Ucapan Gala terus terngiang di kepalaku. Siapa pula yang mengajarkan anak umur lima tahun membicarakan tentang mama baru untuk papanya?
Dan Gala nunjuk aku untuk ucapan ngelanturnya itu.“Aku jadi mamaknya?”Bah! Nggak bisa dibiarin nih. Pasti Om sompret itu membahas sesuatu dengan anaknya, protesku dalam hati.Gara-gara itu, tujuan jalan-jalan ku dengan mas Adi menjadi kacau. Mungkin karena aku terus diam dan memikirkan celotehan Gala, aku dan mas Adi malah terlihat canggung dan tidak menikmati jalan-jalan ini. Mas Adi menegurku saat kami nongkrong di pinggiran warung kaki lima yang menyediakan bakso bakar dan segala jenis cemilan lainnya itu.“Kok diem aja Mel? Jalan-jalan sama aku nggak seru yah?”“Hah? Nggak kok mas. Ini kan mendadak, jadi nggak tahu mau kemana,” elakku.Melihat wajah mas Adi, aku jadi kasihan. Padahal aku sedang jalan berdua dengannya tapi isi kepalaku malah tentang Gala dan bapaknya.“Iya sih. Kapan berangkat ke Jakarta?”“Harusnya sih dua minggu lagi. Kenapa mas?”Mas Adi terlihat senyum-senyum kucing garong.“Minggu depan kita jalan-jalan lagi yah. Kali ini terencana,” tukasnya dan aku mengiyakan.Sesuai janji, kami pun pulang setelah dua jam berlalu. Sampai di rumah aku juga tak menyapa mas Adi dengan benar karena kepikiran masalah itu. Mas Adi pulang, sedangkan aku sibuk mencari sumber suara orang-orang yang tengah bersenda gurau di halaman belakang.Dan seperti dugaanku, Gala dan papanya masih berada di rumah. Gala tertawa dengan riang begitu melihatku pulang.“Yey! Kak Mela pulang!”“Kok cepet pulangnya?” tegur ibu. Aku yang tengah badmood, duduk di samping ibu sambil merampas jus jeruk yang beliau sediakan. Kebetulan pula ibu buat rujak mangga dan nanas, semakin lahap lah aku makan tanpa canggung di depan pak polisi itu.“Kan tadi bapak ngancam harus cepat pulang,” sindirku pada bapak yang tengah asik makan Gorsam.Kalau di Medan ada cemilan yang namanya Gorsam alias goreng sambal. Ini sambal bukan seperti sambal biasanya. Rasanya bukan sambalado tapi asam cuka, pedas cabai dengan manisnya gula merah. Lebih enak dimakan bersama pisang goreng. Apalagi kalau pisangnya itu pisang raja atau pisang kepok, beuh. Mantap!Mendengar ocehan ku, bapak cengengesan tanpa dosa.“Nggak baik jalan berduaan.”“Iyaaaa,” balasku panjang.Karena dalam suasana santai begini, akupun mencoba membahas tentang kelanjutan kuliahku ke Jakarta.“Pak.”“Humm,” jawabnya.Om Aiman juga masih asik nyolek rujak. Tapi aku yakin dia juga sibuk mendengarkan. Sedangkan Gala, anak itu mojok sendiri bermain gundu dan layangan kesayangannya.“Mela mesti ke Jakarta buat daftar ulang. Bapak sudah ikhlas kan Mela kuliah di UI?”“Kamu masuk UI, Mel?” tanya om sompret ini seperti tak percaya.Aku meliriknya sinis, “Iya. Om nggak percaya?”Dia mengakuinya lewat tawanya yang renyah, “Sedikit sih.”Tuhkan emang sompret.“Tapi keren. Nggak gampang buat masuk kesitu. Selamat yah,” lanjutnya memuji dengan senyuman yang sampai memunculkan ginsul manis di gigi kanan atas miliknya.Untuk sesaat aku lagi-lagi tersesat ke dalam pesonanya. Tapi, meskipun aku terpesona, aku menolak untuk menerima jabatan tangannya. Om Aiman menyalami angin karena kuabaikan.Rasain.“Makasih. Tapi percuma ucapan selamat kalau bapak masih ragu.”Aku bicara tanpa melihat ke arah bapak. Tapi dari sudut mata ku, sepertinya bapak tengah merenung.“Bukan ragu, bapak cuma takut karena Jakarta itu keras kehidupannya —““Mela kan mau kuliah pak, bukan merantau kayak kak Lilis.”“Si Lilis bilangnya juga kuliah, tahu-tahu malah —“Ibu malah menambah-nambahkan cerita. Memang iya, kak Lilis berbohong soal kuliah. Dia akhirnya kerja eh berakhir menjadi psk.