Share

Pertemuan Part 2

Beberapa saat yang lalu, langkah kaki ini tetiba ingin mengurangi kecepatan.  Tak sengaja telinga ini mencuri dengar pembicaraan keluarga harmonis itu sebelum berangkat menyusul ke pertemuan klien.

"Sayang , apakah Hardiman itu, salah satu mahasiswa kamu juga?" tanya Jenar seraya menuntaskan minuman yang Mirna suguhkan.

Jihan tampak mendengarkan dengan seksama percakapan itu.

"Ada apa sih mah, Aku tahu kalian berdua bukan penasaran ama Hardiman kan?"

Senyum Ayah mengartikan maksud di balik pertanyaan yang dilontarkan Jenar.

"Iy--a Pah apa wanita muda yang Papa temui itu, juga pengacara disana?" Tanya Jihan tak sabar.

"Iya, dia lulusan  S2 termuda, murid Hardiman dengan segudang prestasi membanggakan, yang berpengalaman membereskan persoalan hukum perusahaan bermasalah."

Jenar dan Jihan saling bicara dengan tatap mata. "Lalu kenapa papa menemui wanita muda itu pah?"

Keduanya kompak berseru serempak. Tak ayal sang profesor hukum itu, terkekeh. "Ingin hati bertemu Mikhaela disana, e--h tak tahunya aku harus mengirim pesan pada temannya itu, ya sudah-lah apa boleh buat, si Mikha juga pasti lagi sibuk."

Aku mengelus dada ini. Tak menyangka, ternyata Ayah selalu berada di pihakku di belakangku.

"O--h jadi wanita muda itu temannya si Mikha sayang? Kok bisa si Mikha punya teman se-modis dan secantik itu?"

Belum siap, aku menunjukkan sisi seperti ini. Tidak, tidak sekarang.

"Mamah, menurut mamah wanita muda tadi ada kemiripan tidak dengan Mikha?"

Aku tahu  Ayah sengaja memancing keduanya. Belum saatnya aku membalas sakit hatiku yang aku telan sendiri selama ini.

Jihan dan Jenar terkekeh bersama hingga terpingkal-pingkal. Pun, aku yakin Ayah jadi tahu bagaimana jalan pikiran dua manusia ini terhadap putri kandungnya.

Sembari masih memegangi perut. "Buka blokir telpon ini mah, kasihan Mikha, tidak pernah bisa menghubungi ayahnya sendiri."

A---h mata ini membelalak. Ternyata seperti itu jalan ceritanya. Pantas saja aku selalu kesulitanmenghubungi Ayahku sendiri. 

Jenar dan Jihan tak lagi tertawa setelah mendengar kata blokir. Sepertinya Jenar memang sengaja menjauhkan aku dari Ayah, hingga kesalahpahaman yang tak beralasan terpaksa terjadi antara kami.

Pria tua pakar ilmu hukum di indonesia itu memang tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya, tetapi berbeda jika itu mengenai teknologi, terutama hape yang sering tergeletak di sembarang tempat, apalagi kalo kesibukannya sampai menyita waktunya, menandatangani berkas-berkas universitas saat menjabat sebagai Rektor aktif dulu.

Selebihnya pria itu tidak tahu menahu, fungsi sebenarnya dari hape itu, apalagi ada fitur untuk memblokir panggilan.

Setahu Ayahku, dirinya tidak cukup memiliki musuh untuk main blokir-blokiran dengan koleganya. Pertengkaran dengan aku, membuat pria sepuh itu sedikit terketuk hatinya untuk memeriksa ke dalam ponsel.

"A--h pah, Jihan juga kapan di bukakan kantor sendiri sih pah?"

Jihan pintar membaca situasi. Wanita itu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, agar Ayah tak tersulut emosi karena ulahnya dan ibunya.

"Jihan, kamu sudah cukup umur untuk melamar pekerjaan pertamamu menjadi pengacara. Setidaknya tunjukan pada papah kalo kamu bisa memenangkan satu kasus terlebih dulu."

"Kantor advokat itu bisa di buka dengan syarat pengacara tersebut harus mengantongi ijin dari Asosiasi Advokat Indonesia, yang mana ada syarat yang harus kamu jalankan sebelum membuka kantor sendiri!"

"Syaratnya apa saja pah?"

Ayah tersenyum miring. "Kurangi kebiasaan belanja dan foya-foya kamu dulu nak, mulailah melamar kerja, papa ada janji dengan pak mentri untuk main golf bersama."

Ayah pergi setelah sedikit menyentil kelakuan ibu dan anak itu. Bertahap, waktu akhirnya membantu membuka mata Ayah dalam memperlakukan dua orang ibu dan anak yang gemar sekali menyudutkanku dulu. Mikhaela selalu mereka pandang bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa.

