Om polisi itu benar-benar memanfaatkan sogokan yang kuberikan. Setelah dinas dua hari keluar kota waktu itu, dia lanjut menitipkan anaknya — yang ia antar pagi hari lalu sekitar pukul tiga sore akan dia jemput — selama hampir dua minggu berlalu.
Permintaan om polisi itu juga tidak main-main. Harus aku yang menjaga Gala selama anak itu berada di rumah ini. Bukan ibu maupun bapak.Sadis. Uang jajan pun tak diberi!Akupun juga tidak bisa kemana-mana karena harus menjaga Gala yang senang sekali bermain layangan. Memang tidak sulit untuk menjaga anak lima tahun itu, karena Gala termasuk anak yang penurut.Disuruh makan ya makan, disuruh tidur ya tidur, disuruh mandi ya nurut, semuanya Gala lakukan sesuai keinginanku. Gala memang anak yang pintar. Karena itu, dua minggu tak terasa berat bagiku mengasuh anak itu. Yang berat mungkin mesti melihat om kampret itu setiap pagi dan sore. Hatiku resah bukan karena suka padanya, tapi resah gelisah takut ia membongkar rahasiaku pada ibu ataupun bapak.Sudah pukul sembilan. Harusnya Gala diantar kemari. Tapi mungkin tidak untuk hari ini karena bertepatan dengan hari minggu. Mungkin Gala dan papanya sedang menghabiskan waktu bersama di hari libur seperti ini.Akhirnya...aku bebas!“Assalamualaikum.”Baru saja hendak menyalakan laptop, suara seorang pria dewasa terdengar dari luar. Aku yang memang sendirian di rumah mengintip terlebih dahulu siapa gerangan yang datang di minggu pagi begini. Saat kuintip dari luar, tampak mas Adi datang dengan pakaian rapi. Segera kubuka pintu setelah merapikan sedikit penampilanku.“Waalaikum salam, Mas Adi?”“Hei Mel,” sahutnya salah tingkah.Issh kalau kamu salah tingkah aku salah obat, mas.“Ada apa mas? Tumben kemari.”“Iya. Pengen mampir aja. Untung kamu di rumah.”Iya. Alhamdulillah banget aku di rumah. Kalau tadi aku ikut ibu ke pasar mungkin kita tidak akan bertemu, sahutku dalam hati.“Duduk mas. Aku ke dalam siapin minum dulu yah.”Mas Adi mengangguk sungkan kemudian dia duduk di dipan bambu yang ada di teras. Aku sendiri segera melesat ke dapur mencari cemilan yang mungkin masih ada di kulkas. Secangkir teh siap kuhidangkan dalam waktu singkat.Selesai menyiapkan minuman, aku langsung beranjak ke depan rumah. Mas Adi terlihat sibuk dengan gawainya namun kemudian beralih padaku saat aku duduk di hadapannya.“Harusnya nggak usah repot-repot Mel.”“Ini nggak repot kok. Nggak sampai lima menit kan?”Mas Adi tersenyum manis sekali sambil mengangguk.Selesai menyicipi tehnya, mas Adi duduk tegak dan terlihat tegang. Aku sendiri jadi ikut tegang karena dia tegang.Humm sepertinya kalimatnya ambigu yah.“Soal kita dirazia itu, aku minta maaf ya Mel.”“Heh? Kenapa mas yang minta maaf?” tanyaku bingung. Soalnya setelah hari itu, kami tidak membahas hal itu sama sekali. Bahkan dari pihak Jaka maupun Eko yang punya ide untuk menyelenggarakan acara tersebut sama sekali tidak ada ungkapan rasa bersalah sama sekali.Lagi pula kami semua dilepaskan karena tidak bersalah. Kecuali Rian dan Bayu yang ketahuan minum-minuman keras sebelum berencana ikut ke acara.“Iya....karena malam itu aku yang kasih ide buat kumpul di parkiran diskotik.”Aku cukup terkejut mendengarnya. Tapi entah kenapa, aku tidak marah mengetahui hal itu.“Kita lagi apes aja waktu itu.”“Iya. Mungkin sih,” jawabnya sambil tertunduk.“Udah jangan terlalu dipikirin. Yang penting kita selamat.”“Iya yah. Kayaknya aku yang terlalu mikirin kamu.”