Sejak pengumuman lolos masuk kuliah lewat jalur undangan, beginilah keseharianku.
Jungkir balik di depan layar untuk membuat konten sederhana dengan followers yang tak seberapa. Tetanggaku juga bingung. Bagaimana bisa Mela Iskandar — preman kampung yang hobinya tiktokan bisa tembus masuk ke Universitas berkelas se- Indonesia. Se-Indonesia loh yah. Bukan cuma se Sumatera Utara saja! Bangga kan? Bangga lah! Masa enggak! "Woi! Mel!" Aku menoleh begitu suara teman bobrokku itu datang berkunjung. Seperti kebiasaannya, Donita boru Sidamanik ini akan datang tepat sebelum makan siang. Untung cuma numpang makan, bukan tidur apalagi mandi. "Apa?" jawabku sambil mengedit video joget Money-nya Lalisa Manoban yang tengah viral beberapa bulan ini. Kulihat dari sudut mataku, Donita duduk melorot di kursi bambu depan rumahku. "Kapan berangkat ke Jakarta? Kalau kau nggak ada..aku sama siapa wak? Kenapa nggak daftar di USU aja sih? Tega banget!" Donita pagi-pagi sudah ngedrama. Daripada boru Sidamanik ini semakin menangis, aku pun duduk bersebelahan dengannya sambil menepuk punggungnya pelan. "Yah..gimana dong Don. Aku daftar dua fakultas yang lolos itu di UI. Itukan mimpi besar aku. Sabar lah yah. Kita kan bisa video call. Masih bisa gila-gilaan kayak biasanya," tukasku berusaha menghibur Donita temanku sejak SMP itu. Donita ini gadis humble dan penurut. Walaupun kadang dia ingin belajar menjadi cewek badung sepertiku, aslinya dia tidak seberani itu. Bicaranya saja yang lantang, tapi hatinya lembut seperti jelly. Donita juga teman yang bisa diandalkan. Benar-benar setia kawan dan religius yang pernah aku temui. Belum apa-apa aku sudah merasa patah hati seperti ini. Padahal masih ada waktu kami bersama sampai bulan depan. Tentunya setelah aku siapkan semua kebutuhanku selama di Depok nanti. Hal ini juga sempat membuat bapakku galau. Tidak seperti ibu yang bangga dan terus memamerkan keberhasilan anaknya masuk UI di semua kedai yang ia temui, bapak malah terdiam dan tak terlihat suka aku masuk ke sana. Pembicaraan kami berjalan alot kemarin malam. Bapak seperti belum ikhlas anaknya tinggal sendiri di Jakarta nanti. Padahal beliau tahu tempramen anaknya ini. Tak pernah takut sama siapapun. Berkelahi dengan preman pasar inpres saja pernah. Tapi bapak tetap masih belum sepenuhnya yakin tentang keberanianku ini. "Jadi..bapakmu gimana?" tanya Donita, seperti bisa membaca pikiranku tadi. "Belum seratus persen. Tapi nanti aku yakinkan lagi." "Bapakmu ya nggak salah khawatir sama kamu. Anak semata wayang, perempuan, dan nggak ada saudara lagi di sana. Pasti beliau pusing mikirin ini." Aku manggut-manggut mengiyakan. Hal ini memang tak bisa kubantah sama sekali. Semua saudara juga bilang begitu. Tapi mau bagaimana lagi. Tekadku sudah bulat. Apapun yang terjadi, aku harus tetap ke Jakarta. Raih mimpi menjadi mahasiswi fakultas Teknik. Titik tiada koma. "Sudahlah. Aku juga ikut pusing memikirkannya." Donita tertawa renyah sambil mengomentari video dance yang baru saja selesai ku uplod. Tak lama, suara kerincingan penjual es krim keliling, lewat. Donita bergegas keluar dari teras rumah mengejar si tukang es krim tersebut. Aku menyusulnya dan mendapati si penjual sudah ramai dikerubungi oleh anak-anak komplek yang kebetulan tengah bermain. Percekcokan pun kembali terjadi antara kami dan anak-anak SD tersebut. Pasalnya kami sama-sama menolak untuk mengalah siapa yang lebih dulu mendapatkan es krim. "Kakak ini..ngalah lah sama anak