Keesokan harinya, kami sekeluarga sampai di depan pagar menjulang, di kediaman keluarga Warren tepatnya.
Cerah, suasana langit malam itu bertaburan bintang, turut bergerak mengiringi laju mobil Ayah yang masuk ke dalam halaman depan, membentang sangat luas. Bahkan, rumah Ayah tidak ada seperempatnya.
Takjub, mataku memancarkan kekaguman. A--h ada ya rumah semegah istana negara yang tak terungkap media seperti ini?
Sementara mobil Ayah berhenti. “Selamat malam Prof. Harun Suryawan.”
Pria paruh baya berwajah bule membantu membuka pintu Ayah.
“Selamat malam Khalik.”
“Nyonya besar sudah menunggu di ruang keluarga.”
"Baik, terima kasih Khalik, ayo."
Pria bertubuh tinggi tadi, menyapa kami dengan membungkukkan tubuhnya. Menyambut kedatangan kami secara resmi diikuti pelayan lain, layaknya menyambut tamu negara tepat di depan pintu rumah mewah itu.
Perasaanku tidak nyaman. Seperti biasa, rasa cemas mengganggu pikiranku jika bertemu dengan orang-orang di lingkungan baru. Sorot mata mereka seakan tertuju pada sosok paling besar diantara barisan kami.
A—h, tolong aku lapar, teriak cacing di dalam perutku. Mereka menggeliat meminta segera di puaskan.
Risih, inginnya aku pergi dari sini, tetapi langkah kaki ini tetap mengikuti arah si kepala pelayan hingga sampai di dalam lift besar berlapis emas penuh kaca, yang terbuka di kedua sisinya.
Oh tidak, muatkah lift ini, kalo ditambah lagi dengan tubuh seberat tronton di dalamnya?
“Ayo Mikha, tunggu apa lagi?”
“Aya–h, aku tunggu giliran berikutnya saja.”
“Mari nona, lift ini bisa menampung berat 1 Ton sekaligus,” ucap pak Khalik mantap meyakinkan.
Perasaan gugup tadi seketika hilang, kala pria itu menuntunku masuk dengan penuh kelembutan.
Pun, Jihan sampai memutar bola matanya. Kesal dan Jengah, kenapa aku tidak di tinggal saja di pinggir jalan kalau hanya akan mempermalukan kehormatan Ayah saja pada akhirnya.
Muak, begitulah aku menelaah arti sorot mata yang tak mau kalah menyerang dari Jenar, ibu tiriku.
"Selamat malam tante Nirmala, tante awet muda lo?"
"Terima kasih, selamat malam Harun, bagaimana kabarmu?"
"Alhamdulillah, baik tante."
Hangat, suasana ruang keluarga Warren setelah melihat kedekatan Ayah dengan Nirmala Warren.
"O--h aku baru tahu anak gadis mu jadi bertambah tiga orang?"
Aura bangsawan terpancar alami dari sosok Nirmala Warren yang kini berdiri dengan anggun. Menunduk penuh keraguan, itu yang bisa aku lakukan saat pandangan beliau sampai kepadaku.
Pasrah, resah, gelisah bercampur menjadi satu sampai-sampai kain rokku terangkat sebelah, saking kerasnya jemariku meremas.
Perempuan renta yang masih terlihat sisa kecantikannya itu menatap kami bertiga dengan tanya. Apa nenek sudah lupa dengan wajahku? Wajar, pertemuan keluarga kami terjadi saat aku berumur 13 tahun, sedangkan Gabriel sudah berusia 25 tahun, usia kami terpaut 12 tahun.
Gabriel pernah mencubit gemas pipiku yang gembul, hingga aku menangis dan melarikan diri dari pertemuan itu. A-h, apaan sih? Menerawang jauh, otakku tiba-tiba memikirkan kejadian 5 tahun yang lalu.
"Perkenalkan tante, ini Jenar istri saya, Jihan putri tertua kami, dan Mikha putri bungsu kami."
"Langsung saja Harun, anak perempuanmu yang ada di dalam kontrak pernikahan itu yang mana?"
Bergegas, Nirmala tak mau membuang-buang waktu lagi. Wanita itu memilih untuk tak banyak bicara. Sikap tegas dan menuntut dari beliau, membuat Jenar dan jihan ingin menghindar, tak mampu memprovokasi keadaan.
"O-h ini tante, Mikhaela, Mikhaela yang seharusnya dijodohkan dengan Gabriel, tante?"
"Tetapi, putri sulung kami Jihan, saya rasa lebih pantas bersanding dengan Gab----"
"Cukup! Aku tidak mau merubah keinginan dari mendiang orang yang kita sayang seenak kamu Harun!"
