Baru selesai menyapu teras dan menyiramnya dengan air bekas mengepel rumah, sepasang sepatu kulit hitam berada tepat di depan pagar.
Perlahan aku menaikkan kepalaku dan langsung bersitatap dengan duda beranak satu yang bernama Aiman itu.
Bah..besar juga nyalinya datang ke sini lagi.
Orangnya padahal ganteng, tapi pelit senyum. Sudah tahu ada maksud datang ke rumah, menyapaku dengan senyuman pun tidak. Masih lebih enak dilihat wajah anaknya daripada bapaknya. Kalau tidak salah namanya Gala. Anak kecil itu begitu turun dari buaian bapaknya, langsung menerobos memeluk kakiku. Aku cuma bisa nyengir sambil mendengarkan celotehannya.
"Kak Mela! Gala main sini lagi yah," pintanya.
"Eh..kok tahu nama kakak?" Aku melirik sinis ke bapaknya.
"Tahu dong. Kan papa yang ngasih tahu!"
Aku berlutut untuk menyetarakan tubuhku padanya. Bocah itu nyengir sambil kucium wangi bedak bayi yang terkeluar dari badannya. Sepertinya dia sudah mandi. Beda sekali denganku yang bangun tidur langsung ditugaskan untuk membersihkan rumah. Sekarang aku risih sendiri. Jangan-jangan dari tempat Aiman berdiri, dia sudah mencium bau yang tak sedap keluar dari tubuhku.
"Oh gitu."
"Gala senang main di sini. Kemarin katanya kamu yang ajak dia main," kata Aiman yang sama sekali tidak kugubris.
Aku tahu! Pasti modus buat baik-baikin aku supaya anaknya bisa dititipkan di sini, omelku dalam hati.
"Ya gimana yah. Kasihan kayak anak hilang. Kalau langsung ketemu bapaknya kemarin mungkin sudah kulabrak," omelku lagi.
Orang yang kuomeli malah menyunggingkan sudut bibirnya sambil berjalan mendekatiku. Kini dia berdiri di depanku dengan Gala sebagai pembatas. Sudah terbayang bagaimana nekatnya pria ini mendekatiku kan? Apalagi wangi musk colognenya yang buat kakiku lemas. Sial! Kemarahanku menguap begitu melihatnya dari dekat.
"Labrak aja. Saya ikhlas kok," tukasnya santai sambil menatapku lekat-lekat.
Kenapa aku gemetaran begini? Dia cuma berdiri dan beradu pandang denganku, tapi kenapa aku cemas, keringetan, tremor seperti ini?
Apalagi penampilannya tetap konsisten terlihat rapi dan maskulin seperti kemarin. Beliau hari ini mengenakan kemeja biru pastel dengan kancing dua yang sengaja dilepas. Celana beige halus licin seperti baru keluar dari laundry. Benar-benar penampilan yang berbeda dari kebanyakan polisi. Dia malah lebih mirip anggota parlemen atau CEO yang punya perusahaan-perusahaan besar.
Secepatnya aku istighfar karena tak mau tergoda oleh godaan syaitan duda sepertinya. Aku mulai mundur satu langkah sambil menyeret anaknya juga.
“Patuhi prokes pak. Jaga jarak.”
Aiman tertawa, “Oh iya. Saya lupa. Tapi kamu juga nggak pakai masker. Saya punya satu lagi,” senyumnya sambil mengenakan kembali maskernya lalu mencoba memberikanku satu masker lainnya. Aku menghindar dengan cepat.
“Eits! Nggak apa pak. Saya punya banyak.”
Aiman menggaruk-garukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia menarik Gala dan menggendongnya kembali.
“Kemarin saya sudah ijin sama ibu kamu. Tapi saya akan minta tolong langsung saja sama kamu. Beneran deh Gala yang ngotot minta ke sini karena dia mau main layangan katanya sama kamu. Jadi --”
“Bapak punya modus terselubung, kan?”
“Nggak Mel,” elaknya. Aku tetap tidak percaya padanya.
