Selain hobiku yang suka jahilin anak kecil maupun dewasa, hobiku yang lain adalah motor-motoran sambil mampir ke IndoApril yang letaknya ada di seberang gang.
Bukan tanpa alasan aku ke sana belakangan ini. Tempat itu menjadi tempat favorit ku enam bulan terakhir setelah seorang pria tampan yang mirip dengan idolaku, bekerja di sana.
Namanya mas Adi. Wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan Song Kang.
Iya..Song Kang yang tengah digandrungi para penggemar drama Korea saat ini.
Ya Allah...ada yah aktor rasa lokal begini? Mana dia juga sadar banget kalau dikatain mirip dengan aktor dari Korea Selatan itu. Penampilannya juga sengaja dibuat sekeren itu, agar pengunjung minimarketnya ramai.
Untuk memata-matai, akulah jagonya. Segala tentangnya sudah kukantongi. Umur, tempat tinggal, tamatan mana, hobi..semuanya! Kecuali nomor handphone saja.
Heh!
Agar tidak terlalu kentara, biasanya aku akan berakting tidak terpengaruh dengan pesona mas Adi. Padahal jika di telaah lebih dekat, jantungku nyaris nyungsep hingga ke got.
Ya iyalah. Perempuan badung sepertiku pun juga manusia normal kan? Suka lawan jenis. Tapi sayangnya, secret admirer ini harus berakhir beberapa bulan lagi, karena aku harus merantau ke Jakarta untuk menuntut ilmu.
Tapi...kalau dipikir-pikir, setelah enam bulan mengintai, masa' hubunganku dengan mas Adi tidak ada kemajuan? Duh..aku pun berharap punya kesan sebelum pergi nanti. Tapi..apa yah?
"Eh kamu. Beli ini aja nih?" sapanya begitu aku selesai meletakkan semua belanjaanku ke meja kasirnya.
Aku mengangguk pura-pura tak terpesona, "Iya mas."
Hening sesaat diantara kami. Padahal ini kesempatanku untuk mulai ngobrol karena tak ada pengunjung lain di belakangku. Tapi aku terlalu malu untuk memulai.
Langit.. bisakah kau turunkan aku keberanian untuk mulai bicara? Aku ingin dekat dengannya walau sebentar.
"Hemm ada card membernya?"
Aku menggeleng sekali. Mas Adi melirikku sekilas sambil tersenyum tipis.
Aduh. Nggak kuat!
"Buat dong. Kan lumayan dapet diskon," bujuknya.
"Nggak ah, paling diskonnya sedikit," selorohku. Mas Adi kembali tersenyum simpul.
"Pulsanya nggak sekalian?"
"Nggak mas. Masih ada."
"Kuotanya mungkin?"
"Nggak mas. Saya pakai WiFi di rumah."
Usaha terus ya mas biar tokonya laris, hmm.
"Ooh..Kalau pacar, ada nggak?"
"Nggak ada mas. Eh —" ujarku keceplosan.
Mas Adi semakin menunjukkan pesonanya. Duh..mau pipis.
"Oh..jago ngegoda juga rupanya yah."
Mas Adi cengengesan, "Nggak kok. Iseng aja."
What? Sialan.
"Jadi kuliah di Jakarta?"
Aku terperangah lagi, "Loh..mas tahu darimana saya mau kuliah di sana?"
Mas Adi menyerahkan belanjaanku yang sudah berada di dalam plastik lalu menyebutkan nominalnya, "Tahu lah. Circle pertemanan kita kan sama."
"Ma..maksudnya?"
"Temen-temen kamu..kan temen aku juga."
"Masa' sih? Kok aku nggak tahu yah."
Mas Adi tersenyum sambil menyerahkan struk dan kembalianku, "Kamu sih nggak merhatiin. Besok kamu mau keluar sama geng Eko, kan?"
"Iya! Kok mas tahu juga?"
