Malunya bukan main. Sontak dada yang tadinya membusung tanpa ragu ini, aku tutupi dengan kedua tanganku. Untungnya, Gabriel menahan lift itu agar aku bisa keluar dari sana.
Haruskah aku menceburkan diri ke laut saja, agar besok aku tidak perlu ketemu lagi dengan pria itu. Wajahku memerah bukan karena menahan berak, tetapi kejadian yang lebih memalukan dari ketahuan cepirit di celana saat SD sedang terjadi sekarang.
Aku usap berulang kali wajahku. Bertindak kekanakan, selalu aku kejadian saat bertemu dengan orang paling dingin yang pernah ada di bumi ini. Kenapa kami harus di pertemukan lagi ya Tuhan? Kesal bukan main aku dibuatnya.
"Tunggu!"
Parahnya lagi. Makhluk keji itu, ternyata mengejarku dari belakang lalu, melepas bathrobenya untuk menutupi tubuhku. Tanpa berkata-kata, pria itu raib begitu saja entah kemana.
"A----k!"
Wajahku memerah. Aku tak sadar kalo kondisiku tidak cukup normal untuk bertemu dengan seorang klien. Apalagi klien itu laki-laki. Ditambah lagi... a---h sudahlah!
"Ella, gue udah ngingetin elo tadi kan?"
"Gu--e nggak kedengeran kata-kata lo?"
Kami masuk ke apartemen yang baru aku sewa tadi untuk menenangkan degup jantungku.
"Sekarang ceritain El, jadi pak Gabriel itu?"
"Dia klien gue, e--h salah satu klien VVIP di kantor gue."
Gelagapan, mulut ini masih tidak bisa berbicara dengan normal. Berta tetiba terkekeh sampai terpingkal-pingkal melihat reaksiku yang kebingungan.
"Baru kali ini gue lihat si cantik Ella, salah tingkah, keki, cewek sempurna kek elo bisa tergopoh-gopoh gara-gara big boss gue?"
Berta masih saja memegangi perutnya sampai keluar air mata dari sudut matanya. Kamu salah Berta, aku bukan cewek sempurna seperti yang kamu bilang , tidak sama sekali. Aku masih sama, aku tetaplah Mikhaela yang penuh keragu-raguan, tetapi berusaha sekuat tenaga untuk berubah menjadi sedikit percaya diri.
Namun, dalam prakteknya aku masih sering melakukan kesalahan dan kecerobohan yang tidak perlu seperti tadi.
"H---a Ela, ela, ada-ada aja?"
"Orang itu emang omongannya selalu pedes gitu ya, sumpah deh, pegel banget gue!"
"E--h tapi kalian berdua serasi lo, satunya ganteng banget, satunya cantik banget?"
Terbatuk-batuk, air mineral dari dalam mulut ini sampai menyembur, berjatuhan ke lantai kamar.
"Sorry ya, gue anti ama cowok jahat kek begitu, h--i?"
"Ma---sa sih, awas jangan terlalu benci. Benci itu berbanding tipis dengan cinta."
"Nggak bakal! Udah a--h gue mandi dulu!"
~
Keesokan harinya di kantor Warren Group.
"Selamat siang, saya panggil mbak boleh?"
Theo berkata sopan, tidak selugas dulu. Sesekali melirik dan salah tingkah. Entahlah pria itu sangat serius dalam melakukan pekerjaannya setahuku. Kini, agak suka menggombal, hal yang tak kutemui dari pria ini 4 tahun yang lalu.
Ada saja yang dia bahas sedari tadi, aku jadi hilang konsentrasi. "Kalau pulpen itu habis tinta, abang bersedia memberi air mata abang sebagai penggantinya."
"A--h tintanya masih banyak kok pak."
Menanggapi senetral mungkin gombalan itu, itu yang bisa aku lakukan. Kening ini sampai mengernyit, kenapa orang ini tiba-tiba menjadi aneh.
Tak lama kemudian, Theo memenuhi suguhan berupa roti, cokelat, cemilan yang tak berani kusentuh sama sekali. Maaf, dulu memang kita sahabatan, tetapi kini kita sudah menjaga jarak, bye-bye makanan berlemak. Seruku dalam hati sambil menelan ludah.
