Selain hobiku yang suka jahilin anak kecil maupun dewasa, hobiku yang lain adalah motor-motoran sambil mampir ke IndoApril yang letaknya ada di seberang gang.
Bukan tanpa alasan aku ke sana belakangan ini. Tempat itu menjadi tempat favorit ku enam bulan terakhir setelah seorang pria tampan yang mirip dengan idolaku, bekerja di sana.
Namanya mas Adi. Wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan Song Kang.
Iya..Song Kang yang tengah digandrungi para penggemar drama Korea saat ini.
Ya Allah...ada yah aktor rasa lokal begini? Mana dia juga sadar banget kalau dikatain mirip dengan aktor dari Korea Selatan itu. Penampilannya juga sengaja dibuat sekeren itu, agar pengunjung minimarketnya ramai.
Untuk memata-matai, akulah jagonya. Segala tentangnya sudah kukantongi. Umur, tempat tinggal, tamatan mana, hobi..semuanya! Kecuali nomor handphone saja.
Heh!
Agar tidak terlalu kentara, biasanya aku akan berakting tidak terpengaruh dengan pesona mas Adi. Padahal jika di telaah lebih dekat, jantungku nyaris nyungsep hingga ke got.
Ya iyalah. Perempuan badung sepertiku pun juga manusia normal kan? Suka lawan jenis. Tapi sayangnya, secret admirer ini harus berakhir beberapa bulan lagi, karena aku harus merantau ke Jakarta untuk menuntut ilmu.
Tapi...kalau dipikir-pikir, setelah enam bulan mengintai, masa' hubunganku dengan mas Adi tidak ada kemajuan? Duh..aku pun berharap punya kesan sebelum pergi nanti. Tapi..apa yah?
"Eh kamu. Beli ini aja nih?" sapanya begitu aku selesai meletakkan semua belanjaanku ke meja kasirnya.
Aku mengangguk pura-pura tak terpesona, "Iya mas."
Hening sesaat diantara kami. Padahal ini kesempatanku untuk mulai ngobrol karena tak ada pengunjung lain di belakangku. Tapi aku terlalu malu untuk memulai.
Langit.. bisakah kau turunkan aku keberanian untuk mulai bicara? Aku ingin dekat dengannya walau sebentar.
"Hemm ada card membernya?"
Aku menggeleng sekali. Mas Adi melirikku sekilas sambil tersenyum tipis.
Aduh. Nggak kuat!
"Buat dong. Kan lumayan dapet diskon," bujuknya.
"Nggak ah, paling diskonnya sedikit," selorohku. Mas Adi kembali tersenyum simpul.
"Pulsanya nggak sekalian?"
"Nggak mas. Masih ada."
"Kuotanya mungkin?"
"Nggak mas. Saya pakai WiFi di rumah."
Usaha terus ya mas biar tokonya laris, hmm.
"Ooh..Kalau pacar, ada nggak?"
"Nggak ada mas. Eh —" ujarku keceplosan.
Mas Adi semakin menunjukkan pesonanya. Duh..mau pipis.
"Oh..jago ngegoda juga rupanya yah."
Mas Adi cengengesan, "Nggak kok. Iseng aja."
What? Sialan.
"Jadi kuliah di Jakarta?"
Aku terperangah lagi, "Loh..mas tahu darimana saya mau kuliah di sana?"
Mas Adi menyerahkan belanjaanku yang sudah berada di dalam plastik lalu menyebutkan nominalnya, "Tahu lah. Circle pertemanan kita kan sama."
"Ma..maksudnya?"
"Temen-temen kamu..kan temen aku juga."
"Masa' sih? Kok aku nggak tahu yah."
Mas Adi tersenyum sambil menyerahkan struk dan kembalianku, "Kamu sih nggak merhatiin. Besok kamu mau keluar sama geng Eko, kan?"
"Iya! Kok mas tahu juga?"
"Aku sebenarnya diajak. Karena acaranya buat graduate kamu, aku mau ikut. Boleh kan?"
Aku melotot sambil menggigit bibirku sendiri. Ini beneran? Duh.. jangan-jangan prank. Tapi mana mungkin.