"Aku sebenarnya diajak. Karena acaranya buat graduate kamu, aku mau ikut. Boleh kan?"
Aku melotot sambil menggigit bibirku sendiri. Ini beneran? Duh.. jangan-jangan prank. Tapi mana mungkin.
"Ya..terserah mas aja. Kan yang ajak si Eko. Bebas kok."
"Ok. Aku yang jemput boleh?"
Ya Allah..kenapa permintaan ku ke langit dikabulkan begini? Bertubi-tubi Engkau kabulkan Ya Allah.
Untuk menghilangkan kebucinan, aku stay cool untuk bilang yes pada mas Adi. Padahal di dada sudah tak keruan bunyinya.
"Oke..aku jemput besok di depan rumah."
"Tahu rumah aku juga?"
Mas Adi tersenyum kemudian memberiku sebuah kertas berisi nomor ponselnya. Aku mendelik tak percaya. Inikah yang namanya jodoh?
"Ya tahu lah. See you tommorow."
Aku menyingkir begitu ada pembeli lain yang menyerobot tempatku berdiri. Tak apa. Urusanku juga sudah selesai.
Biasanya tak kuiijinkan, tapi karena hati ini sedang berbunga-bunga, hantu paling menyeramkan pun kuabaikan.
Oh..masa mudaku. Begitu perfect.
#
Akhirnya, aku pulang dari minimarket sambil senyum-senyum seperti orang gila. Beberapa preman gang yang melihatku, juga menyindirku dengan alasan yang sama. Serta Merta tak kuhiraukan ledekan mereka itu karena aku sedang sibuk kasmaran.
Nomor mas Adi sudah kusimpan dan ku kirim pesan padanya. Tak sampai dua detik, dia langsung membalasnya. Oh astaga.. benar-benar mimpi yang menjadi nyata!
Sampai di depan rumah, aku gagal masuk dari pintu depan. Kulihat ada mobil yang terparkir di pinggir jalan. Kuasumsikan bahwa itu tamu bapak. Tapi siapa?
Aku tak mau ikut campur dan tak mau tahu, sehingga aku memilih belok ke pintu samping rumah untuk masuk ke dalam sambil tetap fokus membalas chat mas Adi.
"Ya Allah Mel. Darimana? Baru pulang maghrib-maghrib gini?" omel ibu yang tengah sibuk menyusun kue di atas piring.
Aku cengengesan sambil meladeni pesan mas Adi di wa, "Dari depan buk, beli pembalut."
"Oh kamu libur? Anterin buat tamu di depan Mel. Ibu mau sholat dulu. Ajak ngobrol juga sebentar soalnya bapak belum pulang dari mesjid."
"Ishh maghrib-maghrib kok bertamu sih? Nggak sholat tamunya?"
"Yeu. Suudzon aja. Orangnya udah sholat sebelum mampir ke sini."
Kan kata dia buk, gumamku dalam hati.
"Iya deh. Ini aja kan?"
Ibu manggut-manggut lalu melesat ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku kemudian membawa nampan ke ruang tamu. Aku pikir tamu yang datang itu pak RT atau ustadz Madi yang biasanya datang untuk membicarakan urusan mesjid, ternyata bukan keduanya maupun orang yang kukenal di circle pertemanan bapak.
Dia pria dewasa, mengenakan kemeja biru muda yang sengaja dibuka kedua kancingnya di bagian atas. Tangan kemejanya sengaja digulung hingga menampakkan otot lengannya yang lumayan wow.
Penampilannya rapi banget. Seperti eksekutif muda di drama-drama Korea. Rahangnya tegas dengan janggut tipis di dagu. Wajahnya putih bersih seperti nggak pernah kesenggol debu. Rambutnya rapi dan at least dia wangi. Aku penasaran dengan parfum yang ia kenakan. Ini beneran enak dan rasanya unyel-able banget.
Dia tengah sibuk memainkan ponselnya ketika nampan berisi teh dan kue basah kuletakkan di atas meja. Dan dia baru menyadari kehadiranku setelah kupinta untuk menyicipinya.
