Raib, Gabriel pergi dari pandangan setelah mengantarku. Alhasil persidangan berjalan sesuai dengan petunjuk yang di berikan pak Hardiman. Terperangah, saksi, terdakwa serta para peserta persidangan melihatku begitu tegas dan lugas membawa persidangan itu menuju ke kesimpulan yang tidak disangka-sangka, yakni kebenaran baru dimana praduga tak bersalah di unggulkan.
Saat ini, aku bertindak sebagai pengganti pengacara Katarina, senior di kantor pusat yang berhalangan hadir. Semoga hasil ini bisa meringankan sedikit pekerjaannya. "Mbak Ella, ada yang mau kenalan," bisik Mirna di telinga, membuatku menengok ke arah tangan Mirna mengarahkan.
"Halo Cinta, aku Erfan Aditya," ucap pria berkumis tipis, tampak sopan menyodorkan tangan kanannya untuk ku jabat.
"Halo juga."
"Aku terpukau melihat penampilan perdana kamu tadi, kelihatan sih kamu udah piawai menngusut kasus-kasus serupa?"
"Saya masih belajar kok, terima kasih atas pujiannya, senang berkenalan dengan anda sekali lagi."
Entah kenapa kepalaku tiba-tiba pusing. Gejala yang sering aku alami sejak konsumsi makanku berubah. Aku tak lagi bernafsu ugal-ugalan seperti dulu bila melihat makanan.
Konsumsi makanan dari tinggi lemak ke rendah, membuat tubuhku masih harus beradaptasi. Keinginan untuk memakan apa saja yang ada di depan mata membuat kinerja tubuh ini bekerja ekstra keras. Setelah nafsu makan ini pada akhirnya bisa di kontrol, aku harus menyesuaikan diri terutama dalam hal menahan lapar, seperti puasa saja.
"Mari pak Erfan saya permisi."
"A--h buru-buru saja Cinta, belum-belum aku udah Cinta kamu!" Seru laki-laki itu terdengar jelas di telinga.
Langkah kaki ini ingin segera menghilang dari sana. Untung saja Mirna membawa serta mobil kantor bersamanya. Tak perlu naik taxy, karena Mirna sudah memberiku kunci mobil yang terpaksa ku tinggalkan di Warren corporate berkat ulah seseorang.
"Mas Erfan jaksa muda yang pas buat jadi calon suami lo mbak?"
Mirna-mirna kamu ini ngomong apa? Anak ini belum mengenal seperti apa laki-laki itu. Perangai dan penampilan lugu, terlihat tulus dan tidak neko-neko belum tentu jaminan pria itu 'baik', bukan? Gadis itu mempercepat langkahnya untuk mengikuti langkahku yanglebih panjang darinya.
"Aku sih mendukung apa pun keputusan kamu Mir, aku harus balik sudah lepas maghrib," ku sentuh puncak bahu Mirna yang tingginya sekitar 155 cm itu sambil tersenyum tipis.
"Lo-h mbak kok jadi aku sih, mas Erfan tuh mau pe de ka te ama mbak El, gimana sih?"
"Buat kamu aja Mir, aku masih pengen sendiri."
"Mbak Ella aku antar aja, tadi pak Bos bilang mbak boleh pulang, nggak perlu balik kantor."
"Okeh Mir, ngebut ya! Jalanan macet!"
Tunggu-tunggu kenapa kesannya aku buru-buru sekali. Apa aku ada janji dengan bos lagi? Atau aku melupakan janji ketemu klien.
Kling!
Menunggu itu pekerjaan paling menyebalkan! ~Gabriel~
Chat masuk dengan nomor asing yang belum aku simpan di buku contact. Aku hanya membacanya tanpa membalas.
A--h pantes aja, kenapa aku seperti di buru-buru oleh seseorang. Ternyata pria itu. Oke baiklah, aku tinggal memenuhi permintaannya sebagai ucapan terima kasih, selebihnya jangan ada benang merah diantara kita.
"Udah sampai mbak El."
"Makasih Mir."
"Mbak-mbak bukannya itu klien VVIP bos?"
"Ha---h mana?"
"Itu di lobby apartemen mbak, jadi mbak El sama pengusaha ganteng itu, tinggal di tower yang sama ya?"
Mirna semakin ingin tahu apa yang terjadi. Matanya mengerjap mengeluarkan bintang.
"Mir cepet pulang Gih, istirahat yang cukup, besok kita kerja lagi."
Mirna lantas tidak jadi keluar dari mobil setelah aku melarangnya. Sedangkan Gabriel sudah duduk di lobby sambil menyilangkan kakinya. Pria ini konsisten sekali. Atau jangan-jangan dia memang ada janji?
