"Sudah sarapan?""Ya--h terima kasih berkat anda saya bisa sarapan enak."Bohong, aku tidak terbiasa dengan sarapan sejak tubuhku berukuran mini.Hampir sampai, aku bersiap untuk keluar lift, tetapi saat di lantai 10 tangan pria ini menahanku. "Mulai hari ini kamu ke ruanganku.""A---h, ta--pi pak Theo bilang saya harus ke ruangannya.""Siapa yang berkuasa disini?"Tanpa menengok ke arahku pria ini memasukkan kedua tangannya ke kantong celananya sendiri. Singkat, padat dan jelas, perintahnya harus di patuhi. Arogan, sok berkuasa itu yang aku baca.Dia memencet lantai 40 dan tetap di posisinya, seperti biasa Gabriel menunggu aku keluar dari lift terlebih dulu.Tiga wanita berpakaian kantor super se-xy sudah menunggu untuk menyapanya."Selamat pagi boss," ucap ketiganya serempak setelah melihat baik-baik keadaan make up mereka yang terlalu menor untuk ukuran pegawai kantoran.Kelihatan jelas bukan hanya Jihan yang ingin mendapat perhatian dari pria ini melainkan stafnya juga tak kalah be
"Sudah bangun?" Wajah pria tertampan yang pernah ku temui di muka bumi sedang menatapku. Pandangan mata barusan masih buram, kini menjelas. Gabriel memperhatikan cara tidurku dari dekat. Terperanjat dari ranjang mewah ini begitu saja, saat kulihat dari jendela kamar jalanan sudah macet dan gelap. Ya ampun sudah berapa lama aku tidur sih? "Pakai ini?" Gabriel menutup kaki jenjangku yang polos dengan selimut. "A---h!" Memekik, hanya itu yang bisa kulakukan sekarang. Selalu saja melakukan hal bodoh untuk kesekian kalinya. Kebiasaanku jika mengantuk, aku membuka celana yang kupakai dan melemparkannya ke sembarang tempat yakni di lantai kamar Gabriel. Sontak aku kabur ke dalam kamar mandi untuk membenahi penampilanku yang acakadul. Pun menggosok gigi dengan sikat baru yang sudah di siapkan di nakas. Aku membayangkan berapa puluh wanita yang sudah menginap di kamar ini? "Kacau-kacau!" Aku mengeplak kepalaku sendiri karena hal bodoh yang terus menerus terulang jika bersamanya. Aku kelua
"Honey, aku merindukanmu."A-h mimpi apa aku tadi, hingga harus bertemu dengan super model yang wajahnya selalu menjadi icon majalah mode dunia. Pas banget kan, yang satunya Ceo perusahaan international dan yang satu artis international.Rasanya tidak ada yang lebih menggiurkan dari meliput berita pasangan ini. Kini, keduanya malah berpelukan mesra. Dasar tak tahu tempat, kenapa nggak di kamar aja sih!"Permisi pak!"Entahlah kenapa aku kesal. Takut, aku nggak mau keduanya berbuat yang nggak-nggak di sini, jadi sebaiknya aku menyingkir saja. Aku menggeletakkan berkas tadi di atas meja tepat di depan sofa dengan segala resiko besok di pecat oleh atasan.Biarkan saja-lah itu resiko yang harus aku tanggung karena sudah mangkir dari tanggung jawabku hari ini."Cinta!"Gabriel melepaskan pelukan yang ternyata hanya sepihak tadi. Menjauhkan tubuh kekasihnya lalu bergegas berlari ke arahku."Saya pamit karena saya ti---hmmpfhf!"Astaganaga nurlela! Kenapa pria ini menciumku di depan pacarnya
~Warren Apt Residence~Melarikan diri, aku bergegas pergi saat pria itu lengah. Bagaimana bisa dia menggunakanku untuk mengusir mantan pacarnya. Da-sar b-ajingan!"Ber ini terakhir gue ultimatum ama lo, kalo elo nggak mau tuker tempat tinggal, gue nggak bakal nganggep lu jadi temen gue, seumur hidup!""Okay-okay babe, okay, elo bisa tinggal di apartemen gue, tapi ceritain dulu duduk perkaranya?"Berta ingin kejelasan kenapa aku sampai panik dan ketakutan seperti ini. Sebenarnya ini bagian dari pengingkaran, aku takut tidak bisa mengendalikan diri, aku takut khilaf, tak mampu menghindari buaiannya yang memabukkan itu.Apalagi ciu-mannya, apa di c-ium itu bisa sen-ikmat itu? A--h! Aku geplak puncak kepalaku sendiri karena sudah meracau."Gabriel men-cumbu gue.""A-pah?"Sorot mata temanku itu memelototi ku. Bibirnya menganga beberapa saat."Wow! Selamat El?""Apa-an sih?""Gila sih, gue ucapin selamat beneran buat sahabat gue ini, gue nggak bisa berkata-kata lagi El?"Berta mondar-man