“Ibu juga sekarang ragu ngijinin Mela kuliah?”Mataku mulai berkaca-kaca. Tapi tak ada yang menyadari hal itu. Karena bapak dan ibu diam, aku anggap mereka tak memiliki jalan keluar atas keinginanku itu.Aku memilih pergi dari acara kumpul-kumpul itu untuk masuk ke dalam rumah. Terserah lah ada tamu atau enggak. Hari ini benar-benar menjadi salah satu hari terburuk yang pernah kulalui.Esoknya...Sudah semalaman ini aku mogok bicara dengan bapak maupun ibu. Aku memilih mengunci diri di kamar sampai aku mendapatkan persetujuan untuk berangkat kuliah ke Jakarta.Mela Iskandar, gadis perawan yang pantang menyerah. Aku yakin sebentar lagi, ibu dan bapak pasti akan menuruti kemauan ku.“Mela!”Aku mendengar suara ibu memanggil dari luar kamar.Baru sehari, sepertinya ibu sudah nggak betah melihatku mengurung diri, hihihi.“Mela keluar! Ibu mau ngomong!”“Bapak juga!”Loh ada bapak juga? Tapi kenapa bapak dan ibu kayak reog gitu yah mukul pintunya? Kayak marah begitu menungguku keluar kamar, gumamku.Dengan perlahan, aku membuka pintu. Dan benar saja, wajah bapak sama ibu sudah seperti udang rebus sanking merahnya. Ibu lebih dulu menyambut kemunculan ku dengan menarik telingaku kuat-kuat.“Mela! Kamu ngapain kemarin hah!”“Duhduh sakit buk!”Ibu bahkan bukan cuma menarik telingaku tapi juga memukul punggungku sekuat tenaga. Aku mengaduh kesakitan dan bapak hanya menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga ini.“Kan ibu udah bilang! Jangan salah gaul! Kamu kenapa nggak nurut sih? Ngapain kamu ke diskotik! Bikin malu aja!”Aku terbelalak. Darimana bapak sama ibu tahu soal razia kemarin?“Buk...Mela nggak masuk ke diskotik buk —““Bapak jadi semakin yakin...nggak usah kuliah-kuliah ke Jakarta! Di sini saja kamu berani ke tempat haram itu!” imbuh bapak yang semakin memperunyam masalah.Kakiku langsung lemas. Aku sampai bersimpuh pada bapak agar mengurungkan ucapannya tadi.“Siapa yang bilang buk? Itu nggak bener —““Nggak benar gimana! Satu komplek tahu kamu sama Donita terjaring razia pak Aiman kan? Ibu sudah peringatkan kamu jangan lewat batas. Malu sama bapakmu yang ketua mesjid besar. Nggak kasihan kamu nak sama bapak?”Aku sampai tak bisa menjawab tuduhan demi tuduhan yang ibu lontarkan padaku. Mendengar ibu sampai menangis, itu menandakan bahwa beliau memang kecewa padaku. Mungkin lebih tepatnya teramat kecewa padaku.Aku beralih ke ibu untuk meminta ampun. Tapi ibu tetap memukuli punggungku untuk melampiaskan kemarahannya. Sedangkan bapak sudah turun ke lantai satu karena mendengar salam dan bel dari luar.“Bapak —“ rengekku tapi bapak tetap tak menghiraukan ku.Bapak lantas buka pintu dan mendapati Gala dan papanya yang datang untuk menitipkan anaknya itu kembali padaku. Emosiku seketika meluap melihat om Aiman di sana.Aku asumsikan bahwa beliaulah yang melaporkan tentang terjaring razia itu pada ibu dan bapak.“Oh pak Aiman. Mau titip Gala yah,” ucap bapak seperti tidak terjadi apa-apa pada kami.Tapi Gala yang membuka rahasia karena melihatku meneteskan airmata.“Kak Mela nangis pa,” oceh Gala sambil menunjuk ke arahku. Anak itu terlihat sedih.“Saya datang di waktu yang nggak tepat yah?”“Om! Om kan yang ngadu ke bapak soal razia itu?” sentakku.Ibu kembali memukul punggungku tanpa ragu di depan om Aiman.“Bukan! Jangan nuduh yang enggak-enggak, Mel!”Aku melirik ibu sinis, “Ibu marah aku tuduh om Aiman yang ngadu, tapi ibu malah nggak mau dengerin penjelasan anaknya terlebih dulu beritanya benar atau enggak,” jawabku lagi.Hilang sudah kepatuhan ku pada kedua orang tuaku. Dituduh melakukan hal yang tidak benar dan lebih mendengar cerita orang lain daripada anaknya sendiri membuatku sentimental.