Terpaksa Ayah menerima keputusan nenek tanpa bisa menyela lagi, meski beliau sebenarnya merasa tak enak hati.
Ya--h apa boleh buat, perjodohan tetap dilakukan sesuai kontrak yang sudah disepakati, bukannya main tukar-menukar peserta perjodohan seenaknya demi memenuhi keinginan sendiri.
"Mas, aku dan Jihan sebaiknya pergi dari sini," pamit Jenar dengan wajah tak puas.
"Ya papa kita pulang dulu, Jihan yakin calon suami Mikha akan langsung jatuh cinta, apalagi dengan bentuk tubuhnya, mari nenek Nirmala kami permisi pulang."
Menyayat hati, sindiran itu menusuk sampai ke pori-pori. Tak berselang lama, tercapailah kesepakatan antara Ayah dan Nirmala Warren.
"Mikha, bagaimana menurutmu penampilan cucuku?" tanya nenek antusias.
"Hmm."
Terpukau, mata ini tak sanggup mengalihkan pandangan dari penampakan pria yang bergaya bak supermodel di ponsel nenek.
Kini aku tahu kenapa Jihan dan Jenar terus-menerus menyindirku.
"Sayang, Mikha apa kamu keberatan nak?"
Kelu lidah ini, apa aku diperbolehkan mengatakan pendapatku sesuka hati? Mau tampan, atau jelek aku tetap membutuhkan perjodohan ini demi keluar dari rumah Ayah.
Semburat kemerahan menyeruak dari wajahku. "Bagus kalo kamu suka dengan Gabriel, karena Gabriel juga menyukaimu."
Sekujur tubuh ini meremang, aku cubit pipiku sendiri untuk meyakinkan diri. Apakah akhirnya aku bisa merasakan kebahagiaan ibu?
Di balik ruang meeting, aku menunggu prosesi pernikahan dengan degup jantung berlarian.
Kedua keluarga sepakat menyewa ruangan tak seberapa luas untuk di dekor sesuai adat istiadat Jawa Barat, toh hanya pihak kedua keluarga saja yang hadir.
Bahkan Jenar dan Jihan menolak untuk mengikuti prosesi akad.
"Saya nikahkan Mikhaela Alova Suryawan binti Harun Suryawan dengan mas kawin uang tunai senilai 1 miliar rupiah dibayar tunai," ucap Ayah terlebih dulu.
"Saya terima nikahnya Mikhaela Alova Suryawan binti Harun Suryawan di bayar tunai!" Pekik Gabriel lancar, mulus bebas hambatan.
"Bagaimana saksi?" tanya Penghulu pada ketiga saksi di hadapannya.
"Sah!"
Akad pernikahan baru selesai digelar. Carut marut, pikiranku melayang jauh ke angkasa. Ibu, andai engkau disini, kebahagiaan ini akan semakin sempurna.
Terdengar samar suaranya di telingaku saat aku sudah berada di dalam kamar mandi pengantin. "A--h capeknya."
Gabriel terduduk sambil menatap ke seluruh sudut kamar yang penuh hiasan bunga mawar merah, begitu indah.
Nekat aku keluar dari kamar mandi dengan meminta bantuan pria ini untuk membuka kaitan kebaya yang susah payah di selesaikan oleh tangan montok ini sendiri.
"Ma-af mas, permisi, bisa bantu membuka kancing bagian belakang kebaya ini?"
Tubuh jangkung itu seketika berdiri dari posisi nyamannya, Gabriel terperanjat.
Aku semakin yakin bahwa pria ini tidak menginginkanku menjadi istrinya setelah kakinya mundur beberapa langkah. Sadar posisi, kekhawatiran ini akhirnya terjadi.
"Siapa kamu!"
"Sa——-ya, is-tri mas."
Kecewa, kenapa aku harus percaya dengan pujian palsu yang nenek katakan padaku tadi malam? Pria paripurna ini jelas-jelas tidak akan pernah mau menerima perbedaan fisik kami yang begitu timpang.
"A--pah? Bukan seperti ini wanita yang ku inginkan menjadi istriku!"
"Tu--nggu mas-mas!"