Aku mencoba menjadi pakar ekspresi untuk melihat apakah Aiman tengah berbohong atau tengah menggombal. Karena bisa saja kan, manusia itu berkata-kata manis saja saat meminta pertolongan.
“Mel! Mela!“
Aku tersadar saat tangan pakpol Aiman itu melambai di wajahku.
“Ya sudah. Sini anaknya.”
"Saya nggak berniat buruk kok.”
Aku melayangkan tatapan sinis kepadanya, "Kenapa harus ke saya?"
"Karena Gala yang minta."
"Kalau saya nggak mau? Gimana?"
Aiman diam tapi itu bukan berarti dia tidak tebar pesona. Justru saat dia diam, aura dudanya semakin terpancar.
“Saya tetap paksa kamu buat mau,” jawabnya enteng.
Kalau beliau bukan polisi, mungkin sapu ini sudah melayang ke arahnya!
Aiman akhirnya pergi setelah selesai berpamitan pada anaknya yang super duper senang saat kugendong. Aku pun segera membawa Gala masuk sambil menunggu ibu pulang mengantarkan pesanan.
“Gala udah makan?”
Anak itu menganggukan kepalanya. Dia tampak antusias melihat isi di rumah ini.
“Kalau gitu Gala mau main apa?”
“Layangan,” jawabanya lebih semangat lagi.
“Ya udah. Kak Mel mandi dulu, nanti kita main layangan, oke?”
Gala meniru bentuk tanganku. Aku senang dia anak yang penurut dan tidak banyak membantah. Sehingga seharian ini aku benar-benar menghabiskan waktu dengan anak kesayangan polisi itu.
***
“Gala udah tidur?”
“Udah bu.”
Jam menunjukkan pukul delapan. Karena terlalu lelah bermain, Gala tidur lebih cepat dari jadwal yang papanya berikan.
Sungguh papa yang disiplin. Anaknya saja sudah diatur jam tidur sampai makannya. Tapi juga kasihan. Apa seperti itu malah mengekang anak kecil?
“Terus kamu jadi pergi?”
Ibu melihatku sedang merapikan baju. Sesuai ajakan dari mas Adi dan temanku yang lain, malam ini kami bermaksud merayakan pesta kecil kelulusanku.
“Jadi dong buk. Donita juga ikut kok.”
“Udah bilang sama bapak?”
“Udah tadi sebelum bapak pergi ke mesjid.”
Suara sepeda motor terdengar di depan pagar. Aku segera beranjak ke sana setelah berpamitan dengan ibu. Terlihat sekali ibu ingin mencegahku pergi. Tapi dengan jurus mengelakku, aku berhasil pergi dengan mas Adi yang selesai memperkenalkan diri dengan ibu.
Kota Medan memang tidak seluas dan sebagus Jakarta. Tapi pelan-pelan, kota ini mulai membenahi diri. Lihat saja proyek tol baru bertebaran yang tengah kejar tayang. Bukan tidak mungkin propinsi ini juga akan berkembang layaknya pulau jawa.
Mas Adi memberhentikan sepeda motornya di sebuah tempat yang belum pernah kudatangi. Tempat itu cukup terdengar riuh dari luar karena musiknya yang kencang. Kami berdua menunggu kedatangan yang lainnya di tempat ini karena mereka yang tinggal cukup berjauhan.
“Ini tempat apa?”
“Diskotik,” bisik mas Adi.
Aku berjengit, “Heh! Ngapain kita ke diskotik?”
Mas Adi malah terkekeh melihatku terkejut, “Nggak Mel. Kita nggak masuk. Cuma nunggu Rian yang bentar lagi selesai kerja.”
Aku ber-oh ria mendengar jawaban mas Adi. Cukup masuk akal kenapa kami berkumpul di sini. Tak lama, Rian benar-benar keluar dari diskotik lalu menghampiri kami. Begitu pula dengan rombongan teman yang lainnya.
Baru saja semua turun dan saling tegur sapa, suara sirine polisi masuk ke parkiran diskotik. Kami semua bingung karena mereka layaknya banser yang tengah mengintai teroris. Berpakaian lengkap dengan senjata laras panjang. Kami semua juga tak luput dari pemeriksaan, padahal kami berada di luar diskotik.