Pria tersebut menaikkan kepalanya lalu pandangan kami bertemu.
Masha Allah..godaan apa lagi ini? Ganteng banget!
"Silahkan di minum, mas."
Aku langsung balik badan karena malu bersitatap dengan beliau. Aku menyesal karena tidak mengganti pakaian dulu sebelum mengantarkan minuman. Yah..kali saja kan dia risih dengan anak gadis sepertiku yang belum mandi sehingga terlihat kucel.
Duh!
"Makasih mbak."
Aku melotot. Dia tadi memanggilku apa?
"Maaf?"
Aku balik badan untuk memastikan bahwa kupingku berfungsi dengan baik.
Pria tersebut mengerutkan dahinya melihatku balik badan.
"Ya?"
"Tadi mas bilang apa?"
"Terima kasih. Mbak sudah lama kerja di sini?"
Apa?! Dia pikir aku ini pembantu?
"Nggak sopan banget sih bilang saya mbak-mbak? Memangnya saya pembantu?" teriakku pada tamu bapak yang sangat tidak punya sopan santun itu.
Aku mendelik, dia terperangah.
Ibu tergopoh-gopoh mendatangi keributanku dengan pria tersebut. Tanpa tahu apa yang terjadi, ibu malah memukul lenganku.
"Mela! Nggak sopan ih teriak gitu sama tamu!"
"Dia buk..yang nggak sopan! Masa aku dikira pembantu!"
Setelah tahu kesalahannya, pria tersebut bangkit sambil mengucapkan maaf padaku dan ibu.
"Ma..maaf saya nggak tahu."
Aku menatapnya kesal. Ibu malah tetap menyalahiku.
"Nggak apa-apa pak Aiman. Melanya aja yang penampilannya kayak pembantu gini."
"Issh ibu!"
Aku merengut dan langsung naik ke atas. Membanting keras pintu kamarku agar tamu kampret itu tidak nyaman di kursinya.
"Memang yah! Penampilan itu berbanding lurus sama akhlaknya. Ganteng sih tapi nggak ada akhlak!"
Aku misuh-misuh sendiri di dalam kamar. Kurebahkan diri ke tempat tidur sambil memandangi poster BTS di dinding. Aku masih merengut sambil mengingat kembali kejadian tadi. Sepintas aku menyadari sesuatu.
"Tadi ibu manggil dia siapa? Pak Aiman?"
Aku mengeraskan suara headset ku saat ibu masuk ke dalam kamar. Sembari bermain game di laptop, aku melihat dari sudut mataku, ibu sedang menggelengkan kepalanya prihatin."Mel!"Ibu menarik headset ku sambil menepuk kepalaku lembut."Udah mandi?""Udah," jawabku irit."Udah salat?""Kan libur buk," jawabku, masih fokus ke layar laptop.Setelah kejadian tadi, aku langsung tidak mood untuk melakukan apapun. Termasuk turun untuk makan malam atau bahkan membalas pesan mas Adi yang terus memintaku untuk membalas pesannya. Kata orang, aku cepat sekali berubah moodnya saat sedang datang bulan. Meskipun ada hal-hal yang kusukai, jika moodku buruk karena sesuatu hal, maka semua itu tidak ada artinya. Tidak ada obatnya. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menunggu sejam atau dua jam menenangkan diri hingga moodku kembali. Seperti yang kulakukan sekarang ini.Ibu cengengesan, "Oh iya. Ibu lupa. Terus..nggak ke bawah gitu?"Aku menoleh ke arah ibu. Mengeryitkan dahi karena bingung dengan pertanyaan