Semoga saja, karena aku ingin sekali istirahat dan memejamkan mata saat ini. Aku lewat dan pura-pura tak tahu saja.
"Selain ceroboh, suka membuat orang menunggu dan pura-pura tidak melihat, sudah menjadi hobby dan kebiasaan kamu rupanya?"
Terpaksa aku balikkan badan dengan mata memicing dan berpura-pura bisa mengontrol keadaan jantungku yang ingin melompat keluar landasan ini.
"A--h, saya juga sangat mawas diri untuk tidak merasa di tunggu dan di perhatikan oleh bapak juga? Bukankah orang penting dan sibuk seperti anda tidak mungkin ingat dengan permintaan basa basi yang ingin ditraktir oleh saya tadi?"
Aku menghela nafas kasar. Apa yang akan terjadi nanti? Padahal aku masih ingin rebahan di dalam kamar lalu mandi terlebih dulu. Tak menyangka, jika pria ini akan menyambutku dan memprotes tindakan acuh tak acuh dariku.
Pria itu tak menjawab, malah mengikutiku dari belakang. "Ladies First!"
Gabriel mempersilahkan aku masuk terlebih dulu kedalam lift, lalu di susul olehnya. Tak seberapa lama, beberapa pria dan wanita berbadan tambun masuk kedalam lift berukuran 1,5x1,5 cm itu hingga penuh sesak. Kenapa harus pria ini menghadap tepat ke arahku. untung saja kepalaku hanya setinggi dadanya.
Gerah, keringat seketika bercucuran kala hembusan nafasnya menyentuh wajahku. Pria ini malah menunduk, hingga aroma musk dari tubuhnya merasuk ke hidung dan menyusup ke pori-pori kulit.
Matanya tak berkedip melihatku dari jarak tak aman. Aku memalingkan muka, tapi tangan kanannya malah membelai pipiku agar tetap fokus padanya. Jantungku semakin kencang berdetak. Apa maunya pria ini sebenarnya?
Tangan kanannya masih berada di pipiku, memberi batas agar tak bersentuhan dengan pria gempal yang menekan dari arah kanan. Nafas kita saling beradu. Sepertinya pria ini sengaja menyentuh wajahku untuk kepentingannya agar tak tersentuh dengan lengan berotot pria yang memakai kemeja pendek yang nyaris menyentuh pipiku kalau tidak di halangi tangan Gabriel.
"Ma--af sudah mengganggu pasangan yang lagi berpacaran, silahkan di teruskan!"
Keempat pria dan wanita bongsor tadi pun pergi dari Lift setelah melemparkan komentar yang tidak sesuai sama sekali. Aku pun menjauh dari posisi terhimpit di pojokan tadi ke tengah Lift. Tenang-tenanglah wahai jantung, ketika degup ini tak juga bisa mereda.
"Siapa yang pacaran! Sembarangan saja kalau ngomong." Gumamku dalam hati sambil merapikan rok yang terangkat di atas lutut saking menjiwainya.
"Kenapa bapak nggak mencet lantai?" tanyaku penasaran. pria dingin itu tak bereaksi. Wajah kaku itu tetap tenang walau detak jantungku semakin tak beraturan sekarang.
"Saya duluan pak."
Pamitku padanya, alhasil dia turut keluar di lantai yang sama yakni lantai 35. Entah ada acara apa tapi lantaiku malah banyak pekerja yang berlalu lalang, sepertinya ada perbaikan. Mereka mondar-mandir tak jelas dengan membawa tangga, sebagian ada yang mengangkat karung semen di bahunya.
Sedangkan aku sudah terganggu dengan kehadiran Gabriel yang masih saja mengikutiku sampai lantai apartemenku.
"Perhatian, harap menepi karena para pekerja sedang menservice tangga darurat yang tiba-tiba ambrol. Jangan salahkan kami jika anda tertabrak salah satu pekerja, harap menepi, beri kami jalan!"
