Beberapa saat yang lalu, langkah kaki ini tetiba ingin mengurangi kecepatan. Tak sengaja telinga ini mencuri dengar pembicaraan keluarga harmonis itu sebelum berangkat menyusul ke pertemuan klien.
"Sayang , apakah Hardiman itu, salah satu mahasiswa kamu juga?" tanya Jenar seraya menuntaskan minuman yang Mirna suguhkan.
Jihan tampak mendengarkan dengan seksama percakapan itu.
"Ada apa sih mah, Aku tahu kalian berdua bukan penasaran ama Hardiman kan?"
Senyum Ayah mengartikan maksud di balik pertanyaan yang dilontarkan Jenar.
"Iy--a Pah apa wanita muda yang Papa temui itu, juga pengacara disana?" Tanya Jihan tak sabar.
"Iya, dia lulusan S2 termuda, murid Hardiman dengan segudang prestasi membanggakan, yang berpengalaman membereskan persoalan hukum perusahaan bermasalah."
Jenar dan Jihan saling bicara dengan tatap mata. "Lalu kenapa papa menemui wanita muda itu pah?"
Keduanya kompak berseru serempak. Tak ayal sang profesor hukum itu, terkekeh. "Ingin hati bertemu Mikhaela disana, e--h tak tahunya aku harus mengirim pesan pada temannya itu, ya sudah-lah apa boleh buat, si Mikha juga pasti lagi sibuk."
Aku mengelus dada ini. Tak menyangka, ternyata Ayah selalu berada di pihakku di belakangku.
"O--h jadi wanita muda itu temannya si Mikha sayang? Kok bisa si Mikha punya teman se-modis dan secantik itu?"
Belum siap, aku menunjukkan sisi seperti ini.
"Mamah, menurut mamah wanita muda tadi ada kemiripan tidak dengan Mikha?"
Aku tahu Ayah sengaja memancing keduanya. Belum saatnya aku membalas sakit hatiku yang aku telan sendiri selama ini.
Jihan dan Jenar terkekeh bersama hingga terpingkal-pingkal. Pun, aku yakin Ayah jadi tahu bagaimana jalan pikiran dua manusia ini terhadap putri kandungnya.
Sembari masih memegangi perut. "Buka blokir telpon ini mah, kasihan Mikha, tidak pernah bisa menghubungi ayahnya sendiri."
A---h mata ini membelalak. Ternyata seperti itu jalan ceritanya. Pantas saja aku selalu kesulitanmenghubungi Ayahku sendiri.
Jenar dan Jihan tak lagi tertawa setelah mendengar kata blokir. Sepertinya Jenar memang sengaja menjauhkan aku dari Ayah, hingga kesalahpahaman yang tak beralasan terpaksa terjadi antara kami.
Pria tua pakar ilmu hukum di indonesia itu memang tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya, tetapi berbeda jika itu mengenai teknologi, terutama hape yang sering tergeletak di sembarang tempat, apalagi kalo kesibukannya sampai menyita waktunya, menandatangani berkas-berkas universitas saat menjabat sebagai Rektor aktif dulu.
Selebihnya pria itu tidak tahu menahu, fungsi sebenarnya dari hape itu, apalagi ada fitur untuk memblokir panggilan.
Setahu Ayahku, dirinya tidak cukup memiliki musuh untuk main blokir-blokiran dengan koleganya. Pertengkaran dengan aku, membuat pria sepuh itu sedikit terketuk hatinya untuk memeriksa ke dalam ponsel.
"A--h pah, Jihan juga kapan di bukakan kantor sendiri sih pah?"
Jihan pintar membaca situasi. Wanita itu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, agar Ayah tak tersulut emosi karena ulahnya dan ibunya
"Jihan, kamu sudah cukup umur untuk melamar pekerjaan pertamamu menjadi pengacara. Setidaknya tunjukan pada papah kalo kamu bisa memenangkan satu kasus terlebih dulu."
"Kantor advokat itu bisa di buka dengan syarat pengacara tersebut harus mengantongi ijin dari Asosiasi Advokat Indonesia, yang mana ada syarat yang harus kamu jalankan sebelum membuka kantor sendiri!"
"Syaratnya apa saja pah?"
