Sore itu aku duduk di meja makan bersama dengan Jenar, ibu tiriku dan anaknya yang lebih tua 4 tahun dariku, Jihan.
Menunggu ayah pulang bekerja, makanan spesial sudah terhidang. Sengaja, aku yang memasaknya untuk merayakan pencapaianku yang mampu lulus SMA dengan nilai memuaskan.
Tak berselang lama, ayahku tiba dan langsung tersenyum seraya memelukku. "Selamat ya Mikha, kamu sudah membuat Ayah bangga."
Meski tangan ayah tidak sampai mengelilingi tubuhku yang besar, perasaan hangat terasa menyeruak ke dalam lubuk hatiku.
Bagaimana tidak, ayah adalah orang yang begitu dihormati di dunia pendidikan. Tentu, mendapatkan apresiasinya adalah sebuah kesenangan tersendiri untukku.
"Terima kasih, Yah," jawabku dengan senyum tersipu.
Mataku seketika berbinar. Namun hal itu tak berlangsung lama, saat dua orang wanita di hadapan kami menatapku dengan remeh.
Dialah Jenar dan Jihan, dua makhluk yang jauh lebih sempurna dariku dalam penampilan fisik.
Tidak sepertiku yang memiliki tubuh seperti gajah, mereka bahkan layak untuk kusebut bidadari.
Hanya saja… hanya wajah mereka yang cantik, padahal hati mereka busuk semua.
“Ehm, kalian pasti sudah lapar, ya.” Ayah yang seharusnya duduk di sisiku, kini berpindah di sisi istrinya.
Semula, aku tidak menghiraukan dan lebih memilih menyantap makan malamku. Hanya saja, melihat tiga figur sempurna itu tengah bersisian, mataku mau tidak mau jadi membandingkan tubuhku dengan mereka.
Terutama, dengan ibu dan juga saudara tiriku.
Aku juga cantik sebetulnya, hanya saja selera makanku sangat tinggi.
Ketika stres, makan jadi obatku. Pun ketika senang, makanan enak jadi simbol perayaanku. Jadilah, bobotku kini mencapai ratusan kilo, persis sapi kualitas unggul yang siap disembelih.
“Kamu lupa kalau kami tidak makan malam, Mas?” Jenar berkata lembut sembari tersenyum.
Namun dari lirikan matanya yang mengarah sinis padaku, aku tahu sebentar lagi dia akan menjatuhkan sindirannya.
“Lagi pula, dengan porsi makanan seperti ini, aku yakin Mikha bisa menghabiskannya sendiri. Iya kan, Sayang?”
“Nah, bener, kan?” Ibu tiriku itu kini melirik sambil tersenyum.
Ayah yang ada di sampingnya ikut tersenyum. Bedanya, Ayah tidak terlihat menyindirku.
“Mikha memang selalu punya selera makan yang baik.”
Di hadapan mereka, aku menundukkan pandangan.
Garis mataku tiba-tiba menggenang. Susah payah, kucoba menelan makanan yang sudah dikunyah. Setelahnya, kuusap cepat air mata yang nyaris saja luruh.
Ah, Ibu. Andai masih ada sosok malaikat sebenarnya itu di hadapanku….
Jika Ibu masih ada, kami bertiga pasti akan merayakan kelulusanku dengan bahagia. Bisa kubayangkan, mama memasak makanan kesukaanku, menyiapkan perayaan kecil-kecilan sembari menunggu ayah.
Bukan seperti sekarang, mereka bahagia, sementara aku merana melihat kebahagiaan mereka.
Suara sopir keluarga kami yang datang dengan membawa sebuah amplop membuatku terhenyak.
"Permisi pak Harun." Ketiga manusia di hadapanku pun mendongak serempak. "Ada undangan makan malam dari keluarga Warren, Pak."
Mataku mengerjap ketika nama Keluarga Warren terucap.
"Ada apa sayang?" tanya Jenar penasaran usai sopir itu pergi.
"Ini….” Ayah menunjukkan amplop yang rupanya undangan itu ke arah Jenar.