“Pak, buk... sebenarnya ada apa?”“Bapak bersedia saya tanya tentang anak saya kemarin malam?” tanya bapak dalam mode serius.Biasanya bapak selalu melontarkan canda tawa dengan om Aiman, tapi kali ini bapak terlihat serius sekali bahkan kumisnya sampai naik sebelah.“Apa ini soal Mela kena razia di depan diskotik?”“Jadi itu bener, pak?” suara ibu nyaris meninggi.Om Aiman mengangguk sambil menatapku. Entah apa arti tatapannya itu, yang jelas beliau tidak sedang meledekku karena ketahuan.“Iya pak... tapi Mela nggak salah. Dia dan temannya cuma parkir di tempat tersebut.”“Alhamdulillah,” ucap bapak sama ibu bersamaan. Mereka berdua langsung percaya dan merasa lega.Akhirnya aku terlepas dari pukulan maut ibu di punggung.“Masalahnya sudah selesai. Mela tidak salah. Jadi bapak sama ibu jangan marahin dia lagi.”Bapak mulai melunak. Karena bapak tipe orang yang cepat minta maaf saat salah, maka bapak pun menghampiri ku sambil memelukku erat. Bapak minta maaf sedangkan aku menangis di pelukannya.“Bapak minta maaf.”“Ibu juga yah,” sahut ibu kemudian.Aku semakin menangis karena ini pertama kalinya aku melawan kedua orangtuaku. Tapi selesai meminta maaf dan memelukku, bapak menyampaikan sesuatu yang menyakiti perasaan ku lagi.“Tapi bapak sudah bulat, mending kuliah di Medan saja nggak usah ke Jakarta.”“Pak —““Pak, maaf kalau saya interupsi.”Om Aiman mendekat sambil menggendong Gala. Dengan pakaian seragam polisi, beliau benar-benar terlihat berbeda sekali. Lebih macho dan gagah. Terlihat bagaimana ia juga bicara dengan sopan di saat suasana rusuh seperti ini. Apa ini karena jabatannya yang sering memimpin orang banyak?Entahlah. Hari ini aku nggak mau ribut juga dengannya.“Sayang sekali kalau Mela terhalang kuliahnya di tempat sebagus itu. Apa bapak tidak punya solusi lainnya? Mela pintar dan punya masa depan yang cerah. Kesempatan ini juga tidak datang dua kali.”Baru kali ini aku setuju dengan ucapan om Aiman.Bagai oase di padang gurun, kehadiran om Aiman menyejukkan hatiku.Lanjutkan om! Tolong bela aku sekali saja! Ucapku dalam hati.“Sudah pak. Tapi melihat Mela yang sulit diatur seperti ini, buat saya was-was. Bagaimana nanti kalau dia salah gaul dan terjebak disituasi yang sama seperti kemarin?”Baik om Aiman maupun bapak keduanya terlihat serius sekali berpikir. Apa urusan kuliahku ini sama rumitnya dengan perang yang tengah terjadi?“Kalau begitu saya kasih solusi untuk bapak,” tukas om Aiman percaya diri.Sampai di sini, perasaanku mulai tak enak. Karena sebelum bicara, Aiman melirikku sekilas.“Biar saya yang jagain Mela selama di Jakarta. Bukan cuma jagain, tapi keperluannya pun akan saya penuhi.”Ibu bengong, bapak mengerutkan dahi. Sedangkan aku sudah mulai gelisah dengan kelanjutannya.“Maksud pak Aiman —““Pak Agus, ijinkan saya menikahi anak bapak, Mela.”==“Maksud pak Aiman gimana yah?” tanya bapak bingung. Akupun ikut bingung. Tapi jujur saja, aku bisa tebak ke mana arah pembicaraan ini. Instingku terlalu kuat untuk hal mencurigakan seperti ini.“Begini pak, ijinkan saya nikahin Mela, anak bapak.”Aku yang tadinya nangis brutal, kini pipiku langsung kering kerontang mendengar ucapannya. Bukan seperti aku yang kaget hingga berdiri dari sofa, ibu sama bapak malah bisik-bisik di sampingku.“Om ini masih pagi, jangan ngajak gelut dong.““Ih Mela! Jangan nggak sopan gitu.”“Om polisi ini yang nggak sopan buk. Baru kenal beberapa minggu udah ngajak kawin,” protesku.“Hussh nikah Mel, kawin mah kucing.”“Sama aja! Nikah, kawin, kimpoi —“Bibirku langsung dijejelin bantal sofa oleh ibu. Bapak malah terkekeh begitu pula dengan om polisi itu. “Maaf pak Aiman, si Mela mulutnya nggak bisa diajarin.”“Nggak apa-apa buk. Dia lucu kok,” senyumnya yang menurutku malah terlihat horor. Aku menatapnya benci persis seperti di sinetron yang biasa ibu tont