Ayah tersenyum miring. "Kurangi kebiasaan belanja dan foya-foya kamu dulu nak, mulailah melamar kerja, papa ke kamar dulu."
Ayah pamit undur diri dulu untuk mengistirahatkan otaknya yang sudah mengalami banyak hal hari ini. Yang pasti pria sepuh itu pasti lega jika keadaanku sekarang jauh dari kata baik-baik saja. Bahkan pencapaian aku jauh di luar ekspektasinya, walau tak pernah sedikit pun keluar kata pujian untukku sampai detik-detik terakhir perjumpaan kita.
Di usia 22 tahun aku sudah menyelesaikan sekolah S2 nya dengan sangat singkat. Sukses mengantongi Segudang prestasi dan pengalaman menyelesaikan masalah hukum perdata dan pidana perusahaan, itu baru pencapaian yang memuaskan dan patut diacungi jempol.
~
Lanjutan kejadian di Le Meridien Cafe...
“Ma-af Pak, saya permisi ke Toilet dulu.”
Aku hanya melirik tanpa menjabat tangan pria itu. Tenang El, kamu pasti bisa menghadapi ini semua.
Cermin di depan ini siap sedia menjawab kegelisahan. Cantik, satu kata yang keluar dari bibir setiap wanita yang melintas, belum lagi laki-laki.
Ingatlah, selama 2 tahun menjadi manusia baru, semua orang lebih menghargaiku, menyambutku dengan tangan terbuka. Itu yang harus terpatri di benak ini bukan? Hanya kepercayaan diri masih di bawah rata-rata.
Langkah kaki seorang pria semakin lama semakin dekat setelah semenit yang lalu, aku keluar dari kamar mandi.
“Ella?”
“Dony? Kamu di Jakarta?”
“Ya—h begitulah, bagaimana kabar neng geulis satu nih?”
“Baik, Alhamdulillah.”
“Gabung yuk, aku lagi kumpul ama temen-temen seangkatan kita, masih banyak yang belum lulus ternyata.“
“Sorry, lain kali aja aku ikutan, udah ditunggu client disana?”
“Denger-denger kamu makin sukses jadi pengacara Pak Hardiman ya? Bagi-bagi kunci sukses dong El?”
“Alhamdulillah, meski nggak mudah di awal-awal karir, lama-lama udah kebiasa ama ritmenya, kamu pasti bisa kok?”
Kenapa belakang leher ini rasanya panas ya? Memang sih leher jenjang ini terbuka karena rambut panjangku aku kepang kuda, panas jakarta saat ini bisa mencapai 36 derajat, apalagi cafe ini, outdoor. Tak tahunya sorot mata pria bernama Gabriel Warren itu menatap tajam sambil sesekali melihat pukul berapa sekarang di jam tangannya. Gawat!
"Don aku harus segera kembali ke tempat Pak Hardiman dan Klienku.”
"Okay-okay El, jangan sampai klien kamu ngambek deh?"
"A--ha, bisa-- aja."
"Bye, Ella!"
Sifatku dulu sangat introvert, tidak mudah bergaul, tidak percaya diri, suka menyendiri, tidak punya banyak teman, berubah menjadi sosok ceria, terbuka, dan memiliki banyak teman, tetapi kebanyakan temanku itu laki-laki.
Tak sedikit dari mereka menganggap keramahanku sebagai rasa suka. Namun, aku sudah mengatakan dari awal, bahwa aku sudah menutup hatiku untuk hal yang berkaitan dengan cinta. Jadi kalau hanya sebatas teman, boleh saja, tetapi kalo lebih dari itu, ya mohon maaf.
"Ma-af sudah banyak menyita waktu anda pak, saya Cinta Graciella," ucapku seraya mengangguk tanpa menjabat tangannya.
Pria itu tampak memperhatikan tangan kanannya dengan wajah datar tanpa tersenyum seperti biasanya. Entah kenapa tatapannya yang tajam membuat sekujur tubuh ini seperti di lubangi layaknya tombak yang menghunus lekat-lekat hingga menembus ke sumsum tulang belakang.