“Soal perjodohan dengan keluarga Warren. Almarhum ayahku dulu berjanji untuk menjodohkan cucunya dengan putra semata wayang Gelael Warren, yaitu Gabriel Warren."
Bisa kulihat, mata Jenar mengilat, menatap ke arah Jihan–anaknya yang sudah menginjak 22 tahun.
"Ah, kebetulan sekali, Jihan sudah memasuki usia dewasa. Bukankah sudah saatnya bagi kita untuk mengantarnya ke pinangan keluarga terhormat?"
Mata Jenar hampir keluar percikan kembang api. Wanita itu merasa kegirangan setengah mati.
Sementara ayah, beliau mencoba tersenyum tetapi matanya selama beberapa detik melirikku.
Aku berlagak tak perduli, walau sebenarnya telingaku mencoba mendengarkan lekat-lekat percakapan itu.
"Ah, iya. Tapi, mereka meminta Mikha, Sayang.”
Aku makin geli mendengar kata-kata sayang yang keluar dari mulut Ayah yang terkesan kaku dan dipaksakan.
Sorot wajah ibu tiriku sontak berubah. Dia tidak terlihat se-senang tadi. Aku bisa tebak, dia kesal karena tahu akulah yang keluarga Warren minta, bukan anak kandungnya, Jihan.
“Tapi, Sayang, Mikha baru saja lulus SMA. Dia masih terlalu muda untuk melangkah ke jenjang pernikahan.”
Sementara ibu tiriku membujuk ayah, kulihat jari-jemari Jihan berselancar di atas layar gawainya.
Mata saudara tiriku itu memelotot heboh. Dia bergantian menatap layar gawainya, juga menatapku, sebelum kemudian menyiku sang ibu.
“Mah, lihat ini!”
Kini, mata Jenar yang gantian menatapku nyalang. Dia kemudian mengambil ponsel Jihan untuk ditunjukkan kepada ayah.
“Pah, kamu yakin mau jodohin pria ini dengan Mikha?” ibu tiriku bertanya dengan tatapan mata terperangah, juga dengan suara meninggi.
“Maksudku, kamu lihat kan Mikha seperti apa?”
Seketika, aku menegakkan duduk. Ada perasaan kesal ketika mendengar lagi-lagi ibu tiriku menghina fisikku.
Namun, jauh di lubuk hati, aku sadar diri. Pria seperti Gabriel Warren dengan paras sempurna itu… sangat-sangat mustahil kan, tertarik pada wanita serupa gajah sepertiku?
‘Apa sebaiknya aku mundur saja dari perjodohan itu?’
Keesokan harinya, kami sekeluarga sampai di depan pagar menjulang, di kediaman keluarga Warren tepatnya.Cerah, suasana langit malam itu bertaburan bintang, turut bergerak mengiringi laju mobil Ayah yang masuk ke dalam halaman depan, membentang sangat luas. Bahkan, rumah Ayah tidak ada seperempatnya.Takjub, mataku memancarkan kekaguman. A--h ada ya rumah semegah istana negara yang tak terungkap media seperti ini?Sementara mobil Ayah berhenti. “Selamat malam Prof. Harun Suryawan.”Pria paruh baya berwajah bule membantu membuka pintu Ayah.“Selamat malam Khalik.”“Nyonya besar sudah menunggu di ruang keluarga.”"Baik, terima kasih Khalik, ayo."Pria bertubuh tinggi tadi, menyapa kami dengan membungkukkan tubuhnya. Menyambut kedatangan kami secara resmi diikuti pelayan lain, layaknya menyambut tamu negara tepat di depan pintu rumah mewah itu.Perasaanku tidak nyaman. Seperti biasa, rasa cemas mengganggu pikiranku jika bertemu dengan orang-orang di lingkungan baru. Sorot mata mereka s