kecil." "Hidup ini keras dek. Nggak kata mengalah untuk mencari sesuap nasi." "Ini es kak. Bukan nasi. Kalau makan nasi pulang lah buka dandang di rumah." Aku mendelik karena diremehkan. Persaingan ku dengan anak-anak bola pun kembali dimulai. "Oh..lantam yah. Sini kau..sini! siapa bapakmu hah?" Anak itu tertawa sambil mengaduh, "Ampun kak! ampon!" Es krim pun sampai ke tangan kami. Tentunya dengan ledekan anak-anak komplek yang tidak terima kami mendapatkan es terlebih dahulu daripada mereka. Aku dan Donita ngeluyur kembali ke rumah, sampai Donita menyikutku karena melihat sosok anak lelaki yang tengah memeluk boneka kelinci. Aku tertawa melihatnya. "Ih kok diketawain?" "Lah dia anak cowok masa' mainannya boneka?" ucapku sambil menghampiri bocah tersebut.Ia tampak menelan ludah melihat es krim yang sedang kubawa ini. "Adek anak siapa?" "Anaknya papa," jawabnya santai. Donita tertawa mendengarnya. "Papanya di mana?" "Kelja." Menggemaskan sih. Tapi raut wajahnya itu agak menyebalkan. Ia sama sekali tak memandangku ketika sedang bicara. "Eh dek. Rumahnya di mana? Kenapa keluyuran sendiri?" tanya Donita menggantikan ku yang sudah malas meladeni bocah di depan kami itu. Bukannya menjawab, bocah tersebut menarik celana jogging ku sambil menengadah melihatku makan es krim. Aku kembali jongkok untuk menyetarakan diri dengannya yang hanya sedengkulku itu. "Kenapa? Mau es krim?" "Gala nggak bawa duit," ucapnya terdengar memelas. "Oh nama kamu Gala? Rumahnya di mana biar kakak anterin." Gala menyatukan alisnya kemudian menunjuk ke arah jalan. "Di sana." Aku melihat anak itu tampak kehausan. Aku menarik tangannya kemudian menyuruhnya memegang es yang kubawa. Ia kami bawa ke rumahku karena memang tinggal jalan sejengkal saja untuk sampai di depan teras. "Kakak ambil air minum dulu." Donita menemani bocah tersebut di luar. Sedangkan aku masuk ke rumah untuk mengambil air minum dari dalam kulkas kemudian keluar lagi ke teras. Donita tampak berusaha menyuruh bocah itu untuk makan es krim yang kuberikan. Tapi bocah tersebut tak mengendahkannya. "Loh, kok nggak dimakan es nya?" Gala menoleh kepadaku, "Kan kakak nggak suruh saya makan." Aku dan Donita terperangah. Dalam hati aku bergumam. Ini bocah terlihat dewasa sebelum umurnya. Dia bahkan sudah ganteng sebelum kencingnya bisa lurus. Masha Allah...bapak emaknya pasti bibit unggul. "Oh iya. Makan aja. Ini air. Kamu haus kan?" Donita berbisik di sebelah ku, "Anak siapa yah? Kayak pernah liat." "Lah..mana aku tahu. Anak komplek sebelah mungkin." Gala terlihat santai menghabiskan es yang kuberikan sambil mendongak memperhatikan para bocah yang sibuk membuat layangan. Tadinya, aku tak ingin meladeninya lagi. Tapi karena bocah ini terlihat lucu dan juga ganteng, aku langsung membuat konten tiktok tentang keberadaannya. "Mau dijadiin konten?" Aku tertawa kecil sambil sibuk merekam aksi Gala yang sedang minum air. "Anaknya seganteng ini.. bapaknya gimana yah?" Donita tertawa sampai terpingkal-pingkal di sebelahku. "Awas naksir bapaknya." "Ih amit-amit. Cuma mengagumi penciptaan Allah yang sempurna ini Don." "Ya bisa aja kan? Apalagi sekarang jamannya pelakor." "Iish doanya jelek! Amit-amit bang Jali balik normal! Aku nggak mau jadi perusak hubungan orang. Lagi pula masih mau kuliah ini, nggak mau mikirin pacaran." Donita masih tertawa. Ia kemudian kembali menyetop tukang bakso bakar keliling lalu menyebutkan pesanannya. "Iyalah. Modelan begini siapa yang mau!" ledek Donita