“Hah?”Tadi aku nggak salah dengar kan? Mana Mas Adi juga senyum-senyum sendiri lagi. Apa dia lagi bercanda?“Assalamualaikum!”Ibu pulang dari pasar. Menyusul bapak yang tengah menenteng plastik belanjaan ibu. Melihat ada tamu yang datang, bapak langsung pasang wajah jutek.“Waalaikum salam. Pak, ini temen.”Aku langsung kenalkan mas Adi sebelum bapak berbasa-basi untuk bertanya. Kumis bapak langsung berdiri. Bapak sudah siap berakting sangar ketika ada teman cowok yang datang ke rumah.Dasar ih, bapak!“Saya Adi pak.”“Anak mana kamu?” tanya bapak sambil menerima Salim darinya.“Anak simpang bengkel pak.”“Bapakmu kerja apa?”“Ish bapak. Baru ketemu udah nanyak bapaknya kerja apa,” omelku.“Ini urusan laki-laki. Sana masuk. Siapa yang suruh berduaan di rumah?”Aku hendak mengomel lagi tapi lenganku sudah ditarik oleh ibu ke dalam. Untungnya tidak jadi aku beranjak karena ada suara salam lainnya yang datang.Ini hari Minggu kan? Kenapa banyak tamu sih? Omelku lagi dalam hati.“Assalamualaikum —““Waalaikumsalam, oh pak Aiman. Hari Minggu kerja?”Aku melongok tak percaya. Terjadi diskriminasi di sini. Mas Adi disambut dengan jutek, sedangkan Om sompret itu disambut semringah nan bangga. Ternyata harta dan tahta itu memang berpengaruh yah.Seperti dugaanku, mas Adi langsung kaget melihat kedatangan om Aiman dan anaknya Gala. Apalagi si Gala juga datang-datang langsung memelukku seperti ibunya sendiri.“Kak Mela ikut Gala jalan-jalan yuk.”“Jalan kemana?”“Gini, tadi pagi saya pengen ajak Gala jalan-jalan ke kebun binatang. Gala mau, tapi dia maksa buat ajak kamu juga.”Dengan cepat aku menjawab, “Nggak bisa. Aku mau jalan sama temen.”Muka om Aiman langsung berubah. Terserah dia mau bilang apa, kali ini aku nggak mau jadi babunya. Aku ingin kebebasan!“Sama siapa?”“Tuh, sama mas Adi. Iya kan mas?”Aku berharap mas Adi mengiyakan. Karena sebenarnya aku cuma mengarang bebas agar bisa terhindar dari ajakan mendadak jalan-jalan bareng ini.Bapak kembali ketus, ibu bengong sendiri di depan pintu. Om Aiman terlihat sedang memantau sedangkan mas Adi masih loading.Say yes mas! Say yes!“Iya. Boleh kan, om?” ujar mas Adi yang langsung berdiri di hadapan bapak untuk meminta ijin.Yes! Berhasil!!Aku bersorak-sorai dalam hati melihat om Aiman tak berkutik kali ini. Karena aku tetap ngotot untuk keluar, bapak pun mengijinkan. Itupun hanya sebentar.Tak apalah, yang penting aku tidak perlu terlibat dalam acara jalan-jalan mendadak tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana tertekannya aku nanti.“Maaf ya Gala, kakak nggak bisa jalan-jalan sama Gala hari ini. Lain waktu yah.”Gala tadinya terlihat murung. Tapi setelah kusemangati dan meminta maaf tulus padanya seperti tadi, wajah sedihnya telah pergi entah kemana. Gala menyambut dan mencium punggung tanganku. Ia lalu menerima dengan pasrah kecupan yang kuberikan di pipinya saat aku akan beranjak keluar dengan mas Adi.Papanya terlihat cuek. Tapi aku tahu dia sedang dongkol alias kesal. Bodo amat. Kali ini dia tidak bisa semena-mena.“Janji yah lain waktu kak Mel mau pergi sama Gala.”Aku mengacak rambut anak itu gemas, “Iya. Janji.”Tiba-tiba jadi sedih karena aku sendiri nggak tahu kapan bisa menepati janji itu dengan Gala. Sebentar lagi pun, aku juga harus ke Jakarta untuk kuliah. Dan anak ini terlihat tulus berharap padaku untuk merealisasikan janji yang kuucapkan padanya.Aah! Kenapa aku jadi dilema?“Nanti kita sering jalan-jalan ya pa kalau papa jadi bawa kak Mel.”Hah? Apa? Apa-apaan tuh?