"Jangan-jangan saya ini mau dijadiin istri muda, Iya kan? Om bohong kalau sudah menduda!""Iya..saya memang lagi nyari istri muda. Untuk saya jadikan istri terakhir di hidup saya," senyum Aiman penuh persekongkolan.Lelah berdebat dengannya, kamipun kembali masuk ke rumah. Di sana sudah menunggu bapak dan ibu yang sepertinya tidak sabar untuk mendengar keputusan kami.“Jadi gimana diskusinya?” “Alhamdulillah pak, Mela setuju —“Aku yang mendengarnya langsung berlari mendekat untuk melayangkan sendal swallow kebanggan ku pada om sompret satu ini. Ibu yang jago menangkis, dengan cepat merebut sendalku dan jadilah aku yang tersakiti.“Jangan sembarang ya om, saya belum ngasih jawaban!”Aiman malah tertawa disusul bapak yang ada di belakangnya.“Ya mungkin Mela butuh waktu untuk memikirkannya.”“Iya pak. Tapi kalau bisa secepatnya kasih saya jawaban karena rencana upacara sumpah jabatan dan pindaha... kurang lebih dua minggu lagi.”Tuhkan seenaknya! Dia kayaknya yang kebelet nikah! Main
Gala tidur di pangkuanku selama acara berlangsung. Tidak kusangka acara sederhana dan dadakan ini berjalan mulus seperti jalan tol yang baru pak presiden resmikan. Padahal sudah kupasang wajah jutek selama acara tapi kata Donita justru Gala lah yang membuat acara menjadi lancar penuh senyuman terutama dari pihak keluarga Aiman karena lengketnya anak ini denganku. Membuatku benar-benar seperti ibu kandung, bukan ibu tiri katanya.Di acara tadi secara mengejutkan, mamanya Aiman bahkan menghampiriku. Beliau yang terlihat berumur sekitar enam puluh tahun lebih itu, memberiku sebuah kalung yang ia kenakan langsung padaku. Semua mata tertuju padaku. Dengan ekspresi yang bisa diibaratkan tengah menyaksikan anak kampung jadi pemenang Miss world.Dengan suaranya yang lembut, mama Aiman berkata bahwa ia senang akan mendapat mantu sepertiku.Weleh buk. Belum aja liat kelakuan mantumu ini. Saya bisa kayak reog kalau sudah berhadapan dengan anakmu, gumamku dalam hati.“Aiman pernah gagal sekali
“Jangan cantik-cantik kali kak Mimi. Nanti waktu sudah hilang bedakku, kabur mereka semua,” ocehku pada kak Mimi selaku MUA paling cetar di kotaku ini.Kak Mimi tertawa sambil memoleskan...apa sih ini namanya? Contur? Counter? Alah apalah itu agar wajahku terlihat tirus dan hidungku yang pesek terlihat mancung.“Ya harus cantik dong Mel, namanya juga nikah sekali seumur hidup, masa pake dandan yang jelek-jelek?” ocehnya juga tak mau kalah. Kalau pasangannya tepat sih, mau-mau saja langgeng sampai seumur hidup. Tapi berhubung yang menikahiku adalah om-om gila yang ngebet nikah untuk jagain anaknya, maka tak salah kan aku berharap ada pernikahan kedua?“Tapi banyak tuh kak yang kawin lagi,”candaku. “Ya memang sih cinta tak selamanya indah. Pasti yang namanya pernikahan ada cobaan di dalamnya. Kalau Mela udah siap nikah gini ya harus siap juga sama problematika nya. Jangan kayak orang-orang yang demen kawin cerai kawin cerai. Pantang. Kalau masalahnya bukan karena orang ketiga atau kdr
