Ini sama sekali nggak adil karena cuma aku yang kepikiran!Kejadian semalam membuatku tak bisa tidur, makan, dan melakukan aktifitas dengan normal. Sedangkan Aiman melenggang kangkung berseri-seri seperti tak pernah terjadi apapun. Seolah-olah apa yang sudah dia lakukan kemarin malam itu adalah usahanya untuk menyedot seluruh energiku lalu berpindah kepadanya. Sialan! Dia bersikap begitu pasti karena sudah terbiasa mencium seseorang. Yaiyalah dia kan duda! Pasti sudah makan asam garam soal main sosor-sosoran!“Ma....kok daritadi diem aja?” oceh Gala ketika kami sampai di sekolahnya. “Eh, maaf kakak ngelamun.”Menoleh ke duplikatnya si Aiman, aku juga kembali teringat dengan kejadian pagi ini. Kami benar-benar keluar dari rumah mama setelah sholat subuh. Gala juga sudah bangun lebih awal sehingga memungkinkan kami untuk segera pulang. Sampai di rumah, aku segera menyiapkan sarapan sederhana untuk dua orang pria yang sedang kuasuh ini. Karena buru-buru, Aiman tak sempat menghabiskan
“Susan nggak izin ke aku buat bawa Gala hari ini.”Pernyataan Aiman itu sudah cukup untuk membuatku kesal. Aku punya alasan kuat untuk melabrak wanita pembohong itu. Tapi Aiman memilih untuk berdamai. Ia tak mau membuat gaduh. Alhasil, Aiman mengajakku bertemu dengan Susan untuk menjemput Gala setelah pria itu menelpon mantan istrinya tentang keberadaan mereka saat ini.“Enggak. Aku jemput Gala sekarang. Enggak usah. Humm. Aku ke sana,” tukas Aiman yang sejak sepuluh menit yang lalu bicara dengan si nenek lampir itu.“Apa katanya?”“Gala dibawa ke Bandung –““Hah? Gala belum makan. Kenapa dibawa jauh-jauh?” tanyaku khawatir, melebihi khawatirnya aku saat ketahuan di razia waktu itu. Aku juga nggak ngerti kenapa bisa kayak gini. Yang jelas aku sangat sayang sama Gala karena dia juga selalu bilang seperti itu setiap kali kutemani dia tidur malam.“Maksud Susan mau ketemuin Gala sama neneknya yang di sana. Kangen katanya. Gala udah makan kok. Sekarang kita jemput dia ke sana.”Sebuah al
“Kelas hari ini selesai. Kalau ada yang mau ditanyakan saya buka sesi pertanyaan.” Aku sedang memandangi maha karya Allah yang kini tepat berada di depan kelasku hari ini. Yang jelas saat masuk kelas pertama hari ini, aku terkejut melihat kak Rendi ternyata adalah asisten dosen sejak semester lalu. Dan aku juga baru dengar dari teman baruku di sini – Eca namanya, kalau kak Rendi ini asdos idaman para perempuan di kampus. Ya iyalah. Modelannya aja udah charming gini. Kalau mas Adi si pegawai Indoapril dulu ku visualisasikan sebagai Song Kang, kalau kak Rendi ini kayak aktor Ahn Hyo Seop yang dramanya booming di serial berbayar N. Di rumah, Aiman sampai cabut sakelar karena aku nonton sampai tak berkedip. Memang sih, kalau mau dibandingin sama suamiku di rumah, kak Rendi masih belum mateng. Istilahnya dari bobot, kak Rendi itu kayak masih kuncup-kuncupnya. Kalau buah mangga yah masih hijau-hijau begitu. Sedangkan Aiman dari segi umur, postur tubuh yang gagah dan pekerjaan pastinya su
Minggu pagiku diisi dengan kegiatan yang katanya bermanfaat untuk jantung.Iya….Aku diundang oleh ibu Rita yang suaminya jenderal itu – ikut kelas menembak disalah satu camp latihan kepolisian. Bukan hanya aku saja sih, tapi ibu-ibu bhayangkari lainnya yang tergabung dalam kelompok ini. Khususnya ibu-ibu dari satuan bhanyangkari polres di Jakarta Selatan.Aiman juga ikut. Katanya mau lihat kegiatan ibu-ibu.Aku protes padanya. Jelas-jelas aku masih ABG, masa disamain dengn ibu-ibu?“Kamu kan bukan ABG tulen lagi, udah jadi ibunya Gala dan ibu dari anak-anak kita nanti,” sahutnya yang buat aku langsung melengus keluar dari mobil sambil membanting pintunya.Aku bisa dengar Aiman tertawa terpingkal-pingkal di dalam mobil. Sama sekali tak menggubris kekesalanku karena ledekannya itu. Beliau ini memang sedang lucu-lucunya. Suka jahilin aku di setiap kesempatan!Aku ingat di rumah ada bon cabe. Jadi terpikirkan untuk membalasnya nanti. Awas aja!Sampai di sana, aku sudah disambut oleh buk R