sambil menunjukku dari atas hingga ujung ke ujung kaki. Karena kejahilannya, aku hadiahkan ucapan Donita itu dengan pukulan sayangku di kepalanya. "Gitu yah hmm. Doain temennya begitu!" Sedang asik bercanda di depan tukang bakso keliling, tak lama ibu balik dari pasar dengan membawa dua keranjang sayur yang ia letakkan di motor maticnya. Aku segera menghampiri sambil membawa salah satu dari keranjang yang beliau bawa. Maklum..ibuku adalah si tukang sayur andalan ibu-ibu komplek yang malas memasak. Cukup sepuluh ribu rupiah sudah bisa santap sayur matang bersama lauknya. Harga menyesuaikan pesanan yah. Melihatku datang, ibu langsung bergegas masuk untuk mengolahnya sebelum makan siang tiba. "Duuh..ibu telat nih. Donita! Mela! Bantuin di belakang yah." Kami berdua mengiyakan sambil masuk ke rumah. Begitu sampai di teras, ibu berceletuk tentang anak ganteng yang tengah anteng menyantap bakso yang juga kuberikan padanya tadi. "Loh..ini kan anaknya pak Aiman polisi, kan? Kenapa bisa di sini?" "Ibu kenal?" tanyaku sambil meneguk air es yang kubawa tadi untuk bocah itu. "Ya kenal lah. Tapi kenapa dia di sini. Jauh banget mainnya.""Kayaknya dia nyasar deh. Rumahnya di mana?" "Itu..rumah tingkat di ujung gang. Masa kalian nggak tahu." Aku dan Donita saling melirik bingung. Sumpah yah..semenjak pandemi dan mengharuskan untuk di rumah, aku tak tahu orang-orang baru di sekitarku. Sampai bapak bilang, aku sendiri sudah kuper karena mendekam di dalam rumah selama hampir dua tahun ini. Untungnya sekarang sudah lebih baik sejak pemerintah kota Medan menggalakkan untuk vaksinasi. Tingkat kematian berkurang dan akhirnya kami mulai bisa berkeliaran seperti sekarang. "Nggak tahu buk —" Gala selesai makan bakso dan ia kembali duduk ngumpul dengan anak-anak yang bukan sebayanya itu. Tampak serius memperhatikan anak-anak tersebut bermain. Aku menghampirinya sambil menanyakan keinginannya untuk bermain apa. Entah kenapa aku terus memperhatikan anak tersebut. Padahal diawal tadi, aku malah tak berkenan untuk menegurnya. "Mau main Guli ( kelereng )?" "Itu namanya apa kak?" tunjuk Gala pada anak-anak yang tengah bermain layangan. "Oh..itu layangan. Mau main itu?" Gala mengangguk lalu kuajak ke kedai terdekat untuk membelikannya satu layangan. Tapi tak lama, ada seorang ibu-ibu yang tunggang langgang memanggil nama anak yang kupegang ini. "Ya Allah mas Gala!" "Masih kecil begini dipanggil mas?" gumamku dalam hati. Sambil melirik Donita tentunya. "Maafin bibi yah. Mas Gala nggak apa-apa kan?" "Ibu siapa yah?" Donita mewakilkanku untuk bertanya. Seorang wanita yang terlihat mengenakan pakaian putih seperti suster itu lalu mendongak sambil menatap kami bergantian. "Saya asisten rumah yang disuruh jagain anak majikan saya ini. Ya Allah terima kasih sudah jaga mas Gala sebentar." "Iya buk. Hati-hati ya buk. Sekarang banyak kasus penculikan anak. Ibu jangan sampai lengah," saranku pada sang ibu yang usianya mungkin sama dengan ibuku di dapur. Baru saja disebut namanya, ibuku memanggil dari dalam rumah. Kami segera pamit kepada dua orang tersebut. Terutama pada Gala yang terlihat tertunduk karena dibawa pergi oleh susternya. "Dadah Gala. Jangan keluyuruan sendiri lagi yah." Gala mengangguk sambil memeluk erat susternya tersebut. Mereka akhirnya pergi ke ujung gang yang ternyata telah menunggu seorang pria yang baru saja turun dari mobilnya. Aku menyikut Donita untuk mengomentari siapa pria yang mengenakan jaket Boomber hijau tentara