Buram pandangan, membuat tatapanku menajam melihat plafon kamar. Dimana ini? A---h pinggangku sakit, yang pasti bukan karena kehilangan keperawanan di malam pertama.Yah kehilangan suami lebih tepatnya. Susah payah aku angkat tubuh ini untuk berdiri setelah terdengar ketukan di daun pintu kamar."Sebentar!"Secercah harapan melintas, apakah pria itu akhirnya bertekad kembali kemari untuk meminta maaf? Namun, balon harapan itu meletus seketika, saat seorang pria mengaku sebagai pelayan hotel membawa troli penuh makanan berlemak, yang kesemuanya adalah menu favoritku."Silahkan sarapannya nona," ucap pria itu seraya menunduk. Sepertinya, bentuk tubuh ini, sudah tak layak dipandang oleh siapa saja ya, bahkan untuk di lihat oleh pelayan sekali pun."Terima kasih taruh saja di sana.""Kalo butuh apa-apa nona tinggal mendial angka 0 dari telpon hotel itu." Tunjuk pria itu ke arah nakas di dekat tempat tidur."Baik."Meronta, cacing-cacing di dalam perut menuntut tambahan nutrisi. Lagi? Aku
4 tahun kemudian, aku kembali sebagai Cinta Graciela, pengacara termuda dengan segudang prestasi membanggakan dalam kasus-kasus berat yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar.Merubah identitas adalah salah satu keahliannya sebagai aparat hukum. Lantas, semua hal yang berkaitan dengan hal Ini termasuk ijazah dari mulai Sekolah Dasar sampai S2 tercetak nama baru ini dengan sempurna.Entahlah, nama Mikhaela selalu mengingatkan pada hal-hal buruk. Menghampiri seperti momok yang memicu trauma tak berkesudahan.Hari ini pertama kali aku berkunjung ke pusat, setelah 2 tahun berhasil membesarkan kantor cabang advokat milik atasan, di kota Bandung.Kota tempatku bertekad untuk membenahi diri sambil menempuh kuliah di sekolah tinggi ilmu hukum, yakni Bandung Law School University.Law Offices Hardiman Sibarani and Associates. Aku dikirim kemari karena pak Hardiman kekurangan tenaga ahli dengan jumlah klien yang terus bertambah."Ella, selamat datang."Senyum pasta gigi disuguhkan oleh pak
Beberapa saat yang lalu, langkah kaki ini tetiba ingin mengurangi kecepatan. Tak sengaja telinga ini mencuri dengar pembicaraan keluarga harmonis itu sebelum berangkat menyusul ke pertemuan klien."Sayang , apakah Hardiman itu, salah satu mahasiswa kamu juga?" tanya Jenar seraya menuntaskan minuman yang Mirna suguhkan.Jihan tampak mendengarkan dengan seksama percakapan itu."Ada apa sih mah, Aku tahu kalian berdua bukan penasaran ama Hardiman kan?"Senyum Ayah mengartikan maksud di balik pertanyaan yang dilontarkan Jenar."Iy--a Pah apa wanita muda yang Papa temui itu, juga pengacara disana?" Tanya Jihan tak sabar."Iya, dia lulusan S2 termuda, murid Hardiman dengan segudang prestasi membanggakan, yang berpengalaman membereskan persoalan hukum perusahaan bermasalah."Jenar dan Jihan saling bicara dengan tatap mata. "Lalu kenapa papa menemui wanita muda itu pah?"Keduanya kompak berseru serempak. Tak ayal sang profesor hukum itu, terkekeh. "Ingin hati bertemu Mikhaela disana, e--h ta
Pria yang bernama Gabriel itu raib setelah mobil mewah menjemputnya. Sedangkan raut wajah atasanku malah semakin sumringah. Beliau terkekeh menertawakan reaksiku yang terhenyak saat Gabriel dengan nada bicara bengis bin menyakitkan tiba-tiba pergi dengan alasan aku sudah menyia-nyiakan waktunya.A--h-aa aku jadi ingin bertepuk tangan di hadapan pria paling arogan yang pernah aku temui di muka bumi ini. Bravo bravo lagi-lagi andalah pemenangnya--- Sudahlah lebih baik kita kembali membahas persoalan perusahaan pria itu dulu."Jadi begini, ini berkas Warren Group cabang indo, dan berbagai temuan-temuan audit keuangan perusahaan yang mencurigai adanya korupsi dana milyaran rupiah oleh saudara Daniel Halim, teman sekaligus direktur keuangan yang menjabat saat itu.""Na--h kan emang saya belum tahu duduk permasalahannya ya pak?""El, Tuan Gabriel memang begitu orangnya, dia anti melakukan pertemuan bisnis dengan siapa saja sampai berjam-jam lo biasanya, kamu pengecualian El.""Bagaimana sih