"Ya..terserah mas aja. Kan yang ajak si Eko. Bebas kok."
"Ok. Aku yang jemput boleh?"
Ya Allah..kenapa permintaan ku ke langit dikabulkan begini? Bertubi-tubi Engkau kabulkan Ya Allah.
Untuk menghilangkan kebucinan, aku stay cool untuk bilang yes pada mas Adi. Padahal di dada sudah tak keruan bunyinya.
"Oke..aku jemput besok di depan rumah."
"Tahu rumah aku juga?"
Mas Adi tersenyum kemudian memberiku sebuah kertas berisi nomor ponselnya. Aku mendelik tak percaya. Inikah yang namanya jodoh?
"Ya tahu lah. See you tommorow."
Aku menyingkir begitu ada pembeli lain yang menyerobot tempatku berdiri. Tak apa. Urusanku juga sudah selesai.
Biasanya tak kuiijinkan, tapi karena hati ini sedang berbunga-bunga, hantu paling menyeramkan pun kuabaikan.
Oh..masa mudaku. Begitu perfect.
#
Akhirnya, aku pulang dari minimarket sambil senyum-senyum seperti orang gila. Beberapa preman gang yang melihatku, juga menyindirku dengan alasan yang sama. Serta Merta tak kuhiraukan ledekan mereka itu karena aku sedang sibuk kasmaran.
Nomor mas Adi sudah kusimpan dan ku kirim pesan padanya. Tak sampai dua detik, dia langsung membalasnya. Oh astaga.. benar-benar mimpi yang menjadi nyata!
Sampai di depan rumah, aku gagal masuk dari pintu depan. Kulihat ada mobil yang terparkir di pinggir jalan. Kuasumsikan bahwa itu tamu bapak. Tapi siapa?
Aku tak mau ikut campur dan tak mau tahu, sehingga aku memilih belok ke pintu samping rumah untuk masuk ke dalam sambil tetap fokus membalas chat mas Adi.
"Ya Allah Mel. Darimana? Baru pulang maghrib-maghrib gini?" omel ibu yang tengah sibuk menyusun kue di atas piring.
Aku cengengesan sambil meladeni pesan mas Adi di wa, "Dari depan buk, beli pembalut."
"Oh kamu libur? Anterin buat tamu di depan Mel. Ibu mau sholat dulu. Ajak ngobrol juga sebentar soalnya bapak belum pulang dari mesjid."
"Ishh maghrib-maghrib kok bertamu sih? Nggak sholat tamunya?"
"Yeu. Suudzon aja. Orangnya udah sholat sebelum mampir ke sini."
Kan kata dia buk, gumamku dalam hati.
"Iya deh. Ini aja kan?"
Ibu manggut-manggut lalu melesat ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku kemudian membawa nampan ke ruang tamu. Aku pikir tamu yang datang itu pak RT atau ustadz Madi yang biasanya datang untuk membicarakan urusan mesjid, ternyata bukan keduanya maupun orang yang kukenal di circle pertemanan bapak.
Dia pria dewasa, mengenakan kemeja biru muda yang sengaja dibuka kedua kancingnya di bagian atas. Tangan kemejanya sengaja digulung hingga menampakkan otot lengannya yang lumayan wow.
Penampilannya rapi banget. Seperti eksekutif muda di drama-drama Korea. Rahangnya tegas dengan janggut tipis di dagu. Wajahnya putih bersih seperti nggak pernah kesenggol debu. Rambutnya rapi dan at least dia wangi. Aku penasaran dengan parfum yang ia kenakan. Ini beneran enak dan rasanya unyel-able banget.
Dia tengah sibuk memainkan ponselnya ketika nampan berisi teh dan kue basah kuletakkan di atas meja. Dan dia baru menyadari kehadiranku setelah kupinta untuk menyicipinya.
Pria tersebut menaikkan kepalanya lalu pandangan kami bertemu.
Masha Allah..godaan apa lagi ini? Ganteng banget!
"Silahkan di minum, mas."