juga kacamata hitam yang menjemput kedua orang yang berbeda generasi itu. "Itu bapaknya kali yah." "Mungkin," jawab Donita sekenanya. "Kelihatannya modelan papa-papa muda ." Aku menoyor kepala Donita sambil cekikikan, "Suami orang Donita. Istighfar!" Donita membuat tanda salip di tubuhnya sendiri, "Iya udah." Kami berdua terkekeh kemudian masuk menyahuti panggilan ibu yang terjadi berulang kali itu.Selain hobiku yang suka jahilin anak kecil maupun dewasa, hobiku yang lain adalah motor-motoran sambil mampir ke IndoApril yang letaknya ada di seberang gang.Bukan tanpa alasan aku ke sana belakangan ini. Tempat itu menjadi tempat favorit ku enam bulan terakhir setelah seorang pria tampan yang mirip dengan idolaku, bekerja di sana.Namanya mas Adi. Wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan Song Kang.Iya..Song Kang yang tengah digandrungi para penggemar drama Korea saat ini.Ya Allah...ada yah aktor rasa lokal begini? Mana dia juga sadar banget kalau dikatain mirip dengan aktor dari Korea Selatan itu. Penampilannya juga sengaja dibuat sekeren itu, agar pengunjung minimarketnya ramai.Untuk memata-matai, akulah jagonya. Segala tentangnya sudah kukantongi. Umur, tempat tinggal, tamatan mana, hobi..semuanya! Kecuali nomor handphone saja.Heh!Agar tidak terlalu kentara, biasanya aku akan berakting tidak terpengaruh dengan pesona mas Adi. Padahal jika di telaah lebih dekat, jantungku nyar
Aku mengeraskan suara headset ku saat ibu masuk ke dalam kamar. Sembari bermain game di laptop, aku melihat dari sudut mataku, ibu sedang menggelengkan kepalanya prihatin."Mel!"Ibu menarik headset ku sambil menepuk kepalaku lembut."Udah mandi?""Udah," jawabku irit."Udah salat?""Kan libur buk," jawabku, masih fokus ke layar laptop.Setelah kejadian tadi, aku langsung tidak mood untuk melakukan apapun. Termasuk turun untuk makan malam atau bahkan membalas pesan mas Adi yang terus memintaku untuk membalas pesannya. Kata orang, aku cepat sekali berubah moodnya saat sedang datang bulan. Meskipun ada hal-hal yang kusukai, jika moodku buruk karena sesuatu hal, maka semua itu tidak ada artinya. Tidak ada obatnya. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menunggu sejam atau dua jam menenangkan diri hingga moodku kembali. Seperti yang kulakukan sekarang ini.Ibu cengengesan, "Oh iya. Ibu lupa. Terus..nggak ke bawah gitu?"Aku menoleh ke arah ibu. Mengeryitkan dahi karena bingung dengan pertanyaan
Baru selesai menyapu teras dan menyiramnya dengan air bekas mengepel rumah, sepasang sepatu kulit hitam berada tepat di depan pagar.Perlahan aku menaikkan kepalaku dan langsung bersitatap dengan duda beranak satu yang bernama Aiman itu.Bah..besar juga nyalinya datang ke sini lagi.Orangnya padahal ganteng, tapi pelit senyum. Sudah tahu ada maksud datang ke rumah, menyapaku dengan senyuman pun tidak. Masih lebih enak dilihat wajah anaknya daripada bapaknya. Kalau tidak salah namanya Gala. Anak kecil itu begitu turun dari buaian bapaknya, langsung menerobos memeluk kakiku. Aku cuma bisa nyengir sambil mendengarkan celotehannya."Kak Mela! Gala main sini lagi yah," pintanya."Eh..kok tahu nama kakak?" Aku melirik sinis ke bapaknya."Tahu dong. Kan papa yang ngasih tahu!"Aku berlutut untuk menyetarakan tubuhku padanya. Bocah itu nyengir sambil kucium wangi bedak bayi yang terkeluar dari badannya. Sepertinya dia sudah mandi. Beda sekali denganku yang bangun tidur langsung ditugaskan unt