Pilihanku jatuh pada air mineral dingin untuk membasahi tenggorokan ini agar tidak terlalu kering. "Maaf pak karena ada panggilan mendesak dari atasan saya, sebentar lagi Mirna asisten saya akan menggantikan mengkopi berkas yang masih tersisa." Sahutku setelah menerima pesan darurat dari kantor.
Wajah pria itu tampak kecewa. Kini raut muka Theo sudah tidak seceria tadi. "A--h jadi begitu?"
"Iya pak, rekan pengacara yang seharusnya jadi penasehat hukum berhalangan hadir di persidangan, jadi saya yang harus menggantikan."
"Nggak apa-apa mbak, pantes dari tadi napas aku kok sesek banget ya? E--h nggak tahunya separuh nafasku ada di kamu, Cinta Graciella, walau kamu pergi aku yakin kamu akan mencari separuh nafas itu dan kembali kemari sekali lagi. Yi-----haa!"
Bagaimana sebaiknya menghadapi orang ini? Pria serius itu berubah jadi pelawak dalam sehari. Jadi geleng-geleng kepala aku dibuatnya. Sorry, tapi aku bukan wanita yang supel, yang suka tersenyum untuk pria-pria sembarangan. Senyumku mahal, bukan picisan.
Theo menngantarku, sampai pintu lift memisahkan pandangannya yang tak berkedip terhadapku.
"Mbak cinta!" Seru Mirna memanggil dari lobby perusahaan yang hampir pailit itu. Kasihan sebenarnya, sebagian besar karyawan sudah dirumahkan, imbas penggelapan uang oleh Daniel Halim.
"Ya--h Mir, kamu naik ke lantai 25, ke ruang direktur executive ya, namanya Theowaldy Arifin."
"Siap mbak, oh ya mbak, tadi dapet salam dari Mas Brahma?"
"Ha--h siapa tuh?"
"Jaksa yang baru menduda mbak?"
"Ya sudah sono--h!" Jawabku seraya tak peduli dengan ucapan salam yang semakin hari semakin sering ku dengar dikirimkan untukku.
Mirna melesat cepat. Aku menjerit mengingatkannya lagi. "Jangan sampai ada yang keselip ya Mir, itu bukti-bukti pen--!"
Gubrak!
Berkas yang ku bawa jatuh ke lantai. Selalu saja, kenapa sih akhir-akhir ini aku jadi teledor banget?
Memungut satu persatu berkas yang tertimpa tubuh seseorang, yang hanya memperhatikan tanpa membantu mengumpulkan berkas-berkas yang berserakan di lantai ini. Padahal dia juga turut andil atas kejadian barusan kan?
"Nggak ngebantuin, malah merhatiin doang, aw--as sana-h sanah!" Seruku menghadap ke lantai sambil mengibaskan sepatunya tanpa melihat siapa gerangan pria itu.
Terpaksa aku tarik selembar kertas yang terinjak sepatu orang ini....."A--h ba--pak?"
Sontak mata kami bertemu, saat dia melepas kacamatanya. Sedari tadi ternyata aku harus berurusan dengan dia. Tolong-lah pergi saja, kenapa aku selalu dipertemukan lagi dengan Gabriel Warren dari semua orang?
"Permisi pak, maaf saya buru-buru." Aku pamit dengan jengah tanpa melihat wajahnya. Perasaan malu sisa semalam rasanya masih membekas di pori-pori wajahku. Memerah, sekujur tubuh ini meremang. Pria ini seperti mengandung aliran listrik, yang setiap saat bisa membuatku kesetrum mendadak.
Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang sedangkan persidangan akan di mulai 1 jam lagi. Cemas, apa dengan mengendarai mobil kantor ini aku bisa sampai tepat waktu? Kening ini sampai mengerut, panas terik matahari semakin membuat kondisi kejiwaan ini berantakan. Ditambah lagi pria menyebalkan ini kenapa kemari, apalagi salahku coba? "Kenapa bapak mengikuti saya?"