Perasaanku mulai tak enak karena kami diharuskan tes segala macam. Kalau ini sampai ke telinga bapak, bisa mati aku.
“Ini kenapa jadi begini?” keluhku dan Donita.
“Nggak apa-apa. Kita kan nggak masuk,” tukas Mas Adi yang mencoba menenangkan aku yang mulai bingung.
Ya jelas bingung lah. Pertama kali lihat yang namanya diskotik, malah terjaring razia pak polisi. Padahal kami tidak masuk sama sekali. Menyenggol lantainya pun tidak.
“Kalian dari mana?” salah satu polisi mulai menginterogasi.
“Dari rumah nunggu teman selesai kerja di sini pak,” jawab Jaka selaku penanggung jawab acara yang mau kami datangi.
“Siapa yang kerja di sini?”
“Saya pak,” jawab Rian.
Aku sendiri sibuk memperhatikan sekitar. Atensiku jatuh pada banyak orang yang dipaksa keluar dari diskotik untuk melakukan pemeriksaan juga seperti kami. Bau alcohol langsung menyeruak dari tubuh mereka. Aku sampai pusing sendiri karena tak terbiasa menciumnya.
“Masih ada yang sekolah?”
“Nggak ada pak. Kami semua sudah lulus.”
“Ada apa?”
Datang seorang lagi polisi yang terlihat memiliki pangkat lebih tinggi daripada yang lainnya. Aku mulai cemas karena masalah ini belum juga terselesaikan. Padahal kami sama sekali tidak masuk ke dalamnya, tapi pemeriksan urine tetap dilakukan.
“Mereka ada yang baru saja lulus sekolah pak dan didapati berada di diskotik ini.”
“Benar kalian cuma menunggu di luar? Tidak masuk ke dalam?”
“Benar pak!” jawab kami kompak. Donita yang paling kencang menyuarakannya. Dia juga tampak seperti ingin menangis.
“Yang bener? Dua teman kalian terbukti positif minum dan pemakai loh,” ucapnya gamblang.
Mampus! Masalahnya jadi semakin serius. Rasanya mau nangis. Tapi ….pantang bagiku menangis kalau bukan benar-benar merasa tersakiti. Untuk saat ini, aku masih bisa mengendalikan diri.
“Tapi pak..kami kan negative.”
“Iya, tapi kalian tetap harus diperiksa dan menghubungi orang tua atau wali kalian untuk menjemput kalian di kantor.”
“Waduh! Pak! Kami kan tidak terlibat,” suaraku sedikit meninggi. Emosi mulai bersarang di dadaku meski aku tahu ini salah.
Aku segera mundur lagi lalu berdiri di balik punggung mas Adi. Mendengar protesku, teman-temanku yang lain juga menyuarakan hal yang sama. Aku melihat polisi yang kuprotes kebijakannya itu datang mendekatiku. Ia membaca kartu tanda pendudukku kemudian membuka maskernya. Aku terperangah saat tahu sedang berhadapan dengan siapa.
“Kamu bilang punya banyak masker di rumah, kenapa keluar malam tanpa masker?”
Aku menelan ludah dengan susah payah, “Om….Aiman –“
Orang yang kusebut namanya malah nyengir melihatku. Dia dengan sengaja mendekatkan wajahnya padaku yang langsung tertunduk begitu melihatku pucat pasih.
Om sompret satu ini, pasti senang melihatku menderita!
