Aku menarik Aiman keluar rumah. Bapak memperhatikan kami dari kursinya. Begitu pula dengan ibu yang sedang bermain dengan anak polisi yang bapaknya kini sedang kuseret tangannya keluar pagar.
Om terkampret ini malah senyum-senyum sendiri karena kuajak pergi. Apa dia pikir aku sedang mengajaknya mojok?
Bah!
"Om! Saya tahu saya salah. Dan saya berterima kasih sebanyak-banyaknya pada om yang —"
"Jangan panggil saya om, Mela —" ringisnya.
Aku tetap melanjutkan ucapan ku walau dia memotongnya sejenak.
"— yang sudah menyelamatkan saya dari insiden memalukan kemarin. Tapi om —"
Aiman menarik alisnya ke atas. Lihatlah duda satu anak ini. Usianya memang dua kali lipat dari usiaku, tapi kenapa ketampanannya setara dengan mas Adi si kasir Indoapril sih? Mereka kalau jalan bareng mungkin nggak akan kelihatan umurnya beda jauh!
Pak AKBP Aiman ini memang defenisi duda keren yang sebenarnya. Wajahnya bersih bahkan lebih mulus dari kakiku yang berbulu. Hidungnya mancung dan tipe pria gagah berani. Beda sekali dengan polisi yang sering kulihat gendut di beberapa kesempatan. Dan bibirnya itu...aduh.
Fokus Mel..fokus!
"Sekali lagi kamu panggil saya om, langsung saya nikahin nih."
Aku mendelik. Aiman malah cengengesan tanpa berdosa.
"Oke! Oke! Bang Aiman! Gini yah..intinya saya nggak mau nikah sama abang. Jangan paksa saya untuk balas budi dengan cara seperti itu please!" Aku menggosok-gosokkan kedua tanganku untuk minta ampun. Tapi beliau ini tetap tak bergeming.
"Saya masih kinyis-kinyis begini om! Eh bang! Jadi.. please cari yang lain saja. Kalau ada kerjaan lain saya siap deh, tapi jangan jadi binik Abang."
Aiman maju selangkah yang membuatku langsung refleks mundur ke belakang. Di belakangku ada selokan yang kalau saja Aiman tidak menahan punggungku, bisa saja aku terjerembab jatuh ke dalamnya. Tapi tetap saja, posisi seperti ini malah membuat wajah Aiman terlalu dekat di depan wajahku. Dan itu membuatku grogi hingga rasanya ingin pipis.
"Memangnya kenapa? Saya juga masih kinyis-kinyis kok. Langka loh dapet duda kayak saya. Seharusnya kamu beruntung."
Beruntung nenek gayung! Maunya apa sih om-om satu ini!
Baru saja selesai mengumpat, Aiman malah semakin memajukan wajahnya padaku. Aku refleks tutup mata sambil mendorong tubuhnya menjauh. Aiman tertawa, aku yang ketar-ketir.
"Jangan macem-macem yah! Saya laporin polisi!"
"Kan saya polisinya —" balasnya.
Aku langsung menghentak-hentakkan kaki karena merasa tak berdaya sama sekali. Oh Mela Iskandar! Mana embel-embel preman yang biasa kau gaungkan? Hari ini melawan duda beranak satu ini saja kau tak berdaya! Padahal kemarin kau berkelahi satu lawan satu dengan preman amplas dan kau tak gentar!
Ayo Mel! Hajar!
"Pokoknya saya nggak mau!"
"Kamu tinggal pilih saja. Nggak jadi kuliah di UI dan ke Jakarta karena saya laporin kamu tentang penggerebekan kemarin, atau kamu kuliah di UI, tinggal di Jakarta tapi menikah sama saya sambil asuh anak saya. Kamu kan pinter Mela. Pasti bisa milih mana yang baik untuk masa depan kamu," ucapnya sambil mengacak rambutku dan juga tersenyum penuh persekongkolan padaku.
Dengan langkah lebar, aku mengikutinya yang hendak kembali ke rumah. Peduli amat dengan jabatannya, aku jelas sekali ingin melakukan ini.
"Om... bentar!"
Aiman berbalik dan saat itu juga kulayangkan satu pukulan keras ke wajahnya. Dia mengaduh tapi tak membalasku. Justru malah tertawa nyengir sambil mengelus pipinya.
"Boleh juga. Tapi laporan kamu jadi dua yah. Penggerebekan dan pemukulan. Hukumannya bisa lebih dari tiga tahun loh."
Aku menjerit frustasi sambil mengacak rambutku gemas.
Ya Allah! Kenapa nasibku jadi begini?