“Gala....jangan bilang dulu —“ cegah papanya. Om Aiman juga memasang wajah panik.Aku menaruh curiga pada om Aiman. Ada yang sedang dirahasiakan dari mereka berdua.“Bawa kak Mela kemana?”sahut ibu yang ternyata juga dengar apa yang dikatakan anak ganteng ini.Dengan mulut lemasnya dia berkata di depan semua orang, “Bawa kak Mel ke rumah Oma, biar kak Mel jadi mama Gala.”Hah?What?!Ucapan Gala terus terngiang di kepalaku. Siapa pula yang mengajarkan anak umur lima tahun membicarakan tentang mama baru untuk papanya?Dan Gala nunjuk aku untuk ucapan ngelanturnya itu.“Aku jadi mamaknya?”Bah! Nggak bisa dibiarin nih. Pasti Om sompret itu membahas sesuatu dengan anaknya, protesku dalam hati.Gara-gara itu, tujuan jalan-jalan ku dengan mas Adi menjadi kacau. Mungkin karena aku terus diam dan memikirkan celotehan Gala, aku dan mas Adi malah terlihat canggung dan tidak menikmati jalan-jalan ini. Mas Adi menegurku saat kami nongkrong di pinggiran warung kaki lima yang menyediakan bakso bakar dan segala jenis cemilan lainnya itu.“Kok diem aja Mel? Jalan-jalan sama aku nggak seru yah?”“Hah? Nggak kok mas. Ini kan mendadak, jadi nggak tahu mau kemana,” elakku.Melihat wajah mas Adi, aku jadi kasihan. Padahal aku sedang jalan berdua dengannya tapi isi kepalaku malah tentang Gala dan bapaknya.“Iya sih. Kapan berangkat ke Jakarta?”“Harusnya sih dua minggu lagi. Kenapa ma
“Maksud pak Aiman gimana yah?” tanya bapak bingung. Akupun ikut bingung. Tapi jujur saja, aku bisa tebak ke mana arah pembicaraan ini. Instingku terlalu kuat untuk hal mencurigakan seperti ini.“Begini pak, ijinkan saya nikahin Mela, anak bapak.”Aku yang tadinya nangis brutal, kini pipiku langsung kering kerontang mendengar ucapannya. Bukan seperti aku yang kaget hingga berdiri dari sofa, ibu sama bapak malah bisik-bisik di sampingku.“Om ini masih pagi, jangan ngajak gelut dong.““Ih Mela! Jangan nggak sopan gitu.”“Om polisi ini yang nggak sopan buk. Baru kenal beberapa minggu udah ngajak kawin,” protesku.“Hussh nikah Mel, kawin mah kucing.”“Sama aja! Nikah, kawin, kimpoi —“Bibirku langsung dijejelin bantal sofa oleh ibu. Bapak malah terkekeh begitu pula dengan om polisi itu. “Maaf pak Aiman, si Mela mulutnya nggak bisa diajarin.”“Nggak apa-apa buk. Dia lucu kok,” senyumnya yang menurutku malah terlihat horor. Aku menatapnya benci persis seperti di sinetron yang biasa ibu tont
"Jangan-jangan saya ini mau dijadiin istri muda, Iya kan? Om bohong kalau sudah menduda!""Iya..saya memang lagi nyari istri muda. Untuk saya jadikan istri terakhir di hidup saya," senyum Aiman penuh persekongkolan.Lelah berdebat dengannya, kamipun kembali masuk ke rumah. Di sana sudah menunggu bapak dan ibu yang sepertinya tidak sabar untuk mendengar keputusan kami.“Jadi gimana diskusinya?” “Alhamdulillah pak, Mela setuju —“Aku yang mendengarnya langsung berlari mendekat untuk melayangkan sendal swallow kebanggan ku pada om sompret satu ini. Ibu yang jago menangkis, dengan cepat merebut sendalku dan jadilah aku yang tersakiti.“Jangan sembarang ya om, saya belum ngasih jawaban!”Aiman malah tertawa disusul bapak yang ada di belakangnya.“Ya mungkin Mela butuh waktu untuk memikirkannya.”“Iya pak. Tapi kalau bisa secepatnya kasih saya jawaban karena rencana upacara sumpah jabatan dan pindaha... kurang lebih dua minggu lagi.”Tuhkan seenaknya! Dia kayaknya yang kebelet nikah! Main