Baru selesai menyapu teras dan menyiramnya dengan air bekas mengepel rumah, sepasang sepatu kulit hitam berada tepat di depan pagar.Perlahan aku menaikkan kepalaku dan langsung bersitatap dengan duda beranak satu yang bernama Aiman itu.Bah..besar juga nyalinya datang ke sini lagi.Orangnya padahal ganteng, tapi pelit senyum. Sudah tahu ada maksud datang ke rumah, menyapaku dengan senyuman pun tidak. Masih lebih enak dilihat wajah anaknya daripada bapaknya. Kalau tidak salah namanya Gala. Anak kecil itu begitu turun dari buaian bapaknya, langsung menerobos memeluk kakiku. Aku cuma bisa nyengir sambil mendengarkan celotehannya."Kak Mela! Gala main sini lagi yah," pintanya."Eh..kok tahu nama kakak?" Aku melirik sinis ke bapaknya."Tahu dong. Kan papa yang ngasih tahu!"Aku berlutut untuk menyetarakan tubuhku padanya. Bocah itu nyengir sambil kucium wangi bedak bayi yang terkeluar dari badannya. Sepertinya dia sudah mandi. Beda sekali denganku yang bangun tidur langsung ditugaskan unt
“Om..Aiman?”Ya Allah. Belum apa-apa aku sudah mendapat musibah sebesar ini. Bagaimana kalau Aiman ngadu ke bapak kalau aku dan yang lainnya numpang parkir di depan diskotik?Kacau!Lihat gelagat om sompret satu ini saja sudah membuatku tak berdaya. Dia malah senyum-senyum sendiri melihatku tertangkap basah.“Kamu kenal, Mel?” tanya Mas Adi setengah berbisik.Aku mengangguk kemudian pasang badan untuk menghadapi polisi berpangkat AKBP ini.“Om! Ini bukan yang kayak om bayangin.”“Saya bukan om kamu,” jawabnya jutek.“Oke pak. Ini bukan seperti yang bapak bayangkan.”Sudah kuganti sapaan untuknya, duda ganteng ini malah menarik turunkan alisnya seolah tidak terima juga. Memangnya mau dipanggil apa?Sayang? Kan nggak mungkin!“Hum. Saya nggak bayangin, tapi saya lihat sendiri. Anaknya pak Agus datang ke diskotik.”“Pak!?”Aku tak sengaja bersuara tinggi padanya membuat yang lainnya menoleh. Karena malu, kupalingkan wajahku lalu duduk di dekat parit. Mas Adi ikut duduk di sebelahku. Dari
Om polisi itu benar-benar memanfaatkan sogokan yang kuberikan. Setelah dinas dua hari keluar kota waktu itu, dia lanjut menitipkan anaknya — yang ia antar pagi hari lalu sekitar pukul tiga sore akan dia jemput — selama hampir dua minggu berlalu.Permintaan om polisi itu juga tidak main-main. Harus aku yang menjaga Gala selama anak itu berada di rumah ini. Bukan ibu maupun bapak. Sadis. Uang jajan pun tak diberi!Akupun juga tidak bisa kemana-mana karena harus menjaga Gala yang senang sekali bermain layangan. Memang tidak sulit untuk menjaga anak lima tahun itu, karena Gala termasuk anak yang penurut.Disuruh makan ya makan, disuruh tidur ya tidur, disuruh mandi ya nurut, semuanya Gala lakukan sesuai keinginanku. Gala memang anak yang pintar. Karena itu, dua minggu tak terasa berat bagiku mengasuh anak itu. Yang berat mungkin mesti melihat om kampret itu setiap pagi dan sore. Hatiku resah bukan karena suka padanya, tapi resah gelisah takut ia membongkar rahasiaku pada ibu ataupun bapa