“Om..Aiman?”Ya Allah. Belum apa-apa aku sudah mendapat musibah sebesar ini. Bagaimana kalau Aiman ngadu ke bapak kalau aku dan yang lainnya numpang parkir di depan diskotik?Kacau!Lihat gelagat om sompret satu ini saja sudah membuatku tak berdaya. Dia malah senyum-senyum sendiri melihatku tertangkap basah.“Kamu kenal, Mel?” tanya Mas Adi setengah berbisik.Aku mengangguk kemudian pasang badan untuk menghadapi polisi berpangkat AKBP ini.“Om! Ini bukan yang kayak om bayangin.”“Saya bukan om kamu,” jawabnya jutek.“Oke pak. Ini bukan seperti yang bapak bayangkan.”Sudah kuganti sapaan untuknya, duda ganteng ini malah menarik turunkan alisnya seolah tidak terima juga. Memangnya mau dipanggil apa?Sayang? Kan nggak mungkin!“Hum. Saya nggak bayangin, tapi saya lihat sendiri. Anaknya pak Agus datang ke diskotik.”“Pak!?”Aku tak sengaja bersuara tinggi padanya membuat yang lainnya menoleh. Karena malu, kupalingkan wajahku lalu duduk di dekat parit. Mas Adi ikut duduk di sebelahku. Dari
Om polisi itu benar-benar memanfaatkan sogokan yang kuberikan. Setelah dinas dua hari keluar kota waktu itu, dia lanjut menitipkan anaknya — yang ia antar pagi hari lalu sekitar pukul tiga sore akan dia jemput — selama hampir dua minggu berlalu.Permintaan om polisi itu juga tidak main-main. Harus aku yang menjaga Gala selama anak itu berada di rumah ini. Bukan ibu maupun bapak. Sadis. Uang jajan pun tak diberi!Akupun juga tidak bisa kemana-mana karena harus menjaga Gala yang senang sekali bermain layangan. Memang tidak sulit untuk menjaga anak lima tahun itu, karena Gala termasuk anak yang penurut.Disuruh makan ya makan, disuruh tidur ya tidur, disuruh mandi ya nurut, semuanya Gala lakukan sesuai keinginanku. Gala memang anak yang pintar. Karena itu, dua minggu tak terasa berat bagiku mengasuh anak itu. Yang berat mungkin mesti melihat om kampret itu setiap pagi dan sore. Hatiku resah bukan karena suka padanya, tapi resah gelisah takut ia membongkar rahasiaku pada ibu ataupun bapa
Ucapan Gala terus terngiang di kepalaku. Siapa pula yang mengajarkan anak umur lima tahun membicarakan tentang mama baru untuk papanya?Dan Gala nunjuk aku untuk ucapan ngelanturnya itu.“Aku jadi mamaknya?”Bah! Nggak bisa dibiarin nih. Pasti Om sompret itu membahas sesuatu dengan anaknya, protesku dalam hati.Gara-gara itu, tujuan jalan-jalan ku dengan mas Adi menjadi kacau. Mungkin karena aku terus diam dan memikirkan celotehan Gala, aku dan mas Adi malah terlihat canggung dan tidak menikmati jalan-jalan ini. Mas Adi menegurku saat kami nongkrong di pinggiran warung kaki lima yang menyediakan bakso bakar dan segala jenis cemilan lainnya itu.“Kok diem aja Mel? Jalan-jalan sama aku nggak seru yah?”“Hah? Nggak kok mas. Ini kan mendadak, jadi nggak tahu mau kemana,” elakku.Melihat wajah mas Adi, aku jadi kasihan. Padahal aku sedang jalan berdua dengannya tapi isi kepalaku malah tentang Gala dan bapaknya.“Iya sih. Kapan berangkat ke Jakarta?”“Harusnya sih dua minggu lagi. Kenapa ma