Aku langsung balik badan karena malu bersitatap dengan beliau. Aku menyesal karena tidak mengganti pakaian dulu sebelum mengantarkan minuman. Yah..kali saja kan dia risih dengan anak gadis sepertiku yang belum mandi sehingga terlihat kucel.
Duh!
"Makasih mbak."
Aku melotot. Dia tadi memanggilku apa?
"Maaf?"
Aku balik badan untuk memastikan bahwa kupingku berfungsi dengan baik.
Pria tersebut mengerutkan dahinya melihatku balik badan.
"Ya?"
"Tadi mas bilang apa?"
"Terima kasih. Mbak sudah lama kerja di sini?"
Apa?! Dia pikir aku ini pembantu?
"Nggak sopan banget sih bilang saya mbak-mbak? Memangnya saya pembantu?" teriakku pada tamu bapak yang sangat tidak punya sopan santun itu.
Aku mendelik, dia terperangah.
Ibu tergopoh-gopoh mendatangi keributanku dengan pria tersebut. Tanpa tahu apa yang terjadi, ibu malah memukul lenganku.
"Mela! Nggak sopan ih teriak gitu sama tamu!"
"Dia buk..yang nggak sopan! Masa aku dikira pembantu!"
Setelah tahu kesalahannya, pria tersebut bangkit sambil mengucapkan maaf padaku dan ibu.
"Ma..maaf saya nggak tahu."
Aku menatapnya kesal. Ibu malah tetap menyalahiku.
"Nggak apa-apa pak Aiman. Melanya aja yang penampilannya kayak pembantu gini."
"Issh ibu!"
Aku merengut dan langsung naik ke atas. Membanting keras pintu kamarku agar tamu kampret itu tidak nyaman di kursinya.
"Memang yah! Penampilan itu berbanding lurus sama akhlaknya. Ganteng sih tapi nggak ada akhlak!"
Aku misuh-misuh sendiri di dalam kamar. Kurebahkan diri ke tempat tidur sambil memandangi poster BTS di dinding. Aku masih merengut sambil mengingat kembali kejadian tadi. Sepintas aku menyadari sesuatu.
"Tadi ibu manggil dia siapa? Pak Aiman?"
Aku mengeraskan suara headset ku saat ibu masuk ke dalam kamar. Sembari bermain game di laptop, aku melihat dari sudut mataku, ibu sedang menggelengkan kepalanya prihatin."Mel!"Ibu menarik headset ku sambil menepuk kepalaku lembut."Udah mandi?""Udah," jawabku irit."Udah salat?""Kan libur buk," jawabku, masih fokus ke layar laptop.Setelah kejadian tadi, aku langsung tidak mood untuk melakukan apapun. Termasuk turun untuk makan malam atau bahkan membalas pesan mas Adi yang terus memintaku untuk membalas pesannya. Kata orang, aku cepat sekali berubah moodnya saat sedang datang bulan. Meskipun ada hal-hal yang kusukai, jika moodku buruk karena sesuatu hal, maka semua itu tidak ada artinya. Tidak ada obatnya. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menunggu sejam atau dua jam menenangkan diri hingga moodku kembali. Seperti yang kulakukan sekarang ini.Ibu cengengesan, "Oh iya. Ibu lupa. Terus..nggak ke bawah gitu?"Aku menoleh ke arah ibu. Mengeryitkan dahi karena bingung dengan pertanyaan
Baru selesai menyapu teras dan menyiramnya dengan air bekas mengepel rumah, sepasang sepatu kulit hitam berada tepat di depan pagar.Perlahan aku menaikkan kepalaku dan langsung bersitatap dengan duda beranak satu yang bernama Aiman itu.Bah..besar juga nyalinya datang ke sini lagi.Orangnya padahal ganteng, tapi pelit senyum. Sudah tahu ada maksud datang ke rumah, menyapaku dengan senyuman pun tidak. Masih lebih enak dilihat wajah anaknya daripada bapaknya. Kalau tidak salah namanya Gala. Anak kecil itu begitu turun dari buaian bapaknya, langsung menerobos memeluk kakiku. Aku cuma bisa nyengir sambil mendengarkan celotehannya."Kak Mela! Gala main sini lagi yah," pintanya."Eh..kok tahu nama kakak?" Aku melirik sinis ke bapaknya."Tahu dong. Kan papa yang ngasih tahu!"Aku berlutut untuk menyetarakan tubuhku padanya. Bocah itu nyengir sambil kucium wangi bedak bayi yang terkeluar dari badannya. Sepertinya dia sudah mandi. Beda sekali denganku yang bangun tidur langsung ditugaskan unt