"Beliau bilang, kalo kamu itu pasti populer di kalangan pria El?" seru atasanku dengan senyum yang selalu menghiasi setiap perkataannya, begitu baik dan bijaksana, begitulah aku menggambarkan sifat pak Hardiman, sungguh bertolak belakang pria yang berhadapan denganku ini.
"A--h tidak juga pak, itu tadi teman-teman kampus saya, kebetulan lagi ngumpul."
"Jad-i apa kamu sudah ada waktu sekarang?"
Bibir itu akhirnya bersuara. Suara orang yang sama yang menceraikanku 4 tahun yang lalu. Aku tahu perjodohan itu bukanlah salahnya. Kami hanya korban perjanjian lama para tetua yang berikrar memiliki keturunan dari persahabatan keluarga Warren dan Suryawan.
"Ya--h apa perusahaan bapak sedang mengalami masalah yang bisa kami usut untuk diperkarakan?"
Bergegas, pria dingin itu mengenakan kaca mata hitamnya dengan beranjak dari kursi, lalu mengancingkan lagi blazernya.
"Pengacara kamu belum siap Hardiman, aku pergi dulu, dia sudah membuang 2 jam waktuku hanya untuk basa basi!"
"A---h?"
Pria yang bernama Gabriel itu raib setelah mobil mewah menjemputnya. Sedangkan raut wajah atasanku malah semakin sumringah. Beliau terkekeh menertawakan reaksiku yang terhenyak saat Gabriel dengan nada bicara bengis bin menyakitkan tiba-tiba pergi dengan alasan aku sudah menyia-nyiakan waktunya.A--h-aa aku jadi ingin bertepuk tangan di hadapan pria paling arogan yang pernah aku temui di muka bumi ini. Bravo bravo lagi-lagi andalah pemenangnya--- Sudahlah lebih baik kita kembali membahas persoalan perusahaan pria itu dulu."Jadi begini, ini berkas Warren Group cabang indo, dan berbagai temuan-temuan audit keuangan perusahaan yang mencurigai adanya korupsi dana milyaran rupiah oleh saudara Daniel Halim, teman sekaligus direktur keuangan yang menjabat saat itu.""Na--h kan emang saya belum tahu duduk permasalahannya ya pak?""El, Tuan Gabriel memang begitu orangnya, dia anti melakukan pertemuan bisnis dengan siapa saja sampai berjam-jam lo biasanya, kamu pengecualian El.""Bagaimana sih
Malunya bukan main. Sontak dada yang tadinya membusung tanpa ragu ini, aku tutupi dengan kedua tanganku. Untungnya, Gabriel menahan lift itu agar aku bisa keluar dari sana.Haruskah aku menceburkan diri ke laut saja, agar besok aku tidak perlu ketemu lagi dengan pria itu. Wajahku memerah bukan karena bahan berak tapi kejadian yang lebih memalukan dari ketahuan bab di celana saat SD. Aku usap berulang kali wajahku. Bertindak kekanakan, selalu aku lakukan saat bertemu dengan orang paling dingin yang pernah ada di bumi ini. Kenapa kami harus di pertemukan lagi ya Tuhan kenapa? Kesal bukan main aku dibuatnya."Tunggu!"Parahnya lagi. Makhluk keji itu, ternyata mengejarku dari belakang lalu, melepas bathrobenya untuk menutupi tubuhku. Tanpa berkata-kata, pria itu raib begitu saja entah kemana."A----k!"Wajahku memerah. Aku tak sadar kalo kondisiku tidak cukup normal untuk bertemu dengan seorang klien. Apalagi klien itu laki-laki. Ditambah lagi... a---h sudahlah!"Ella, gue udah nginge
Sore itu aku duduk di meja makan bersama dengan Jenar, ibu tiriku dan anaknya yang lebih tua 4 tahun dariku, Jihan.Menunggu ayah pulang bekerja, makanan spesial sudah terhidang. Sengaja, aku yang memasaknya untuk merayakan pencapaianku yang mampu lulus SMA dengan nilai memuaskan.Tak berselang lama, ayahku tiba dan langsung tersenyum seraya memelukku. "Selamat ya Mikha, kamu sudah membuat Ayah bangga."Meski tangan ayah tidak sampai mengelilingi tubuhku yang besar, perasaan hangat terasa menyeruak ke dalam lubuk hatiku.Bagaimana tidak, ayah adalah orang yang begitu dihormati di dunia pendidikan. Tentu, mendapatkan apresiasinya adalah sebuah kesenangan tersendiri untukku."Terima kasih, Yah," jawabku dengan senyum tersipu.Mataku seketika berbinar. Namun hal itu tak berlangsung lama, saat dua orang wanita di hadapan kami menatapku dengan remeh.Dialah Jenar dan Jihan, dua makhluk yang jauh lebih sempurna dariku dalam penampilan fisik.Tidak sepertiku yang memiliki tubuh seperti gajah
