“Belepotan,” katanya.Aku meliriknya tajam. Menangkis segera tangannya yang tadi sempat bertengger di sudut bibirku yang masih perawan tinting ini.Sembilan belas tahun, aku mempertahankan sentuhan-sentuhan dari lawan jenis. Datang om-om ini malah main pegang-pegang seenaknya!“Saya bisa bersihin sendiri. Yuk ah katanya mau anterin saya ke kampus.”Aiman melihatiku bingung. Tapi kemudian ia mengakhirinya dengan mengangguk-anggukan kepalanya seperti ayam. “Ya udah sana ganti baju.”Akupun membawa Gala serta untuk mengganti pakaiannya juga. Sedangkan Aiman menunggu di ruang tengah untuk menghabiskan es krimnya. Selesai berganti pakaian, kami berangkat menuju kampus ternamaan Indonesia ini. Kampus yang bisa dituju dengan krl ini, memiliki fakultas yang begitu lengkap dan ternama. Sebagai anak kampung tentu saja aku bangga bisa masuk ke sini. Maka sudah kucatat dalam planning masa depan, bahwa aku harus bisa lulus dari sini walaupun sudah menikah. Empat tahun akan kuusahakan bisa selesa
“Hari ini keliling terus anter aku sama Gala. Emangnya nggak ke kantor?” tanyaku pada Aiman yang kini sedang membelokkan mobilnya ke sebuah supermarket terbesar yang ada di daerah sini.“Udah tadi sebelum beli motor,” jawabnya sambil melirikku.“Beli motor udah kayak beli kacang goreng,” gumamku.“Apa?” sahutnya yang kupikir tadi sompret ini tidak mendengar gumamanku.“Enggak kok.”Aiman sudah memarkirkan mobilnya di basement supermarket. Aku dan Gala turun lebih dulu dan Gala sudah heboh menunjuk sebuah arena permainan indoor yang disediakan supermarket terkenal ini.“Kak Mela berani naik itu enggak?” tanya Gala sambil menunjuk roller coaster yang baru saja keluar dari gedung lalu masuk lagi dengan kecepatan tinggi. Aku sebenarnya juga penasaran, tapi kok yah ngeri-ngeri sedap.“Berani sih cuma –““Kalau gitu ayok naik kak! Papa nggak mau nemenin Gala naik itu!”Gala merengek ingin naik wahana berbahaya itu padahal umurnya baru lima tahun. Aku melirik Aiman yang pura-pura tidak tahu
“Ya iyalah jantung kak Mel jedag-jedug, kalau enggak ya kak Mel meninggoy dong,” balasku tak mau kalah. Karena aku tak mau mengakui itu, maka aku cari alasan yang lain. Mana mungkin aku mengakui telah berdebar di depan Aiman yang tadi terlihat keren? Bah! Yang ada nanti dia jadi besar kepala. Kan aku yang menentang keras untuk menolak pesonanya! Yang memang harus kuakui Aiman itu levelnya sudah sama rata dengan Kim Taehyung. Gala terkekeh dulu baru berkomentar, “Oh gitu.”Melihat reaksinya, aku seperti habis menang lotere. Puas sekali karena bisa mengelabui anak itu. Meski aku nggak tahu apa yang sedang dipikirkan om polisi di sampingku itu. Sampai di rumah, aku langsung membereskan semua barang belanjaan tadi. Lagi asik nyusun, Aiman tiba-tiba muncul seperti hantu. Dia terlihat baru selesai mandi dengan rambut yang masih basah. Padahal dia punya hairdryer. Kenapa sih nggak dipakai buat mengeringkan rambut? Kalau lihat beliau dalam mode begini kan, saya jadi nggak kuat iman — sun
Artinya nyaman itu ternyata nggak terus-terusan akan merasa nyaman. Setelah pelantikan, aku mulai bosan berada di tengah-tengah acara formal ini. Aiman sendiri yang tampak bahagia dengan pelantikannya. Sedangkan aku sudah nyaris mati gaya karena bosan.Apalagi ngobrol tentang topik yang sama sekali tidak kupahami, akhirnya akupun sudah mirip kambing congek yang mendengarkan pembahasan para ibu-ibu bhayangkari yang elegan dan berkharisma itu.Untuk membuang suntuk, kuberanikan diri izin keluar dari lingkaran para ibu-ibu polisi di sini. Aku pergi mengambil minuman lalu bermaksud keluar gedung untuk menghirup udara segar. Tapi tanpa sengaja, aku malah bertabrakan dengan seseorang hingga membuatku nyaris keseleo karena sepatu hak tinggi yang sedang kupakai saat ini. Sampai aku menyadari sesuatu yang penting bahwa aku menabrak seseorang yang baru kukenal kemarin.“Kak Rendi?”“Ka—mu….”Kak Rendi sedang berusaha mengingat namaku. Mumpung dia belum ingat, aku bermaksud untuk kabur darinya