“Om..Aiman?”Ya Allah. Belum apa-apa aku sudah mendapat musibah sebesar ini. Bagaimana kalau Aiman ngadu ke bapak kalau aku dan yang lainnya numpang parkir di depan diskotik?Kacau!Lihat gelagat om sompret satu ini saja sudah membuatku tak berdaya. Dia malah senyum-senyum sendiri melihatku tertangkap basah.“Kamu kenal, Mel?” tanya Mas Adi setengah berbisik.Aku mengangguk kemudian pasang badan untuk menghadapi polisi berpangkat AKBP ini.“Om! Ini bukan yang kayak om bayangin.”“Saya bukan om kamu,” jawabnya jutek.“Oke pak. Ini bukan seperti yang bapak bayangkan.”Sudah kuganti sapaan untuknya, duda ganteng ini malah menarik turunkan alisnya seolah tidak terima juga. Memangnya mau dipanggil apa?Sayang? Kan nggak mungkin!“Hum. Saya nggak bayangin, tapi saya lihat sendiri. Anaknya pak Agus datang ke diskotik.”“Pak!?”Aku tak sengaja bersuara tinggi padanya membuat yang lainnya menoleh. Karena malu, kupalingkan wajahku lalu duduk di dekat parit. Mas Adi ikut duduk di sebelahku. Dari
Om polisi itu benar-benar memanfaatkan sogokan yang kuberikan. Setelah dinas dua hari keluar kota waktu itu, dia lanjut menitipkan anaknya — yang ia antar pagi hari lalu sekitar pukul tiga sore akan dia jemput — selama hampir dua minggu berlalu.Permintaan om polisi itu juga tidak main-main. Harus aku yang menjaga Gala selama anak itu berada di rumah ini. Bukan ibu maupun bapak. Sadis. Uang jajan pun tak diberi!Akupun juga tidak bisa kemana-mana karena harus menjaga Gala yang senang sekali bermain layangan. Memang tidak sulit untuk menjaga anak lima tahun itu, karena Gala termasuk anak yang penurut.Disuruh makan ya makan, disuruh tidur ya tidur, disuruh mandi ya nurut, semuanya Gala lakukan sesuai keinginanku. Gala memang anak yang pintar. Karena itu, dua minggu tak terasa berat bagiku mengasuh anak itu. Yang berat mungkin mesti melihat om kampret itu setiap pagi dan sore. Hatiku resah bukan karena suka padanya, tapi resah gelisah takut ia membongkar rahasiaku pada ibu ataupun bapa
Ucapan Gala terus terngiang di kepalaku. Siapa pula yang mengajarkan anak umur lima tahun membicarakan tentang mama baru untuk papanya?Dan Gala nunjuk aku untuk ucapan ngelanturnya itu.“Aku jadi mamaknya?”Bah! Nggak bisa dibiarin nih. Pasti Om sompret itu membahas sesuatu dengan anaknya, protesku dalam hati.Gara-gara itu, tujuan jalan-jalan ku dengan mas Adi menjadi kacau. Mungkin karena aku terus diam dan memikirkan celotehan Gala, aku dan mas Adi malah terlihat canggung dan tidak menikmati jalan-jalan ini. Mas Adi menegurku saat kami nongkrong di pinggiran warung kaki lima yang menyediakan bakso bakar dan segala jenis cemilan lainnya itu.“Kok diem aja Mel? Jalan-jalan sama aku nggak seru yah?”“Hah? Nggak kok mas. Ini kan mendadak, jadi nggak tahu mau kemana,” elakku.Melihat wajah mas Adi, aku jadi kasihan. Padahal aku sedang jalan berdua dengannya tapi isi kepalaku malah tentang Gala dan bapaknya.“Iya sih. Kapan berangkat ke Jakarta?”“Harusnya sih dua minggu lagi. Kenapa ma
“Maksud pak Aiman gimana yah?” tanya bapak bingung. Akupun ikut bingung. Tapi jujur saja, aku bisa tebak ke mana arah pembicaraan ini. Instingku terlalu kuat untuk hal mencurigakan seperti ini.“Begini pak, ijinkan saya nikahin Mela, anak bapak.”Aku yang tadinya nangis brutal, kini pipiku langsung kering kerontang mendengar ucapannya. Bukan seperti aku yang kaget hingga berdiri dari sofa, ibu sama bapak malah bisik-bisik di sampingku.“Om ini masih pagi, jangan ngajak gelut dong.““Ih Mela! Jangan nggak sopan gitu.”“Om polisi ini yang nggak sopan buk. Baru kenal beberapa minggu udah ngajak kawin,” protesku.“Hussh nikah Mel, kawin mah kucing.”“Sama aja! Nikah, kawin, kimpoi —“Bibirku langsung dijejelin bantal sofa oleh ibu. Bapak malah terkekeh begitu pula dengan om polisi itu. “Maaf pak Aiman, si Mela mulutnya nggak bisa diajarin.”“Nggak apa-apa buk. Dia lucu kok,” senyumnya yang menurutku malah terlihat horor. Aku menatapnya benci persis seperti di sinetron yang biasa ibu tont