Tok TokBerulang kali pintu kamar El di ketuk. Aku keluar setelah terbangun dari posisi rebahan ternyaman ini.Ceklek..Seorang pria bertampang model international berdiri tepat di hadapan Berta yang mendongak menatapnya."O-- pak Gabriel, selamat malam pak?"Berulang kali mengangguk, untuk menghormati sang bos besar."Cintanya?"Kening sedikit di kerutkan tangan kanannya menunjuk ke arah dalam ruangan itu. Pria tanpa ekspresi itu, menampakkan ekspresi heran untuk pertama kalinya."A--h Ellanya pulang ke rumah orang tuanya pak?"Garuk-garuk, puncak kepala Berta yang tak bersalah turut terkena dampak kebohongannya."Bener?"Satu minggu sudah Gabriel kesulitan menghubungi Ella. Gadis itu mendadak menghilang dari pandangan. Bahkan di pengadilan, Ella seolah menghindarinya. Suka kabur-kaburan, itu yang di lakukan Ella.Hembusan angin menerpa ke sekujur kulit Bertha, tiba-tiba merinding. "Bertha, apa temanmu itu menghindari aku?"Gabriel meyakinkan lagi."A--h tidak tuh pak, eh maksud sa
Sore itu aku duduk di meja makan bersama dengan Jenar, ibu tiriku dan anaknya yang lebih tua 4 tahun dariku, Jihan.Menunggu ayah pulang bekerja, makanan spesial sudah terhidang. Sengaja, aku yang memasaknya untuk merayakan pencapaianku yang mampu lulus SMA dengan nilai memuaskan.Tak berselang lama, ayahku tiba dan langsung tersenyum seraya memelukku. "Selamat ya Mikha, kamu sudah membuat Ayah bangga."Meski tangan ayah tidak sampai mengelilingi tubuhku yang besar, perasaan hangat terasa menyeruak ke dalam lubuk hatiku.Bagaimana tidak, ayah adalah orang yang begitu dihormati di dunia pendidikan. Tentu, mendapatkan apresiasinya adalah sebuah kesenangan tersendiri untukku."Terima kasih, Yah," jawabku dengan senyum tersipu.Mataku seketika berbinar. Namun hal itu tak berlangsung lama, saat dua orang wanita di hadapan kami menatapku dengan remeh.Dialah Jenar dan Jihan, dua makhluk yang jauh lebih sempurna dariku dalam penampilan fisik.Tidak sepertiku yang memiliki tubuh seperti gajah
Keesokan harinya, kami sekeluarga sampai di depan pagar menjulang, di kediaman keluarga Warren tepatnya.Cerah, suasana langit malam itu bertaburan bintang, turut bergerak mengiringi laju mobil Ayah yang masuk ke dalam halaman depan, membentang sangat luas. Bahkan, rumah Ayah tidak ada seperempatnya.Takjub, mataku memancarkan kekaguman. A--h ada ya rumah semegah istana negara yang tak terungkap media seperti ini?Sementara mobil Ayah berhenti. “Selamat malam Prof. Harun Suryawan.”Pria paruh baya berwajah bule membantu membuka pintu Ayah.“Selamat malam Khalik.”“Nyonya besar sudah menunggu di ruang keluarga.”"Baik, terima kasih Khalik, ayo."Pria bertubuh tinggi tadi, menyapa kami dengan membungkukkan tubuhnya. Menyambut kedatangan kami secara resmi diikuti pelayan lain, layaknya menyambut tamu negara tepat di depan pintu rumah mewah itu.Perasaanku tidak nyaman. Seperti biasa, rasa cemas mengganggu pikiranku jika bertemu dengan orang-orang di lingkungan baru. Sorot mata mereka s
Buram pandangan, membuat tatapanku menajam melihat plafon kamar. Dimana ini? A---h pinggangku sakit, yang pasti bukan karena kehilangan keperawanan di malam pertama.Yah kehilangan suami lebih tepatnya. Susah payah aku angkat tubuh ini untuk berdiri setelah terdengar ketukan di daun pintu kamar."Sebentar!"Secercah harapan melintas, apakah pria itu akhirnya bertekad kembali kemari untuk meminta maaf? Namun, balon harapan itu meletus seketika, saat seorang pria mengaku sebagai pelayan hotel membawa troli penuh makanan berlemak, yang kesemuanya adalah menu favoritku."Silahkan sarapannya nona," ucap pria itu seraya menunduk. Sepertinya, bentuk tubuh ini, sudah tak layak dipandang oleh siapa saja ya, bahkan untuk di lihat oleh pelayan sekali pun."Terima kasih taruh saja di sana.""Kalo butuh apa-apa nona tinggal mendial angka 0 dari telpon hotel itu." Tunjuk pria itu ke arah nakas di dekat tempat tidur."Baik."Meronta, cacing-cacing di dalam perut menuntut tambahan nutrisi. Lagi? Aku