Kami akhirnya sampai di rumah mamanya Aiman untuk menjemput Gala. Di jam segini, pastinya Gala sudah tidur. Tak terasa memang, acara pelantikan yang dilaksanakan dari pagi hari harus berakhir sampai jam tujuh malam. Makan-makan dan ngobrol berakhir sampai pukul sepuluh. Giman anggak hancur mukaku ini karena dempulan bedak?Sudah dipastikan besok pasti akan tumbuh jerawat. Dan oh ya! Sepanjang perjalanan ke rumah mama, kami berdua diam membisu. Ini semua terjadi karena Aiman yang meluk-meluk aku di parkiran mobil. Sudah nyaman karena baru pertama kali rasanya dipeluk guling hidup, tiba-tiba Aiman mendorongku dengan kasar untuk mengakhirinya. Padahal si beliau ini yang duluan main peluk! Tapi habis itu aku bagai tebu! Habis manis sepahnya dibuang.“Kenapa lagi sih?”“Ayo pulang,” perintahnya yang langsung memutar ke tempat duduk kemudi. Dan sampai di rumah mama, kami masih berdiam diri. Entah apa yang dia pikirkan sejak tadi, yang jelas aku lelah karena kegiatan hari ini. Jadi…aku ng
Ini sama sekali nggak adil karena cuma aku yang kepikiran!Kejadian semalam membuatku tak bisa tidur, makan, dan melakukan aktifitas dengan normal. Sedangkan Aiman melenggang kangkung berseri-seri seperti tak pernah terjadi apapun. Seolah-olah apa yang sudah dia lakukan kemarin malam itu adalah usahanya untuk menyedot seluruh energiku lalu berpindah kepadanya. Sialan! Dia bersikap begitu pasti karena sudah terbiasa mencium seseorang. Yaiyalah dia kan duda! Pasti sudah makan asam garam soal main sosor-sosoran!“Ma....kok daritadi diem aja?” oceh Gala ketika kami sampai di sekolahnya. “Eh, maaf kakak ngelamun.”Menoleh ke duplikatnya si Aiman, aku juga kembali teringat dengan kejadian pagi ini. Kami benar-benar keluar dari rumah mama setelah sholat subuh. Gala juga sudah bangun lebih awal sehingga memungkinkan kami untuk segera pulang. Sampai di rumah, aku segera menyiapkan sarapan sederhana untuk dua orang pria yang sedang kuasuh ini. Karena buru-buru, Aiman tak sempat menghabiskan
“Susan nggak izin ke aku buat bawa Gala hari ini.”Pernyataan Aiman itu sudah cukup untuk membuatku kesal. Aku punya alasan kuat untuk melabrak wanita pembohong itu. Tapi Aiman memilih untuk berdamai. Ia tak mau membuat gaduh. Alhasil, Aiman mengajakku bertemu dengan Susan untuk menjemput Gala setelah pria itu menelpon mantan istrinya tentang keberadaan mereka saat ini.“Enggak. Aku jemput Gala sekarang. Enggak usah. Humm. Aku ke sana,” tukas Aiman yang sejak sepuluh menit yang lalu bicara dengan si nenek lampir itu.“Apa katanya?”“Gala dibawa ke Bandung –““Hah? Gala belum makan. Kenapa dibawa jauh-jauh?” tanyaku khawatir, melebihi khawatirnya aku saat ketahuan di razia waktu itu. Aku juga nggak ngerti kenapa bisa kayak gini. Yang jelas aku sangat sayang sama Gala karena dia juga selalu bilang seperti itu setiap kali kutemani dia tidur malam.“Maksud Susan mau ketemuin Gala sama neneknya yang di sana. Kangen katanya. Gala udah makan kok. Sekarang kita jemput dia ke sana.”Sebuah al
“Kelas hari ini selesai. Kalau ada yang mau ditanyakan saya buka sesi pertanyaan.” Aku sedang memandangi maha karya Allah yang kini tepat berada di depan kelasku hari ini. Yang jelas saat masuk kelas pertama hari ini, aku terkejut melihat kak Rendi ternyata adalah asisten dosen sejak semester lalu. Dan aku juga baru dengar dari teman baruku di sini – Eca namanya, kalau kak Rendi ini asdos idaman para perempuan di kampus. Ya iyalah. Modelannya aja udah charming gini. Kalau mas Adi si pegawai Indoapril dulu ku visualisasikan sebagai Song Kang, kalau kak Rendi ini kayak aktor Ahn Hyo Seop yang dramanya booming di serial berbayar N. Di rumah, Aiman sampai cabut sakelar karena aku nonton sampai tak berkedip. Memang sih, kalau mau dibandingin sama suamiku di rumah, kak Rendi masih belum mateng. Istilahnya dari bobot, kak Rendi itu kayak masih kuncup-kuncupnya. Kalau buah mangga yah masih hijau-hijau begitu. Sedangkan Aiman dari segi umur, postur tubuh yang gagah dan pekerjaan pastinya su