Keesokan harinya, kami sekeluarga sampai di depan pagar menjulang, di kediaman keluarga Warren tepatnya.Cerah, suasana langit malam itu bertaburan bintang, turut bergerak mengiringi laju mobil Ayah yang masuk ke dalam halaman depan, membentang sangat luas. Bahkan, rumah Ayah tidak ada seperempatnya.Takjub, mataku memancarkan kekaguman. A--h ada ya rumah semegah istana negara yang tak terungkap media seperti ini?Sementara mobil Ayah berhenti. “Selamat malam Prof. Harun Suryawan.”Pria paruh baya berwajah bule membantu membuka pintu Ayah.“Selamat malam Khalik.”“Nyonya besar sudah menunggu di ruang keluarga.”"Baik, terima kasih Khalik, ayo."Pria bertubuh tinggi tadi, menyapa kami dengan membungkukkan tubuhnya. Menyambut kedatangan kami secara resmi diikuti pelayan lain, layaknya menyambut tamu negara tepat di depan pintu rumah mewah itu.Perasaanku tidak nyaman. Seperti biasa, rasa cemas mengganggu pikiranku jika bertemu dengan orang-orang di lingkungan baru. Sorot mata mereka s
Buram pandangan, membuat tatapanku menajam melihat plafon kamar. Dimana ini? A---h pinggangku sakit, yang pasti bukan karena kehilangan keperawanan di malam pertama.Yah kehilangan suami lebih tepatnya. Susah payah aku angkat tubuh ini untuk berdiri setelah terdengar ketukan di daun pintu kamar."Sebentar!"Secercah harapan melintas, apakah pria itu akhirnya bertekad kembali kemari untuk meminta maaf? Namun, balon harapan itu meletus seketika, saat seorang pria mengaku sebagai pelayan hotel membawa troli penuh makanan berlemak, yang kesemuanya adalah menu favoritku."Silahkan sarapannya nona," ucap pria itu seraya menunduk. Sepertinya, bentuk tubuh ini, sudah tak layak dipandang oleh siapa saja ya, bahkan untuk di lihat oleh pelayan sekali pun."Terima kasih taruh saja di sana.""Kalo butuh apa-apa nona tinggal mendial angka 0 dari telpon hotel itu." Tunjuk pria itu ke arah nakas di dekat tempat tidur."Baik."Meronta, cacing-cacing di dalam perut menuntut tambahan nutrisi. Lagi? Aku
4 tahun kemudian, aku kembali sebagai Cinta Graciela, pengacara termuda dengan segudang prestasi membanggakan dalam kasus-kasus berat yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar.Merubah identitas adalah salah satu keahliannya sebagai aparat hukum. Lantas, semua hal yang berkaitan dengan hal Ini termasuk ijazah dari mulai Sekolah Dasar sampai S2 tercetak nama baru ini dengan sempurna.Entahlah, nama Mikhaela selalu mengingatkan pada hal-hal buruk. Menghampiri seperti momok yang memicu trauma tak berkesudahan.Hari ini pertama kali aku berkunjung ke pusat, setelah 2 tahun berhasil membesarkan kantor cabang advokat milik atasan, di kota Bandung.Kota tempatku bertekad untuk membenahi diri sambil menempuh kuliah di sekolah tinggi ilmu hukum, yakni Bandung Law School University.Law Offices Hardiman Sibarani and Associates. Aku dikirim kemari karena pak Hardiman kekurangan tenaga ahli dengan jumlah klien yang terus bertambah."Ella, selamat datang."Senyum pasta gigi disuguhkan oleh pak