Ucapan Gala terus terngiang di kepalaku. Siapa pula yang mengajarkan anak umur lima tahun membicarakan tentang mama baru untuk papanya?Dan Gala nunjuk aku untuk ucapan ngelanturnya itu.“Aku jadi mamaknya?”Bah! Nggak bisa dibiarin nih. Pasti Om sompret itu membahas sesuatu dengan anaknya, protesku dalam hati.Gara-gara itu, tujuan jalan-jalan ku dengan mas Adi menjadi kacau. Mungkin karena aku terus diam dan memikirkan celotehan Gala, aku dan mas Adi malah terlihat canggung dan tidak menikmati jalan-jalan ini. Mas Adi menegurku saat kami nongkrong di pinggiran warung kaki lima yang menyediakan bakso bakar dan segala jenis cemilan lainnya itu.“Kok diem aja Mel? Jalan-jalan sama aku nggak seru yah?”“Hah? Nggak kok mas. Ini kan mendadak, jadi nggak tahu mau kemana,” elakku.Melihat wajah mas Adi, aku jadi kasihan. Padahal aku sedang jalan berdua dengannya tapi isi kepalaku malah tentang Gala dan bapaknya.“Iya sih. Kapan berangkat ke Jakarta?”“Harusnya sih dua minggu lagi. Kenapa ma
“Maksud pak Aiman gimana yah?” tanya bapak bingung. Akupun ikut bingung. Tapi jujur saja, aku bisa tebak ke mana arah pembicaraan ini. Instingku terlalu kuat untuk hal mencurigakan seperti ini.“Begini pak, ijinkan saya nikahin Mela, anak bapak.”Aku yang tadinya nangis brutal, kini pipiku langsung kering kerontang mendengar ucapannya. Bukan seperti aku yang kaget hingga berdiri dari sofa, ibu sama bapak malah bisik-bisik di sampingku.“Om ini masih pagi, jangan ngajak gelut dong.““Ih Mela! Jangan nggak sopan gitu.”“Om polisi ini yang nggak sopan buk. Baru kenal beberapa minggu udah ngajak kawin,” protesku.“Hussh nikah Mel, kawin mah kucing.”“Sama aja! Nikah, kawin, kimpoi —“Bibirku langsung dijejelin bantal sofa oleh ibu. Bapak malah terkekeh begitu pula dengan om polisi itu. “Maaf pak Aiman, si Mela mulutnya nggak bisa diajarin.”“Nggak apa-apa buk. Dia lucu kok,” senyumnya yang menurutku malah terlihat horor. Aku menatapnya benci persis seperti di sinetron yang biasa ibu tont
"Jangan-jangan saya ini mau dijadiin istri muda, Iya kan? Om bohong kalau sudah menduda!""Iya..saya memang lagi nyari istri muda. Untuk saya jadikan istri terakhir di hidup saya," senyum Aiman penuh persekongkolan.Lelah berdebat dengannya, kamipun kembali masuk ke rumah. Di sana sudah menunggu bapak dan ibu yang sepertinya tidak sabar untuk mendengar keputusan kami.“Jadi gimana diskusinya?” “Alhamdulillah pak, Mela setuju —“Aku yang mendengarnya langsung berlari mendekat untuk melayangkan sendal swallow kebanggan ku pada om sompret satu ini. Ibu yang jago menangkis, dengan cepat merebut sendalku dan jadilah aku yang tersakiti.“Jangan sembarang ya om, saya belum ngasih jawaban!”Aiman malah tertawa disusul bapak yang ada di belakangnya.“Ya mungkin Mela butuh waktu untuk memikirkannya.”“Iya pak. Tapi kalau bisa secepatnya kasih saya jawaban karena rencana upacara sumpah jabatan dan pindaha... kurang lebih dua minggu lagi.”Tuhkan seenaknya! Dia kayaknya yang kebelet nikah! Main
Gala tidur di pangkuanku selama acara berlangsung. Tidak kusangka acara sederhana dan dadakan ini berjalan mulus seperti jalan tol yang baru pak presiden resmikan. Padahal sudah kupasang wajah jutek selama acara tapi kata Donita justru Gala lah yang membuat acara menjadi lancar penuh senyuman terutama dari pihak keluarga Aiman karena lengketnya anak ini denganku. Membuatku benar-benar seperti ibu kandung, bukan ibu tiri katanya.Di acara tadi secara mengejutkan, mamanya Aiman bahkan menghampiriku. Beliau yang terlihat berumur sekitar enam puluh tahun lebih itu, memberiku sebuah kalung yang ia kenakan langsung padaku. Semua mata tertuju padaku. Dengan ekspresi yang bisa diibaratkan tengah menyaksikan anak kampung jadi pemenang Miss world.Dengan suaranya yang lembut, mama Aiman berkata bahwa ia senang akan mendapat mantu sepertiku.Weleh buk. Belum aja liat kelakuan mantumu ini. Saya bisa kayak reog kalau sudah berhadapan dengan anakmu, gumamku dalam hati.“Aiman pernah gagal sekali