"Jangan-jangan saya ini mau dijadiin istri muda, Iya kan? Om bohong kalau sudah menduda!""Iya..saya memang lagi nyari istri muda. Untuk saya jadikan istri terakhir di hidup saya," senyum Aiman penuh persekongkolan.Lelah berdebat dengannya, kamipun kembali masuk ke rumah. Di sana sudah menunggu bapak dan ibu yang sepertinya tidak sabar untuk mendengar keputusan kami.“Jadi gimana diskusinya?” “Alhamdulillah pak, Mela setuju —“Aku yang mendengarnya langsung berlari mendekat untuk melayangkan sendal swallow kebanggan ku pada om sompret satu ini. Ibu yang jago menangkis, dengan cepat merebut sendalku dan jadilah aku yang tersakiti.“Jangan sembarang ya om, saya belum ngasih jawaban!”Aiman malah tertawa disusul bapak yang ada di belakangnya.“Ya mungkin Mela butuh waktu untuk memikirkannya.”“Iya pak. Tapi kalau bisa secepatnya kasih saya jawaban karena rencana upacara sumpah jabatan dan pindaha... kurang lebih dua minggu lagi.”Tuhkan seenaknya! Dia kayaknya yang kebelet nikah! Main
Perdebatan diantara keduanya masih berlanjut. Aku dan Gala memilih diam sambil mendengarkan suamiku dan mantan istrinya saling membahas masa lalu.“Enggak bisa. Kamu nggak bisa ikut.”“Kenapa nggak boleh sih, Mas? Kalau kalian pergi, terus aku gimana? Aku kan mau main bareng Gala hari ini.”Yeu…makannya ngasih kabar. Biar situ nggak sia-sia datang ke sini, batinku.“Makannya kamu ngasih kabar dulu. Jadi kamu nggak sia-sia datang ke sini,” tukas Aiman dengan nada tegas.Eh eh…..tumben kita kompak?“Ya….aku kan mau kasih surprise ke anak kita. Lagian kalau aku ikut juga nggak akan ganggu kok. Anggep saja aku nggak ada.” Susan masih bersikeras dengan kemauannya.Dia sengaja menekan kata ‘anak kita’ sambil menoleh padaku. Tak sengaja pula kuputar bola mataku – jengah padanya setelah mendengar janda pirang satu itu tengah tebar pesona. Entahlah. Aku menganggapnya seperti itu. Mungkin karena sesama wanita yah jadi aku bisa membaca tingkah lakunya yang tak biasa.Susan berdandan dengan supe
“Mama udah sehat?” tanya Gala begitu ia keluar dari kamarnya.Dengan piyama dinasaurus hijau kesukaannya, Gala datang memelukku yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil ini. Lebih tepatnya sih memanaskan makanan yang kemarin dibawa ibu mertua dan kakak ipar.“Lumayan. Gala sikat gigi dulu sana, habis itu bangunin papa terus kita sarapan.”“Papa sama mama udah nggak berantem, kan?” tanya Gala dengan tatapan memelas. Aih…apa dia masih kepikiran soal kemarin? Untung saja Gala nggak cerita soal pertengkaran kami pada Oma dan tantenya kemarin. Kalau tidak, mungkin kami sudah di sidang selama berjam-jam.Aku terdiam mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir mungilnya itu. Well….aku tak bisa bilang bahwa kami sudah baik-baik saja. Justru tadi malam terjadi hal yang membuatku tercengang sampai-sampai om sompret itu ingin kutelan hidup-hidup.Setelah kejadian tersedak itu, Aiman mulai bertingkah aneh. Atau mungkin sebenarnya sudah aneh sejak aku sakit beberapa hari yang lalu. Ai