Buram pandangan, membuat tatapanku menajam melihat plafon kamar. Dimana ini? A---h pinggangku sakit, yang pasti bukan karena kehilangan keperawanan di malam pertama.Yah kehilangan suami lebih tepatnya. Susah payah aku angkat tubuh ini untuk berdiri setelah terdengar ketukan di daun pintu kamar."Sebentar!"Secercah harapan melintas, apakah pria itu akhirnya bertekad kembali kemari untuk meminta maaf? Namun, balon harapan itu meletus seketika, saat seorang pria mengaku sebagai pelayan hotel membawa troli penuh makanan berlemak, yang kesemuanya adalah menu favoritku."Silahkan sarapannya nona," ucap pria itu seraya menunduk. Sepertinya, bentuk tubuh ini, sudah tak layak dipandang oleh siapa saja ya, bahkan untuk di lihat oleh pelayan sekali pun."Terima kasih taruh saja di sana.""Kalo butuh apa-apa nona tinggal mendial angka 0 dari telpon hotel itu." Tunjuk pria itu ke arah nakas di dekat tempat tidur."Baik."Meronta, cacing-cacing di dalam perut menuntut tambahan nutrisi. Lagi? Aku
4 tahun kemudian, aku kembali sebagai Cinta Graciela, pengacara termuda dengan segudang prestasi membanggakan dalam kasus-kasus berat yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar.Merubah identitas adalah salah satu keahliannya sebagai aparat hukum. Lantas, semua hal yang berkaitan dengan hal Ini termasuk ijazah dari mulai Sekolah Dasar sampai S2 tercetak nama baru ini dengan sempurna.Entahlah, nama Mikhaela selalu mengingatkan pada hal-hal buruk. Menghampiri seperti momok yang memicu trauma tak berkesudahan.Hari ini pertama kali aku berkunjung ke pusat, setelah 2 tahun berhasil membesarkan kantor cabang advokat milik atasan, di kota Bandung.Kota tempatku bertekad untuk membenahi diri sambil menempuh kuliah di sekolah tinggi ilmu hukum, yakni Bandung Law School University.Law Offices Hardiman Sibarani and Associates. Aku dikirim kemari karena pak Hardiman kekurangan tenaga ahli dengan jumlah klien yang terus bertambah."Ella, selamat datang."Senyum pasta gigi disuguhkan oleh pak
Beberapa saat yang lalu, langkah kaki ini tetiba ingin mengurangi kecepatan. Tak sengaja telinga ini mencuri dengar pembicaraan keluarga harmonis itu sebelum berangkat menyusul ke pertemuan klien."Sayang , apakah Hardiman itu, salah satu mahasiswa kamu juga?" tanya Jenar seraya menuntaskan minuman yang Mirna suguhkan.Jihan tampak mendengarkan dengan seksama percakapan itu."Ada apa sih mah, Aku tahu kalian berdua bukan penasaran ama Hardiman kan?"Senyum Ayah mengartikan maksud di balik pertanyaan yang dilontarkan Jenar."Iy--a Pah apa wanita muda yang Papa temui itu, juga pengacara disana?" Tanya Jihan tak sabar."Iya, dia lulusan S2 termuda, murid Hardiman dengan segudang prestasi membanggakan, yang berpengalaman membereskan persoalan hukum perusahaan bermasalah."Jenar dan Jihan saling bicara dengan tatap mata. "Lalu kenapa papa menemui wanita muda itu pah?"Keduanya kompak berseru serempak. Tak ayal sang profesor hukum itu, terkekeh. "Ingin hati bertemu Mikhaela disana, e--h ta
Pria yang bernama Gabriel itu raib setelah mobil mewah menjemputnya. Sedangkan raut wajah atasanku malah semakin sumringah. Beliau terkekeh menertawakan reaksiku yang terhenyak saat Gabriel dengan nada bicara bengis bin menyakitkan tiba-tiba pergi dengan alasan aku sudah menyia-nyiakan waktunya.A--h-aa aku jadi ingin bertepuk tangan di hadapan pria paling arogan yang pernah aku temui di muka bumi ini. Bravo bravo lagi-lagi andalah pemenangnya--- Sudahlah lebih baik kita kembali membahas persoalan perusahaan pria itu dulu."Jadi begini, ini berkas Warren Group cabang indo, dan berbagai temuan-temuan audit keuangan perusahaan yang mencurigai adanya korupsi dana milyaran rupiah oleh saudara Daniel Halim, teman sekaligus direktur keuangan yang menjabat saat itu.""Na--h kan emang saya belum tahu duduk permasalahannya ya pak?""El, Tuan Gabriel memang begitu orangnya, dia anti melakukan pertemuan bisnis dengan siapa saja sampai berjam-jam lo biasanya, kamu pengecualian El.""Bagaimana sih