Malunya bukan main. Sontak dada yang tadinya membusung tanpa ragu ini, aku tutupi dengan kedua tanganku. Untungnya, Gabriel menahan lift itu agar aku bisa keluar dari sana.Haruskah aku menceburkan diri ke laut saja, agar besok aku tidak perlu ketemu lagi dengan pria itu. Wajahku memerah bukan karena menahan berak, tetapi kejadian yang lebih memalukan dari ketahuan cepirit di celana saat SD sedang terjadi sekarang.Aku usap berulang kali wajahku. Bertindak kekanakan, selalu aku kejadian saat bertemu dengan orang paling dingin yang pernah ada di bumi ini. Kenapa kami harus di pertemukan lagi ya Tuhan? Kesal bukan main aku dibuatnya."Tunggu!"Parahnya lagi. Makhluk keji itu, ternyata mengejarku dari belakang lalu, melepas bathrobenya untuk menutupi tubuhku. Tanpa berkata-kata, pria itu raib begitu saja entah kemana."A----k!"Wajahku memerah. Aku tak sadar kalo kondisiku tidak cukup normal untuk bertemu dengan seorang klien. Apalagi klien itu laki-laki. Ditambah lagi... a---h sudahla
Raib, Gabriel pergi dari pandangan setelah mengantarku. Alhasil persidangan berjalan sesuai dengan petunjuk yang di berikan pak Hardiman. Terperangah, saksi, terdakwa serta para peserta persidangan melihatku begitu tegas dan lugas membawa persidangan itu menuju ke kesimpulan yang tidak disangka-sangka, yakni kebenaran baru dimana praduga tak bersalah di unggulkan.Saat ini, aku bertindak sebagai pengganti pengacara Katarina, senior di kantor pusat yang berhalangan hadir. Semoga hasil ini bisa meringankan sedikit pekerjaannya. "Mbak Ella, ada yang mau kenalan," bisik Mirna di telinga, membuatku menengok ke arah tangan Mirna mengarahkan."Halo Cinta, aku Erfan Aditya," ucap pria berkumis tipis, tampak sopan menyodorkan tangan kanannya untuk ku jabat. "Halo juga.""Aku terpukau melihat penampilan perdana kamu tadi, kelihatan sih kamu udah piawai menngusut kasus-kasus serupa?""Saya masih belajar kok, terima kasih atas pujiannya, senang berkenalan dengan anda sekali lagi."Entah kenapa k
Copot jantung, aku mendorong tubuhnya kala kepala ini menimpa kepalanya, hingga bibir kami tak sengaja bertemu. A----h kacau sekali!Jalan tempat aku berdiri tadi adalah jalan turunan sedangkan Gabriel masih berjalan mendekat ke arahku yang sedikit naik diatasnya. Dia menangkap cepat tubuhku saat ku rengkuh lehernya setelah bahu ini terhantam benda keras sekali."Kamu nggak apa-apa?"Tanyanya saat menangkap semburat merah darii wajah ini. Aku sampai meringis menahan nyeri di tengkukku, membuat pria itu berlagak panik. Apa iya dia khawatir?"Tidak pak saya baik-baik saja. Bapak sebaiknya per--""Oke."Dia memotong ucapanku dan mantap meninggalkanku. Sudah begitu saja, seenaknya dia masuk ke pintu ruangan tepat di sebelah apartemenku. Aku harus kroscek ke Berta perihal ini. Kok bisa Gabriel tinggal selantai denganku? Ini nggak bisa di biarkan!Mondar-mandir menunggu panggilanku diangkat oleh Bertha. Tidak sabar, diri ini meluruskan semuanya. Pindah saja, protesku jika benar Gabriel ti
Menyebalkan dan menjengkelkan itulah yang kurasa saat jalan berdua seperti ini. Aku merasa selama perjalanan lawan bicaraku itu benda mati. Sebelas dua belas dengan tembok, hanya tampak tapi datar sekali.Ternyata tepat di belakang hotel ada tempat lesehan yang menjual makanan seperti karedok, kerak telor, soto betawi, bebek sambel korek, lele, gado-gado, bakso. Sontak air liurku meluber kemana-mana."Jangan sampai bapak pilih tempat ini karena saya yang traktir? Hanya saja baju saya nggak cocok kalau harus makan di tempat high class seperti tadi, bapak harus tahu itu."Pria itu tak mendengarkan omelanku dengan memanggil pemilik warung untuk datang ke meja kami. "Waaah den Gabriel, tumben bawa bidadari, silahkan neng gelis, mau pesan apa atuh?""Gurame bakar pake sayur mentah sama sambal terasi pak super pedes ya?""Kalo den Gabriel?""Saya menu biasa pak." ucapnya seraya tersenyum simpul pada mang Sadeli."Kira-kira pria terkaya no 5 di negeri ini mau makan apa di tempat seperti ini?