Note : Maaf ya gak bisa tepati janji buat double up. Karena aku juga nulis di tempat lain dan itu keteteran. Jadi aku update sehari sekali aja yah. Mianhe===Siapa yang tidak terkejut setelah mendengar pengakuan Aiman tentang status kami?Bagai petir di siang bolong, aku sumpahin giginya Aiman ompong!Tanpa babibu, aku langsung mendorong Aiman menjauh dari pembicaraan ini. Tapi apalah daya, tenagaku tak cukup kuat untuk mendorongnya yang memiliki tubuh atletis bak binaragawan yang pernah ia pamerkan padaku di malam pertama kami tinggal bersama.Akhirnya….aku hanya bisa misuh-misuh padanya sambil menyipitkan mata.“Mau kamu apa sih! Lagi-lagi keluar dari perjanjian!”“Perjanjian apa?” balas Aiman ikut berbisik.“Kan aku ngasih syarat ke kamu….jangan sampai status aku terbongkar di kampus!““Mel,” panggil kak Rendi yang tanpa sadar sudah kubuat seperti emping kering karena kelamaan dijemur.Tanpa sadar aku sudah menatap kak Rendi dengan pandangan iba, “Kak! Ini tuh –““Kamu nggak usah
Setelah berbulan-bulan di Jakarta, baru kali ini aku sakit.Ibu bilang, badanku ini penuh dengan zat besi, kalsium, vitamin dan segala macam karena ketangguhanku yang tak mudah sakit sejak kecil. Di saat anak-anak dulu sakit berjamaah terserang demam, cacar, campak dan segala macam, aku malah sehat walafiat karena imun yang kuat. Mungkin pernah beberapa kali kurang enak badan, namun pada akhirnya aku pasti lekas sembuh sampai tak perlu pergi ke klinik.Mungkin musim dan udara di Jakarta kurang cocok denganku. Buktinya… aku terserang penyakit yang bernama meriang hampir selama dua hari.Aku terserang batuk dan juga demam. Alhasil, aku tak bisa melakukan rutinitas seperti biasa termasuk menyiapkan keperluan Gala dan bapaknya.KLONTANG!Suara nyaring dari dapur terdengar begitu jelas. Aku yang berada di dalam kamar sambil selimutan pun terpaksa harus bangun karena suara berisik yang sejak tadi terdengar di area dapur.Itu bapak sama anak lagi eksperimen apa sih di dapur? Ngerakit bom kal
“Pacar? Emang kamu udah punya pacar?”Oooh! Ngeremehin ane rupanya?“Ya ada dong! Emang kamu aja yang boleh pacaran sama si tepos?”Aiman menaikkan sebelah alisnya.“Baru beberapa bulan kuliah, jangan pacaran dulu! Nanti aku laporin ke bapak kamu!”“Ishh mentang-mentang polisi mainnya lapor-laporan. Aku juga bisa…laporin kamu ke mama!”Aiman mulai komat-kamit seperti mbah dukun. Daripada aku semakin kesal karena terus menghadapinya, akupun beranjak pergi sambil menutup pintu cukup kencang di hadapannya. Tak lama Aiman menyusul sambil bertolak pinggang.“Mel! Saya belum selesai bicara!“Aku mengabaikannya dengan terus berjalan keluar rumah. Terlihat di luar pagar, kak Rendi menungguku muncul dengan senyuman yang selalu terlihat tulus daripada om sompret yang ada di belakangku itu. Dengan mobil antiknya, kak Rendi menghampiriku untuk membawakan tas ransel yang cukup padat isinya itu.“Kayak mau minggat aja Mel,” celetuknya yang sama persis seperti ucapan om sompret.“Kok kalimat kalian
Aiman keluar dari mobil setelah memutarinya.“Gala –““Oh….jadi ini tugas pentingnya sampai lupa buat jemput anak?”Mendengar ocehanku, Aiman menepuk keningnya sambil berlutut di depan anaknya untuk meminta maaf.“Maafin papa yah. Papa lupa dan hp papa lowbet lupa di cas.”“Hp mama juga lowbet, tapi mama inget Gala,” balas Gala yang membuatku cukup tercengang. Aku pikir Gala bukan anak yang suka membalas ucapan papanya. Ternyata dia cukup cerdas untuk menjawab.Bagus Gala! Marahin aja papa kamu itu!“Gala – maafin papa yah.”Gala memalingkan wajahnya sambil melipat kedua tangannya di dada. Selama Aiman tengah membujuk putra semata wayangnya, aku tengah awasi betina bernama Raline yang pernah meremehkanku karena tak pantas menjadi istri Aiman. Di dalam mobil ia terus berdiam diri sambil memperhatikan ayah dan anak tersebut. Sesekali pandangan kami bertemu namun dengan cepat dia memalingkan wajahnya.Dih! Pant*t tepos aja sok banget! Omelku dalam hati.“Makannya inget anak sama istri di