Perdebatan diantara keduanya masih berlanjut. Aku dan Gala memilih diam sambil mendengarkan suamiku dan mantan istrinya saling membahas masa lalu.“Enggak bisa. Kamu nggak bisa ikut.”“Kenapa nggak boleh sih, Mas? Kalau kalian pergi, terus aku gimana? Aku kan mau main bareng Gala hari ini.”Yeu…makannya ngasih kabar. Biar situ nggak sia-sia datang ke sini, batinku.“Makannya kamu ngasih kabar dulu. Jadi kamu nggak sia-sia datang ke sini,” tukas Aiman dengan nada tegas.Eh eh…..tumben kita kompak?“Ya….aku kan mau kasih surprise ke anak kita. Lagian kalau aku ikut juga nggak akan ganggu kok. Anggep saja aku nggak ada.” Susan masih bersikeras dengan kemauannya.Dia sengaja menekan kata ‘anak kita’ sambil menoleh padaku. Tak sengaja pula kuputar bola mataku – jengah padanya setelah mendengar janda pirang satu itu tengah tebar pesona. Entahlah. Aku menganggapnya seperti itu. Mungkin karena sesama wanita yah jadi aku bisa membaca tingkah lakunya yang tak biasa.Susan berdandan dengan supe
“Mama udah sehat?” tanya Gala begitu ia keluar dari kamarnya.Dengan piyama dinasaurus hijau kesukaannya, Gala datang memelukku yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil ini. Lebih tepatnya sih memanaskan makanan yang kemarin dibawa ibu mertua dan kakak ipar.“Lumayan. Gala sikat gigi dulu sana, habis itu bangunin papa terus kita sarapan.”“Papa sama mama udah nggak berantem, kan?” tanya Gala dengan tatapan memelas. Aih…apa dia masih kepikiran soal kemarin? Untung saja Gala nggak cerita soal pertengkaran kami pada Oma dan tantenya kemarin. Kalau tidak, mungkin kami sudah di sidang selama berjam-jam.Aku terdiam mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir mungilnya itu. Well….aku tak bisa bilang bahwa kami sudah baik-baik saja. Justru tadi malam terjadi hal yang membuatku tercengang sampai-sampai om sompret itu ingin kutelan hidup-hidup.Setelah kejadian tersedak itu, Aiman mulai bertingkah aneh. Atau mungkin sebenarnya sudah aneh sejak aku sakit beberapa hari yang lalu. Ai
Note : Maaf ya gak bisa tepati janji buat double up. Karena aku juga nulis di tempat lain dan itu keteteran. Jadi aku update sehari sekali aja yah. Mianhe===Siapa yang tidak terkejut setelah mendengar pengakuan Aiman tentang status kami?Bagai petir di siang bolong, aku sumpahin giginya Aiman ompong!Tanpa babibu, aku langsung mendorong Aiman menjauh dari pembicaraan ini. Tapi apalah daya, tenagaku tak cukup kuat untuk mendorongnya yang memiliki tubuh atletis bak binaragawan yang pernah ia pamerkan padaku di malam pertama kami tinggal bersama.Akhirnya….aku hanya bisa misuh-misuh padanya sambil menyipitkan mata.“Mau kamu apa sih! Lagi-lagi keluar dari perjanjian!”“Perjanjian apa?” balas Aiman ikut berbisik.“Kan aku ngasih syarat ke kamu….jangan sampai status aku terbongkar di kampus!““Mel,” panggil kak Rendi yang tanpa sadar sudah kubuat seperti emping kering karena kelamaan dijemur.Tanpa sadar aku sudah menatap kak Rendi dengan pandangan iba, “Kak! Ini tuh –““Kamu nggak usah