“Om..Aiman?”Ya Allah. Belum apa-apa aku sudah mendapat musibah sebesar ini. Bagaimana kalau Aiman ngadu ke bapak kalau aku dan yang lainnya numpang parkir di depan diskotik?Kacau!Lihat gelagat om sompret satu ini saja sudah membuatku tak berdaya. Dia malah senyum-senyum sendiri melihatku tertangkap basah.“Kamu kenal, Mel?” tanya Mas Adi setengah berbisik.Aku mengangguk kemudian pasang badan untuk menghadapi polisi berpangkat AKBP ini.“Om! Ini bukan yang kayak om bayangin.”“Saya bukan om kamu,” jawabnya jutek.“Oke pak. Ini bukan seperti yang bapak bayangkan.”Sudah kuganti sapaan untuknya, duda ganteng ini malah menarik turunkan alisnya seolah tidak terima juga. Memangnya mau dipanggil apa?Sayang? Kan nggak mungkin!“Hum. Saya nggak bayangin, tapi saya lihat sendiri. Anaknya pak Agus datang ke diskotik.”“Pak!?”Aku tak sengaja bersuara tinggi padanya membuat yang lainnya menoleh. Karena malu, kupalingkan wajahku lalu duduk di dekat parit. Mas Adi ikut duduk di sebelahku. Dari
Om polisi itu benar-benar memanfaatkan sogokan yang kuberikan. Setelah dinas dua hari keluar kota waktu itu, dia lanjut menitipkan anaknya — yang ia antar pagi hari lalu sekitar pukul tiga sore akan dia jemput — selama hampir dua minggu berlalu.Permintaan om polisi itu juga tidak main-main. Harus aku yang menjaga Gala selama anak itu berada di rumah ini. Bukan ibu maupun bapak. Sadis. Uang jajan pun tak diberi!Akupun juga tidak bisa kemana-mana karena harus menjaga Gala yang senang sekali bermain layangan. Memang tidak sulit untuk menjaga anak lima tahun itu, karena Gala termasuk anak yang penurut.Disuruh makan ya makan, disuruh tidur ya tidur, disuruh mandi ya nurut, semuanya Gala lakukan sesuai keinginanku. Gala memang anak yang pintar. Karena itu, dua minggu tak terasa berat bagiku mengasuh anak itu. Yang berat mungkin mesti melihat om kampret itu setiap pagi dan sore. Hatiku resah bukan karena suka padanya, tapi resah gelisah takut ia membongkar rahasiaku pada ibu ataupun bapa
Ucapan Gala terus terngiang di kepalaku. Siapa pula yang mengajarkan anak umur lima tahun membicarakan tentang mama baru untuk papanya?Dan Gala nunjuk aku untuk ucapan ngelanturnya itu.“Aku jadi mamaknya?”Bah! Nggak bisa dibiarin nih. Pasti Om sompret itu membahas sesuatu dengan anaknya, protesku dalam hati.Gara-gara itu, tujuan jalan-jalan ku dengan mas Adi menjadi kacau. Mungkin karena aku terus diam dan memikirkan celotehan Gala, aku dan mas Adi malah terlihat canggung dan tidak menikmati jalan-jalan ini. Mas Adi menegurku saat kami nongkrong di pinggiran warung kaki lima yang menyediakan bakso bakar dan segala jenis cemilan lainnya itu.“Kok diem aja Mel? Jalan-jalan sama aku nggak seru yah?”“Hah? Nggak kok mas. Ini kan mendadak, jadi nggak tahu mau kemana,” elakku.Melihat wajah mas Adi, aku jadi kasihan. Padahal aku sedang jalan berdua dengannya tapi isi kepalaku malah tentang Gala dan bapaknya.“Iya sih. Kapan berangkat ke Jakarta?”“Harusnya sih dua minggu lagi. Kenapa ma