“Maksud pak Aiman gimana yah?” tanya bapak bingung. Akupun ikut bingung. Tapi jujur saja, aku bisa tebak ke mana arah pembicaraan ini. Instingku terlalu kuat untuk hal mencurigakan seperti ini.“Begini pak, ijinkan saya nikahin Mela, anak bapak.”Aku yang tadinya nangis brutal, kini pipiku langsung kering kerontang mendengar ucapannya. Bukan seperti aku yang kaget hingga berdiri dari sofa, ibu sama bapak malah bisik-bisik di sampingku.“Om ini masih pagi, jangan ngajak gelut dong.““Ih Mela! Jangan nggak sopan gitu.”“Om polisi ini yang nggak sopan buk. Baru kenal beberapa minggu udah ngajak kawin,” protesku.“Hussh nikah Mel, kawin mah kucing.”“Sama aja! Nikah, kawin, kimpoi —“Bibirku langsung dijejelin bantal sofa oleh ibu. Bapak malah terkekeh begitu pula dengan om polisi itu. “Maaf pak Aiman, si Mela mulutnya nggak bisa diajarin.”“Nggak apa-apa buk. Dia lucu kok,” senyumnya yang menurutku malah terlihat horor. Aku menatapnya benci persis seperti di sinetron yang biasa ibu tont
"Jangan-jangan saya ini mau dijadiin istri muda, Iya kan? Om bohong kalau sudah menduda!""Iya..saya memang lagi nyari istri muda. Untuk saya jadikan istri terakhir di hidup saya," senyum Aiman penuh persekongkolan.Lelah berdebat dengannya, kamipun kembali masuk ke rumah. Di sana sudah menunggu bapak dan ibu yang sepertinya tidak sabar untuk mendengar keputusan kami.“Jadi gimana diskusinya?” “Alhamdulillah pak, Mela setuju —“Aku yang mendengarnya langsung berlari mendekat untuk melayangkan sendal swallow kebanggan ku pada om sompret satu ini. Ibu yang jago menangkis, dengan cepat merebut sendalku dan jadilah aku yang tersakiti.“Jangan sembarang ya om, saya belum ngasih jawaban!”Aiman malah tertawa disusul bapak yang ada di belakangnya.“Ya mungkin Mela butuh waktu untuk memikirkannya.”“Iya pak. Tapi kalau bisa secepatnya kasih saya jawaban karena rencana upacara sumpah jabatan dan pindaha... kurang lebih dua minggu lagi.”Tuhkan seenaknya! Dia kayaknya yang kebelet nikah! Main
Gala tidur di pangkuanku selama acara berlangsung. Tidak kusangka acara sederhana dan dadakan ini berjalan mulus seperti jalan tol yang baru pak presiden resmikan. Padahal sudah kupasang wajah jutek selama acara tapi kata Donita justru Gala lah yang membuat acara menjadi lancar penuh senyuman terutama dari pihak keluarga Aiman karena lengketnya anak ini denganku. Membuatku benar-benar seperti ibu kandung, bukan ibu tiri katanya.Di acara tadi secara mengejutkan, mamanya Aiman bahkan menghampiriku. Beliau yang terlihat berumur sekitar enam puluh tahun lebih itu, memberiku sebuah kalung yang ia kenakan langsung padaku. Semua mata tertuju padaku. Dengan ekspresi yang bisa diibaratkan tengah menyaksikan anak kampung jadi pemenang Miss world.Dengan suaranya yang lembut, mama Aiman berkata bahwa ia senang akan mendapat mantu sepertiku.Weleh buk. Belum aja liat kelakuan mantumu ini. Saya bisa kayak reog kalau sudah berhadapan dengan anakmu, gumamku dalam hati.“Aiman pernah gagal sekali
“Jangan cantik-cantik kali kak Mimi. Nanti waktu sudah hilang bedakku, kabur mereka semua,” ocehku pada kak Mimi selaku MUA paling cetar di kotaku ini.Kak Mimi tertawa sambil memoleskan...apa sih ini namanya? Contur? Counter? Alah apalah itu agar wajahku terlihat tirus dan hidungku yang pesek terlihat mancung.“Ya harus cantik dong Mel, namanya juga nikah sekali seumur hidup, masa pake dandan yang jelek-jelek?” ocehnya juga tak mau kalah. Kalau pasangannya tepat sih, mau-mau saja langgeng sampai seumur hidup. Tapi berhubung yang menikahiku adalah om-om gila yang ngebet nikah untuk jagain anaknya, maka tak salah kan aku berharap ada pernikahan kedua?“Tapi banyak tuh kak yang kawin lagi,”candaku. “Ya memang sih cinta tak selamanya indah. Pasti yang namanya pernikahan ada cobaan di dalamnya. Kalau Mela udah siap nikah gini ya harus siap juga sama problematika nya. Jangan kayak orang-orang yang demen kawin cerai kawin cerai. Pantang. Kalau masalahnya bukan karena orang ketiga atau kdr