Gala tidur di pangkuanku selama acara berlangsung. Tidak kusangka acara sederhana dan dadakan ini berjalan mulus seperti jalan tol yang baru pak presiden resmikan. Padahal sudah kupasang wajah jutek selama acara tapi kata Donita justru Gala lah yang membuat acara menjadi lancar penuh senyuman terutama dari pihak keluarga Aiman karena lengketnya anak ini denganku. Membuatku benar-benar seperti ibu kandung, bukan ibu tiri katanya.Di acara tadi secara mengejutkan, mamanya Aiman bahkan menghampiriku. Beliau yang terlihat berumur sekitar enam puluh tahun lebih itu, memberiku sebuah kalung yang ia kenakan langsung padaku. Semua mata tertuju padaku. Dengan ekspresi yang bisa diibaratkan tengah menyaksikan anak kampung jadi pemenang Miss world.Dengan suaranya yang lembut, mama Aiman berkata bahwa ia senang akan mendapat mantu sepertiku.Weleh buk. Belum aja liat kelakuan mantumu ini. Saya bisa kayak reog kalau sudah berhadapan dengan anakmu, gumamku dalam hati.“Aiman pernah gagal sekali
“Jangan cantik-cantik kali kak Mimi. Nanti waktu sudah hilang bedakku, kabur mereka semua,” ocehku pada kak Mimi selaku MUA paling cetar di kotaku ini.Kak Mimi tertawa sambil memoleskan...apa sih ini namanya? Contur? Counter? Alah apalah itu agar wajahku terlihat tirus dan hidungku yang pesek terlihat mancung.“Ya harus cantik dong Mel, namanya juga nikah sekali seumur hidup, masa pake dandan yang jelek-jelek?” ocehnya juga tak mau kalah. Kalau pasangannya tepat sih, mau-mau saja langgeng sampai seumur hidup. Tapi berhubung yang menikahiku adalah om-om gila yang ngebet nikah untuk jagain anaknya, maka tak salah kan aku berharap ada pernikahan kedua?“Tapi banyak tuh kak yang kawin lagi,”candaku. “Ya memang sih cinta tak selamanya indah. Pasti yang namanya pernikahan ada cobaan di dalamnya. Kalau Mela udah siap nikah gini ya harus siap juga sama problematika nya. Jangan kayak orang-orang yang demen kawin cerai kawin cerai. Pantang. Kalau masalahnya bukan karena orang ketiga atau kdr
Tidak seperti acara nikahan kemarin, puncak dari semua tangis justru datangnya di hari ini.Bapak yang dari kemarin kalem dan nggak terlihat sedih anaknya dinikahin orang, hari ini bapak jos-josan nangis dari rumah sampai di bandara Kualanamu. Apalagi ibu. Sudah dandan dari subuh untuk antarkan anaknya ke bandara, masih ada sejam lagi keberangkatan bedak ibu sudah luntur semua karena banjir airmata.Semua barang kepindahan Aiman sudah dibawa dengan truk ke Jakarta. Nggak banyak sih karena sebagian malah dijual di sini. Mamanya Aiman dan keluarga sudah berangkat dari kemarin membawa Gala sekalian. Jadi tinggal aku dan Aiman saja yang masih tertinggal. Berbanding terbalik dengan ibu dan bapak, aku justru dengan tenang hendak berangkat. Atau mungkin malah terlihat mantap dan bersemangat untuk menghirup udaranya Jakarta. Walaupun entah bagaimana nasibku nanti di sana, aku sudah bertekad bulat untuk tidak diremehkan oleh om polisi ini. Lihat saja nanti! Akan kubuat dia membayar tawanya
Akhirnya, selesai juga berberes memasukkan barang-barangku ke dalam lemari pakaian setelah sebelumnya menidurkan Gala dulu di kamarnya. Bocah itu tidak terlalu banyak drama untuk urusan tidur. Cukup nyanyikan satu lagu cempreng dari ku maka ia akan langsung tidur terlelap.Aneh banget. Sama kayak bapaknya sih. Keluarga Aiman juga sudah kembali ke Bandung, tinggal si Raka saja yang masih ada di rumah ini karena katanya malas pulang ke kost-an sendirian. Selesai mandi, aku bergegas mencari posisi yang nyaman di sofa. Sebenarnya, aku masih belum terima disuruh tidur di sofa. Niatnya aku akan berdebat lagi dengannya malam ini demi mendapatkan yang namanya kenyamanan tidur di ranjang yang luas itu. Tapi... belum sempat aku memulai pembicaraan, Aiman masuk sambil melepas kaos oblong hitam yang ia kenakan. Roti sobek empat garis nemplok di tubuhnya. Terlihat begitu keras karena latihannya sebagai polisi. Aku langsung balik badan setelah dia memergokiku tengah menatapnya tadi. Dia juga ku