“Maksud pak Aiman gimana yah?” tanya bapak bingung. Akupun ikut bingung. Tapi jujur saja, aku bisa tebak ke mana arah pembicaraan ini. Instingku terlalu kuat untuk hal mencurigakan seperti ini.“Begini pak, ijinkan saya nikahin Mela, anak bapak.”Aku yang tadinya nangis brutal, kini pipiku langsung kering kerontang mendengar ucapannya. Bukan seperti aku yang kaget hingga berdiri dari sofa, ibu sama bapak malah bisik-bisik di sampingku.“Om ini masih pagi, jangan ngajak gelut dong.““Ih Mela! Jangan nggak sopan gitu.”“Om polisi ini yang nggak sopan buk. Baru kenal beberapa minggu udah ngajak kawin,” protesku.“Hussh nikah Mel, kawin mah kucing.”“Sama aja! Nikah, kawin, kimpoi —“Bibirku langsung dijejelin bantal sofa oleh ibu. Bapak malah terkekeh begitu pula dengan om polisi itu. “Maaf pak Aiman, si Mela mulutnya nggak bisa diajarin.”“Nggak apa-apa buk. Dia lucu kok,” senyumnya yang menurutku malah terlihat horor. Aku menatapnya benci persis seperti di sinetron yang biasa ibu tont
"Jangan-jangan saya ini mau dijadiin istri muda, Iya kan? Om bohong kalau sudah menduda!""Iya..saya memang lagi nyari istri muda. Untuk saya jadikan istri terakhir di hidup saya," senyum Aiman penuh persekongkolan.Lelah berdebat dengannya, kamipun kembali masuk ke rumah. Di sana sudah menunggu bapak dan ibu yang sepertinya tidak sabar untuk mendengar keputusan kami.“Jadi gimana diskusinya?” “Alhamdulillah pak, Mela setuju —“Aku yang mendengarnya langsung berlari mendekat untuk melayangkan sendal swallow kebanggan ku pada om sompret satu ini. Ibu yang jago menangkis, dengan cepat merebut sendalku dan jadilah aku yang tersakiti.“Jangan sembarang ya om, saya belum ngasih jawaban!”Aiman malah tertawa disusul bapak yang ada di belakangnya.“Ya mungkin Mela butuh waktu untuk memikirkannya.”“Iya pak. Tapi kalau bisa secepatnya kasih saya jawaban karena rencana upacara sumpah jabatan dan pindaha... kurang lebih dua minggu lagi.”Tuhkan seenaknya! Dia kayaknya yang kebelet nikah! Main
Gala tidur di pangkuanku selama acara berlangsung. Tidak kusangka acara sederhana dan dadakan ini berjalan mulus seperti jalan tol yang baru pak presiden resmikan. Padahal sudah kupasang wajah jutek selama acara tapi kata Donita justru Gala lah yang membuat acara menjadi lancar penuh senyuman terutama dari pihak keluarga Aiman karena lengketnya anak ini denganku. Membuatku benar-benar seperti ibu kandung, bukan ibu tiri katanya.Di acara tadi secara mengejutkan, mamanya Aiman bahkan menghampiriku. Beliau yang terlihat berumur sekitar enam puluh tahun lebih itu, memberiku sebuah kalung yang ia kenakan langsung padaku. Semua mata tertuju padaku. Dengan ekspresi yang bisa diibaratkan tengah menyaksikan anak kampung jadi pemenang Miss world.Dengan suaranya yang lembut, mama Aiman berkata bahwa ia senang akan mendapat mantu sepertiku.Weleh buk. Belum aja liat kelakuan mantumu ini. Saya bisa kayak reog kalau sudah berhadapan dengan anakmu, gumamku dalam hati.“Aiman pernah gagal sekali