Malunya bukan main. Sontak dada yang tadinya membusung tanpa ragu ini, aku tutupi dengan kedua tanganku. Untungnya, Gabriel menahan lift itu agar aku bisa keluar dari sana.Haruskah aku menceburkan diri ke laut saja, agar besok aku tidak perlu ketemu lagi dengan pria itu. Wajahku memerah bukan karena menahan berak, tetapi kejadian yang lebih memalukan dari ketahuan cepirit di celana saat SD sedang terjadi sekarang.Aku usap berulang kali wajahku. Bertindak kekanakan, selalu aku kejadian saat bertemu dengan orang paling dingin yang pernah ada di bumi ini. Kenapa kami harus di pertemukan lagi ya Tuhan? Kesal bukan main aku dibuatnya."Tunggu!"Parahnya lagi. Makhluk keji itu, ternyata mengejarku dari belakang lalu, melepas bathrobenya untuk menutupi tubuhku. Tanpa berkata-kata, pria itu raib begitu saja entah kemana."A----k!"Wajahku memerah. Aku tak sadar kalo kondisiku tidak cukup normal untuk bertemu dengan seorang klien. Apalagi klien itu laki-laki. Ditambah lagi... a---h sudahla
Raib, Gabriel pergi dari pandangan setelah mengantarku. Alhasil persidangan berjalan sesuai dengan petunjuk yang di berikan pak Hardiman. Terperangah, saksi, terdakwa serta para peserta persidangan melihatku begitu tegas dan lugas membawa persidangan itu menuju ke kesimpulan yang tidak disangka-sangka, yakni kebenaran baru dimana praduga tak bersalah di unggulkan.Saat ini, aku bertindak sebagai pengganti pengacara Katarina, senior di kantor pusat yang berhalangan hadir. Semoga hasil ini bisa meringankan sedikit pekerjaannya. "Mbak Ella, ada yang mau kenalan," bisik Mirna di telinga, membuatku menengok ke arah tangan Mirna mengarahkan."Halo Cinta, aku Erfan Aditya," ucap pria berkumis tipis, tampak sopan menyodorkan tangan kanannya untuk ku jabat. "Halo juga.""Aku terpukau melihat penampilan perdana kamu tadi, kelihatan sih kamu udah piawai menngusut kasus-kasus serupa?""Saya masih belajar kok, terima kasih atas pujiannya, senang berkenalan dengan anda sekali lagi."Entah kenapa k
Copot jantung, aku mendorong tubuhnya kala kepala ini menimpa kepalanya, hingga bibir kami tak sengaja bertemu. A----h kacau sekali!Jalan tempat aku berdiri tadi adalah jalan turunan sedangkan Gabriel masih berjalan mendekat ke arahku yang sedikit naik diatasnya. Dia menangkap cepat tubuhku saat ku rengkuh lehernya setelah bahu ini terhantam benda keras sekali."Kamu nggak apa-apa?"Tanyanya saat menangkap semburat merah darii wajah ini. Aku sampai meringis menahan nyeri di tengkukku, membuat pria itu berlagak panik. Apa iya dia khawatir?"Tidak pak saya baik-baik saja. Bapak sebaiknya per--""Oke."Dia memotong ucapanku dan mantap meninggalkanku. Sudah begitu saja, seenaknya dia masuk ke pintu ruangan tepat di sebelah apartemenku. Aku harus kroscek ke Berta perihal ini. Kok bisa Gabriel tinggal selantai denganku? Ini nggak bisa di biarkan!Mondar-mandir menunggu panggilanku diangkat oleh Bertha. Tidak sabar, diri ini meluruskan semuanya. Pindah saja, protesku jika benar Gabriel ti