Ternyata begini lah keseharian seorang ibu-ibu. Bangun lebih awal untuk melakukan pekerjaan rumah. Dulu sebelum menikah, aku biasanya bangun subuh dan bantu ibu ke pasar untuk jualan. Selebihnya ibu akan mengerjakan semuanya hingga siang hari.Sekarang, aku melakukan pekerjaan yang biasa ibu lakukan di rumah. Memasak, mencuci, menyiapkan sarapan, beberes rumah besar yang yah sebenarnya tidak terlalu kotor karena sudah dibersihkan oleh tukang cleaning service. Karena ini hari perdanaku tinggal di rumah orang, maka aku menyiapkan sarapan dengan bahan seadanya yang ada di kulkas. Setelah pulang dari kampus nanti katanya Aiman akan mengantarkan ku ke supermarket untuk belanja keperluan rumah. Jadi sementara, nasi goreng inilah yang kusiapkan untuk keluarga ini.“Ngapain Mel?” “Buat sarapan pak bos —“Aku menoleh setelah mendengar suara Aiman yang khas pria dewasa bangun tidur. Mataku langsung auto focus dengan celana tidurnya yang entah terbuat dari bahan apa hingga mencetak jelas bagia
Perdebatan diantara keduanya masih berlanjut. Aku dan Gala memilih diam sambil mendengarkan suamiku dan mantan istrinya saling membahas masa lalu.“Enggak bisa. Kamu nggak bisa ikut.”“Kenapa nggak boleh sih, Mas? Kalau kalian pergi, terus aku gimana? Aku kan mau main bareng Gala hari ini.”Yeu…makannya ngasih kabar. Biar situ nggak sia-sia datang ke sini, batinku.“Makannya kamu ngasih kabar dulu. Jadi kamu nggak sia-sia datang ke sini,” tukas Aiman dengan nada tegas.Eh eh…..tumben kita kompak?“Ya….aku kan mau kasih surprise ke anak kita. Lagian kalau aku ikut juga nggak akan ganggu kok. Anggep saja aku nggak ada.” Susan masih bersikeras dengan kemauannya.Dia sengaja menekan kata ‘anak kita’ sambil menoleh padaku. Tak sengaja pula kuputar bola mataku – jengah padanya setelah mendengar janda pirang satu itu tengah tebar pesona. Entahlah. Aku menganggapnya seperti itu. Mungkin karena sesama wanita yah jadi aku bisa membaca tingkah lakunya yang tak biasa.Susan berdandan dengan supe
“Mama udah sehat?” tanya Gala begitu ia keluar dari kamarnya.Dengan piyama dinasaurus hijau kesukaannya, Gala datang memelukku yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil ini. Lebih tepatnya sih memanaskan makanan yang kemarin dibawa ibu mertua dan kakak ipar.“Lumayan. Gala sikat gigi dulu sana, habis itu bangunin papa terus kita sarapan.”“Papa sama mama udah nggak berantem, kan?” tanya Gala dengan tatapan memelas. Aih…apa dia masih kepikiran soal kemarin? Untung saja Gala nggak cerita soal pertengkaran kami pada Oma dan tantenya kemarin. Kalau tidak, mungkin kami sudah di sidang selama berjam-jam.Aku terdiam mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir mungilnya itu. Well….aku tak bisa bilang bahwa kami sudah baik-baik saja. Justru tadi malam terjadi hal yang membuatku tercengang sampai-sampai om sompret itu ingin kutelan hidup-hidup.Setelah kejadian tersedak itu, Aiman mulai bertingkah aneh. Atau mungkin sebenarnya sudah aneh sejak aku sakit beberapa hari yang lalu. Ai
