Pria yang bernama Gabriel itu raib setelah mobil mewah menjemputnya. Sedangkan raut wajah atasanku malah semakin sumringah. Beliau terkekeh menertawakan reaksiku yang terhenyak saat Gabriel dengan nada bicara bengis bin menyakitkan tiba-tiba pergi dengan alasan aku sudah menyia-nyiakan waktunya.
A--h-aa aku jadi ingin bertepuk tangan di hadapan pria paling arogan yang pernah aku temui di muka bumi ini. Bravo bravo lagi-lagi andalah pemenangnya--- Sudahlah lebih baik kita kembali membahas persoalan perusahaan pria itu dulu.
"Jadi begini, ini berkas Warren Group cabang indo, dan berbagai temuan-temuan audit keuangan perusahaan yang mencurigai adanya korupsi dana milyaran rupiah oleh saudara Daniel Halim, teman sekaligus direktur keuangan yang menjabat saat itu."
"Na--h kan emang saya belum tahu duduk permasalahannya ya pak?"
"El, Tuan Gabriel memang begitu orangnya, dia anti melakukan pertemuan bisnis dengan siapa saja sampai berjam-jam lo biasanya, kamu pengecualian El."
"Bagaimana sih maksudnya pak?"
Pertanyaan demi pertanyaan aku lontarkan kembali, demi menutupi kondisi kejiwaanku yang sebenarnya sangat keki dengan degup jantung yang semakin bergejolak. Aku tak mau pak Hardiman memergoki sisi lemahku yang seperti ini.
Masih ada ternyata manusia kayu, pendiam, tetapi sekalinya buka mulut, hanya sampah semua yang di keluarkan. Makin benci saja aku pada pria itu. Aku cukup mawas diri untuk bersanding dengan pria yang terlalu jauh dari standar-lah pokoknya.
Kamu nggak perlu khawatir karena tidak akan pernah ada Mikhaela-Mikhaela yang lain yang akan terpesona dengan pria menyebalkan seperti kamu!
"Suda--h sudah, sebagian bukti sudah kita kantongi, tinggal sisanya, kamu bisa menghubungi Gabriel sendiri kan El?"
"El, hal-o?"
Pak Hardiman sampai melambai-lambaikan tangannya di depan mata untuk membuyarkan lamunanku.
"A---h i--ya pak, sia---p?"
"S-iapp apa El?'
"Saya akan hubungi pak Gabriel setelah ini?"
"A---a? Kamu hubungi Theo direktur Eksekutif merangkap kepala cabang Warren group di indo."
Nama itu lagi. "Baik pak, saya kerjakan segera."
Kami berdua mengakhiri pertemuan sangat amat singkat secepat kilat itu. Pun, sama-sama keluar dari cafe tersebut menggunakan mobil masing-masing.
~
Mengemas secukupnya baju ke dalam koper, itu rencanaku sebelum berangkat kemari. Lalu menghubungi teman yang berprofesi sebagai marketing apartemen terdekat, yaitu Berta Manza.
"Gimana elo suka?"
"Oke deh gue ambil."
Berta, teman sejurusan di kampus yang sama. Membanting stir masuk ke dunia properti dengan mengawali karirnya sebagai Marketing apartemen. Itu merupakan gebrakan tersendiri, aku salut dengan keberaniannya.
"Gue liat elu bisa survive di dunia Marketing?"
"Iya lumayan-lah El bisa nyambung hidup, ya--h gak ada apa-apanya lah sama penghasilan Lawyer, ada-ada aja sih lo?"
Berta mendorong bahuku seraya tersipu malu. Rupanya temanku ini bisa menghidupi dirinya sendiri sekarang. Tanpa harus terkatung-katung tak jelas menunggu kiriman uang saku dari orang tuanya lagi.
Yaa--h nasib kami kurang lebih sama, hanya saja orang tua Berta sangat cepat tanggap, berbeda sekali denganku. A--ah sudahlah kalau harus membahas tentang Ayah seharian-pun tidak bakal selesai.
"Ayo sekalian bawa baju renang lo, perjalanan kita lanjut ke Club House, elo beruntung dapet harga segitu, soalnya pak CEO, punya Penthouse di tower ini," seru Berta mantap. Komplek perumahan elite dan developer di kota itu sebagian besar dikuasai oleh Warren Group.
Tidak heran jika keluarga Warren juga dijuluki sebagai Raja dunia properti.
"Elo mikir apa-an sih? Udah ah yuk?"
Berta mengantar keliling komplek apartemen itu hingga ke club housenya. "Emang gak apa-apa ya malem-malem gini berenang?"
"Itulah salah satu kelebihan tower ini, disini gak ada jam malam soalnya pak Ga--" Celoteh Berta terpaksa terpotong karena sosok yang sedang dia bicarakan berada tepat di belakangku.