Tidak seperti acara nikahan kemarin, puncak dari semua tangis justru datangnya di hari ini.Bapak yang dari kemarin kalem dan nggak terlihat sedih anaknya dinikahin orang, hari ini bapak jos-josan nangis dari rumah sampai di bandara Kualanamu. Apalagi ibu. Sudah dandan dari subuh untuk antarkan anaknya ke bandara, masih ada sejam lagi keberangkatan bedak ibu sudah luntur semua karena banjir airmata.Semua barang kepindahan Aiman sudah dibawa dengan truk ke Jakarta. Nggak banyak sih karena sebagian malah dijual di sini. Mamanya Aiman dan keluarga sudah berangkat dari kemarin membawa Gala sekalian. Jadi tinggal aku dan Aiman saja yang masih tertinggal. Berbanding terbalik dengan ibu dan bapak, aku justru dengan tenang hendak berangkat. Atau mungkin malah terlihat mantap dan bersemangat untuk menghirup udaranya Jakarta. Walaupun entah bagaimana nasibku nanti di sana, aku sudah bertekad bulat untuk tidak diremehkan oleh om polisi ini. Lihat saja nanti! Akan kubuat dia membayar tawanya
Perdebatan diantara keduanya masih berlanjut. Aku dan Gala memilih diam sambil mendengarkan suamiku dan mantan istrinya saling membahas masa lalu.“Enggak bisa. Kamu nggak bisa ikut.”“Kenapa nggak boleh sih, Mas? Kalau kalian pergi, terus aku gimana? Aku kan mau main bareng Gala hari ini.”Yeu…makannya ngasih kabar. Biar situ nggak sia-sia datang ke sini, batinku.“Makannya kamu ngasih kabar dulu. Jadi kamu nggak sia-sia datang ke sini,” tukas Aiman dengan nada tegas.Eh eh…..tumben kita kompak?“Ya….aku kan mau kasih surprise ke anak kita. Lagian kalau aku ikut juga nggak akan ganggu kok. Anggep saja aku nggak ada.” Susan masih bersikeras dengan kemauannya.Dia sengaja menekan kata ‘anak kita’ sambil menoleh padaku. Tak sengaja pula kuputar bola mataku – jengah padanya setelah mendengar janda pirang satu itu tengah tebar pesona. Entahlah. Aku menganggapnya seperti itu. Mungkin karena sesama wanita yah jadi aku bisa membaca tingkah lakunya yang tak biasa.Susan berdandan dengan supe
“Mama udah sehat?” tanya Gala begitu ia keluar dari kamarnya.Dengan piyama dinasaurus hijau kesukaannya, Gala datang memelukku yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil ini. Lebih tepatnya sih memanaskan makanan yang kemarin dibawa ibu mertua dan kakak ipar.“Lumayan. Gala sikat gigi dulu sana, habis itu bangunin papa terus kita sarapan.”“Papa sama mama udah nggak berantem, kan?” tanya Gala dengan tatapan memelas. Aih…apa dia masih kepikiran soal kemarin? Untung saja Gala nggak cerita soal pertengkaran kami pada Oma dan tantenya kemarin. Kalau tidak, mungkin kami sudah di sidang selama berjam-jam.Aku terdiam mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir mungilnya itu. Well….aku tak bisa bilang bahwa kami sudah baik-baik saja. Justru tadi malam terjadi hal yang membuatku tercengang sampai-sampai om sompret itu ingin kutelan hidup-hidup.Setelah kejadian tersedak itu, Aiman mulai bertingkah aneh. Atau mungkin sebenarnya sudah aneh sejak aku sakit beberapa hari yang lalu. Ai