Note : Maaf ya gak bisa tepati janji buat double up. Karena aku juga nulis di tempat lain dan itu keteteran. Jadi aku update sehari sekali aja yah. Mianhe===Siapa yang tidak terkejut setelah mendengar pengakuan Aiman tentang status kami?Bagai petir di siang bolong, aku sumpahin giginya Aiman ompong!Tanpa babibu, aku langsung mendorong Aiman menjauh dari pembicaraan ini. Tapi apalah daya, tenagaku tak cukup kuat untuk mendorongnya yang memiliki tubuh atletis bak binaragawan yang pernah ia pamerkan padaku di malam pertama kami tinggal bersama.Akhirnya….aku hanya bisa misuh-misuh padanya sambil menyipitkan mata.“Mau kamu apa sih! Lagi-lagi keluar dari perjanjian!”“Perjanjian apa?” balas Aiman ikut berbisik.“Kan aku ngasih syarat ke kamu….jangan sampai status aku terbongkar di kampus!““Mel,” panggil kak Rendi yang tanpa sadar sudah kubuat seperti emping kering karena kelamaan dijemur.Tanpa sadar aku sudah menatap kak Rendi dengan pandangan iba, “Kak! Ini tuh –““Kamu nggak usah
Setelah berbulan-bulan di Jakarta, baru kali ini aku sakit.Ibu bilang, badanku ini penuh dengan zat besi, kalsium, vitamin dan segala macam karena ketangguhanku yang tak mudah sakit sejak kecil. Di saat anak-anak dulu sakit berjamaah terserang demam, cacar, campak dan segala macam, aku malah sehat walafiat karena imun yang kuat. Mungkin pernah beberapa kali kurang enak badan, namun pada akhirnya aku pasti lekas sembuh sampai tak perlu pergi ke klinik.Mungkin musim dan udara di Jakarta kurang cocok denganku. Buktinya… aku terserang penyakit yang bernama meriang hampir selama dua hari.Aku terserang batuk dan juga demam. Alhasil, aku tak bisa melakukan rutinitas seperti biasa termasuk menyiapkan keperluan Gala dan bapaknya.KLONTANG!Suara nyaring dari dapur terdengar begitu jelas. Aku yang berada di dalam kamar sambil selimutan pun terpaksa harus bangun karena suara berisik yang sejak tadi terdengar di area dapur.Itu bapak sama anak lagi eksperimen apa sih di dapur? Ngerakit bom kal
“Pacar? Emang kamu udah punya pacar?”Oooh! Ngeremehin ane rupanya?“Ya ada dong! Emang kamu aja yang boleh pacaran sama si tepos?”Aiman menaikkan sebelah alisnya.“Baru beberapa bulan kuliah, jangan pacaran dulu! Nanti aku laporin ke bapak kamu!”“Ishh mentang-mentang polisi mainnya lapor-laporan. Aku juga bisa…laporin kamu ke mama!”Aiman mulai komat-kamit seperti mbah dukun. Daripada aku semakin kesal karena terus menghadapinya, akupun beranjak pergi sambil menutup pintu cukup kencang di hadapannya. Tak lama Aiman menyusul sambil bertolak pinggang.“Mel! Saya belum selesai bicara!“Aku mengabaikannya dengan terus berjalan keluar rumah. Terlihat di luar pagar, kak Rendi menungguku muncul dengan senyuman yang selalu terlihat tulus daripada om sompret yang ada di belakangku itu. Dengan mobil antiknya, kak Rendi menghampiriku untuk membawakan tas ransel yang cukup padat isinya itu.“Kayak mau minggat aja Mel,” celetuknya yang sama persis seperti ucapan om sompret.“Kok kalimat kalian
Aiman keluar dari mobil setelah memutarinya.“Gala –““Oh….jadi ini tugas pentingnya sampai lupa buat jemput anak?”Mendengar ocehanku, Aiman menepuk keningnya sambil berlutut di depan anaknya untuk meminta maaf.“Maafin papa yah. Papa lupa dan hp papa lowbet lupa di cas.”“Hp mama juga lowbet, tapi mama inget Gala,” balas Gala yang membuatku cukup tercengang. Aku pikir Gala bukan anak yang suka membalas ucapan papanya. Ternyata dia cukup cerdas untuk menjawab.Bagus Gala! Marahin aja papa kamu itu!“Gala – maafin papa yah.”Gala memalingkan wajahnya sambil melipat kedua tangannya di dada. Selama Aiman tengah membujuk putra semata wayangnya, aku tengah awasi betina bernama Raline yang pernah meremehkanku karena tak pantas menjadi istri Aiman. Di dalam mobil ia terus berdiam diri sambil memperhatikan ayah dan anak tersebut. Sesekali pandangan kami bertemu namun dengan cepat dia memalingkan wajahnya.Dih! Pant*t tepos aja sok banget! Omelku dalam hati.“Makannya inget anak sama istri di