====
Sejak pengumuman lolos masuk kuliah lewat jalur undangan, beginilah keseharianku.Jungkir balik di depan layar untuk membuat konten sederhana dengan followers yang tak seberapa. Tetanggaku juga bingung. Bagaimana bisa Mela Iskandar — preman kampung yang hobinya tiktokan bisa tembus masuk ke Universitas berkelas se- Indonesia. Se-Indonesia loh yah. Bukan cuma se Sumatera Utara saja! Bangga kan? Bangga lah! Masa enggak!"Woi! Mel!"Aku menoleh begitu suara teman bobrokku itu datang berkunjung. Seperti kebiasaannya, Donita boru Sidamanik ini akan datang tepat sebelum makan siang. Untung cuma numpang makan, bukan tidur apalagi mandi."Apa?" jawabku sambil mengedit video joget Money-nya Lalisa Manoban yang tengah viral beberapa bulan ini. Kulihat dari sudut mataku, Donita duduk melorot di kursi bambu depan rumahku."Kapan berangkat ke Jakarta? Kalau kau nggak ada..aku sama siapa wak? Kenapa nggak daftar di USU aja sih? Tega banget!"Donita pagi-pagi sudah ngedrama. Daripada boru Sidaman
Selain hobiku yang suka jahilin anak kecil maupun dewasa, hobiku yang lain adalah motor-motoran sambil mampir ke IndoApril yang letaknya ada di seberang gang.Bukan tanpa alasan aku ke sana belakangan ini. Tempat itu menjadi tempat favorit ku enam bulan terakhir setelah seorang pria tampan yang mirip dengan idolaku, bekerja di sana.Namanya mas Adi. Wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan Song Kang.Iya..Song Kang yang tengah digandrungi para penggemar drama Korea saat ini.Ya Allah...ada yah aktor rasa lokal begini? Mana dia juga sadar banget kalau dikatain mirip dengan aktor dari Korea Selatan itu. Penampilannya juga sengaja dibuat sekeren itu, agar pengunjung minimarketnya ramai.Untuk memata-matai, akulah jagonya. Segala tentangnya sudah kukantongi. Umur, tempat tinggal, tamatan mana, hobi..semuanya! Kecuali nomor handphone saja.Heh!Agar tidak terlalu kentara, biasanya aku akan berakting tidak terpengaruh dengan pesona mas Adi. Padahal jika di telaah lebih dekat, jantungku nyar
Aku mengeraskan suara headset ku saat ibu masuk ke dalam kamar. Sembari bermain game di laptop, aku melihat dari sudut mataku, ibu sedang menggelengkan kepalanya prihatin."Mel!"Ibu menarik headset ku sambil menepuk kepalaku lembut."Udah mandi?""Udah," jawabku irit."Udah salat?""Kan libur buk," jawabku, masih fokus ke layar laptop.Setelah kejadian tadi, aku langsung tidak mood untuk melakukan apapun. Termasuk turun untuk makan malam atau bahkan membalas pesan mas Adi yang terus memintaku untuk membalas pesannya. Kata orang, aku cepat sekali berubah moodnya saat sedang datang bulan. Meskipun ada hal-hal yang kusukai, jika moodku buruk karena sesuatu hal, maka semua itu tidak ada artinya. Tidak ada obatnya. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menunggu sejam atau dua jam menenangkan diri hingga moodku kembali. Seperti yang kulakukan sekarang ini.Ibu cengengesan, "Oh iya. Ibu lupa. Terus..nggak ke bawah gitu?"Aku menoleh ke arah ibu. Mengeryitkan dahi karena bingung dengan pertanyaan
Baru selesai menyapu teras dan menyiramnya dengan air bekas mengepel rumah, sepasang sepatu kulit hitam berada tepat di depan pagar.Perlahan aku menaikkan kepalaku dan langsung bersitatap dengan duda beranak satu yang bernama Aiman itu.Bah..besar juga nyalinya datang ke sini lagi.Orangnya padahal ganteng, tapi pelit senyum. Sudah tahu ada maksud datang ke rumah, menyapaku dengan senyuman pun tidak. Masih lebih enak dilihat wajah anaknya daripada bapaknya. Kalau tidak salah namanya Gala. Anak kecil itu begitu turun dari buaian bapaknya, langsung menerobos memeluk kakiku. Aku cuma bisa nyengir sambil mendengarkan celotehannya."Kak Mela! Gala main sini lagi yah," pintanya."Eh..kok tahu nama kakak?" Aku melirik sinis ke bapaknya."Tahu dong. Kan papa yang ngasih tahu!"Aku berlutut untuk menyetarakan tubuhku padanya. Bocah itu nyengir sambil kucium wangi bedak bayi yang terkeluar dari badannya. Sepertinya dia sudah mandi. Beda sekali denganku yang bangun tidur langsung ditugaskan unt