Sepanjang perjalanan, Aiman seperti orang sakit gigi. Diam terus-terusan sambil membawa mobilnya menuju rumah.Memang sih, siapa yang tidak terkejut dengan kasus jenderal satu ini. Semua orang yang ada di sana termasuk aku, sudah jantungan melihat aksi koboi sang jenderal kepada istrinya. Untung saja ada yang segera menengahi. Kalau tak, pasti akan ada banyak orang yang berguguran di tempat latihan menembak itu.Karena Aiman tak mau membahas hal ini lagi, maka akupun tak mau angkat bicara. Jadi kualihkan saja pandanganku pada jendela mobil sambil memperhatikan hujan yang mulai turun sedikit demi sedikit. Kalau di kampungku dulu, biasanya kalau hujan begini paling enak minum teh sambil makan pisang goreng.Duhlah…apalagi kalau disambung dengerin music galau atau lagu-lagu nostalgia, jadi bertambah lagi syahdunya.Tapi sekarang, di mana aku bisa beli pisang goreng?Masak sih gampang, tapi di rumah komplek mana ada kebon pisang? Kalau dulu kan tinggal jalan saja ke kebon belakang rumah,
Terdengar suara ledakan lagi setelah aku meninggalkan lokasi. Ledakan itu membuat orang-orang yang ada di sana kian waspada dan juga ketakutan.Aku juga semakin gelisah karena hal itu. Gelisah memikirkan bagaimana nasib Aiman.“Pak pak pak! Berhenti pak! Saya mau turun!”“Jangan neng. Bahaya! Itu pasti serangan teroris,” ungkapnya sok tahu.Tapi biasanya memang seperti itu. Teroris pasti selalu ada karena sumbernya belum dimusnahkan.“Iya pak saya tahu. Tapi saya khawatir pak sama polisi tadi!”“Biarin aja neng, kan emang tugas mereka.”Kenapa aku yang sakit hati yah mendengarnya? Apa polisi bukan manusia?“Mereka kan tugasnya ngejagain kita. Kalau nggak gitu,mereka nggak kerja!” ucap pak supir taksi lagi yang sepertinya punya dendam kesumat sama polisi. Nadanya sinis. Dan dia seperti tak merasa bersalah sudah bicara seenaknya tentang profesi seseorang.“Berhenti pak! Saya bayar sampai sini!”Melihatku yang ngotot minta turun, akhirnya pak supir itupun menghentikan mobilnya. Kuserahka
Aku adalah tipe orang yang tak bisa menyembunyikan apa yang kurasakan. Kalau marah ya marah. Kalau aku nggak suka sama sesuatu ya aku akan bilang aku nggak suka.Seperti pagi ini. Semangatku untuk menyiapkan segala kebutuhan keluarga kecilku seperti sedang membara dan berkobar. Gala melihatku dengan wajahnya yang terheran-heran sambil bilang ….“Mama hari ini kok bahagia banget?” “Ah masa sih?” tanyaku sambil membolak-balik ikan yang tengah kugoreng. Mendengar pertanyaannya, akupun tanpa sadar menyunggingkan senyum seperti joker.“Iya. Mama senyum-senyum terus.”“Ah kak Mel kan emang suka senyum.”“Tapi kali ini beda.”Aku selesai menggoreng ikan lalu lanjut kurangi minyak makan untuk digunakan menumis sambal yang sudah kuulek sebelumnya. “Bedanya bikin Gala suka atau enggak?” tanyaku sambil mengaduk-aduk sambal. Tak lama Gala – putra sambungku ini mengangguk-anggukkan kepalanya dengan antusias.“Suka dong,” pujinya yang membuatku semakin gemas sendiri.Monday, Tuesday, Wednesday, T
Aiman keluar dari mobil setelah memutarinya.“Gala –““Oh….jadi ini tugas pentingnya sampai lupa buat jemput anak?”Mendengar ocehanku, Aiman menepuk keningnya sambil berlutut di depan anaknya untuk meminta maaf.“Maafin papa yah. Papa lupa dan hp papa lowbet lupa di cas.”“Hp mama juga lowbet, tapi mama inget Gala,” balas Gala yang membuatku cukup tercengang. Aku pikir Gala bukan anak yang suka membalas ucapan papanya. Ternyata dia cukup cerdas untuk menjawab.Bagus Gala! Marahin aja papa kamu itu!“Gala – maafin papa yah.”Gala memalingkan wajahnya sambil melipat kedua tangannya di dada. Selama Aiman tengah membujuk putra semata wayangnya, aku tengah awasi betina bernama Raline yang pernah meremehkanku karena tak pantas menjadi istri Aiman. Di dalam mobil ia terus berdiam diri sambil memperhatikan ayah dan anak tersebut. Sesekali pandangan kami bertemu namun dengan cepat dia memalingkan wajahnya.Dih! Pant*t tepos aja sok banget! Omelku dalam hati.“Makannya inget anak sama istri di