Aku adalah tipe orang yang tak bisa menyembunyikan apa yang kurasakan. Kalau marah ya marah. Kalau aku nggak suka sama sesuatu ya aku akan bilang aku nggak suka.Seperti pagi ini. Semangatku untuk menyiapkan segala kebutuhan keluarga kecilku seperti sedang membara dan berkobar. Gala melihatku dengan wajahnya yang terheran-heran sambil bilang ….“Mama hari ini kok bahagia banget?” “Ah masa sih?” tanyaku sambil membolak-balik ikan yang tengah kugoreng. Mendengar pertanyaannya, akupun tanpa sadar menyunggingkan senyum seperti joker.“Iya. Mama senyum-senyum terus.”“Ah kak Mel kan emang suka senyum.”“Tapi kali ini beda.”Aku selesai menggoreng ikan lalu lanjut kurangi minyak makan untuk digunakan menumis sambal yang sudah kuulek sebelumnya. “Bedanya bikin Gala suka atau enggak?” tanyaku sambil mengaduk-aduk sambal. Tak lama Gala – putra sambungku ini mengangguk-anggukkan kepalanya dengan antusias.“Suka dong,” pujinya yang membuatku semakin gemas sendiri.Monday, Tuesday, Wednesday, T
Terdengar suara ledakan lagi setelah aku meninggalkan lokasi. Ledakan itu membuat orang-orang yang ada di sana kian waspada dan juga ketakutan.Aku juga semakin gelisah karena hal itu. Gelisah memikirkan bagaimana nasib Aiman.“Pak pak pak! Berhenti pak! Saya mau turun!”“Jangan neng. Bahaya! Itu pasti serangan teroris,” ungkapnya sok tahu.Tapi biasanya memang seperti itu. Teroris pasti selalu ada karena sumbernya belum dimusnahkan.“Iya pak saya tahu. Tapi saya khawatir pak sama polisi tadi!”“Biarin aja neng, kan emang tugas mereka.”Kenapa aku yang sakit hati yah mendengarnya? Apa polisi bukan manusia?“Mereka kan tugasnya ngejagain kita. Kalau nggak gitu,mereka nggak kerja!” ucap pak supir taksi lagi yang sepertinya punya dendam kesumat sama polisi. Nadanya sinis. Dan dia seperti tak merasa bersalah sudah bicara seenaknya tentang profesi seseorang.“Berhenti pak! Saya bayar sampai sini!”Melihatku yang ngotot minta turun, akhirnya pak supir itupun menghentikan mobilnya. Kuserahka
Sepanjang perjalanan, Aiman seperti orang sakit gigi. Diam terus-terusan sambil membawa mobilnya menuju rumah.Memang sih, siapa yang tidak terkejut dengan kasus jenderal satu ini. Semua orang yang ada di sana termasuk aku, sudah jantungan melihat aksi koboi sang jenderal kepada istrinya. Untung saja ada yang segera menengahi. Kalau tak, pasti akan ada banyak orang yang berguguran di tempat latihan menembak itu.Karena Aiman tak mau membahas hal ini lagi, maka akupun tak mau angkat bicara. Jadi kualihkan saja pandanganku pada jendela mobil sambil memperhatikan hujan yang mulai turun sedikit demi sedikit. Kalau di kampungku dulu, biasanya kalau hujan begini paling enak minum teh sambil makan pisang goreng.Duhlah…apalagi kalau disambung dengerin music galau atau lagu-lagu nostalgia, jadi bertambah lagi syahdunya.Tapi sekarang, di mana aku bisa beli pisang goreng?Masak sih gampang, tapi di rumah komplek mana ada kebon pisang? Kalau dulu kan tinggal jalan saja ke kebon belakang rumah,