“Om..Aiman?”Ya Allah. Belum apa-apa aku sudah mendapat musibah sebesar ini. Bagaimana kalau Aiman ngadu ke bapak kalau aku dan yang lainnya numpang parkir di depan diskotik?Kacau!Lihat gelagat om sompret satu ini saja sudah membuatku tak berdaya. Dia malah senyum-senyum sendiri melihatku tertangkap basah.“Kamu kenal, Mel?” tanya Mas Adi setengah berbisik.Aku mengangguk kemudian pasang badan untuk menghadapi polisi berpangkat AKBP ini.“Om! Ini bukan yang kayak om bayangin.”“Saya bukan om kamu,” jawabnya jutek.“Oke pak. Ini bukan seperti yang bapak bayangkan.”Sudah kuganti sapaan untuknya, duda ganteng ini malah menarik turunkan alisnya seolah tidak terima juga. Memangnya mau dipanggil apa?Sayang? Kan nggak mungkin!“Hum. Saya nggak bayangin, tapi saya lihat sendiri. Anaknya pak Agus datang ke diskotik.”“Pak!?”Aku tak sengaja bersuara tinggi padanya membuat yang lainnya menoleh. Karena malu, kupalingkan wajahku lalu duduk di dekat parit. Mas Adi ikut duduk di sebelahku. Dari
Om polisi itu benar-benar memanfaatkan sogokan yang kuberikan. Setelah dinas dua hari keluar kota waktu itu, dia lanjut menitipkan anaknya — yang ia antar pagi hari lalu sekitar pukul tiga sore akan dia jemput — selama hampir dua minggu berlalu.Permintaan om polisi itu juga tidak main-main. Harus aku yang menjaga Gala selama anak itu berada di rumah ini. Bukan ibu maupun bapak. Sadis. Uang jajan pun tak diberi!Akupun juga tidak bisa kemana-mana karena harus menjaga Gala yang senang sekali bermain layangan. Memang tidak sulit untuk menjaga anak lima tahun itu, karena Gala termasuk anak yang penurut.Disuruh makan ya makan, disuruh tidur ya tidur, disuruh mandi ya nurut, semuanya Gala lakukan sesuai keinginanku. Gala memang anak yang pintar. Karena itu, dua minggu tak terasa berat bagiku mengasuh anak itu. Yang berat mungkin mesti melihat om kampret itu setiap pagi dan sore. Hatiku resah bukan karena suka padanya, tapi resah gelisah takut ia membongkar rahasiaku pada ibu ataupun bapa
Ucapan Gala terus terngiang di kepalaku. Siapa pula yang mengajarkan anak umur lima tahun membicarakan tentang mama baru untuk papanya?Dan Gala nunjuk aku untuk ucapan ngelanturnya itu.“Aku jadi mamaknya?”Bah! Nggak bisa dibiarin nih. Pasti Om sompret itu membahas sesuatu dengan anaknya, protesku dalam hati.Gara-gara itu, tujuan jalan-jalan ku dengan mas Adi menjadi kacau. Mungkin karena aku terus diam dan memikirkan celotehan Gala, aku dan mas Adi malah terlihat canggung dan tidak menikmati jalan-jalan ini. Mas Adi menegurku saat kami nongkrong di pinggiran warung kaki lima yang menyediakan bakso bakar dan segala jenis cemilan lainnya itu.“Kok diem aja Mel? Jalan-jalan sama aku nggak seru yah?”“Hah? Nggak kok mas. Ini kan mendadak, jadi nggak tahu mau kemana,” elakku.Melihat wajah mas Adi, aku jadi kasihan. Padahal aku sedang jalan berdua dengannya tapi isi kepalaku malah tentang Gala dan bapaknya.“Iya sih. Kapan berangkat ke Jakarta?”“Harusnya sih dua minggu lagi. Kenapa ma
“Maksud pak Aiman gimana yah?” tanya bapak bingung. Akupun ikut bingung. Tapi jujur saja, aku bisa tebak ke mana arah pembicaraan ini. Instingku terlalu kuat untuk hal mencurigakan seperti ini.“Begini pak, ijinkan saya nikahin Mela, anak bapak.”Aku yang tadinya nangis brutal, kini pipiku langsung kering kerontang mendengar ucapannya. Bukan seperti aku yang kaget hingga berdiri dari sofa, ibu sama bapak malah bisik-bisik di sampingku.“Om ini masih pagi, jangan ngajak gelut dong.““Ih Mela! Jangan nggak sopan gitu.”“Om polisi ini yang nggak sopan buk. Baru kenal beberapa minggu udah ngajak kawin,” protesku.“Hussh nikah Mel, kawin mah kucing.”“Sama aja! Nikah, kawin, kimpoi —“Bibirku langsung dijejelin bantal sofa oleh ibu. Bapak malah terkekeh begitu pula dengan om polisi itu. “Maaf pak Aiman, si Mela mulutnya nggak bisa diajarin.”“Nggak apa-apa buk. Dia lucu kok,” senyumnya yang menurutku malah terlihat horor. Aku menatapnya benci persis seperti di sinetron yang biasa ibu tont