Kesalnya aku sampai tak mengindahkan peringatan itu. Protesku karena jengah dengan tingkah Gabriel yang terus saja mengikutiku dari belakang. "Bapak ini, nanti bapak saya kabarin kalo saya sudah siap, kenapa bapak malah mengikhmmpph----"
Copot jantung, aku mendorong tubuhnya kala kepala ini menimpa kepalanya, hingga bibir kami tak sengaja bertemu. A----h kacau sekali!Jalan tempat aku berdiri tadi adalah jalan turunan sedangkan Gabriel masih berjalan mendekat ke arahku yang sedikit naik diatasnya. Dia menangkap cepat tubuhku saat ku rengkuh lehernya setelah bahu ini terhantam benda keras sekali."Kamu nggak apa-apa?"Tanyanya saat menangkap semburat merah darii wajah ini. Aku sampai meringis menahan nyeri di tengkukku, membuat pria itu berlagak panik. Apa iya dia khawatir?"Tidak pak saya baik-baik saja. Bapak sebaiknya per--""Oke."Dia memotong ucapanku dan mantap meninggalkanku. Sudah begitu saja, seenaknya dia masuk ke pintu ruangan tepat di sebelah apartemenku. Aku harus kroscek ke Berta perihal ini. Kok bisa Gabriel tinggal selantai denganku? Ini nggak bisa di biarkan!Mondar-mandir menunggu panggilanku diangkat oleh Bertha. Tidak sabar, diri ini meluruskan semuanya. Pindah saja, protesku jika benar Gabriel ti
Menyebalkan dan menjengkelkan itulah yang kurasa saat jalan berdua seperti ini. Aku merasa selama perjalanan lawan bicaraku itu benda mati. Sebelas dua belas dengan tembok, hanya tampak tapi datar sekali.Ternyata tepat di belakang hotel ada tempat lesehan yang menjual makanan seperti karedok, kerak telor, soto betawi, bebek sambel korek, lele, gado-gado, bakso. Sontak air liurku meluber kemana-mana."Jangan sampai bapak pilih tempat ini karena saya yang traktir? Hanya saja baju saya nggak cocok kalau harus makan di tempat high class seperti tadi, bapak harus tahu itu."Pria itu tak mendengarkan omelanku dengan memanggil pemilik warung untuk datang ke meja kami. "Waaah den Gabriel, tumben bawa bidadari, silahkan neng gelis, mau pesan apa atuh?""Gurame bakar pake sayur mentah sama sambal terasi pak super pedes ya?""Kalo den Gabriel?""Saya menu biasa pak." ucapnya seraya tersenyum simpul pada mang Sadeli."Kira-kira pria terkaya no 5 di negeri ini mau makan apa di tempat seperti ini?
"Cinta!" Seru Erfan menyapa."Oh halo."Pertemuan yang tak disangka-sangka. Selepas mencuci tangan di wastafel sederhana warung itu, tak sengaja aku bertemu dengan Jaksa muda teman Mirna tadi siang. Mataku berbinar sembari melepas kuncir kuda untuk mengembalikan ke bentuk semula. Sengaja, aku mempertontonkan keakraban untuk menghapus jalan pikiran Gabriel agar tidak kepedean mengira aku tertarik dengan pesonanya, heh, jangan harap.Menghindar, itu yang aku lakukan secepat kilat setelah tertangkap basah memandang lekat Gabriel yang sedang menyantap makananku dengan lahap. Malu, lebih baik menyingkir dari sisinya daripada degup jantung ini meledak berhamburan. "Sama siapa? Pacar?"Berkelit, nggak mungkin kan aku jawab sama klien. "A--h bukan.""Oh, Cinta, besok aku ada acara syukuran di hotel Narani, ak--u sangat senang jika kamu bisa menyempatkan datang.""A--h coba aku lihat jadwal aku dulu."Pasti pria ini mengira kenapa aku lebih ramah padanya. Sedangkan tadi siang sikapku siap me
Keesokan harinya aku penuhi seisi kulkas dengan kudapan yang di beli Gabriel untukku. A--h benar-benar dua hari berturut-turut hidupku penuh dengan nama pria itu. Aku berangkat pagi sekali dengan memesan ojek online. Hari ini masih sama, aku harus mengumpulkan bukti di kantor Warren Enterprise. Sedangkan ponsel ini tak berhenti berbunyi. Barisan pria-pria ini megirimiku pesan berantai. Dony, Erfan, Mario teman s2 di bandung, dan yang terakhir Theo. Tidak ada yang aku jawab satu-pun. Pertanyaan sama mereka lontarkan. "Apa kabar, sudah makan, kamu lagi apa?" Tidak penting, tetapi aku akan menggunakan salah satunya jika di perlukan. Sebaliknya aku memutuskan untuk megirim pesan pada si empunya belanjaan. Kekeh, ku minta nomor rekeningnya untuk mengembalikan biaya belanjaan ini, yang ujung-ujungnya malah di beri nomer rekening panti asuhan. Jujur, aku tak pernah menghapus nomor rekening pria itu. Nomor rekening pengembalian mas kawin 1 Miliar yang tak tersentuh sama sekali. Masih t