Setelah berbulan-bulan di Jakarta, baru kali ini aku sakit.Ibu bilang, badanku ini penuh dengan zat besi, kalsium, vitamin dan segala macam karena ketangguhanku yang tak mudah sakit sejak kecil. Di saat anak-anak dulu sakit berjamaah terserang demam, cacar, campak dan segala macam, aku malah sehat walafiat karena imun yang kuat. Mungkin pernah beberapa kali kurang enak badan, namun pada akhirnya aku pasti lekas sembuh sampai tak perlu pergi ke klinik.Mungkin musim dan udara di Jakarta kurang cocok denganku. Buktinya… aku terserang penyakit yang bernama meriang hampir selama dua hari.Aku terserang batuk dan juga demam. Alhasil, aku tak bisa melakukan rutinitas seperti biasa termasuk menyiapkan keperluan Gala dan bapaknya.KLONTANG!Suara nyaring dari dapur terdengar begitu jelas. Aku yang berada di dalam kamar sambil selimutan pun terpaksa harus bangun karena suara berisik yang sejak tadi terdengar di area dapur.Itu bapak sama anak lagi eksperimen apa sih di dapur? Ngerakit bom kal
“Pacar? Emang kamu udah punya pacar?”Oooh! Ngeremehin ane rupanya?“Ya ada dong! Emang kamu aja yang boleh pacaran sama si tepos?”Aiman menaikkan sebelah alisnya.“Baru beberapa bulan kuliah, jangan pacaran dulu! Nanti aku laporin ke bapak kamu!”“Ishh mentang-mentang polisi mainnya lapor-laporan. Aku juga bisa…laporin kamu ke mama!”Aiman mulai komat-kamit seperti mbah dukun. Daripada aku semakin kesal karena terus menghadapinya, akupun beranjak pergi sambil menutup pintu cukup kencang di hadapannya. Tak lama Aiman menyusul sambil bertolak pinggang.“Mel! Saya belum selesai bicara!“Aku mengabaikannya dengan terus berjalan keluar rumah. Terlihat di luar pagar, kak Rendi menungguku muncul dengan senyuman yang selalu terlihat tulus daripada om sompret yang ada di belakangku itu. Dengan mobil antiknya, kak Rendi menghampiriku untuk membawakan tas ransel yang cukup padat isinya itu.“Kayak mau minggat aja Mel,” celetuknya yang sama persis seperti ucapan om sompret.“Kok kalimat kalian
Aiman keluar dari mobil setelah memutarinya.“Gala –““Oh….jadi ini tugas pentingnya sampai lupa buat jemput anak?”Mendengar ocehanku, Aiman menepuk keningnya sambil berlutut di depan anaknya untuk meminta maaf.“Maafin papa yah. Papa lupa dan hp papa lowbet lupa di cas.”“Hp mama juga lowbet, tapi mama inget Gala,” balas Gala yang membuatku cukup tercengang. Aku pikir Gala bukan anak yang suka membalas ucapan papanya. Ternyata dia cukup cerdas untuk menjawab.Bagus Gala! Marahin aja papa kamu itu!“Gala – maafin papa yah.”Gala memalingkan wajahnya sambil melipat kedua tangannya di dada. Selama Aiman tengah membujuk putra semata wayangnya, aku tengah awasi betina bernama Raline yang pernah meremehkanku karena tak pantas menjadi istri Aiman. Di dalam mobil ia terus berdiam diri sambil memperhatikan ayah dan anak tersebut. Sesekali pandangan kami bertemu namun dengan cepat dia memalingkan wajahnya.Dih! Pant*t tepos aja sok banget! Omelku dalam hati.“Makannya inget anak sama istri di