Note : Maaf ya gak bisa tepati janji buat double up. Karena aku juga nulis di tempat lain dan itu keteteran. Jadi aku update sehari sekali aja yah. Mianhe===Siapa yang tidak terkejut setelah mendengar pengakuan Aiman tentang status kami?Bagai petir di siang bolong, aku sumpahin giginya Aiman ompong!Tanpa babibu, aku langsung mendorong Aiman menjauh dari pembicaraan ini. Tapi apalah daya, tenagaku tak cukup kuat untuk mendorongnya yang memiliki tubuh atletis bak binaragawan yang pernah ia pamerkan padaku di malam pertama kami tinggal bersama.Akhirnya….aku hanya bisa misuh-misuh padanya sambil menyipitkan mata.“Mau kamu apa sih! Lagi-lagi keluar dari perjanjian!”“Perjanjian apa?” balas Aiman ikut berbisik.“Kan aku ngasih syarat ke kamu….jangan sampai status aku terbongkar di kampus!““Mel,” panggil kak Rendi yang tanpa sadar sudah kubuat seperti emping kering karena kelamaan dijemur.Tanpa sadar aku sudah menatap kak Rendi dengan pandangan iba, “Kak! Ini tuh –““Kamu nggak usah
Setelah berbulan-bulan di Jakarta, baru kali ini aku sakit.Ibu bilang, badanku ini penuh dengan zat besi, kalsium, vitamin dan segala macam karena ketangguhanku yang tak mudah sakit sejak kecil. Di saat anak-anak dulu sakit berjamaah terserang demam, cacar, campak dan segala macam, aku malah sehat walafiat karena imun yang kuat. Mungkin pernah beberapa kali kurang enak badan, namun pada akhirnya aku pasti lekas sembuh sampai tak perlu pergi ke klinik.Mungkin musim dan udara di Jakarta kurang cocok denganku. Buktinya… aku terserang penyakit yang bernama meriang hampir selama dua hari.Aku terserang batuk dan juga demam. Alhasil, aku tak bisa melakukan rutinitas seperti biasa termasuk menyiapkan keperluan Gala dan bapaknya.KLONTANG!Suara nyaring dari dapur terdengar begitu jelas. Aku yang berada di dalam kamar sambil selimutan pun terpaksa harus bangun karena suara berisik yang sejak tadi terdengar di area dapur.Itu bapak sama anak lagi eksperimen apa sih di dapur? Ngerakit bom kal
“Pacar? Emang kamu udah punya pacar?”Oooh! Ngeremehin ane rupanya?“Ya ada dong! Emang kamu aja yang boleh pacaran sama si tepos?”Aiman menaikkan sebelah alisnya.“Baru beberapa bulan kuliah, jangan pacaran dulu! Nanti aku laporin ke bapak kamu!”“Ishh mentang-mentang polisi mainnya lapor-laporan. Aku juga bisa…laporin kamu ke mama!”Aiman mulai komat-kamit seperti mbah dukun. Daripada aku semakin kesal karena terus menghadapinya, akupun beranjak pergi sambil menutup pintu cukup kencang di hadapannya. Tak lama Aiman menyusul sambil bertolak pinggang.“Mel! Saya belum selesai bicara!“Aku mengabaikannya dengan terus berjalan keluar rumah. Terlihat di luar pagar, kak Rendi menungguku muncul dengan senyuman yang selalu terlihat tulus daripada om sompret yang ada di belakangku itu. Dengan mobil antiknya, kak Rendi menghampiriku untuk membawakan tas ransel yang cukup padat isinya itu.“Kayak mau minggat aja Mel,” celetuknya yang sama persis seperti ucapan om sompret.“Kok kalimat kalian
Aiman keluar dari mobil setelah memutarinya.“Gala –““Oh….jadi ini tugas pentingnya sampai lupa buat jemput anak?”Mendengar ocehanku, Aiman menepuk keningnya sambil berlutut di depan anaknya untuk meminta maaf.“Maafin papa yah. Papa lupa dan hp papa lowbet lupa di cas.”“Hp mama juga lowbet, tapi mama inget Gala,” balas Gala yang membuatku cukup tercengang. Aku pikir Gala bukan anak yang suka membalas ucapan papanya. Ternyata dia cukup cerdas untuk menjawab.Bagus Gala! Marahin aja papa kamu itu!“Gala – maafin papa yah.”Gala memalingkan wajahnya sambil melipat kedua tangannya di dada. Selama Aiman tengah membujuk putra semata wayangnya, aku tengah awasi betina bernama Raline yang pernah meremehkanku karena tak pantas menjadi istri Aiman. Di dalam mobil ia terus berdiam diri sambil memperhatikan ayah dan anak tersebut. Sesekali pandangan kami bertemu namun dengan cepat dia memalingkan wajahnya.Dih! Pant*t tepos aja sok banget! Omelku dalam hati.“Makannya inget anak sama istri di