Tidak seperti acara nikahan kemarin, puncak dari semua tangis justru datangnya di hari ini.Bapak yang dari kemarin kalem dan nggak terlihat sedih anaknya dinikahin orang, hari ini bapak jos-josan nangis dari rumah sampai di bandara Kualanamu. Apalagi ibu. Sudah dandan dari subuh untuk antarkan anaknya ke bandara, masih ada sejam lagi keberangkatan bedak ibu sudah luntur semua karena banjir airmata.Semua barang kepindahan Aiman sudah dibawa dengan truk ke Jakarta. Nggak banyak sih karena sebagian malah dijual di sini. Mamanya Aiman dan keluarga sudah berangkat dari kemarin membawa Gala sekalian. Jadi tinggal aku dan Aiman saja yang masih tertinggal. Berbanding terbalik dengan ibu dan bapak, aku justru dengan tenang hendak berangkat. Atau mungkin malah terlihat mantap dan bersemangat untuk menghirup udaranya Jakarta. Walaupun entah bagaimana nasibku nanti di sana, aku sudah bertekad bulat untuk tidak diremehkan oleh om polisi ini. Lihat saja nanti! Akan kubuat dia membayar tawanya
Akhirnya, selesai juga berberes memasukkan barang-barangku ke dalam lemari pakaian setelah sebelumnya menidurkan Gala dulu di kamarnya. Bocah itu tidak terlalu banyak drama untuk urusan tidur. Cukup nyanyikan satu lagu cempreng dari ku maka ia akan langsung tidur terlelap.Aneh banget. Sama kayak bapaknya sih. Keluarga Aiman juga sudah kembali ke Bandung, tinggal si Raka saja yang masih ada di rumah ini karena katanya malas pulang ke kost-an sendirian. Selesai mandi, aku bergegas mencari posisi yang nyaman di sofa. Sebenarnya, aku masih belum terima disuruh tidur di sofa. Niatnya aku akan berdebat lagi dengannya malam ini demi mendapatkan yang namanya kenyamanan tidur di ranjang yang luas itu. Tapi... belum sempat aku memulai pembicaraan, Aiman masuk sambil melepas kaos oblong hitam yang ia kenakan. Roti sobek empat garis nemplok di tubuhnya. Terlihat begitu keras karena latihannya sebagai polisi. Aku langsung balik badan setelah dia memergokiku tengah menatapnya tadi. Dia juga ku
Ternyata begini lah keseharian seorang ibu-ibu. Bangun lebih awal untuk melakukan pekerjaan rumah. Dulu sebelum menikah, aku biasanya bangun subuh dan bantu ibu ke pasar untuk jualan. Selebihnya ibu akan mengerjakan semuanya hingga siang hari.Sekarang, aku melakukan pekerjaan yang biasa ibu lakukan di rumah. Memasak, mencuci, menyiapkan sarapan, beberes rumah besar yang yah sebenarnya tidak terlalu kotor karena sudah dibersihkan oleh tukang cleaning service. Karena ini hari perdanaku tinggal di rumah orang, maka aku menyiapkan sarapan dengan bahan seadanya yang ada di kulkas. Setelah pulang dari kampus nanti katanya Aiman akan mengantarkan ku ke supermarket untuk belanja keperluan rumah. Jadi sementara, nasi goreng inilah yang kusiapkan untuk keluarga ini.“Ngapain Mel?” “Buat sarapan pak bos —“Aku menoleh setelah mendengar suara Aiman yang khas pria dewasa bangun tidur. Mataku langsung auto focus dengan celana tidurnya yang entah terbuat dari bahan apa hingga mencetak jelas bagia
Gala sudah mulai berbaur dengan teman-temannya. Mereka terlihat gemoy sekali mengikuti arahan sang guru. Beberapa ada yang masih belum bisa berpisah dengan ibunya. Ada yang juga menangis karena ketakutan dan lebih banyak juga yang seperti Gala yang mandiri seperti tidak ingat kalau ada aku di sini. Kalau situasinya begini, besok aku tidak perlu lagi ikut ke sini kan? Rasanya aneh saja gitu daritadi menjadi pusat perhatian para ibu-ibu TK sejak kedatanganku ke sini. Sedang asik memperhatikan Gala menyebut nama-nama binatang yang diperagakan oleh gurunya, aku tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan buk Rita yang cantik itu. Beliau duduk di sampingku sambil menyunggingkan senyumannya.“Mereka itu lagi ngomongin kamu. Kenapa istri barunya pak Aiman bisa semuda ini.”Sepertinya ibu Rita adalah tipe wanita yang suka berterus-terang. Entah dia kawan atau lawan, sebaiknya aku harus hati-hati dengan sikapnya itu. “Hehe yah namanya juga jodoh.”Buk Rita kembali tersenyum. Kemudian ia mencerit