Aku yang berjalan mundur terjengkang ke belakang karena tertabrak benda keras tanpa sepengetahuanku, hingga tubuhku terpelanting.
A---k!
Aku tercebur setelah menabrak dada bidang berotot seorang lelaki, sekeras batu.
"Hey elo gak punya mata ya!" Pekiku panik sambil memukul permukaan air yang membuatku sukses basah kuyup.
"Mati gue Ella, ssstt----- boss gue tuh!"
Berta melarangku untuk ngomel di depan pria itu. Tadinya aku tak mengira jika CEO yang Berta maksud adalah Gabriel. Kalau tau begini, aky tidak akan menandatangani berkas sewa apartemen di gedung ini. Manik mata ini membola kala pria itu berbalik ke arahku.
"Ma--afkan sa-ya pak? Teman saya tidak sengaja menabrak bapak?"
"A--h pak Gabriel?" Jeritku sambil menutup mulut yang basah kuyup.
"Selain suka membuat klien menunggu, berjalan serampangan, sudah jadi kebiasaan rupanya?"
Apa lagi sih maunya nih orang, selalu aja cari gara-gara. Ya ampun inginnya aku cakar mukanya itu biar tahu rasa. A----h kesalnya sampai ubun-ubun. Aku jadi tidak mood lagi berenang. Bangkitlah aku dari kolam renang super mewah itu.
"El, tunggu wooy! Elo tahu kan dia siapa El? El pake handuk buat nutupin da--" Pekikan Berta terpotong oleh kecepatan aku berlarian. Langkah panjangnya terkejar hingga kita berhadapan.
"Mohon maaf kalo saya sudah banyak menyita waktu bapak, ta-pi saya tidak suka kalo bapak seenaknya mengatakan omong kosong seperti tadi?"
Nekat melawan demi menjaga kehormatan itulah yang harus aku tegakkan sekarang. Langkah pria itu berhenti tepat berada di depan lift. Lift itu pun terbuka saat pria tadi memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya tanpa menggubris perkataanku.
Tersulut emosi, aku turut masuk ke dalam lift itu. Gabriel malah mendekat ke arahku hingga aku terpojok, menempel ke dinding. Degup jantungku kesana kemari.
"Kalo nggak mau jadi santapan laki-laki selarut ini, setidaknya pakai bra kamu dulu, mengerti?"
"A----h, ap--ah!"
Malunya bukan main. Sontak dada yang tadinya membusung tanpa ragu ini, aku tutupi dengan kedua tanganku. Untungnya, Gabriel menahan lift itu agar aku bisa keluar dari sana.Haruskah aku menceburkan diri ke laut saja, agar besok aku tidak perlu ketemu lagi dengan pria itu. Wajahku memerah bukan karena bahan berak tapi kejadian yang lebih memalukan dari ketahuan bab di celana saat SD. Aku usap berulang kali wajahku. Bertindak kekanakan, selalu aku lakukan saat bertemu dengan orang paling dingin yang pernah ada di bumi ini. Kenapa kami harus di pertemukan lagi ya Tuhan kenapa? Kesal bukan main aku dibuatnya."Tunggu!"Parahnya lagi. Makhluk keji itu, ternyata mengejarku dari belakang lalu, melepas bathrobenya untuk menutupi tubuhku. Tanpa berkata-kata, pria itu raib begitu saja entah kemana."A----k!"Wajahku memerah. Aku tak sadar kalo kondisiku tidak cukup normal untuk bertemu dengan seorang klien. Apalagi klien itu laki-laki. Ditambah lagi... a---h sudahlah!"Ella, gue udah nginge
Sore itu aku duduk di meja makan bersama dengan Jenar, ibu tiriku dan anaknya yang lebih tua 4 tahun dariku, Jihan.Menunggu ayah pulang bekerja, makanan spesial sudah terhidang. Sengaja, aku yang memasaknya untuk merayakan pencapaianku yang mampu lulus SMA dengan nilai memuaskan.Tak berselang lama, ayahku tiba dan langsung tersenyum seraya memelukku. "Selamat ya Mikha, kamu sudah membuat Ayah bangga."Meski tangan ayah tidak sampai mengelilingi tubuhku yang besar, perasaan hangat terasa menyeruak ke dalam lubuk hatiku.Bagaimana tidak, ayah adalah orang yang begitu dihormati di dunia pendidikan. Tentu, mendapatkan apresiasinya adalah sebuah kesenangan tersendiri untukku."Terima kasih, Yah," jawabku dengan senyum tersipu.Mataku seketika berbinar. Namun hal itu tak berlangsung lama, saat dua orang wanita di hadapan kami menatapku dengan remeh.Dialah Jenar dan Jihan, dua makhluk yang jauh lebih sempurna dariku dalam penampilan fisik.Tidak sepertiku yang memiliki tubuh seperti gajah