Aku adalah tipe orang yang tak bisa menyembunyikan apa yang kurasakan. Kalau marah ya marah. Kalau aku nggak suka sama sesuatu ya aku akan bilang aku nggak suka.Seperti pagi ini. Semangatku untuk menyiapkan segala kebutuhan keluarga kecilku seperti sedang membara dan berkobar. Gala melihatku dengan wajahnya yang terheran-heran sambil bilang ….“Mama hari ini kok bahagia banget?” “Ah masa sih?” tanyaku sambil membolak-balik ikan yang tengah kugoreng. Mendengar pertanyaannya, akupun tanpa sadar menyunggingkan senyum seperti joker.“Iya. Mama senyum-senyum terus.”“Ah kak Mel kan emang suka senyum.”“Tapi kali ini beda.”Aku selesai menggoreng ikan lalu lanjut kurangi minyak makan untuk digunakan menumis sambal yang sudah kuulek sebelumnya. “Bedanya bikin Gala suka atau enggak?” tanyaku sambil mengaduk-aduk sambal. Tak lama Gala – putra sambungku ini mengangguk-anggukkan kepalanya dengan antusias.“Suka dong,” pujinya yang membuatku semakin gemas sendiri.Monday, Tuesday, Wednesday, T
Terdengar suara ledakan lagi setelah aku meninggalkan lokasi. Ledakan itu membuat orang-orang yang ada di sana kian waspada dan juga ketakutan.Aku juga semakin gelisah karena hal itu. Gelisah memikirkan bagaimana nasib Aiman.“Pak pak pak! Berhenti pak! Saya mau turun!”“Jangan neng. Bahaya! Itu pasti serangan teroris,” ungkapnya sok tahu.Tapi biasanya memang seperti itu. Teroris pasti selalu ada karena sumbernya belum dimusnahkan.“Iya pak saya tahu. Tapi saya khawatir pak sama polisi tadi!”“Biarin aja neng, kan emang tugas mereka.”Kenapa aku yang sakit hati yah mendengarnya? Apa polisi bukan manusia?“Mereka kan tugasnya ngejagain kita. Kalau nggak gitu,mereka nggak kerja!” ucap pak supir taksi lagi yang sepertinya punya dendam kesumat sama polisi. Nadanya sinis. Dan dia seperti tak merasa bersalah sudah bicara seenaknya tentang profesi seseorang.“Berhenti pak! Saya bayar sampai sini!”Melihatku yang ngotot minta turun, akhirnya pak supir itupun menghentikan mobilnya. Kuserahka
Sepanjang perjalanan, Aiman seperti orang sakit gigi. Diam terus-terusan sambil membawa mobilnya menuju rumah.Memang sih, siapa yang tidak terkejut dengan kasus jenderal satu ini. Semua orang yang ada di sana termasuk aku, sudah jantungan melihat aksi koboi sang jenderal kepada istrinya. Untung saja ada yang segera menengahi. Kalau tak, pasti akan ada banyak orang yang berguguran di tempat latihan menembak itu.Karena Aiman tak mau membahas hal ini lagi, maka akupun tak mau angkat bicara. Jadi kualihkan saja pandanganku pada jendela mobil sambil memperhatikan hujan yang mulai turun sedikit demi sedikit. Kalau di kampungku dulu, biasanya kalau hujan begini paling enak minum teh sambil makan pisang goreng.Duhlah…apalagi kalau disambung dengerin music galau atau lagu-lagu nostalgia, jadi bertambah lagi syahdunya.Tapi sekarang, di mana aku bisa beli pisang goreng?Masak sih gampang, tapi di rumah komplek mana ada kebon pisang? Kalau dulu kan tinggal jalan saja ke kebon belakang rumah,