Bukan salah bunda mengandung kalau aku sampai menjerit di depannya. Mengikutiku sampai parkiran mobil, dan menghadang jalan di depan mobil kantor, apa orang ini sengaja, supaya aku di pecat ya!
"Yakin, nggak telat kalau pakai itu?" Tanyanya seraya memanggil seseorang. "Dono!"
Security tiba-mengantarkan motor sport serba hitam lengkap dengan dua helm dan 2 jaket kulit.
"Ini tuan."
"Hmm, kamu boleh pergi."
Dono, pria berseragam security tadi pergi setelah memastikan Gabriel menerima kunci motor dan pernak pernik tadi yang membuat bibirku menganga tak sanggup berkata-kata.
"A---pa maksudnya?"
"Naik!"
"Pak i-ni?"
Terpaksa aku pakai jaket kulit dan helm dari pria paling jahat se dunia itu. Kepala ini masih penuh dengan pertanyaan yang belum sempat terjawab. Kutegakkan tubuhku untuk tetap pada posisi tanpa pegangan hingga seseorang tiba-tiba menyeberang dan Gabriel menginjak rem mendadak, yang membuat kedua tanganku otomatis terkait ke perutnya.
Kita sampai di pengadilan tinggi tepat di pukul 1 lebih 45 menit, itu artinya persidangan akan di mulai 15 menit lagi. Dia buka helmnya, sedangkan helmku tersangkut dengan rambutku yang melilit kaitan gesper helm itu.
Kenapa aku selalu tampak bodoh di hadapannya sih, ya Tuhan, kapan aku bisa terbebas dari pria ini?
Untungnya pria tak banyak bicara ini tidak mengejekku lagi kali ini. Dia membantu melepas gasper itu dan mengeluarkan rambutku dari jaket kulit dengan lembut.
"Terima kasih pak, saya nggak tahu harus membal--"
"Ajak aku makan malam."
Jadi pria ini minta bayaran ya?
"Saya akan menghubungi pak Theo untuk ajakan makan malam it--?"
Selalu, belum selesai bicara, tiba-tiba dia rebut ponsel di tangan ini begitu saja.
"A---h?"
"Hubungi aku, kalau sudah selesai!"
Sudah begitu saja. Pria dingin bin kaku itu menghilang diterpa angin dalam sekejap mata setelah memberi nomor ponselnya. Ada ya pria suka main perintah begitu di dunia ini?
Raib, Gabriel pergi dari pandangan setelah mengantarku. Alhasil persidangan berjalan sesuai dengan petunjuk yang di berikan pak Hardiman. Terperangah, saksi, terdakwa serta para peserta persidangan melihatku begitu tegas dan lugas membawa persidangan itu menuju ke kesimpulan yang tidak disangka-sangka, yakni kebenaran baru dimana praduga tak bersalah di unggulkan.Saat ini, aku bertindak sebagai pengganti pengacara Katarina, senior di kantor pusat yang berhalangan hadir. Semoga hasil ini bisa meringankan sedikit pekerjaannya. "Mbak Ella, ada yang mau kenalan," bisik Mirna di telinga, membuatku menengok ke arah tangan Mirna mengarahkan."Halo Cinta, aku Erfan Aditya," ucap pria berkumis tipis, tampak sopan menyodorkan tangan kanannya untuk ku jabat. "Halo juga.""Aku terpukau melihat penampilan perdana kamu tadi, kelihatan sih kamu udah piawai menngusut kasus-kasus serupa?""Saya masih belajar kok, terima kasih atas pujiannya, senang berkenalan dengan anda sekali lagi."Entah kenapa k