Aku adalah tipe orang yang tak bisa menyembunyikan apa yang kurasakan. Kalau marah ya marah. Kalau aku nggak suka sama sesuatu ya aku akan bilang aku nggak suka.Seperti pagi ini. Semangatku untuk menyiapkan segala kebutuhan keluarga kecilku seperti sedang membara dan berkobar. Gala melihatku dengan wajahnya yang terheran-heran sambil bilang ….“Mama hari ini kok bahagia banget?” “Ah masa sih?” tanyaku sambil membolak-balik ikan yang tengah kugoreng. Mendengar pertanyaannya, akupun tanpa sadar menyunggingkan senyum seperti joker.“Iya. Mama senyum-senyum terus.”“Ah kak Mel kan emang suka senyum.”“Tapi kali ini beda.”Aku selesai menggoreng ikan lalu lanjut kurangi minyak makan untuk digunakan menumis sambal yang sudah kuulek sebelumnya. “Bedanya bikin Gala suka atau enggak?” tanyaku sambil mengaduk-aduk sambal. Tak lama Gala – putra sambungku ini mengangguk-anggukkan kepalanya dengan antusias.“Suka dong,” pujinya yang membuatku semakin gemas sendiri.Monday, Tuesday, Wednesday, T
Terdengar suara ledakan lagi setelah aku meninggalkan lokasi. Ledakan itu membuat orang-orang yang ada di sana kian waspada dan juga ketakutan.Aku juga semakin gelisah karena hal itu. Gelisah memikirkan bagaimana nasib Aiman.“Pak pak pak! Berhenti pak! Saya mau turun!”“Jangan neng. Bahaya! Itu pasti serangan teroris,” ungkapnya sok tahu.Tapi biasanya memang seperti itu. Teroris pasti selalu ada karena sumbernya belum dimusnahkan.“Iya pak saya tahu. Tapi saya khawatir pak sama polisi tadi!”“Biarin aja neng, kan emang tugas mereka.”Kenapa aku yang sakit hati yah mendengarnya? Apa polisi bukan manusia?“Mereka kan tugasnya ngejagain kita. Kalau nggak gitu,mereka nggak kerja!” ucap pak supir taksi lagi yang sepertinya punya dendam kesumat sama polisi. Nadanya sinis. Dan dia seperti tak merasa bersalah sudah bicara seenaknya tentang profesi seseorang.“Berhenti pak! Saya bayar sampai sini!”Melihatku yang ngotot minta turun, akhirnya pak supir itupun menghentikan mobilnya. Kuserahka
Sepanjang perjalanan, Aiman seperti orang sakit gigi. Diam terus-terusan sambil membawa mobilnya menuju rumah.Memang sih, siapa yang tidak terkejut dengan kasus jenderal satu ini. Semua orang yang ada di sana termasuk aku, sudah jantungan melihat aksi koboi sang jenderal kepada istrinya. Untung saja ada yang segera menengahi. Kalau tak, pasti akan ada banyak orang yang berguguran di tempat latihan menembak itu.Karena Aiman tak mau membahas hal ini lagi, maka akupun tak mau angkat bicara. Jadi kualihkan saja pandanganku pada jendela mobil sambil memperhatikan hujan yang mulai turun sedikit demi sedikit. Kalau di kampungku dulu, biasanya kalau hujan begini paling enak minum teh sambil makan pisang goreng.Duhlah…apalagi kalau disambung dengerin music galau atau lagu-lagu nostalgia, jadi bertambah lagi syahdunya.Tapi sekarang, di mana aku bisa beli pisang goreng?Masak sih gampang, tapi di rumah komplek mana ada kebon pisang? Kalau dulu kan tinggal jalan saja ke kebon belakang rumah,