Aku adalah tipe orang yang tak bisa menyembunyikan apa yang kurasakan. Kalau marah ya marah. Kalau aku nggak suka sama sesuatu ya aku akan bilang aku nggak suka.Seperti pagi ini. Semangatku untuk menyiapkan segala kebutuhan keluarga kecilku seperti sedang membara dan berkobar. Gala melihatku dengan wajahnya yang terheran-heran sambil bilang ….“Mama hari ini kok bahagia banget?” “Ah masa sih?” tanyaku sambil membolak-balik ikan yang tengah kugoreng. Mendengar pertanyaannya, akupun tanpa sadar menyunggingkan senyum seperti joker.“Iya. Mama senyum-senyum terus.”“Ah kak Mel kan emang suka senyum.”“Tapi kali ini beda.”Aku selesai menggoreng ikan lalu lanjut kurangi minyak makan untuk digunakan menumis sambal yang sudah kuulek sebelumnya. “Bedanya bikin Gala suka atau enggak?” tanyaku sambil mengaduk-aduk sambal. Tak lama Gala – putra sambungku ini mengangguk-anggukkan kepalanya dengan antusias.“Suka dong,” pujinya yang membuatku semakin gemas sendiri.Monday, Tuesday, Wednesday, T
Terdengar suara ledakan lagi setelah aku meninggalkan lokasi. Ledakan itu membuat orang-orang yang ada di sana kian waspada dan juga ketakutan.Aku juga semakin gelisah karena hal itu. Gelisah memikirkan bagaimana nasib Aiman.“Pak pak pak! Berhenti pak! Saya mau turun!”“Jangan neng. Bahaya! Itu pasti serangan teroris,” ungkapnya sok tahu.Tapi biasanya memang seperti itu. Teroris pasti selalu ada karena sumbernya belum dimusnahkan.“Iya pak saya tahu. Tapi saya khawatir pak sama polisi tadi!”“Biarin aja neng, kan emang tugas mereka.”Kenapa aku yang sakit hati yah mendengarnya? Apa polisi bukan manusia?“Mereka kan tugasnya ngejagain kita. Kalau nggak gitu,mereka nggak kerja!” ucap pak supir taksi lagi yang sepertinya punya dendam kesumat sama polisi. Nadanya sinis. Dan dia seperti tak merasa bersalah sudah bicara seenaknya tentang profesi seseorang.“Berhenti pak! Saya bayar sampai sini!”Melihatku yang ngotot minta turun, akhirnya pak supir itupun menghentikan mobilnya. Kuserahka
Sepanjang perjalanan, Aiman seperti orang sakit gigi. Diam terus-terusan sambil membawa mobilnya menuju rumah.Memang sih, siapa yang tidak terkejut dengan kasus jenderal satu ini. Semua orang yang ada di sana termasuk aku, sudah jantungan melihat aksi koboi sang jenderal kepada istrinya. Untung saja ada yang segera menengahi. Kalau tak, pasti akan ada banyak orang yang berguguran di tempat latihan menembak itu.Karena Aiman tak mau membahas hal ini lagi, maka akupun tak mau angkat bicara. Jadi kualihkan saja pandanganku pada jendela mobil sambil memperhatikan hujan yang mulai turun sedikit demi sedikit. Kalau di kampungku dulu, biasanya kalau hujan begini paling enak minum teh sambil makan pisang goreng.Duhlah…apalagi kalau disambung dengerin music galau atau lagu-lagu nostalgia, jadi bertambah lagi syahdunya.Tapi sekarang, di mana aku bisa beli pisang goreng?Masak sih gampang, tapi di rumah komplek mana ada kebon pisang? Kalau dulu kan tinggal jalan saja ke kebon belakang rumah,