Copot jantung, aku mendorong tubuhnya kala kepala ini menimpa kepalanya, hingga bibir kami tak sengaja bertemu. A----h kacau sekali!Jalan tempat aku berdiri tadi adalah jalan turunan sedangkan Gabriel masih berjalan mendekat ke arahku yang sedikit naik diatasnya. Dia menangkap cepat tubuhku saat ku rengkuh lehernya setelah bahu ini terhantam benda keras sekali."Kamu nggak apa-apa?"Tanyanya saat menangkap semburat merah darii wajah ini. Aku sampai meringis menahan nyeri di tengkukku, membuat pria itu berlagak panik. Apa iya dia khawatir?"Tidak pak saya baik-baik saja. Bapak sebaiknya per--""Oke."Dia memotong ucapanku dan mantap meninggalkanku. Sudah begitu saja, seenaknya dia masuk ke pintu ruangan tepat di sebelah apartemenku. Aku harus kroscek ke Berta perihal ini. Kok bisa Gabriel tinggal selantai denganku? Ini nggak bisa di biarkan!Mondar-mandir menunggu panggilanku diangkat oleh Bertha. Tidak sabar, diri ini meluruskan semuanya. Pindah saja, protesku jika benar Gabriel ti
Menyebalkan dan menjengkelkan itulah yang kurasa saat jalan berdua seperti ini. Aku merasa selama perjalanan lawan bicaraku itu benda mati. Sebelas dua belas dengan tembok, hanya tampak tapi datar sekali.Ternyata tepat di belakang hotel ada tempat lesehan yang menjual makanan seperti karedok, kerak telor, soto betawi, bebek sambel korek, lele, gado-gado, bakso. Sontak air liurku meluber kemana-mana."Jangan sampai bapak pilih tempat ini karena saya yang traktir? Hanya saja baju saya nggak cocok kalau harus makan di tempat high class seperti tadi, bapak harus tahu itu."Pria itu tak mendengarkan omelanku dengan memanggil pemilik warung untuk datang ke meja kami. "Waaah den Gabriel, tumben bawa bidadari, silahkan neng gelis, mau pesan apa atuh?""Gurame bakar pake sayur mentah sama sambal terasi pak super pedes ya?""Kalo den Gabriel?""Saya menu biasa pak." ucapnya seraya tersenyum simpul pada mang Sadeli."Kira-kira pria terkaya no 5 di negeri ini mau makan apa di tempat seperti ini?
"Cinta!" Seru Erfan menyapa."Oh halo."Pertemuan yang tak disangka-sangka. Selepas mencuci tangan di wastafel sederhana warung itu, tak sengaja aku bertemu dengan Jaksa muda teman Mirna tadi siang. Mataku berbinar sembari melepas kuncir kuda untuk mengembalikan ke bentuk semula. Sengaja, aku mempertontonkan keakraban untuk menghapus jalan pikiran Gabriel agar tidak kepedean mengira aku tertarik dengan pesonanya, heh, jangan harap.Menghindar, itu yang aku lakukan secepat kilat setelah tertangkap basah memandang lekat Gabriel yang sedang menyantap makananku dengan lahap. Malu, lebih baik menyingkir dari sisinya daripada degup jantung ini meledak berhamburan. "Sama siapa? Pacar?"Berkelit, nggak mungkin kan aku jawab sama klien. "A--h bukan.""Oh, Cinta, besok aku ada acara syukuran di hotel Narani, ak--u sangat senang jika kamu bisa menyempatkan datang.""A--h coba aku lihat jadwal aku dulu."Pasti pria ini mengira kenapa aku lebih ramah padanya. Sedangkan tadi siang sikapku siap me
Keesokan harinya aku penuhi seisi kulkas dengan kudapan yang di beli Gabriel untukku. A--h benar-benar dua hari berturut-turut hidupku penuh dengan nama pria itu. Aku berangkat pagi sekali dengan memesan ojek online. Hari ini masih sama, aku harus mengumpulkan bukti di kantor Warren Enterprise. Sedangkan ponsel ini tak berhenti berbunyi. Barisan pria-pria ini megirimiku pesan berantai. Dony, Erfan, Mario teman s2 di bandung, dan yang terakhir Theo. Tidak ada yang aku jawab satu-pun. Pertanyaan sama mereka lontarkan. "Apa kabar, sudah makan, kamu lagi apa?" Tidak penting, tetapi aku akan menggunakan salah satunya jika di perlukan. Sebaliknya aku memutuskan untuk megirim pesan pada si empunya belanjaan. Kekeh, ku minta nomor rekeningnya untuk mengembalikan biaya belanjaan ini, yang ujung-ujungnya malah di beri nomer rekening panti asuhan. Jujur, aku tak pernah menghapus nomor rekening pria itu. Nomor rekening pengembalian mas kawin 1 Miliar yang tak tersentuh sama sekali. Masih t
