Share

ISTRI GENDUTKU BERUBAH CANTIK
ISTRI GENDUTKU BERUBAH CANTIK
Penulis: Luviano

Rencana Perjodohan

Sore itu aku duduk di meja makan bersama dengan Jenar, ibu tiriku dan anaknya yang lebih tua 4 tahun dariku, Jihan.

Menunggu ayah pulang bekerja, makanan spesial sudah terhidang. Sengaja, aku yang memasaknya untuk merayakan pencapaianku yang mampu lulus SMA dengan nilai memuaskan.

Tak berselang lama, ayahku tiba dan langsung tersenyum seraya memelukku. "Selamat ya Mikha, kamu sudah membuat Ayah bangga."

Meski tangan ayah tidak sampai mengelilingi tubuhku yang besar, perasaan hangat terasa menyeruak ke dalam lubuk hatiku.

Bagaimana tidak, ayah adalah orang yang begitu dihormati di dunia pendidikan. Tentu, mendapatkan apresiasinya adalah sebuah kesenangan tersendiri untukku.

"Terima kasih, Yah," jawabku dengan senyum tersipu.

Mataku seketika berbinar. Namun hal itu tak berlangsung lama, saat dua orang wanita di hadapan kami menatapku dengan remeh.

Dialah Jenar dan Jihan, dua makhluk yang jauh lebih sempurna dariku dalam penampilan fisik.

Tidak sepertiku yang memiliki tubuh seperti gajah, mereka bahkan layak untuk kusebut bidadari.

Hanya saja… hanya wajah mereka yang cantik, padahal hati mereka busuk semua.

“Ehm, kalian pasti sudah lapar, ya.” Ayah yang seharusnya duduk di sisiku, kini berpindah di sisi istrinya.

Semula, aku tidak menghiraukan dan lebih memilih menyantap makan malamku. Hanya saja, melihat tiga figur sempurna itu tengah bersisian, mataku mau tidak mau jadi membandingkan tubuhku dengan mereka.

Terutama, dengan ibu dan juga saudara tiriku.

Aku juga cantik sebetulnya, hanya saja selera makanku sangat tinggi.

Ketika stres, makan jadi obatku. Pun ketika senang, makanan enak jadi simbol perayaanku. Jadilah, bobotku kini mencapai ratusan kilo, persis sapi kualitas unggul yang siap disembelih.

“Kamu lupa kalau kami tidak makan malam, Mas?” Jenar berkata lembut sembari tersenyum.

Namun dari lirikan matanya yang mengarah sinis padaku, aku tahu sebentar lagi dia akan menjatuhkan sindirannya.

“Lagi pula, dengan porsi makanan seperti ini, aku yakin Mikha bisa menghabiskannya sendiri. Iya kan, Sayang?”

“Nah, bener, kan?” Ibu tiriku itu kini melirik sambil tersenyum.

Ayah yang ada di sampingnya ikut tersenyum. Bedanya, Ayah tidak terlihat menyindirku.

“Mikha memang selalu punya selera makan yang baik.”

Di hadapan mereka, aku menundukkan pandangan.

Garis mataku tiba-tiba menggenang. Susah payah, kucoba menelan makanan yang sudah dikunyah. Setelahnya, kuusap cepat air mata yang nyaris saja luruh.

Ah, Ibu. Andai masih ada sosok malaikat sebenarnya itu di hadapanku….

Jika Ibu masih ada, kami bertiga pasti akan merayakan kelulusanku dengan bahagia. Bisa kubayangkan, mama memasak makanan kesukaanku, menyiapkan perayaan kecil-kecilan sembari menunggu ayah.

Bukan seperti sekarang, mereka bahagia, sementara aku merana melihat kebahagiaan mereka.

Suara sopir keluarga kami yang datang dengan membawa sebuah amplop membuatku terhenyak.

"Permisi pak Harun." Ketiga manusia di hadapanku pun mendongak serempak. "Ada undangan makan malam dari keluarga Warren, Pak."

Mataku mengerjap ketika nama Keluarga Warren terucap.

"Ada apa sayang?" tanya Jenar penasaran usai sopir itu pergi.

"Ini….” Ayah menunjukkan amplop yang rupanya undangan itu ke arah Jenar.

“Soal perjodohan dengan keluarga Warren. Almarhum ayahku dulu berjanji untuk menjodohkan cucunya dengan putra semata wayang Gelael Warren, yaitu Gabriel Warren."

Bisa kulihat, mata Jenar mengilat, menatap ke arah Jihan–anaknya yang sudah menginjak 22 tahun.

"Ah, kebetulan sekali, Jihan sudah memasuki usia dewasa. Bukankah sudah saatnya bagi kita untuk mengantarnya ke pinangan keluarga terhormat?"

Mata Jenar hampir keluar percikan kembang api. Wanita itu merasa kegirangan setengah mati.

Sementara ayah, beliau mencoba tersenyum tetapi matanya selama beberapa detik melirikku.

Aku berlagak tak perduli, walau sebenarnya telingaku mencoba mendengarkan lekat-lekat percakapan itu.

"Ah, iya. Tapi, mereka meminta Mikha, Sayang.”

Aku makin geli mendengar kata-kata sayang yang keluar dari mulut Ayah yang terkesan kaku dan dipaksakan.

Sorot wajah ibu tiriku sontak berubah. Dia tidak terlihat se-senang tadi. Aku bisa tebak, dia kesal karena tahu akulah yang keluarga Warren minta, bukan anak kandungnya, Jihan.

“Tapi, Sayang, Mikha baru saja lulus SMA. Dia masih terlalu muda untuk melangkah ke jenjang pernikahan.”

Sementara ibu tiriku membujuk ayah, kulihat jari-jemari Jihan berselancar di atas layar gawainya.

Mata saudara tiriku itu memelotot heboh. Dia bergantian menatap layar gawainya, juga menatapku, sebelum kemudian menyiku sang ibu.

“Mah, lihat ini!”

Kini, mata Jenar yang gantian menatapku nyalang. Dia kemudian mengambil ponsel Jihan untuk ditunjukkan kepada ayah.

“Pah, kamu yakin mau jodohin pria ini dengan Mikha?” ibu tiriku bertanya dengan tatapan mata terperangah, juga dengan suara meninggi.

“Maksudku, kamu lihat kan Mikha seperti apa?”

Seketika, aku menegakkan duduk. Ada perasaan kesal ketika mendengar lagi-lagi ibu tiriku menghina fisikku.

Namun, jauh di lubuk hati, aku sadar diri. Pria seperti Gabriel Warren dengan paras sempurna itu… sangat-sangat mustahil kan, tertarik pada wanita serupa gajah sepertiku?

Apa sebaiknya aku mundur saja dari perjodohan itu?’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status