Keesokan harinya, kami sekeluarga sampai di depan pagar menjulang, di kediaman keluarga Warren tepatnya.Cerah, suasana langit malam itu bertaburan bintang, turut bergerak mengiringi laju mobil Ayah yang masuk ke dalam halaman depan, membentang sangat luas. Bahkan, rumah Ayah tidak ada seperempatnya.Takjub, mataku memancarkan kekaguman. A--h ada ya rumah semegah istana negara yang tak terungkap media seperti ini?Sementara mobil Ayah berhenti. “Selamat malam Prof. Harun Suryawan.”Pria paruh baya berwajah bule membantu membuka pintu Ayah.“Selamat malam Khalik.”“Nyonya besar sudah menunggu di ruang keluarga.”"Baik, terima kasih Khalik, ayo."Pria bertubuh tinggi tadi, menyapa kami dengan membungkukkan tubuhnya. Menyambut kedatangan kami secara resmi diikuti pelayan lain, layaknya menyambut tamu negara tepat di depan pintu rumah mewah itu.Perasaanku tidak nyaman. Seperti biasa, rasa cemas mengganggu pikiranku jika bertemu dengan orang-orang di lingkungan baru. Sorot mata mereka s
Buram pandangan, membuat tatapanku menajam melihat plafon kamar. Dimana ini? A---h pinggangku sakit, yang pasti bukan karena kehilangan keperawanan di malam pertama.Yah kehilangan suami lebih tepatnya. Susah payah aku angkat tubuh ini untuk berdiri setelah terdengar ketukan di daun pintu kamar."Sebentar!"Secercah harapan melintas, apakah pria itu akhirnya bertekad kembali kemari untuk meminta maaf? Namun, balon harapan itu meletus seketika, saat seorang pria mengaku sebagai pelayan hotel membawa troli penuh makanan berlemak, yang kesemuanya adalah menu favoritku."Silahkan sarapannya nona," ucap pria itu seraya menunduk. Sepertinya, bentuk tubuh ini, sudah tak layak dipandang oleh siapa saja ya, bahkan untuk di lihat oleh pelayan sekali pun."Terima kasih taruh saja di sana.""Kalo butuh apa-apa nona tinggal mendial angka 0 dari telpon hotel itu." Tunjuk pria itu ke arah nakas di dekat tempat tidur."Baik."Meronta, cacing-cacing di dalam perut menuntut tambahan nutrisi. Lagi? Aku
4 tahun kemudian, aku kembali sebagai Cinta Graciela, pengacara termuda dengan segudang prestasi membanggakan dalam kasus-kasus berat yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar.Merubah identitas adalah salah satu keahliannya sebagai aparat hukum. Lantas, semua hal yang berkaitan dengan hal Ini termasuk ijazah dari mulai Sekolah Dasar sampai S2 tercetak nama baru ini dengan sempurna.Entahlah, nama Mikhaela selalu mengingatkan pada hal-hal buruk. Menghampiri seperti momok yang memicu trauma tak berkesudahan.Hari ini pertama kali aku berkunjung ke pusat, setelah 2 tahun berhasil membesarkan kantor cabang advokat milik atasan, di kota Bandung.Kota tempatku bertekad untuk membenahi diri sambil menempuh kuliah di sekolah tinggi ilmu hukum, yakni Bandung Law School University.Law Offices Hardiman Sibarani and Associates. Aku dikirim kemari karena pak Hardiman kekurangan tenaga ahli dengan jumlah klien yang terus bertambah."Ella, selamat datang."Senyum pasta gigi disuguhkan oleh pak
Beberapa saat yang lalu, langkah kaki ini tetiba ingin mengurangi kecepatan. Tak sengaja telinga ini mencuri dengar pembicaraan keluarga harmonis itu sebelum berangkat menyusul ke pertemuan klien."Sayang , apakah Hardiman itu, salah satu mahasiswa kamu juga?" tanya Jenar seraya menuntaskan minuman yang Mirna suguhkan.Jihan tampak mendengarkan dengan seksama percakapan itu."Ada apa sih mah, Aku tahu kalian berdua bukan penasaran ama Hardiman kan?"Senyum Ayah mengartikan maksud di balik pertanyaan yang dilontarkan Jenar."Iy--a Pah apa wanita muda yang Papa temui itu, juga pengacara disana?" Tanya Jihan tak sabar."Iya, dia lulusan S2 termuda, murid Hardiman dengan segudang prestasi membanggakan, yang berpengalaman membereskan persoalan hukum perusahaan bermasalah."Jenar dan Jihan saling bicara dengan tatap mata. "Lalu kenapa papa menemui wanita muda itu pah?"Keduanya kompak berseru serempak. Tak ayal sang profesor hukum itu, terkekeh. "Ingin hati bertemu Mikhaela disana, e--h t