"Sudah sarapan?""Ya--h terima kasih berkat anda saya bisa sarapan enak."Bohong, aku tidak terbiasa dengan sarapan sejak tubuhku berukuran mini.Hampir sampai, aku bersiap untuk keluar lift, tetapi saat di lantai 10 tangan pria ini menahanku. "Mulai hari ini kamu ke ruanganku.""A---h, ta--pi pak Theo bilang saya harus ke ruangannya.""Siapa yang berkuasa disini?"Tanpa menengok ke arahku pria ini memasukkan kedua tangannya ke kantong celananya sendiri. Singkat, padat dan jelas, perintahnya harus di patuhi. Arogan, sok berkuasa itu yang aku baca.Dia memencet lantai 40 dan tetap di posisinya, seperti biasa Gabriel menunggu aku keluar dari lift terlebih dulu.Tiga wanita berpakaian kantor super se-xy sudah menunggu untuk menyapanya."Selamat pagi boss," ucap ketiganya serempak setelah melihat baik-baik keadaan make up mereka yang terlalu menor untuk ukuran pegawai kantoran.Kelihatan jelas bukan hanya Jihan yang ingin mendapat perhatian dari pria ini melainkan stafnya juga tak kalah be
"Sudah bangun?" Wajah pria tertampan yang pernah ku temui di muka bumi sedang menatapku. Pandangan mata barusan masih buram, kini menjelas. Gabriel memperhatikan cara tidurku dari dekat. Terperanjat dari ranjang mewah ini begitu saja, saat kulihat dari jendela kamar jalanan sudah macet dan gelap. Ya ampun sudah berapa lama aku tidur sih? "Pakai ini?" Gabriel menutup kaki jenjangku yang polos dengan selimut. "A---h!" Memekik, hanya itu yang bisa kulakukan sekarang. Selalu saja melakukan hal bodoh untuk kesekian kalinya. Kebiasaanku jika mengantuk, aku membuka celana yang kupakai dan melemparkannya ke sembarang tempat yakni di lantai kamar Gabriel. Sontak aku kabur ke dalam kamar mandi untuk membenahi penampilanku yang acakadul. Pun menggosok gigi dengan sikat baru yang sudah di siapkan di nakas. Aku membayangkan berapa puluh wanita yang sudah menginap di kamar ini? "Kacau-kacau!" Aku mengeplak kepalaku sendiri karena hal bodoh yang terus menerus terulang jika bersamanya. Aku kelua
"Honey, aku merindukanmu."A-h mimpi apa aku tadi, hingga harus bertemu dengan super model yang wajahnya selalu menjadi icon majalah mode dunia. Pas banget kan, yang satunya Ceo perusahaan international dan yang satu artis international.Rasanya tidak ada yang lebih menggiurkan dari meliput berita pasangan ini. Kini, keduanya malah berpelukan mesra. Dasar tak tahu tempat, kenapa nggak di kamar aja sih!"Permisi pak!"Entahlah kenapa aku kesal. Takut, aku nggak mau keduanya berbuat yang nggak-nggak di sini, jadi sebaiknya aku menyingkir saja. Aku menggeletakkan berkas tadi di atas meja tepat di depan sofa dengan segala resiko besok di pecat oleh atasan.Biarkan saja-lah itu resiko yang harus aku tanggung karena sudah mangkir dari tanggung jawabku hari ini."Cinta!"Gabriel melepaskan pelukan yang ternyata hanya sepihak tadi. Menjauhkan tubuh kekasihnya lalu bergegas berlari ke arahku."Saya pamit karena saya ti---hmmpfhf!"Astaganaga nurlela! Kenapa pria ini menciumku di depan pacarnya