Bersyukur atas kerja kerasku, di usia 22 tahun aku sudah menyelesaikan sekolah S2 nya begitu singkat. Sukses mengantongi segudang prestasi dan  pengalaman menyelesaikan masalah hukum perdata dan pidana perusahaan, itu baru pencapaian yang  memuaskan dan patut diacungi jempol.

~

Lanjutan kejadian di Le Meridien Cafe...

“Ma-af Pak, saya permisi ke Toilet dulu.”

Aku hanya melirik tanpa menjabat tangan pria itu. Tenang El, kamu pasti bisa menghadapi ini semua.

Cermin di depan ini siap sedia menjawab kegelisahan. Cantik, satu kata yang keluar dari bibir setiap wanita yang melintas, belum lagi laki-laki.

Ingatlah, selama 2 tahun menjadi manusia baru, semua orang lebih menghargaiku, menyambutku dengan tangan terbuka. Itu yang harus terpatri di benak ini bukan? Hanya kepercayaan diri masih di bawah rata-rata.

Langkah kaki seorang pria  semakin lama semakin dekat setelah semenit yang lalu, aku keluar dari kamar mandi.

“Ella?”

“Dony? Kamu di Jakarta?”

“Ya—h begitulah, bagaimana kabar neng geulis satu nih?”

“Baik, Alhamdulillah.”

“Gabung yuk, aku lagi kumpul ama temen-temen seangkatan kita, masih banyak yang belum lulus ternyata.“

“Sorry, lain kali aja aku ikutan, udah ditunggu client disana?”

“Denger-denger kamu makin  sukses jadi pengacara Pak Hardiman ya? Bagi-bagi kunci sukses dong El?”

“Alhamdulillah, meski nggak mudah di awal-awal karir, lama-lama udah kebiasa ama ritmenya, kamu pasti bisa kok?”

Kenapa belakang leher ini rasanya panas ya? Memang sih leher jenjang ini terbuka karena rambut panjangku aku kepang kuda, panas jakarta saat ini bisa mencapai 36 derajat, apalagi cafe ini, outdoor. Tak tahunya sorot mata pria bernama Gabriel Warren itu menatap tajam sambil sesekali melihat pukul berapa sekarang di jam tangannya. Gawat!

"Don aku harus segera kembali ke tempat Pak Hardiman dan Klienku.”

"Okay-okay El, jangan sampai klien kamu ngambek deh?"

"A--ha, bisa-- aja."

"Bye, Ella!"

Sifatku dulu sangat introvert, tidak mudah bergaul, tidak percaya diri, suka menyendiri, tidak punya banyak teman, berubah menjadi sosok ceria, terbuka, dan memiliki banyak teman, tetapi kebanyakan temanku itu laki-laki.

Tak sedikit dari mereka menganggap keramahanku sebagai rasa suka.  Namun, aku sudah mengatakan dari awal, bahwa aku sudah menutup hatiku untuk hal yang berkaitan dengan cinta. Jadi kalau hanya sebatas teman, boleh saja, tetapi kalo lebih dari itu, ya mohon maaf.

"Ma-af sudah banyak menyita waktu anda pak, saya Cinta Graciella," ucapku seraya mengangguk tanpa menjabat tangannya.

Pria itu tampak memperhatikan tangan kanannya dengan wajah datar tanpa tersenyum seperti biasanya. Entah kenapa tatapannya yang tajam membuat sekujur tubuh ini seperti di lubangi layaknya tombak yang menghunus lekat-lekat hingga menembus ke sumsum tulang belakang.

"Beliau bilang, kalo kamu itu pasti populer di kalangan pria El?" seru atasanku dengan senyum yang selalu menghiasi setiap perkataannya, begitu baik dan bijaksana, begitulah aku menggambarkan sifat pak Hardiman, sungguh bertolak belakang pria yang berhadapan denganku ini.

"A--h tidak juga pak, itu tadi teman-teman kampus saya, kebetulan lagi ngumpul."

"Jad-i apa kamu sudah ada waktu sekarang?"

Bibir itu akhirnya bersuara. Suara orang yang sama yang menceraikanku 4 tahun yang lalu. Aku tahu perjodohan itu bukanlah salahnya. Kami hanya korban perjanjian lama para tetua yang berikrar memiliki keturunan dari persahabatan keluarga Warren dan Suryawan.

"Ya--h apa perusahaan bapak sedang mengalami masalah yang bisa kami usut untuk diperkarakan?"

Bergegas, pria dingin itu mengenakan kaca mata hitamnya dengan beranjak dari kursi, lalu mengancingkan lagi blazernya.

"Pengacara kamu belum siap Hardiman, aku pergi dulu, dia sudah membuang 2 jam waktuku hanya untuk basa basi!"

"A---h?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status