"Sudah sarapan?""Ya--h terima kasih berkat anda saya bisa sarapan enak."Bohong, aku tidak terbiasa dengan sarapan sejak tubuhku berukuran mini.Hampir sampai, aku bersiap untuk keluar lift, tetapi saat di lantai 10 tangan pria ini menahanku. "Mulai hari ini kamu ke ruanganku.""A---h, ta--pi pak Theo bilang saya harus ke ruangannya.""Siapa yang berkuasa disini?"Tanpa menengok ke arahku pria ini memasukkan kedua tangannya ke kantong celananya sendiri. Singkat, padat dan jelas, perintahnya harus di patuhi. Arogan, sok berkuasa itu yang aku baca.Dia memencet lantai 40 dan tetap di posisinya, seperti biasa Gabriel menunggu aku keluar dari lift terlebih dulu.Tiga wanita berpakaian kantor super se-xy sudah menunggu untuk menyapanya."Selamat pagi boss," ucap ketiganya serempak setelah melihat baik-baik keadaan make up mereka yang terlalu menor untuk ukuran pegawai kantoran.Kelihatan jelas bukan hanya Jihan yang ingin mendapat perhatian dari pria ini melainkan stafnya juga tak kalah be
"Sudah bangun?" Wajah pria tertampan yang pernah ku temui di muka bumi sedang menatapku. Pandangan mata barusan masih buram, kini menjelas. Gabriel memperhatikan cara tidurku dari dekat. Terperanjat dari ranjang mewah ini begitu saja, saat kulihat dari jendela kamar jalanan sudah macet dan gelap. Ya ampun sudah berapa lama aku tidur sih? "Pakai ini?" Gabriel menutup kaki jenjangku yang polos dengan selimut. "A---h!" Memekik, hanya itu yang bisa kulakukan sekarang. Selalu saja melakukan hal bodoh untuk kesekian kalinya. Kebiasaanku jika mengantuk, aku membuka celana yang kupakai dan melemparkannya ke sembarang tempat yakni di lantai kamar Gabriel. Sontak aku kabur ke dalam kamar mandi untuk membenahi penampilanku yang acakadul. Pun menggosok gigi dengan sikat baru yang sudah di siapkan di nakas. Aku membayangkan berapa puluh wanita yang sudah menginap di kamar ini? "Kacau-kacau!" Aku mengeplak kepalaku sendiri karena hal bodoh yang terus menerus terulang jika bersamanya. Aku kelua
"Honey, aku merindukanmu."A-h mimpi apa aku tadi, hingga harus bertemu dengan super model yang wajahnya selalu menjadi icon majalah mode dunia. Pas banget kan, yang satunya Ceo perusahaan international dan yang satu artis international.Rasanya tidak ada yang lebih menggiurkan dari meliput berita pasangan ini. Kini, keduanya malah berpelukan mesra. Dasar tak tahu tempat, kenapa nggak di kamar aja sih!"Permisi pak!"Entahlah kenapa aku kesal. Takut, aku nggak mau keduanya berbuat yang nggak-nggak di sini, jadi sebaiknya aku menyingkir saja. Aku menggeletakkan berkas tadi di atas meja tepat di depan sofa dengan segala resiko besok di pecat oleh atasan.Biarkan saja-lah itu resiko yang harus aku tanggung karena sudah mangkir dari tanggung jawabku hari ini."Cinta!"Gabriel melepaskan pelukan yang ternyata hanya sepihak tadi. Menjauhkan tubuh kekasihnya lalu bergegas berlari ke arahku."Saya pamit karena saya ti---hmmpfhf!"Astaganaga nurlela! Kenapa pria ini menciumku di depan pacarnya
~Warren Apt Residence~Melarikan diri, aku bergegas pergi saat pria itu lengah. Bagaimana bisa dia menggunakanku untuk mengusir mantan pacarnya. Da-sar b-ajingan!"Ber ini terakhir gue ultimatum ama lo, kalo elo nggak mau tuker tempat tinggal, gue nggak bakal nganggep lu jadi temen gue, seumur hidup!""Okay-okay babe, okay, elo bisa tinggal di apartemen gue, tapi ceritain dulu duduk perkaranya?"Berta ingin kejelasan kenapa aku sampai panik dan ketakutan seperti ini. Sebenarnya ini bagian dari pengingkaran, aku takut tidak bisa mengendalikan diri, aku takut khilaf, tak mampu menghindari buaiannya yang memabukkan itu.Apalagi ciu-mannya, apa di c-ium itu bisa sen-ikmat itu? A--h! Aku geplak puncak kepalaku sendiri karena sudah meracau."Gabriel men-cumbu gue.""A-pah?"Sorot mata temanku itu memelototi ku. Bibirnya menganga beberapa saat."Wow! Selamat El?""Apa-an sih?""Gila sih, gue ucapin selamat beneran buat sahabat gue ini, gue nggak bisa berkata-kata lagi El?"Berta mondar-man