.Dia mawas diri. Mehru sempat mencari tahu silsilah keluarga Reezi dari Mifyaz. Pemuda itu memang tak bercerita banyak, dia hanya mengatakan bahwa sang dokter adalah cucu dari tokoh terpandang nan alim di daerahnya.Habrizi juga merupakan putra pertama Raden Hasbi, seorang pebisnis ulung di Singapura. Ibunya adalah putri pemilik salah satu perusahaan penyuplai obat-obatan dan alat medis. Posisi dokter itu terlalu tinggi untuknya. Bahkan jika Reezi menunduk pun, belum tentu keluarga besarnya setuju.Jika saja ayahnya masih hidup, mungkin Mehru bisa sedikit menegakkan kepala. Dulu, saat pabrik kerupuk mereka masih berjaya, keluarganya dipandang mampu lagi disegani. Namun, semua itu cuma masa lalu. Mehru buru-buru menepis kekecewaannya dengan menggeleng kepala sembari terus melangkah ke suster station.Satu pekan berlalu begitu saja. Sikap Farhan masih sama. Dan sudah